Friday, February 3, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 10

 

SETANGKAI BUNGAKU  10

(Tien Kumalasari)

 

Pratiwi terus mengawasi mereka, tapi urung menyapanya. Ia tak ingin berurusan lagi dengan laki-laki bernama Sony. Lalu ia mengambil sepedanya, mengajak Nano menjauh.

“Kok Mbak nggak mau menyapa? Itu Mbak Ratih, bukan?”

“Iya, biarkan saja. Ada temannya.”

“Mbak nggak kenal ?”

“Nggak, nggak kenal, ayo kita pergi. Cepet naik ke bocengan, udara panas bukan main.”

“Nano saja yang boncengin?”

“Eh, nggak mau. Masak aku diboncengin anak kecil. Ayo cepat.”

“Kita ke mana lagi?”

“Pulang. Mau ke mana lagi? Kamu cuma mau foto copy bukunya kan? Itu cukup?”

“Sudah mbak, cukup,” kata Nano sambil naik ke boncengan, lalu Pratiwi segera mengayuhnya.

Pratiwi mengayuh sepedanya, menelusuri jalanan yang panas terik, menuju rumah. Begitu memasuki halaman, tampak bu Minar mencegatnya.

“Dari mana Wi?”

Pratiwi terpaksa turun, lalu Nano membawa sepedanya masuk ke dalam rumah.

“Dari foto copy buku untuk Nano, Bu.”

“Tunggu sebentar. Nanti malam pak Sony mau kamu ke hotel lagi.”

Pratiwi terkejut. Bu Minar tidak menyebut ibunya, tapi dirinya?

“Saya?”

“Maksudnya, kamu diminta mengantarkan ibumu lagi. Pak Sony suka pijitan ibu kamu.”

“Maaf Bu, sepertinya ibu tidak sanggup lagi.”

“Apa maksudmu tidak sanggup?”

“Ibu sudah tua, tidak bisa terus-terusan mengeluarkan tenaga. Dan saya minta malam tadi adalah malam terakhir ibu saya bekerja memijit. Kasihan, itu berat sekali, Bu.”

“Wi, bukankah pak Sony membayar mahal untuk itu?”

“Benar. Tapi saya pikir sekali itu saja.”

“Pak Sony sudah begitu baik. Dia bilang sangat cocok dengan pijitan yu Kasnah.”

“Maaf Bu, ibu saya tidak sanggup lagi,” kata Tiwi sambil beranjak menjauh.

“Tiwi, bagaimana kalau dibayar dua kali lipat?”

Tapi tawaran itu justru membuat Pratiwi curiga. Hanya untuk memijit, dia berniat membayar mahal? Rasanya tidak wajar. Walau belum bisa menangkap maksud di balik tawaran itu, tapi rasa curiga membuat Pratiwi ketakutan.

“Tiwi, kalau masih kurang, kamu boleh menawar. Pak Sony murah hati, dia pasti memenuhinya.”

Pratiwi sudah menjauh, dia membalikkan tubuhnya, merangkapkan kedua tangannya.

“Maaf Bu,” katanya, lalu langsung masuk ke dalam rumah.

Begitu memasuki rumah, yu Kasnah sudah menyambut.

“Ada apa, kok maaf … maaf …”

“Itu Bu, bu Minar.”

“Kenapa dia?”

“Dia minta agar Ibu memijit pak Sony lagi.”

“Kamu jawab apa?”

“Saya jawab bahwa Ibu sudah capek, tidak sanggup memijit lagi.”

“Yu Kasnah, iya benar. Itu pesanan pak Sony yang semalam minta dipijit,” ternyata bu Minar mengikuti Pratiwi sampai ke rumah.

“Bu Minar ya?”

“Iya, ini aku. Mereka itu tamu-tamu istimewa, pengusaha besar, duitnya banyak. Bukankah tadi dia juga membayar banyak?”

“Tapi saya ini sudah tua Bu, Pratiwi tidak mengijinkan saya memijit lagi.”

“Kan hanya duduk sih Yu, dan bayarannya mahal.”

“Badan saya duduk, tapi tangan saya bekerja, dan itu mengeluarkan tenaga. Jadi saya mohon maaf Bu, sungguh. Banyak pemijit lain yang bisa melakukannya, tapi saya sudah tidak sanggup.”

“Biarpun bayarannya dua kali lipat?”

“Bukan masalah bayaran, tapi masalah tenaga saya.”

