Saturday, May 28, 2022

ADUHAI AH 33

 

ADUHAI AH  33

(Tien Kumalasari)

 

Melihat Hesti tampak tertegun, Sita menatap juga ke arah wanita yang datang mendekat.

“Itu kan ….”

“Ibuku … “ kata Hesti sambil tersenyum. Tampaknya ada harapan baik dihatinya. Apa ibu menyesal telah membuangku? Kata batinnya.

“Oh, baiklah, aku balik ke kamarku dulu ya,” kata Sita sambil melangkah pergi.

Hesti berdiri menyambut ibunya.

“Ibu …” sambut Hesti tetap dengan  senyuman, dan berusaha memeluk ibunya. Tapi bu Sriani menghindar, menepiskan tangan Hesti yang sudah terulur.

Hesti mundur selangkah, merasakan batinnya sangat teriris.

Lalu tanpa dipersilakan, bu Sriani duduk di kursi tamu.

“Ibu, Hesti sangat menyayangi ibu,” kata Hesti pelan, pilu.

“Sudah, tak usah berbasa basi. Aku datang kemari mau mengambil tas aku yang tidak juga kamu kirimkan sejak aku kembali ke Surabaya.”

Hesti terkejut. Ia buru-buru masuk ke kamarnya, dan ternyata tas kulit berisi pakaian atau entah apa milik ibunya tergeletak di samping almari dan tertutup kursi, Sita yang meletakkan kursi itu saat dia sakit. Itu sebabnya dia tak melihatnya, sehingga tak juga mengirimkannya kepada ibunya.

“Ini Bu, maaf saya lupa,” kata Hesti sambil menenteng tas itu, lalu di serahkannya kepada ibunya.

“Baiklah, sekarang aku mau kamu tanda tangan disini,” kata bu Sriani yang membawa selembar kertas bermeterai, dan diulurkannya kepada Hesti.

“Ini surat apa Bu?”

“Jangan kelamaan, segera tanda tangani.”

“Tap_pi ….”

“Itu surat bahwa aku bukan lagi orang tuamu. Cepat tanda tangani, nggak usah pakai dibaca segala, aku sedang terburu-buru.”

“Bu …”

Hesti masih ragu, ia ingin membaca surat itu, tapi ibunya segera menyodorkan sebuah ballpoint, langsung di selipkan ke jari Hesti.

“Cepat, aku ditunggu taksi, dan aku sudah beli tiket untuk kembali, jangan sampai membuatku ketinggalan kereta. Cepaaat,” hardik Sriani dengan mata membulat bengis.

Hesti merasa takut melihat mata itu. Dengan gemetar dia tanda tangani surat yang entah isinya apa karena dia tak sempat membacanya.

“Bagus, dan terima kasih karena telah membuat aku tidak terlambat,” katanya sambil berdiri, kemudian membalikkan tubuhnya, mengambil tasnya yang ketinggalan dan pergi meninggalkan Hesti yang menatapnya pilu

“Ibu, bukankah aku anakmu? Mengapa Ibu tega sekali Bu, aku sangat menyayangimu, Bu,” lalu berderailah air matanya.

Tiba-tiba Sita yang melihat wanita itu pergi, kemudian kembali ke kamar Hesti. Ia heran melihat Hesti menangis.

“Hesti, ada apa? Apa ibumu memarahi kamu?”

Hesti merangkul Sita erat, dan terguguk di pundak sahabatnya.

“Ibumu memarahi kamu lagi?”

“Ibu benar-benar tidak sayang sama aku. Aku ingin memeluknya, dia menampiknya. Dia benar-benar ingin membuang aku,” isaknya.

“Sudah, kamu tenang ya. Bukankah bahwa ibumu tidak lagi menganggapmu anak itu kamu sudah tahu? Kamu sakit karena itu, bukan? Lalu mengapa kamu masih menangisinya lagi?”

“Tadi aku mengira ibu menyesalinya, ternyata tidak.”

“Kalau begitu lupakan saja, nanti kamu sakit lagi Hesti, jangan lagi menangisinya, ya.”

Lalu Sita mengajaknya masuk ke dalam kamar, mencoba menenangkan hati Hesti dengan segala cara. Tidak mudah memang, pasti sakit sekali rasanya menjadi anak yang dibuang dari orang tuanya. Tapi setidaknya Sita bisa membuat tangis Hesti berhenti.

“Lalu apa yang dilakukan ibumu tadi ?”

“Ibu menyuruh aku menanda tangani sebuah surat.”

“Surat apa?”

“Entahlah, aku tidak membacanya.”

“Bodoh sekali kamu. Mengapa kamu mau menanda tanganinya kalau kamu tidak tahu isi surat itu apa?”

“Dia memaksaku segera tanda tangan, karena buru-buru dan takut ketinggalan kereta. Taksinya juga masih menunggu.”

