SETANGKAI BUNGAKU
09
(Tien Kumalasari)
“Pak, apa maksud Bapak? Saya buk … kan tukang pijat.”
“Bagaiman ini, saya yang akan memijat. Jangan
mengganggu anak saya," kata yu Kasnah.
“Mana mungkin bu Minar memberikan seorang tukang pijat
tua, buta pula? Ayo ikut aku dulu, ayo. Jangan membuat majikan aku marah.”
“Tidak. Kalau begitu kami pulang saja. Tolong lepaskan
tangan saya,” kata Pratiwi dengan nada tinggi, sambil menepis tangan laki-laki
itu.
“Hei, kami sudah membayar bu Minar atas jasanya, mana
mungkin kalian mau pergi begitu saja? Tidak, majikanku butuh tukang pijat, kamu
harus melakukannya.”
“Tapi aku yang akan memijit majikan kamu, bukan dia.
Jadi biarkan dia pulang, biarkan aku yang melakukannya,” kata yu Kasnah marah.
“Jangan Bu, lebih baik kita pulang saja. Tidak usah
memijit siapapun. Ayo Bu,” kata Pratiwi sambil berdiri.
“Eiit! Enak saja. Mana mungkin begitu? Majikanku bisa
marah. Dia butuh tukang pijit, tapi mana mungkin dia dipijit oleh wanita buta
seperti ibu kamu ini.”
“Kalau tidak mau ya sudah, biarkan kami pergi,” kata
Pratiwi, tandas.
“Eh, perempuan galak. Kamu tidak bisa sembarangan
terhadap majikan aku. Dia orang berpengaruh dan bisa berbuat apa saja.”
“Terserah majikan kamu itu dewa dari langit sekalipun,
aku tidak takut.”
“Apa katamu?”
“Aku tidak merasa mengingkari perjanjian apapun. Bu
Minar minta agar ibu saya memijit, saya hanya mengantar. Tapi melihat sikap
Anda, tampaknya lebih baik kami pulang saja,” kali ini Pratiwi sudah berdiri
dan menarik tangan ibunya.
“Tidak bisa begitu,
kalau kamu nekad pergi, kamu harus mengganti uang yang sudah aku berikan
pada bu Minar. Lima juta.”
“Apa?”
Pratiwi terbelalak. Yu Kasnah juga terkejut. Kalau
bayaran untuk bu Minar saja lima juta, berapa bayaran untuk tukang pijitnya?
Pratiwi bertambah curiga. Ini bukan pekerjaan memijit yang biasa. Lebih baik ia
membawa ibunya kabur. Lalu dia menarik tangan ibunya, dan diajaknya melangkah
keluar. Tapi laki-laki yang tampak garang itu sudah menghadang di depannya.
“Kalian tidak boleh pergi,” hardiknya.
“Mengapa Anda memaksa kami? Kami tidak mau, jadi
biarkan kami pergi,” kali ini suara bu Kasnah bergetar karena takut.
“Kalau aku tidak membawa perempuan muda ini ke dalam
kamar majikan, aku akan mendapat hukuman.”
“Itu bukan urusan saya.” Pratiwi melangkah sambil
menghindari laki-laki yang menghadang di depannya. Tapi laki-laki itu melompaat
kesamping dan tiba-tiba saja sudah berada di depan Pratiwi lagi.
“Kalau saya berteriak, Anda akan dikeroyok orang
beramai-ramai,” ancam Pratiwi. Tapi laki-laki itu tertawa mengejek, keras
sekali.
“Kamu kira aku ini anak kecil yang bisa kamu
takut-takuti? Tak akan ada yang berani menghalangi aku. Kamu lihat di
sekeliling kamu, apakah ada orang?” kata si garang sambil masih tersenyum mengejek.
Dan Pratiwi heran, karena tiba-tiba saja tak ada orang disekeliling tempat itu.
Bahkan di loket resepsionis juga tak ada siapa-siapa.
“Tolooong,” Pratiwi nekat berteriak.
Tapi tiba-tiba seseorang muncul dari dalam. Laki-laki
muda yang gagah dan tampan. Wajahnya bersih, matanya bersinar tajam.
“Apa yang kamu lakukan Sam?” tegur laki-laki tampan
itu.
“Mereka mau pergi, Tuan, saya menghalanginya.”
“Mengapa pergi? Bukankah ini tukang pijit yang aku
dapat dari bu Minar?”
“Benar Tuan, tapi yang memijit bukan gadis itu.”
“Mana tukang pijitnya?” tanya laki-laki itu sambil
menatap Pratiwi dan ibunya, bergantian.