“Ya sudah Bu, ibu saya sudah menjawabnya, jadi lebih baik Ibu mencari tukang pijit yang lain. Masa hanya ibu saya saja?” sambung Pratiwi yang semakin curiga menyaksikan bu Minar begitu bersemangat membujuk. Hanya untuk seorang pemijit buta, dan dia merayu sampai menawarkan bayaran tinggi? Rasanya aneh. Jangan-jangan ada maunya.

“Jadi benar nih, kalian menolak?”

“Maaf Bu,” jawab Pratiwi dan ibunya hampir bersamaan.

Bu Minar meninggalkan rumah yu Kasnah dengan wajah muram.

“Dasar bodoh, dengan iming-iming uang banyak, tetap tidak mau? Padahal pak Sony wanti-wanti agar yu Kasnah kembali nanti malam. Bukan karena yu Kasnah, tapi tampaknya dia tertarik pada Pratiwi. Bagaimana aku menjawabnya ya? Iming-iming uang banyak kok ya masih tidak membuat mereka tertarik?” omel bu Minar sambil berjalan pulang.

***

Yu Kasnah termenung di kursi tua miliknya, sambil berpikir tentang tawaran bu Minar. Seperti juga Pratiwi, yu Kasnah juga heran, hanya dirinya yang tukang pijit buta, mereka memberi iming-iming bayaran mahal? Masa sekali pijit bisa mendapat uang berjuta-juta. Jangan-jangan ada maksud yang lain. Jangan-jangan yang namanya Sony itu tertarik sama anaknya.

“Wah, kok aku jadi khawatir. Benar kata Tiwi, aku tidak usah menerimanya.”

“Apa yang Ibu pikirkan? Apa Ibu menyesal, Tiwi menolak tawaran bu Minar?”

“Tidak. Aku curiga ada maksud tersembunyi. Mengapa begitu memaksa, bahkan menawarkan uang yang tak pernah terbayangkan oleh kita, dan iming-imingnya juga selangit.”

“Benar, Bu. Lebih baik tidak usah diterima. Dan Tiwi juga kasihan sama Ibu. Sudah saatnya Ibu beristirahat. Biar Tiwi saja yang bekerja.”

“Kamu bilang penghasilan penjualan sayur sangat menurun, gara-gara ada pesaing di gang sebelah.”

“Tidak apa-apa Bu, bukankah rejeki sudah ditakar dari sanaNya? Ibu yang mengajarkan ini semua, jadi kita tak perlu menyesalinya.”

“Anak baik, semoga kelak kamu menemukan kehidupan yang layak, tidak sengsara seperti ibumu ini,” kata yu Kasnah pilu.

Pratiwi merangkul ibunya.

“Bu, hidup kita tidak sengsara. Memang benar kita bukan keluarga kaya, tapi kita bisa menjalaninya dan itu harus kita syukuri. Rasa syukur akan menepiskan kesengsaraan, karena bukankah bahagia dan sengsara itu ada di dalam diri kita? Kita sama sekali tidak sengsara, ibu harus memegang kata-kata ini.”

Yu Kasnah mengangguk haru, mendengar penuturan anak gadisnya yang sudah menginjak dewasa. Memang benar, ketika kita mensyukuri sesuatu, maka kita tidak akan pernah merasa sengsara atau kekurangan.

***

Sony menghentikan mobilnya di halaman rumah keluarga Juwono. Ternyata orang tua Sony adalah sahabat keluarga Juwono. Mereka sama-sama keluarga yang sukses di  dalam bisnisnya. Sudah tiga hari Sony berada di kota itu dan belum sempat berkunjung ke keluarga Juwono. Ia sangat terkejut mendengar Aira meninggal.

Hari itu ia mengajak Ratih belanja, karena dua hari lagi dia akan kembali ke Jakarta. Ratih sebenarnya kurang suka, tapi ayahnya memaksa.

“Hanya mengantarkan belanja, apa sih susahnya? Kalau kamu menolak, bapak merasa nggak enak dong. Sony kan anak sahabat bapak.”

Karena itulah siang hari itu Ratih mengantarkan Sony belanja bermacam-macam.

“Banyak benar belanjaannya?” tanya bu Juwono ketika Sony menurunkan beberapa bungkusan besar.

“Ini untuk Ratih Bu, yang akan saya bawa nanti sudah siap di mobil.”

“Memangnya Nak Sony ke sininya naik mobil?”

“Iya, saya lebih suka mengendarai mobil sendiri daripada naik pesawat.”

“Bisa lebih santai ya Nak.”

“Iya Bu.”

