Saturday, July 30, 2022

KEMBANG CANTIKKU 35

 

KEMBANG CANTIKKU  35

(Tien Kumalasari)

 

“Uugh… apa-apaan ini?” Sartono bangkit sambil memegangi keningnya yang benjol.

“Ibu, ada apa ?”

“Laki-laki brengsek ini telah mendorong ibu kamu sampai terjatuh, bahkan sampai dua kali,” kata Wahyudi dengan sikap bersiap kalau-kalau Sartono membalasnya.

“Ibuuu … ibu tidak apa-apa?” kata Murti dan Murni yang kemudian bersamaan merangkul ibunya, diajaknya masuk ke dalam.

“Tidak Nduk, tidak apa-apa, kepalaku hanya terantuk kursi itu.”

“Kamu berani menentang aku?” hardik Sartono sambil berkali-kali mengelus keningnya. Ia sedikit limbung karena pukulan di tengkukknya lumayan keras.

“Mengapa tidak berani? Kamu seorang laki-laki, tanpa tahu malu telah  menyakiti seorang wanita, apalagi wanita yang sudah setengah tua?”

“Dia menghina aku, meremehkan aku.”

“Barangkali memang kelakuan kamu yang remeh.”

“Awas kamu ya,” ancamnya.

“Awas apa? Selesaikan saja sekarang urusannya. Kamu tidak terima? Kamu memilih aku melaporkan kamu ke polisi karena telah menganiaya wanita tua?” Wahyudi balas mengancamnya.

“Tidak usah bilang, laporkan saja langsung,” sambung Nano yang juga geram melihat kelakuannya.

“Kamu telah merusak semuanya. Merusak hubunganku dengan Murni.”

“Siapa merusak? Aku tidak melakukan apa-apa. Kamu sendiri yang merusaknya dengan kelakuan kamu yang kasar. Aku tidak tahu, bagaimana seseorang yang menginginkan seorang gadis tapi melakukan hal yang tidak terpuji kepada orang tuanya.”

“Aku tidak punya hubungan apa-apa sama dia,” kata Murni yang kemudian keluar dengan marah.”

“Murni, maafkan aku, tadi aku terlalu emosi dan kesal karena ibu kamu_”

“Tidak ada maaf untuk kamu. Aku tidak sudi berkawan sama kamu, apalagi menjalin hubungan lebih daripada berkawan. Jangan sekali-sekali menginjakkan kaki kamu di rumah ini lagi, pergi !” kata Murni tandas.

“Aku minta maaf. Sungguh aku tadi sebenarnya tidak ingin mendorongnya, aku tidak sengaja. Sungguh.”

“Lebih baik kamu pulang. Pemilik rumah sudah mengusir kamu,” kata Nano sambil memberi jalan keluar untuk Sartono.

“Atau masih tidak terima karena aku telah memukul kamu?” kata Wahyudi.

Sartono mendelik. Sesungguhnya dia memang sombong, tapi penakut. Menghadapi seorang Wahyudi saja belum tentu dia menang, apalagi ada Nano calon suami Murti.

“Awas kamu!” katanya sambil melangkah turun dari teras.

“Awas apa? Apa kamu akan mencari teman untuk melawan aku?” hardik Wahyudi.

Sartono tak menjawab, ia melangkah lebih cepat menuju mobilnya yang diparkir dihalaman. Semula ia ingin memamerkan mobil itu kepada ibunya Murni, agar diperkenankan membawa anaknya setelah mengetahui bahwa dia punya mobil bagus. Tapi ternyata iming-iming itu tidak menarik bagi bu Lasminah.

“Dia itu banyak teman, bagaimana kalau dia mengeroyok kalian?” kata Murni khawatir.

Tapi Nano lebih menghawatirkan keselamatan keluarga bu Lasminah setelah mereka pulang nanti.

“Aku akan melaporkan kejadian ini ke kelurahan lebih dulu. Paling tidak ada petugas keamanan di mana aku akan meminta tolong agar menjaga rumah ini. Soal melapor ke polisi, nanti kalau dia melakukan hal yang mengganggu, pihak kelurahan yang akan mengurusnya.”

