SETANGKAI BUNGAKU
10
(Tien Kumalasari)
Pratiwi terus mengawasi mereka, tapi urung menyapanya.
Ia tak ingin berurusan lagi dengan laki-laki bernama Sony. Lalu ia mengambil
sepedanya, mengajak Nano menjauh.
“Kok Mbak nggak mau menyapa? Itu Mbak Ratih, bukan?”
“Iya, biarkan saja. Ada temannya.”
“Mbak nggak kenal ?”
“Nggak, nggak kenal, ayo kita pergi. Cepet naik ke
bocengan, udara panas bukan main.”
“Nano saja yang boncengin?”
“Eh, nggak mau. Masak aku diboncengin anak kecil. Ayo
cepat.”
“Kita ke mana lagi?”
“Pulang. Mau ke mana lagi? Kamu cuma mau foto copy
bukunya kan? Itu cukup?”
“Sudah mbak, cukup,” kata Nano sambil naik ke boncengan,
lalu Pratiwi segera mengayuhnya.
Pratiwi mengayuh sepedanya, menelusuri jalanan yang
panas terik, menuju rumah. Begitu memasuki halaman, tampak bu Minar
mencegatnya.
“Dari mana Wi?”
Pratiwi terpaksa turun, lalu Nano membawa sepedanya
masuk ke dalam rumah.
“Dari foto copy buku untuk Nano, Bu.”
“Tunggu sebentar. Nanti malam pak Sony mau kamu ke
hotel lagi.”
Pratiwi terkejut. Bu Minar tidak menyebut ibunya, tapi
dirinya?
“Saya?”
“Maksudnya, kamu diminta mengantarkan ibumu lagi. Pak Sony
suka pijitan ibu kamu.”
“Maaf Bu, sepertinya ibu tidak sanggup lagi.”
“Apa maksudmu tidak sanggup?”
“Ibu sudah tua, tidak bisa terus-terusan mengeluarkan
tenaga. Dan saya minta malam tadi adalah malam terakhir ibu saya bekerja
memijit. Kasihan, itu berat sekali, Bu.”
“Wi, bukankah pak Sony membayar mahal untuk itu?”
“Benar. Tapi saya pikir sekali itu saja.”
“Pak Sony sudah begitu baik. Dia bilang sangat cocok
dengan pijitan yu Kasnah.”
“Maaf Bu, ibu saya tidak sanggup lagi,” kata Tiwi
sambil beranjak menjauh.
“Tiwi, bagaimana kalau dibayar dua kali lipat?”
Tapi tawaran itu justru membuat Pratiwi curiga. Hanya
untuk memijit, dia berniat membayar mahal? Rasanya tidak wajar. Walau belum
bisa menangkap maksud di balik tawaran itu, tapi rasa curiga membuat Pratiwi
ketakutan.
“Tiwi, kalau masih kurang, kamu boleh menawar. Pak
Sony murah hati, dia pasti memenuhinya.”
Pratiwi sudah menjauh, dia membalikkan tubuhnya,
merangkapkan kedua tangannya.
“Maaf Bu,” katanya, lalu langsung masuk ke dalam
rumah.
Begitu memasuki rumah, yu Kasnah sudah menyambut.
“Ada apa, kok maaf … maaf …”
“Itu Bu, bu Minar.”
“Kenapa dia?”
“Dia minta agar Ibu memijit pak Sony lagi.”
“Kamu jawab apa?”
“Saya jawab bahwa Ibu sudah capek, tidak sanggup memijit
lagi.”
“Yu Kasnah, iya benar. Itu pesanan pak Sony yang
semalam minta dipijit,” ternyata bu Minar mengikuti Pratiwi sampai ke rumah.
“Bu Minar ya?”
“Iya, ini aku. Mereka itu tamu-tamu istimewa, pengusaha
besar, duitnya banyak. Bukankah tadi dia juga membayar banyak?”
“Tapi saya ini sudah tua Bu, Pratiwi tidak mengijinkan
saya memijit lagi.”
“Kan hanya duduk sih Yu, dan bayarannya mahal.”
“Badan saya duduk, tapi tangan saya bekerja, dan itu
mengeluarkan tenaga. Jadi saya mohon maaf Bu, sungguh. Banyak pemijit lain yang
bisa melakukannya, tapi saya sudah tidak sanggup.”
“Biarpun bayarannya dua kali lipat?”
“Bukan masalah bayaran, tapi masalah tenaga saya.”