“Lalu kapan, nak Sony ini menikah? Dari dulu masih sendiri saja. Sama seperti Bondan, hanya mengurus pekerjaan, lupa memikirkan dirinya sendiri.”

Sony tertawa.

“Belum ada yang menarik Bu. Nanti kalau sudah ketemu yang cocok.”

“Mas Sony ini pacarnya banyak Bu, jadi susah kalau disuruh milih,” sambung Ratih yang sudah kembali keluar setelah memasukkan semua belanjaannya.

“Belanja apa saja kamu tadi?”

“Belanja baju, tapi sebenarnya belum sangat perlu, tapi mas Sony memaksa. Jadi ya sudah, terpaksa diterima deh.”

“O, gitu ya.”

“Untuk Ibu juga ada kok.”

“Lhoh, kok ibu juga dapat bagian?”

“Sudah lama saya tidak datang kemari, jadi ya sebagai obat kangen lah.”

“Kamu sudah beberapa hari berada di sini, kenapa tidak menginap di sini saja? Rumah ini sangat besar.”

“Maaf Bu, soalnya saya datang dan pergi dalam mengurus pekerjaan, jadi kalau menginap di sini rasanya nggak enak. Kadang pulang larut juga.”

“Ya sudah, ngobrol saja dulu, ibu mau ke belakang,” kata bu Juwono sambil beranjak ke belakang.

“Kamu masih kuliah kan?” tanya Sony kepada Ratih ketika duduk berdua saja.

“Masih, tapi lagi males nih.”

“Kok males?”

“Beberapa hari ini, setelah mbak Aira tidak ada, aku seperti tidak punya semangat apapun,” katanya sendu.

“Aku juga kaget mendengar berita itu. Baru mendengar dua hari lalu dari seorang rekan bisnis. Sayang aku tidak mendengar saat itu.”

“Tidak apa-apa Mas. Kejadiannya begitu mendadak, jadi tidak sempat mengabari ke mana-mana.”

“Aku di sini masih dua hari, kamu ingin ke mana, aku antar.”

“Ke mana? Aku nggak ingin ke mana-mana. Kalau aku ingin main, satu-satunya yang ingin aku datangi hanya sahabat mbak Aira, yang juga dekat sama aku.”

“Baiklah, apa kamu mau mengunjungi teman kamu itu? Boleh aku antar. Besok, atau nanti?”

“Sekarang aku capek, besok saja, dan agak siang, soalnya kalau pagi, dia jualan sayur.”

“Teman kamu jualan sayur?”

“Iya, memangnya kenapa?”

“Heran saja, anak konglomerat punya teman tukang sayur.”

“Mengapa harus berbeda, diantara anak konglomerat dan tukang sayur? Dia baik, dan cantik.”

“Cantik? Tampaknya menarik nih.”

“Hiih, begitu mendengar kata ‘cantik’, langsung saja tertarik.”

“Masa nggak boleh?”

“Aku sudah tahu kalau mas Sony itu play boy. Tapi awas ya, jangan sampai mengganggu teman aku itu.”

Sony hanya tertawa. Bahkan ia masih tertawa saat meninggalkan Ratih untuk kembali ke hotel, begitu Ratih menyebut si tukang sayur lagi.

Tak habis pikir dia, Ratih yang anak juragan kaya, berteman dengan seorang tukang sayur. Tapi sebutan cantik untuk teman Ratih tadi sangat menarik hatinya. Memang benar, Sony penyuka wanita cantik. Dengan uang yang dimilikinya ia bisa setiap saat memanggil wanita manapun untuk menemaninya. Dan sesungguhnya dia sangat penasaran dengan anak si tukang pijit yang semalam memijitnya di hotel. Dia cantik, tapi tidak tampak tertarik dengan wajah gantengnya. Ia bahkan tak menatapnya sedikitpun, walau dia sudah bersikap ramah hanya untuk menarik hatinya. Ia tahu, Pratiwi dan ibunya akan mengurungkan kesanggupannya memijit karena ulah Marsam, pembantunya. Tapi melihat wajah cantik Pratiwi, Sony berusaha menarik hati yu Kasnah dan anaknya, dengan bersikap lembut dan baik. agar mau memijitnya, dan memberinya banyak uang agar besok mereka mau datang lagi. Akan banyak waktu untuk bisa menaklukkan kembang cantik berduri yang hanya anak tukang pijit, dan begitu angkuhnya.

Tapi telpon dari bu Minar saat dia dalam perjalanan kembali ke hotel, membuatnya kesal.

“Apa? Dia tidak mau datang lagi?” kata Sony dengan nada tinggi.