“Benar, lebih-lebih dia juga mengancam tadi.”

“Bagaimana keadaan ibu?” tanya Nano.

“Ibu tidak apa-apa, ada sedikit benjol di kepalanya, tapi katanya tidak begitu sakit,” kata Murni.

“Benarkah?”

“Ibu tidak apa-apa Nak, jangan khawatir. Tadi ibu sudah membuatkan minum untuk kalian, minumlah.”

“Baiklah Bu. Murti, kalau ada apa-apa kabari aku. Sekarang aku mau pamit dulu. Mau mampir ke kelurahan dulu,” kata Nano.

***

Urusan yang sesungguhnya sepele itu memang membuat Wahyudi dan Nano khawatir. Tapi mereka sudah menyerahkan semuanya ke kelurahan setempat. Paling tidak keselamatan keluarga Lasminah akan terjaga. Keduanya segera langsung pulang karena hari mulai malam. Nano juga merasa tidak enak karena membawa mobil pak Kartiko.

Sesampai di rumah, Nano dan Wahyudi meminta maaf atas keterlambatan kepulangan mereka, karena ada sedikit masalah.

“Tidak apa-apa. Toh mobil itu juga tidak dipergunakan karena kamu libur, jadi jangan dipikirkan. Ceritakan saja bagaimana pembicaraan kamu dengan calon mertua kamu itu No,” kata pak Kartiko.

“Saya sudah mengatakan bahwa bulan depan akan melamar bersama keluarga saya, dan secepatnya kami akan menikah.”

“Syukurlah No, aku senang mendengarnya,” kata pak Kartiko.

“Kalau nanti istrinya mau, ajak dia tinggal di sini saja, supaya kamu tidak capek kalau harus  bolak balik pulang kerumah,” sambung bu Kartiko.

“Setelah Nano, nanti Wahyudi. Kapan kira-kira Wahyudi menikah?” kata pak Kartiko lagi.

“Baru mendekati seorang gadis Pak,” jawab Nano. Wahyudi hanya tersenyum.

“Mohon doanya ya Pak.”

“Tentu, aku doakan kalian bisa mendapatkan istri yang cantik. Bukan hanya cantik wajahnya, tapi juga hatinya.”

“Terima kasih, Bapak.

Wahyudi hanya sebentar singgah di rumah pak Kartiko, ia harus segera pulang.

***

Begitu datang, Wahyudi langsung pergi ke rumah Wuri. Ia baru ingat kalau berjanji akan mengantarkan Wuri sore tadi. Tapi dia tidak menemukan Wuri di rumah. Hanya ada ibunya yang sedang sibuk menata barang dagangan.

"Bu, mana Wuri?"

"Ya ampun nak, kaget ibu."

"Maaf, saya dari depan langsung masuk. Saya memanggil-manggil Wuri kok tidak ada jawaban.

“Iya Nak, Wuri sedang keluar.”

“Saya sudah berjanji mau mengantarnya tadi.”

“Perginya diantar nak Budiono,” terang bu Mantri sambil mengantarkan Wahyudi duduk di ruang tengah.

“Oh, sudah dengan mas Budiono? Syukurlah kalau begitu.”

“Tadi menunggu nak Wahyudi, tapi tiba-tiba nak Budiono datang.”

“Iya Bu, saya sebenarnya janji mau mengantarkan, tapi karena masih ada urusan, jadi tidak bisa pulang lebih sore.”

“Tidak apa-apa Nak, Wuri itu kan selalu merepotkan Nak Wahyudi.”

“Kalau saya sedang tidak ada pekerjaan ya bukan masalah itu Bu, kami kan sudah seperti saudara.”

“Iya sih Nak, tapi kalau Wuri terlalu tergantung nak Wahyudi ya ibu marahin dia. Kan Nak Wahyudi juga punya pekerjaan.”

“Nanti kalau Wuri sudah ikut suaminya kan tidak lagi bergantung sama saya Bu. Tapi saya senang, Wuri mendapatkan suami yang baik.”