“Ya sudah Bu, ibu saya sudah menjawabnya, jadi lebih
baik Ibu mencari tukang pijit yang lain. Masa hanya ibu saya saja?” sambung
Pratiwi yang semakin curiga menyaksikan bu Minar begitu bersemangat membujuk.
Hanya untuk seorang pemijit buta, dan dia merayu sampai menawarkan bayaran
tinggi? Rasanya aneh. Jangan-jangan ada maunya.
“Jadi benar nih, kalian menolak?”
“Maaf Bu,” jawab Pratiwi dan ibunya hampir bersamaan.
Bu Minar meninggalkan rumah yu Kasnah dengan wajah
muram.
“Dasar bodoh, dengan iming-iming uang banyak, tetap
tidak mau? Padahal pak Sony wanti-wanti agar yu Kasnah kembali nanti malam.
Bukan karena yu Kasnah, tapi tampaknya dia tertarik pada Pratiwi. Bagaimana aku
menjawabnya ya? Iming-iming uang banyak kok ya masih tidak membuat mereka
tertarik?” omel bu Minar sambil berjalan pulang.
***
Yu Kasnah termenung di kursi tua miliknya, sambil
berpikir tentang tawaran bu Minar. Seperti juga Pratiwi, yu Kasnah juga heran,
hanya dirinya yang tukang pijit buta, mereka memberi iming-iming bayaran mahal?
Masa sekali pijit bisa mendapat uang berjuta-juta. Jangan-jangan ada maksud yang lain.
Jangan-jangan yang namanya Sony itu tertarik sama anaknya.
“Wah, kok aku jadi khawatir. Benar kata Tiwi, aku
tidak usah menerimanya.”
“Apa yang Ibu pikirkan? Apa Ibu menyesal, Tiwi menolak
tawaran bu Minar?”
“Tidak. Aku curiga ada maksud tersembunyi. Mengapa
begitu memaksa, bahkan menawarkan uang yang tak pernah terbayangkan oleh kita, dan
iming-imingnya juga selangit.”
“Benar, Bu. Lebih baik tidak usah diterima. Dan Tiwi
juga kasihan sama Ibu. Sudah saatnya Ibu beristirahat. Biar Tiwi saja yang
bekerja.”
“Kamu bilang penghasilan penjualan sayur sangat
menurun, gara-gara ada pesaing di gang sebelah.”
“Tidak apa-apa Bu, bukankah rejeki sudah ditakar dari
sanaNya? Ibu yang mengajarkan ini semua, jadi kita tak perlu menyesalinya.”
“Anak baik, semoga kelak kamu menemukan kehidupan yang
layak, tidak sengsara seperti ibumu ini,” kata yu Kasnah pilu.
Pratiwi merangkul ibunya.
“Bu, hidup kita tidak sengsara. Memang benar kita
bukan keluarga kaya, tapi kita bisa menjalaninya dan itu harus kita syukuri.
Rasa syukur akan menepiskan kesengsaraan, karena bukankah bahagia dan sengsara
itu ada di dalam diri kita? Kita sama sekali tidak sengsara, ibu harus memegang
kata-kata ini.”
Yu Kasnah mengangguk haru, mendengar penuturan anak
gadisnya yang sudah menginjak dewasa. Memang benar, ketika kita mensyukuri
sesuatu, maka kita tidak akan pernah merasa sengsara atau kekurangan.
***
Sony menghentikan mobilnya di halaman rumah keluarga
Juwono. Ternyata orang tua Sony adalah sahabat keluarga Juwono. Mereka
sama-sama keluarga yang sukses di dalam bisnisnya. Sudah tiga hari Sony berada
di kota itu dan belum sempat berkunjung ke keluarga Juwono. Ia sangat terkejut
mendengar Aira meninggal.
Hari itu ia mengajak Ratih belanja, karena dua hari
lagi dia akan kembali ke Jakarta. Ratih sebenarnya kurang suka, tapi ayahnya
memaksa.
“Hanya mengantarkan belanja, apa sih susahnya? Kalau
kamu menolak, bapak merasa nggak enak dong. Sony kan anak sahabat bapak.”
Karena itulah siang hari itu Ratih mengantarkan Sony
belanja bermacam-macam.
“Banyak benar belanjaannya?” tanya bu Juwono ketika
Sony menurunkan beberapa bungkusan besar.
“Ini untuk Ratih Bu, yang akan saya bawa nanti sudah
siap di mobil.”
“Memangnya Nak Sony ke sininya naik mobil?”
“Iya, saya lebih suka mengendarai mobil sendiri daripada
naik pesawat.”