“Saya sudah membujuknya Pak, tapi dia tetap tidak mau,” kata bu Minar.

“Bagaimana kamu membujuknya?”

“Saya bilang, kalau mau datang lagi, pak Sony akan membayar lebih mahal.”

“Bodoh!” kesal Sony.

“Bodoh bagaimana sih Pak?”

“Iming-iming uang, justru membuat dia curiga. Mengapa hanya seorang pemijit buta  dijanjikan uang banyak? Bodoh!”

“Lalu saya harus bagaimana? Hanya iming-iming uang yang bisa membuat orang tertarik.”

“Tapi tidak untuk gadis itu. Dia anak sekolahan. Biarpun pendidikannya tidak tinggi, tapi dia pasti berpikir. Ada apa, hanya untuk memijit kamu harus memberi iming-iming uang banyak. Pasti dia curiga.”

“Lalu bagaimana?”

“Sudah, jangan lagi menghubungi aku. Kamu sudah gagal.” Hardik Sony sambil menutup ponselnya dengan kesal.

***

Malam itu Sasmi memanggil yu Kasnah, hanya untuk minta kerok, karena masuk angin. Pratiwi dengan senang hati mengantarkan ibunya, karena keluarga Luminto sudah sangat baik kepada keluarganya.

“Sepertinya aku masuk angin Yu, kalau sudah begini, nggak akan sembuh kalau belum di kerok.”

“Iya Yu, Sasmi ini memang doyan pijit doyan kerok. Beda sama aku. Kalau aku sih, pijit pelan-pelan boleh, tapi kerok aku nggak suka. Sakit,” sambung Ratna.

“Iya Bu, memang setiap orang itu berbeda. Ada yang tahan rasa sakit, ada yang enggak. Tapi yu Kasnah ini kalau ngerokin nggak sakit lhoh,” kata yu Kasnah sambil mengambil minyak untuk mengerok.

“Ah, nggak sakit bagaimana, namanya kulit di kerok pakai koin, Ya sudah, lanjutin, aku menemani Pratiwi di luar saja.

“Oh iya Mbak, atau di suruh pulang dulu saja, nanti kalau waktunya yu Kasnah selesai biar aku telpon dia,” kata Sasmi.

Tapi ketika Ratna sampai di depan, Pratiwi malah pamit untuk pulang.

“Mau pulang Wi?”

“Iya Bu, di rumah ada pekerjaan. Menghitung=hitung belanja besok Bu, biasa,” kata Pratiwi sambil tersenyum.

“Ya sudah. Kamu nggak bawa tas isi uang lagi kan?”

“Nggak Bu, sudah kapok,” kata Pratiwi.

“Hati-hati ya Wi,” pesan Ratna.

Pratiwi keluar dari rumah keluarga Luminto, dan bergegas untuk pulang. Tapi ketika sudah dekat dengan rumah, ia melihat sebuah mobil berhenti di depan pagar. Pratiwi berdebar. Perasaan tak enak segera muncul, karenanya dia memilih untuk berbalik, kembali ke rumah keluarga Luminto. Tapi tiba-tiba ia terkejut.

“Berhenti!!”

Teriakan itu membuatnya gemetar.

***

Besok lagi ya.

36 comments:

  1. Alhamdulillah , Terima kasih bu Tien

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  3. Yes sing ditunggu sampun cul muncul.Maturnuwun Mbak Tien

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku,SB10 tayang.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ... Trimakasih bu Tien
    Salam sehat

    ReplyDelete

  6. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~10 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah terima kasih bu tien salam aehat

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  10. Alhamdullilah bunda DB nya sdh tayang...slmt mlm dan slnt beristrhat .salam seroja dri skbmi🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  11. OOO...Sony yang kaya itu play boy, untung Pratiwi waspada. Tapi kalau sudah terlanjur ketahuan apa akan bersembunyi...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  12. Sahabat-2 Penggemar Cerbung bu Tien Kumalasari, yuk borong NOVEL "AYNA" sebentar lagi beredar, lho.
    Segera pesan ke kakek habi 085101776038 atau langsung pesan ke bu Tien 082226322364. BURUAN STOK TERBATAS.