“Tukang pijitnya saya, tuan. Tapi pembantu tuan
memaksa anak saya. Dia hanya mengantarkan saya saja.”
Tanpa dinyana, laki-laki muda itu tersenyum ramah.
“Dasar pembantu bodoh. Aku hanya ingin dipijit karena
lelah. Mengapa kamu berpikir yang bukan-bukan?”
“Tapi tuan_”
“Mari Bu, ke kamar saya. Dan kamu boleh menunggui
saja. Aku sangat lelah,” kata laki-laki itu dengan ramah.
Yu Kasnah menggenggam lengan Pratiwi dan mengangguk.
Dengan perasaan masih terasa tidak enak, Pratiwi menuntun ibunya mengikuti
langkah laki-laki muda itu, masuk ke dalam lift yang membawanya ke atas, entah
lantai berapa, tapi kemudian Pratiwi tahu, yang dituju adalah lantai dua puluh.
Mereka keluar setelah pintu lift terbuka, lalu mereka
memasuki sebuah kamar besar yang sangat mewah dan berbau harum.
Pratiwi mengamati kamar besar itu, pertama-tama yang
dilihatnya adalah sebuah ruang dengan sofa besar, ditata seperti kamar tamu.
Hiasan-hiasan apik memenuhi ruangan itu, sehingga terkesan mewah. Agak ke
dalam, barulah sebuah kamar tidur yang besar dengan tempat tidur yang mewah
pula.
Laki-laki itu kemudian mendekati tempat tidurnya, dan
meminta agar ibunya duduk di sana.
“Bu, namamu siapa?”
“Saya Kasnah, Pak.”
‘Oh, bu Kasnah. Sudah biasa memijit ya?”
“Itu pekerjaan saya Pak.”
“Bagus. Oh ya, nama saya Sony. Saya berada di sini
karena sebuah tugas bisnis, mewakili ayah saya yang tinggal di luar negri.”
Pratiwi masih berdiri mematung di dekat ibunya.
“Eh, siapa nama anak ibu itu? Dia anak bu Kasnah
bukan?”
“Pratiwi, Pak.”
“Nama yang bagus.”
“Kapan saya mulai memijit?” tanya bu Kasnah karena
merasa bahwa laki-laki bernama Sony ini terlalu banyak bicara.
“Oh, baiklah. Tentu saja sekarang. Apa yang ibu
butuhkan? Minyak gosok, atau apa? Mengapa ya tadi aku tidak memesan si Marsam?”
“Saya sudah membawanya, Pak.”
“Oh, ya sudah, ayo kita mulai. Saya harus membuka baju
bukan?” tanya Sony sambil memegangi kancing bajunya. Pratiwi membuang muka,
membuat Sony tersenyum.
“Pratiwi, kamu boleh menunggu di sofa, melihat acara
di televisi, atau membaca banyak bacaan di meja.”
Pratiwi mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu,
lalu duduk di sofa empuk, yang ketika dia duduk, ia merasa seakan sofa itu akan
melemparkannya ke atas.
Pratiwi menenangkan batinnya. Dalam hati dia menjerit.
Ia merasa bahwa ibunya tak pantas melakukan pekerjaan itu. Meskipun sudah tua
dan tidak bisa melihat, sebenarnya tidak pantas dia menyentuh tubuh laki-laki
asing yang bukan siapa-siapanya.
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Setelah ini aku akan
melarang ibu melakukan pekerjaan ini. Aku harus bisa mendapatkan uang lebih
untuk menambah penghasilan, bukan dengan bergantung pada ibu yang pasti juga sangat
berat melakukannya.
Tak terasa, air mata Pratiwi menitik. Sesungguhnya dia
sudah melarang ibunya memenuhi ajakan bu Minar untuk memijit, tapi kedatangan
bu Margono membuatnya berubah pikiran. Lalu Pratiwi menyesali keputusan ibunya.
Pekerjaan ini terkadang menakutkan. Seperti tadi ketika laki-laki bernama
Marsam yang mengira dia tukang pijitnya, dan memaksanya melakukan pekerjaan
memijit itu, karena mengira dialah tukang pijitnya.
“Aku berjanji, ini yang terakhir. Entah bagaimana
caranya, ini yang terakhir,” janji Pratiwi dalam hati, sambil mengusap lagi air
matanya.
Sementara itu yu Kasnah mulai merasa nyaman, karena
Sony mengajaknya bicara dengan santai. Bercerita tentang banyak hal, dan juga
bertanya pada dirinya tentang banyak hal pula.