“Sebenarnya ibu juga agak ragu-ragu Nak, kan nak Budi itu anak orang kaya, sedangkan Wuri itu hanya anak pedagang nasi. Tapi melihat kesungguhan nak Budi, ibu jadi yakin, kalau nak Budi akan bisa membahagiakan Wuri, tanpa mengingat Wuri itu anak siapa.”

“Mas Budi orangnya sangat baik. Dia juga sangat mencintai Wuri. Saya ikut bahagia Bu.”

“Harapan orang tua itu kan sama Nak, seperti klise kedengarannya, yang penting anaknya hidup bahagia. Tapi itu kan kenyataan sih Nak, bukan sekedar klise.”

“Benar Bu, saya sangat percaya itu.”

“Tapi Nak Wahyudi juga harus segera memikirkan diri sendiri, segeralah menikah. Ibu juga akan sangat bahagia kalau Nak Yudi juga segera bisa menemukan wanita yang bisa mendampingi selamanya.”

“Doakan saya ya Bu.”

“Tentu Nak, Ibu pasti akan selalu mendoakan, karena nak Wahyudi ini kan juga sudah seperti anak Ibu sendiri.”

“Terima kasih banyak ya Bu. Saya terharu menerima segala kebaikan Ibu. Saya kan sudah tidak punya siapa-siapa, jadi kalau ada yang menganggap saya sebagai anak, saya sangat terharu dan tentu saja bahagia.”

“Nak Yudi orang baik, siapapun menyukai nak Yudi, dan pasti senang memiliki anak seperti nak Yudi.”

“Ibu bisa saja. Ya sudah Bu, kalau begitu saya pamit dulu, seharian saya tidak pulang.”

“Tidak makan dulu Nak, ibu sudah mencicil masakan untuk dijual besok pagi.”

“Tidak usah Bu, terima kasih. Tadi sudah makan bersama teman.”

“Oh, ya sudah. Istirahatlah Nak. Pasti capek seharian bepergian.”

***

Sejak ke rumah Murni bersama Nano, setiap Minggu Wahyudi pergi sendiri menemui gadis yang menarik hatinya itu. Kedatangannya yang penuh santun itu sangat menarik hati bu Lasminah yang sangat menjaga kedua anak gadisnya. Sebagai seorang janda dengan dua anak gadis, dia tak keberatan dibilang kolot. Ia tidak pernah mengijinkan anaknya pergi malam hari, ia selalu menjaga dengan siapa anak-anaknya bergaul. Itu sebabnya ia sangat marah ketika Sartono datang dan mencela cara dia menjaga anaknya. Sartono tidak tahu, bahkan Nano yang sudah hampir menjadi menantunya saja sangat jarang mengajak anaknya pergi. Mereka pergi berdua hanya kalau ada kepentingan saja. Misalnya, berbelanja untuk persiapan pernikahan mereka nanti, atau memang ibunya yang memintanya untuk suatu keperluan.

Demikian juga Wahyudi. Ia hanya menemui Murni di rumahnya, berbincang dengan ibunya dan hanya duduk bercanda atau makan bersama seperti sebuah keluarga.

Murni yang tadinya merasa bahwa Wahyudi terlalu tua untuknya, kemudian ia seperti menemukan seorang ayah, yang sangat menjaganya.

“Apakah setelah lulus, kamu mau meneruskan kuliah?” tanya Wahyudi pada suatu hari.

“Tidak, kuliah itu kan mahal, ibuku hanya hidup dari uang pensiun almarhum ayahku, mana bisa menyekolahkan aku.”

Tiba-tiba Wahyudi teringat Retno. Saat itu orang tuanya juga tak mampu menyekolahkannya, tapi Wahyudi dengan segala kesungguhan membantunya agar Retno bisa melanjutkan kuliah. Bahkan sampai selesai. Namun apa daya, nasib menentukan lain. Sebelum memetik buah yang ditanamnya, orang lain telah memetiknya dengan paksa, demi orang tua Retno yang sangat menginginkan hartanya. Wahyudi akhirnya menyerah pada nasib. Duka derita yang dialaminya, sempat membuatnya limbung, melangkah tak tentu arah. Segenap mimpi, segenap harap, tak sempat membuatnya mengukir dan memahat sebuah rumah tangga penuh bahagia. Tapi Wahyudi kemudian merasa bersyukur, akhirnya Retno menemukan kebahagiaan di samping suami yang semula tak diharapkannya.