    DAFTAR PEMESAN NOVEL AYNA
    (Harga 125.000 blm ongkir. Jika transfer Rp. 150.000,- InshaaAllah sampai alamat)

    1. Salamah dari Purworejo; 💰
    2. SBK Diah Harmani,
    Surabaya; 💰
    3. Isti Priyono Klaten; 💰
    4, Iyeng Santoso, Semarang;
    5. Dewi Hr Basuki, Surabaya; 💰
    6. Debora Ratna H. Jakarta Pusat ;💰
    7. Marheni, Jakarta; 💰
    8. Etty Inggaris Palembang; 💰
    9. Yuliarsih Ully D, Semarang;
    10. Lasmi Pipink, Jogja; 💰
    11. Hardjoni Harun Jkt;
    12. Ermi Suhasti Jogya;
    13. Linda Bahar, Bandung;
    14. Marjuli Pekalongan;
    15. Sri Endaryati - Bogor; 💥
    16. Arsi - Solo;
    17. Tugirah - Kartosuro;
    18. Endang Pur - Solo;
    19. Pudji Rahayu - Jogya;
    20. Anny Christianty, Semarang; 💥
    21. Mien Djoefri, Jakarta;
    22. Prof. Mintarti, Malang;
    23. Wiwik Suharti, Bojonegoro;
    24. Dhimas Mustofa Solo;
    25. Rose Winardi, Surabaya; 💰
    26. Moedjiati, Ciputat;
    27. Fransisca Paquita, 💥 Surabaya;
    28. Sri Windarti, Purwodadi Grobogan;
    29. Apong Teti - Ciamis;
    30. Atin - Solo;
    31. Sri D.J. - Jakarta;
    32. Sisriffah - Jakarta;
    33. Ninok - Semarang;
    34. Ariyani - Jakarta ; 💥
    35. Noor SDK Devi, Pondok Indah;
    36. Rusman S Abrus Jaktim;
    37. Nuk Darmayudha - Cimanggis; 💥
    38. Lies Sutantyo - Jakarta;
    39. Diana Evi - Palembang;
    40. Indah Suwarni - Bojonegoro;
    41. Paramita, Bandung; 💰
    42. Irawati, Semarang;
    43. Yetty Mustakim, Depok;
    44. Ibu Sukardi, Pacitan;
    45. Ibu Jalmi Rupindah, Situbondo; 💰
    46. Andaka, Semarang 💥
    47. Anik Ichwan Sumadi, Madiun;
    48. Nurrochmah Rozak, Solo;
    49. Endang Ediati, Semarang; 💥
    50. dr. Indrawati Sri Wulan, Solo;
    51. dr. Andi, Bantul; 💥
    52. Siswantari Hakim, Cibubur;
    53. Siswantari Hakim, Cibubur;
    54. Irma Eryanto, Bogor Timur; 💥
    55. Yati Sribudiarti, Tasikmalaya
    56.
    57.
    58.
    59.
    60.


    Bagi sepuluh pendaftar pertama bebas ongkos kirim.

    💰 Bayar ke BNI Kakek Habi/Djoko Budi Santoso
    💥 Bayar kei BCA bu Tien Kumalasari

    Lanjutkan...

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah
    Sdh datang gasik
    Matur nuwun bu

    ReplyDelete
  14. Terimakasih bunda Tien ceritanya semakin seru dan tegang...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 10 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu BUnda Tien . .

    ReplyDelete
  17. Dah Tayang juga .makasih bunda makin degdegan

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terima kasih bu tien

    ReplyDelete
  19. Aduhai.......
    Ada apa yah.....

    Baiklah Bu Tien saya tunggu besok nggih....

    Matur nuwun....

    Moga bi Tien sekeluarga sehat selalu.,...

    Aamiin...,

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah Cerbung Setangkai Bungaku 10 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien.
    Salam sehat dan salam hangat

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillqh..Sehat selalu u bu Tien..Aamiin

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah Setangkai Bungaku 10 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dsn bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  23. Wuah nganggo njegog barang
    Bola balio sing jengene marsam di wolak walikå têtêp waé.
    Udah siap siap mau teriak minta tolong, masih aja ragu nggak tau tuh masih sabar ya, lho siapa tahu mangkel lho diminta mijit kok nggak mau, malah ke pelanggan laen.
    Sok ngatur kepergok jagoan néon kapok lho.
    Di uyel uyel, entèk awakmu, jadi perkedel.
    Lho itu satria baja hitam.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke sepuluh sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah,, matur nuwun bu Tien
    Sehat wal'afiat semua bu 😊🙏
    Siapa tuh yg teriak ,Sony kah atau Ratih ,,,Aduhaaaii

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 37

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  37 (Tien Kumalasari)   Laki-laki yang baru saja membuka pintu itu adalah Sulistyo. Matanya menatap gadis y...