“Bisa lebih santai ya Nak.”
“Iya Bu.”
“Lalu kapan, nak Sony ini menikah? Dari dulu masih
sendiri saja. Sama seperti Bondan, hanya mengurus pekerjaan, lupa memikirkan
dirinya sendiri.”
Sony tertawa.
“Belum ada yang menarik Bu. Nanti kalau sudah ketemu
yang cocok.”
“Mas Sony ini pacarnya banyak Bu, jadi susah kalau disuruh
milih,” sambung Ratih yang sudah kembali keluar setelah memasukkan semua
belanjaannya.
“Belanja apa saja kamu tadi?”
“Belanja baju, tapi sebenarnya belum sangat perlu,
tapi mas Sony memaksa. Jadi ya sudah, terpaksa diterima deh.”
“O, gitu ya.”
“Untuk Ibu juga ada kok.”
“Lhoh, kok ibu juga dapat bagian?”
“Sudah lama saya tidak datang kemari, jadi ya sebagai
obat kangen lah.”
“Kamu sudah beberapa hari berada di sini, kenapa tidak
menginap di sini saja? Rumah ini sangat besar.”
“Maaf Bu, soalnya saya datang dan pergi dalam mengurus
pekerjaan, jadi kalau menginap di sini rasanya nggak enak. Kadang pulang larut
juga.”
“Ya sudah, ngobrol saja dulu, ibu mau ke belakang,”
kata bu Juwono sambil beranjak ke belakang.
“Kamu masih kuliah kan?” tanya Sony kepada Ratih ketika duduk
berdua saja.
“Masih, tapi lagi males nih.”
“Kok males?”
“Beberapa hari ini, setelah mbak Aira tidak ada, aku
seperti tidak punya semangat apapun,” katanya sendu.
“Aku juga kaget mendengar berita itu. Baru mendengar
dua hari lalu dari seorang rekan bisnis. Sayang aku tidak mendengar saat itu.”
“Tidak apa-apa Mas. Kejadiannya begitu mendadak, jadi
tidak sempat mengabari ke mana-mana.”
“Aku di sini masih dua hari, kamu ingin ke mana, aku
antar.”
“Ke mana? Aku nggak ingin ke mana-mana. Kalau aku
ingin main, satu-satunya yang ingin aku datangi hanya sahabat mbak Aira, yang
juga dekat sama aku.”
“Baiklah, apa kamu mau mengunjungi teman kamu itu?
Boleh aku antar. Besok, atau nanti?”
“Sekarang aku capek, besok saja, dan agak siang,
soalnya kalau pagi, dia jualan sayur.”
“Teman kamu jualan sayur?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Heran saja, anak konglomerat punya teman tukang
sayur.”
“Mengapa harus berbeda, diantara anak konglomerat dan
tukang sayur? Dia baik, dan cantik.”
“Cantik? Tampaknya menarik nih.”
“Hiih, begitu mendengar kata ‘cantik’, langsung saja
tertarik.”
“Masa nggak boleh?”
“Aku sudah tahu kalau mas Sony itu play boy. Tapi awas
ya, jangan sampai mengganggu teman aku itu.”
Sony hanya tertawa. Bahkan ia masih tertawa saat
meninggalkan Ratih untuk kembali ke hotel, begitu Ratih menyebut si tukang
sayur lagi.
Tak habis pikir dia, Ratih yang anak juragan kaya, berteman
dengan seorang tukang sayur. Tapi sebutan cantik untuk teman Ratih tadi sangat
menarik hatinya. Memang benar, Sony penyuka wanita cantik. Dengan uang yang
dimilikinya ia bisa setiap saat memanggil wanita manapun untuk menemaninya. Dan
sesungguhnya dia sangat penasaran dengan anak si tukang pijit yang semalam
memijitnya di hotel. Dia cantik, tapi tidak tampak tertarik dengan wajah
gantengnya. Ia bahkan tak menatapnya sedikitpun, walau dia sudah bersikap ramah
hanya untuk menarik hatinya. Ia tahu, Pratiwi dan ibunya akan mengurungkan
kesanggupannya memijit karena ulah Marsam, pembantunya. Tapi melihat wajah
cantik Pratiwi, Sony berusaha menarik hati yu Kasnah dan anaknya, dengan bersikap lembut dan baik. agar mau
memijitnya, dan memberinya banyak uang agar besok mereka mau datang lagi. Akan
banyak waktu untuk bisa menaklukkan kembang cantik berduri yang hanya anak
tukang pijit, dan begitu angkuhnya.