“Apakah kamu mau, aku membantu membiayai kuliah kamu?”

“Apa? Membiayai sekolah aku? Mana mungkin ibuku mengijinkan. Kecuali itu aku juga tak mau.”

“Mengapa?”

“Ibuku sangat tinggi hati. Dalam artian bahwa ibuku tak pernah mau merepotkan orang lain.”

“Tapi aku tidak repot tuh.”

“Tidak, apapun alasannya, jawabnya adalah tidak.  Aku ingin bekerja setelah lulus. Supaya aku bisa meringankan beban ibuku, bukan malah memberatkannya.”

Wahyudi mengangguk kagum. Murni yang tampak kekanak-kanakan, ternyata bisa berpikiran sangat bijak. Dengan alasan yang sederhana, dia memilih tidak menyusahkan orang lain, seperti keinginan ibunya. Wahyudi tersenyum senang.

“Tidak ingin segera menikah saja, menyusul kakak kamu?” pancing Wahyudi, yang membuat Murni tertawa. Wahyudi berdebar. Gadis sederhana yang manis ini, baik sedang tersenyum, sedang marah ataupun tertawa, tetap saja kelihatan menarik.

“Apa pertanyaanku lucu?”

“Tidak, bukan lucu.”

“Mengapa kamu tertawa?”

“Apa mas Wahyudi mau melamar aku?” tanya Murni terus terang. Pertanyaan itu membuat Wahyudi tertegun. Gadis ini kalau bicara selalu ceplas ceplos, tanpa sungkan, bahkan tanpa takut ditertawakan.

“Aku ingin, tapi bukankah aku terlalu tua untuk kamu?”

“Mm … kasih tahu nggak ya … “

Wahyudi sangat gemas. Ia sudah mengira, Murni pasti akan mengatakan ‘iya, kamu kan sudah tua’. Tapi jawabannya berbeda.

“Aku memang perjaka tua. Tidak laku-laku. Apa aku terlalu jelek ya? Biasanya gadis-gadis kan suka yang wajahnya ganteng, gagah, menawan … “

“Masa sih?”

“Kamu kan gadis, benar tidak apa yang aku bilang tadi?”

“Iya sih.”

“Ya sudah, aku menyerah dong.”

“Memangnya mas Wahyudi mau sama aku?”

Lagi-lagi Murni berkata begitu lugas dan lugu. Karena itu lebih baik Wahyudi berterus terang. Perkara nanti dia ditolak gara-gara dirinya perjaka tua, itu adalah nasib.

“Kalau iya, bagaimana?”

“Ibuku pasti melarang.”

Wahyudi surut dalam pengharapan. Wajahnya muram tiba-tiba.

“Aku tidak termasuk dalam kriteria pilihan calon mertua ya?”

“Bukan begitu, soalnya kan mbak Murti baru mau menikah.”

“Ooo … ?” Wahyudi bahkan lama membulatkan bibirnya karena jawaban Murni sangat membuatnya benar-benar melongo.

“Berarti setelahnya dibolehin dong.”

“Tanya saja sama ibuku, jangan sama aku. Harusnya aku malu dong ngomongin soal itu, aku kan baru saja lulus sehari yang lalu.”

“Eh, aku memalukan ya?” lanjutnya sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

“Mengapa merasa begitu?”

“Aku suka bicara terus terang, ceplas-ceplos, kalau mbak Murti mendengar pasti aku diomelin habis-habisan.”

Wahyudi tersenyum, dan dalam hati Murni sebenarnya mengatakan, bahwa senyuman Wahyudi sangat menawan. Soal umur? Itu kan hanya candaan dia saja. Memang dia ganteng sih. Nggak nolak kok. Lalu Murni memarahi dirinya sendiri dalam hati. Norak ya, perempuan diam-diam mengagumi wajah ganteng seseorang?

“Tapi aku tidak kaya, tidak punya mobil seperti Sartono,” ternyata Wahyudi masih menyambung ucapannya terdahulu.