“Ayah saya seorang kaya, yang memiliki banyak
perusahaan besar. Dan saya anak tunggal. Saya sering berkeliling dari kota ke
kota untuk mengembangkan bisnis ayah saya. Kali ini saya akan berada di sini
selama beberapa hari,” antara lain cerita Sony yang sebenarnya tidak begitu
dimengerti oleh yu Kasnah.
“Berapa anak bu Kasnah?”
“Dua,” jawab bu Kasnah singkat.
“Oh, Pratiwi yang tua, apa yang muda?”
“Yang tua, adiknya laki-laki, masih sekolah SD.”
“Pratiwi sudah tidak sekolah?”
“Tidak. Mana saya mampu menyekolahkannya.”
“Sayang sekali. Dia sekolah sampai SMA?”
“Ya.”
“Kalau bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,
pasti bisa mendapat pekerjaan yang lebih bagus.”
Bu Kasnah diam. Ia merasa tidak perlu menjawabnya,
karena apa yang dikatakan Sony sudah sangat dimengertinya.
“Masih ada teman saya yang ingin dipijit,” tiba-tiba
kata Sony.
“Tidak Pak, cukup untuk kali ini.”
“Kenapa? Bayarannya tinggi lhoh.”
“Saya sudah tua, tidak kuat lagi,” kata yu Kasnah yang
ingin segera menyudahi pekerjaannya.
“Baiklah, kalau begitu besok lagi ya.”
“Entahlah, tenaga seorang tua kan terbatas. Sekarang
cukup ya Pak, saya hanya bisa dua jam saja.”
“Baiklah, badan saya sudah terasa lebih enak,” kata
Sony yang kemudian bangkit, dan mengenakan lagi bajunya.
Bu Kasnah turun, Sony menggenggamkan uang ke telapak
tangan yu Kasnah.
“Ini berapa, kok banyak sekali.”
“Saya selalu membayar mahal kepada setiap pemijit yang
memuaskan saya. Saya masih muda, tapi sangat suka pijit. Ini menurun dari ibu
saya,” kata Sony sambil menuntun yu Kasnah keluar dari kamarnya. Bu Kasnah
memasukkan uang yang entah berapa banyaknya itu, ke dalam saku bajunya.
Melihat ibunya keluar, Pratiwi berdiri.
“Sudah selesai, biar Marsam mengantarkan kalian,” kata
Sony.
“Tidak Pak, biar saya naik taksi saja,” kata Pratiwi,
tegas.
Sony mengangguk.
“Baiklah, aku tidak akan memaksa kamu. Sekarang kalian
boleh pulang. Aku antarkan sampai lift, setelah sampai di bawah, carilah taksi
sendiri.”
Pratiwi mengangguk. Ia merasa nyaman karena sikap Sony
memang tidak menakutkan. Ia begitu santun dan menghormati ibunya.
Ketika melewati lobi, ia melihat Marsam sedang tidur
mengorok di sofa.
***
Pratiwi bersyukur akhirnya sampai di rumah. Ia
mengantarkan ibunya langsung ke kamar mandi dan berganti pakaian, kemudian
mengajaknya beristirahat. Ketika itulah yu Kasnah baru memberikan uang yang
sedari tadi berada di dalam saku bajunya.
“Ini uangnya tadi, sepertinya kok banyak sekali ya Wi.”
“Ini ? Memang banyak sih Bu. Satu … dua … tiga … empat
… “
Pratiwi menghitung dan terkejut ketika menghitung
uangnya.
“Tiga juta? Ini uang beneran atau bukan?” kata Pratiwi
yang kembali menghitung.
“Tiga juta? Tadi pak Sony bilang selalu membayar mahal
kepada tukang pijit yang membuatnya puas. Tapi aku tak mengira sebanyak itu.”
“Ini banyak sekali, tapi apakah harus dikembalikan?”
“Tidak usah. Dia sudah mengatakannya kalau memang
memberikan bayarannya sebanyak dia suka.”
“Apakah Ibu janji akan kembali?”
“Dia minta, tapi ibu tidak berjanji. Ternyata memang
melelahkan, dan pengalaman sebelumnya tadi, membuat ibu takut.”
“Ibu, mulai sekarang Ibu tidak usah memijit. Benar, apa
yang tadi terjadi, membuat Tiwi juga takut, Sudahlah, sedikit penghasilan dari
berjualan sayur, harus kita terima dengan penuh rasa syukur.”
“Tapi kita butuh untuk Nano juga kan?”
“Kita akan berusaha, tanpa harus mengorbankan Ibu yang
sudah cukup tua. Kalau ibu memijit bu Ratna atau bu Sasmi, tidak apa-apa. Kan tidak
terlalu lama.”