Tapi telpon dari bu Minar saat dia dalam perjalanan
kembali ke hotel, membuatnya kesal.
“Apa? Dia tidak mau datang lagi?” kata Sony dengan
nada tinggi.
“Saya sudah membujuknya Pak, tapi dia tetap tidak mau,”
kata bu Minar.
“Bagaimana kamu membujuknya?”
“Saya bilang, kalau mau datang lagi, pak Sony akan
membayar lebih mahal.”
“Bodoh!” kesal Sony.
“Bodoh bagaimana sih Pak?”
“Iming-iming uang, justru membuat dia curiga. Mengapa
hanya seorang pemijit buta dijanjikan uang banyak? Bodoh!”
“Lalu saya harus bagaimana? Hanya iming-iming uang
yang bisa membuat orang tertarik.”
“Tapi tidak untuk gadis itu. Dia anak sekolahan. Biarpun
pendidikannya tidak tinggi, tapi dia pasti berpikir. Ada apa, hanya untuk
memijit kamu harus memberi iming-iming uang banyak. Pasti dia curiga.”
“Lalu bagaimana?”
“Sudah, jangan lagi menghubungi aku. Kamu sudah gagal.”
Hardik Sony sambil menutup ponselnya dengan kesal.
***
Malam itu Sasmi memanggil yu Kasnah, hanya untuk minta
kerok, karena masuk angin. Pratiwi dengan senang hati mengantarkan ibunya,
karena keluarga Luminto sudah sangat baik kepada keluarganya.
“Sepertinya aku masuk angin Yu, kalau sudah begini,
nggak akan sembuh kalau belum di kerok.”
“Iya Yu, Sasmi ini memang doyan pijit doyan kerok.
Beda sama aku. Kalau aku sih, pijit pelan-pelan boleh, tapi kerok aku nggak
suka. Sakit,” sambung Ratna.
“Iya Bu, memang setiap orang itu berbeda. Ada yang
tahan rasa sakit, ada yang enggak. Tapi yu Kasnah ini kalau ngerokin nggak
sakit lhoh,” kata yu Kasnah sambil mengambil minyak untuk mengerok.
“Ah, nggak sakit bagaimana, namanya kulit di kerok
pakai koin, Ya sudah, lanjutin, aku menemani Pratiwi di luar saja.
“Oh iya Mbak, atau di suruh pulang dulu saja, nanti
kalau waktunya yu Kasnah selesai biar aku telpon dia,” kata Sasmi.
Tapi ketika Ratna sampai di depan, Pratiwi malah pamit
untuk pulang.
“Mau pulang Wi?”
“Iya Bu, di rumah ada pekerjaan. Menghitung=hitung
belanja besok Bu, biasa,” kata Pratiwi sambil tersenyum.
“Ya sudah. Kamu nggak bawa tas isi uang lagi kan?”
“Nggak Bu, sudah kapok,” kata Pratiwi.
“Hati-hati ya Wi,” pesan Ratna.
Pratiwi keluar dari rumah keluarga Luminto, dan
bergegas untuk pulang. Tapi ketika sudah dekat dengan rumah, ia melihat sebuah
mobil berhenti di depan pagar. Pratiwi berdebar. Perasaan tak enak segera muncul, karenanya dia memilih untuk berbalik, kembali ke rumah keluarga Luminto.
Tapi tiba-tiba ia terkejut.
“Berhenti!!”
Teriakan itu membuatnya gemetar.
***
Besok lagi ya.
Mtrnwn
ReplyDelete
ReplyDeletemtnuwun mbk Tien 🙏🙏
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMatunuwun...
Alhamdulillah , Terima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, Terima kasih mbak Tien salam sehat selalu...
ReplyDeleteYes sing ditunggu sampun cul muncul.Maturnuwun Mbak Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku,SB10 tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah ... Trimakasih bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat
Maturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~10 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulilah terima kasih bu tien salam aehat
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdullilah bunda DB nya sdh tayang...slmt mlm dan slnt beristrhat .salam seroja dri skbmi🥰🌹❤️
ReplyDeleteOOO...Sony yang kaya itu play boy, untung Pratiwi waspada. Tapi kalau sudah terlanjur ketahuan apa akan bersembunyi...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Terima kasih Bu Tien
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteSahabat-2 Penggemar Cerbung bu Tien Kumalasari, yuk borong NOVEL "AYNA" sebentar lagi beredar, lho.
ReplyDeleteSegera pesan ke kakek habi 085101776038 atau langsung pesan ke bu Tien 082226322364. BURUAN STOK TERBATAS.