“Punya mobil kalau orangnya kasar, mana menarik? Keluargaku bukan orang yang gila harta.”

Jauh ya bedanya dengan pak Kartomo, ayahnya Retno. Lagi-lagi Wahyudi teringat kelakuan ayahnya Retno. Ah, sudahlah, nggak perlu diingat lagi, kata batin Wahyudi.

“Aku akan langsung bilang pada ibumu nanti, setelah Murti menikah,” kata Wahyudi terus terang, mengimbangi ceplas-ceplosnya Murni.

Tiba-tiba terdengar langkah seseorang dari luar. Murni dan Wahyudi menoleh, terkejut melihat Sartono sudah berdiri di depan teras.

***

Besok lagi ya.

33 comments:

  1. Replies
    1. Selamat uti Nani Juara 1, senajan lagi rapat RT. Masih bisa memberi semangat konen tercepat di eps ke 35 malam ini.

      Matur nuwun bu Tien, sugeng dalu, salsm SEROJA dan tetap ADUHAI

      Delete
    2. Terima kasih, bunda Tien cantiik.... Semoga sehat sekeluarga...

      Delete
  2. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~35 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah sdh tayang trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 35 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh muncul.
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu...

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  7. Alhamdullilah KC 35 sdh tayang..terima msih bunda Tien..slmt mlm dan slmt istrhat..salam Sehat sll🙏🥰🌹🌹

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah sudah tayamg KC episode 35
    Terimakasih bunda Tien cerbungnya Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat walafiat aamiin

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah Kembang Cantik Eps. 35 sudah tayang.
    Terima kasih bu Tien Kumalasari.
    Semoga kita semua tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  11. Maturnuwun Bu Tien
    Semoga bu Tien Sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Yeeee..... Segera ketemu jodohnya mas Wahyudi. Jangan biarkan banyak aral melintang kembali, kasian dia... 😉😉😉

    Terimakasih untuk ceritanya yang selalu ngangenin, semoga senantiasa sehat ya Bu. Salam aduhai dari Bandung..

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah tayang.
    Nah... akan ada perkelahian lagi tampaknya. Tapi yang satu membawa tukang pukul. Apa Wahyudi akan terluka lagi? Kasihan... tapi kalau mendapat imbalan "yang memadai" ya biarlah...
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah ... Terimakasih banyak bunda Tien,salam sehat dan aduhai. Selamat berakhir pekan dengzn keluarga...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, barokallah, sehat selalu bund, mtnw

    ReplyDelete
  16. Wahyudi kaya ngomong sama anak balita aja pantes disukai sama anak-anak, namanya juga momong ya harus lugas apa adanya donk.
    Nggak pake banding bandingan udah tuh tiap ada yang apel ada yang mata-matain anak buah upahannya banyak tuh.

    Penuh perjuangan rupanya; bênêr bênêr teruji nich si Wahyudi, nah lho mau apa tuh preman kampung ngedatangin Murni.

    Tuh kan langsung lapor polisi aja waktu itu.
    Lah mau bawa rombongan datangnya pasti, atawa pakai metode culik dan sandera, jadi nggak bèrès dèh, mulai tambah runyem nich.

    Biarpun sudah laporan ke kelurahan, jagabayané pergi mancing, ya nggak ada yang ngurus dèh.

    Nggak lah Wahyudi tangguh dari kecil, bisalah mengatasi, masalahnya Wahyudi itu tidak tegaan aja, jadi kelihatan letoy, bukan; lembut tuh.
    Justru itu yang dibilang gentleman.

    ADUHAI


    Terimakasih Bu Tien,

    Kembang cantikku yang ke tiga puluh lima sudah tayang,
    sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  17. Ceritanya selalu menarik...
    Rasanya besok walaupun minggu masih mau membacanya...
    Terima kasih mbak Tien....

    ReplyDelete
  18. Terima kasih bu Tie. Wuduh lo Sartono dtg lagiii eee ajak sapa nih

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Murni kamu itu, jinak2 merpati rupannya,,🤣

    Salam sehat wal'afiat untuk bunda Tien & keluarga
    Aamiin 🤗🥰

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...