“Iya, bu Sasmi juga kalau dipijit tidak mau terlalu
kenceng, tidak memerlukan banyak tenaga.”
“Besok Pratiwi akan membayar sewa rumah untuk satu
setengah tahun, dengan uang ini masih cukup.”
“Syukurlah.”
Tapi diam-diam yu Kasnah merasa kasihan pada anaknya,
yang masih sangat muda tapi harus menanggung beban hidup yang pastinya terasa
sangat berat. Tak terasa air matanya menitik, yang kemudian diusapnya.
Untunglah saat itu Pratiwi sedang pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri,
sebelum beristirahat malam itu.
***
Siang hari itu setelah pulang sekolah, Nano mendekati
kakaknya.
“Mbak, apa Mbak masih punya uang?”
“Uang? Uang untuk apa? Kalau uang untuk bayar sekolah
kamu, dan untuk daftar ulang minggu depan, sudah mbak siapkan.”
“Ada buku yang harus dibeli. Ini bukunya, Nano pinjam
dari teman.”
“Oh, ini? Bagaimana kalau difoto copy saja? Jadi tidak
begitu mahal.
“Ya nggak apa-apa Mbak, yang penting isinya sama.”
“Ya sama dong No, kan difoto copy.”
“Baiklah, tidak apa-apa Mbak.”
“Mana bukunya, nanti mbak foto copy kan didekat pasar,
sekalian mbak mau nyicil belanja, kalau begitu.”
“Nano boleh ikut ?”
“Boleh dong, nanti mbak boncengin. Ganti bajumu sana, mbak
tunggu di depan.”
***
Nano senang, walaupun hanya difoto copy, tapi dia
mendapatkan bukunya. Dia membawa buku hasil foto copy itu, dan menunggu didekat
sepedanya, ketika Pratiwi sedang belanja.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, dan seorang gadis
turun.
“Itu kan mbak Ratih?” seru Nano.
Pada saat itu Pratiwi sudah keluar dari toko sambil
membawa belanjaannya. Ia terkejut mendengar Nano berteriak. Ia memandang ke
arah Nano menudingkan tangannya.
“Itu kan mbak Ratih?” seru Nano lagi.
Pratiwi hampir berteriak memanggilnya, tapi
diurungkannya, ketika melihat seseorang turun dari mobil, mengikuti langkah
Ratih yang sedang menuju ke arah toko.
Laki-laki itu Sony.
***
Besok lagi ya.
ReplyDeletemtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteMtrnwn
ReplyDeleteAlhqmdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang sangu bobok
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku sb9 tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu, sg ndalu, jaga kesehatan ya bu Tien, salam kejora dan seroja selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien.....
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~09 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSBk 09 udah tayang...
Terimakasih bu Tien...
Sugeng nDalu, salam sehat selalu...
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷
alhamdulillah
ReplyDeleteTernyata si Bos orang baik hati. Tapi kenapa Minar mendapat uang yang sangat banyak ya...
ReplyDeleteApa Sony pacar Ratih, apa saudara, jawabnya besok lagi ya..
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Alhamsulilah sb sdh tayang, terima kasih bu tien....wah untunglsh pratiwi selamat... makin seru aja .. salam sehat bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSdh datang
Matur nuwun bu
Alhamdulillah, nuwun bunda Tien, Salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah cerbung Setangkai Bungalu Episode 09 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat selalu.
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteSeruuu ..
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu
Alhamdulillsah dah tayang makasih bunda
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
ReplyDeleteBiasalah mau cari muka didepan juragan, nggak aneh lah, biar kelihatan sangar gitu, carané waung njegog yå bèn kétok galak.
ReplyDeleteRupanya pacarnya Ratih tå, åpå nak ndulur, biasané di gathuk gathuké sama-sama anak juragan kira kira gitulah.
Asyik nggak susah susah sudah jalan usahanya, nggak pake ngerintis lagi tinggal ikuti sistem yang ada, syukur ada sedikit strategis biar naik omset, sudah gitu aja udah siip.
Ratih lagi pedekaté sama saudaré Sony.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta🙏
Alhamdulillah... mksh bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 09 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 09 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Aamiin
Trims Bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteSi bpk ini ngacok Tiwi gak mijat yg mijat bu kasnah ...yg ada salah faham nih ...Pria hidung belang nih
ReplyDeleteTrimakasih Bu Tien ... Salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Sehat wal'afiat selalu bu Tien
Ternyata Sony pacar nya Ratih ya ,,,Aduhaaaii 🤣🤭 kira2
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien SETANGKAI BUNGANYA
ReplyDeleteSalam sehat selalu