DAFTAR PEMESAN NOVEL AYNA
(Harga 125.000 blm ongkir. Jika transfer Rp. 150.000,- InshaaAllah sampai alamat)
1. Salamah dari Purworejo; 💰
2. SBK Diah Harmani,
Surabaya; 💰
3. Isti Priyono Klaten; 💰
4, Iyeng Santoso, Semarang;
5. Dewi Hr Basuki, Surabaya; 💰
6. Debora Ratna H. Jakarta Pusat ;💰
7. Marheni, Jakarta; 💰
8. Etty Inggaris Palembang; 💰
9. Yuliarsih Ully D, Semarang;
10. Lasmi Pipink, Jogja; 💰
11. Hardjoni Harun Jkt;
12. Ermi Suhasti Jogya;
13. Linda Bahar, Bandung;
14. Marjuli Pekalongan;
15. Sri Endaryati - Bogor; 💥
16. Arsi - Solo;
17. Tugirah - Kartosuro;
18. Endang Pur - Solo;
19. Pudji Rahayu - Jogya;
20. Anny Christianty, Semarang; 💥
21. Mien Djoefri, Jakarta;
22. Prof. Mintarti, Malang;
23. Wiwik Suharti, Bojonegoro;
24. Dhimas Mustofa Solo;
25. Rose Winardi, Surabaya; 💰
26. Moedjiati, Ciputat;
27. Fransisca Paquita, 💥 Surabaya;
28. Sri Windarti, Purwodadi Grobogan;
29. Apong Teti - Ciamis;
30. Atin - Solo;
31. Sri D.J. - Jakarta;
32. Sisriffah - Jakarta;
33. Ninok - Semarang;
34. Ariyani - Jakarta ; 💥
35. Noor SDK Devi, Pondok Indah;
36. Rusman S Abrus Jaktim;
37. Nuk Darmayudha - Cimanggis; 💥
38. Lies Sutantyo - Jakarta;
39. Diana Evi - Palembang;
40. Indah Suwarni - Bojonegoro;
41. Paramita, Bandung; 💰
42. Irawati, Semarang;
43. Yetty Mustakim, Depok;
44. Ibu Sukardi, Pacitan;
45. Ibu Jalmi Rupindah, Situbondo; 💰
46. Andaka, Semarang 💥
47. Anik Ichwan Sumadi, Madiun;
48. Nurrochmah Rozak, Solo;
49. Endang Ediati, Semarang; 💥
50. dr. Indrawati Sri Wulan, Solo;
51. dr. Andi, Bantul; 💥
52. Siswantari Hakim, Cibubur;
53. Siswantari Hakim, Cibubur;
54. Irma Eryanto, Bogor Timur; 💥
55. Yati Sribudiarti, Tasikmalaya
56.
57.
58.
59.
60.
Bagi sepuluh pendaftar pertama bebas ongkos kirim.
💰 Bayar ke BNI Kakek Habi/Djoko Budi Santoso
💥 Bayar kei BCA bu Tien Kumalasari
Lanjutkan...
Alhamdulillah
ReplyDeleteSdh datang gasik
Matur nuwun bu
Terimakasih bunda Tien ceritanya semakin seru dan tegang...
ReplyDeleteAlhamfulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 10 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu BUnda Tien . .
ReplyDeleteDah Tayang juga .makasih bunda makin degdegan
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Aduhai.......
ReplyDeleteAda apa yah.....
Baiklah Bu Tien saya tunggu besok nggih....
Matur nuwun....
Moga bi Tien sekeluarga sehat selalu.,...
Aamiin...,
Alhamdulillah Cerbung Setangkai Bungaku 10 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat
Alhamdulillqh..Sehat selalu u bu Tien..Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah Setangkai Bungaku 10 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dsn bahagia selalu.
Aamiin
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteWuah nganggo njegog barang
ReplyDeleteBola balio sing jengene marsam di wolak walikå têtêp waé.
Udah siap siap mau teriak minta tolong, masih aja ragu nggak tau tuh masih sabar ya, lho siapa tahu mangkel lho diminta mijit kok nggak mau, malah ke pelanggan laen.
Sok ngatur kepergok jagoan néon kapok lho.
Di uyel uyel, entèk awakmu, jadi perkedel.
Lho itu satria baja hitam.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke sepuluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Trims Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah,, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSehat wal'afiat semua bu 😊🙏
Siapa tuh yg teriak ,Sony kah atau Ratih ,,,Aduhaaaii
Alhamdulillah
ReplyDelete