“Tapi itu bisa saja membahayakan kamu Hesti. Kamu sembrono sekali.”

“Bagaimanapun aku kan anaknya, tak mungkin dia mencelakaiku,” kata Hesti begitu yakin.

“Nyatanya dia tega membuang kamu, kan?”

Hesti terdiam, tapi bukan tanda tangan itu yang di sesalinya. Sikap ibunya yang tampak sangat kejam dan tanpa ada sedikitpun sikap yang menunjukkan bahwa dia mencintainya. Hesti merasa dianggap seperti bukan siapa-siapa nya.

***

 Siang itu Desy dan dokter Nisa memang makan diluar. Mereka memasuki sebuah rumah makan dan duduk dengan santai di sana.

“Apa kabarnya Bunga?” tanya dokter Nisa ketika mereka sudah memesan makanan mereka.

“Saya belum tahu Dok. Sejak diijinkan pulang, saya belum ketemu mereka, dan tampaknya Bunga juga tidak begitu rewel seperti saat sakit.

“Ya, mudah-mudahan begitu.”

“Pak Harun bilang bahwa saatnya kontrol nanti akan datang ke tempat praktek Dokter yang di rumah, bukan ke rumah sakit.”

“Iya benar, pak Harun juga bilang begitu.”

“Anak itu lucu, dan menggemaskan.”

“Benar Dok. Dokter belum lama mengenalnya, tapi tampaknya dokter sudah merasa sayang bukan?”

“Kalau aku tidak keguguran, maka pasti anakku juga sebesar Bunga,” kata dokter Nisa pilu.

“Oh, Dokter pernah keguguran?”

“Saat itu aku belum menjadi dokter.”

“Oh.”

“Kami menikah muda. Lalu suamiku meninggal karena kecelakaan.”

“Oh,” Desy menatap wajah cantik yang tampak sendu itu dengan perasaan iba. Ia tak mengira dokter Nisa juga seorang janda.

“Aku sedang mengandung muda waktu itu, dan karena terlalu sedih lalu aku keguguran.”

“Dokter, saya tidak mengira.”

“Aku melanjutkan kuliah di kedokteran. Dan menjadi spesialis anak sampai sekarang.”

Pelayan menyajikan pesanan mereka.

“Ah, sudahlah, itu kan perjalanan hidup aku. Aku sudah melupakannya. Bagaimanapun hidup harus berlanjut, bukan?”

Desy mengangguk, lalu mendekatkan piring makanan ke depan dokter Nisa.

“Aku senang mendengar kamu akan segera menikah.”

Desy tersenyum.

“Dokter tahu darimana?”

“Danarto tadi cerita sama aku.”

Desy tertunduk malu.

“Semoga kalian berbahagia.”

“Terima kasih Dok. Tapi saya juga berharap, dokter juga akan menemukan seseorang yang Dokter cintai.”

“Yang terpenting adalah dicintai. Mencintai itu belum tentu dicintai bukan?”

“Berarti kalimatnya harus begini, ‘mencintai dan dicintai’,” kata Desy sambil tertawa.

“Itu benar,” sahut dokter Nisa sambil menghirup es kopyor yang dipesannya.

“Dokter Nisa dan dokter Desy?” sebuah suara mengejutkan mereka.

“Pak Harun?” seru kedua dokter cantik itu.

“Kok bisa ada disini semuanya?”

“Saatnya istirahat Pak Harun, ayo silakan duduk. Sendirian?” sapa dokter Nisa.

“Iya lah dok, kan memang saya ini orang  yang sedang sendiri?” jawab Harun sambil duduk diantara mereka.

Harun melambai ke arah pelayan dan memesan makanan dan minuman untuk dirinya sendiri, karena dilihatnya kedua dokter cantik itu sudah menikmati makanannya.

“Setiap hari saya makan siang di sini.”

“Oh ya, ini baru pertama kalinya kami makan di sini, ternyata enak,” kata Desy menimpali.

“Lumayan, saya suka, masakannya lumayan enak,” kata Harun lagi.

“Bagaimana Bunga?”

“Oh ya Dok, nanti sore kami mau ke tempat praktek Dokter, karena obat jalan yang Dokter berikan itu sudah habis.”

“Oh ya, silakan Pak Harun. Tapi sudah tidak rewel lagi kan?” tanya dokter Nisa lagi.

“Tidak. Dulu dia rewel karena badannya sakit, yang dia ingat hanya dokter Desy, karena sudah lama dia mengenalnya, dan selalu memanggil aunty.”

Mereka tertawa, teringat bagaimana ketika awal mula datang, lalu Bunga begitu rewel dan hanya Desy yang bisa menenangkannya.

“Dia butuh seorang ibu, Pak Harun,” kata Desy.

Harun tersipu. Didepannya ada dua wanita cantik yang sangat baik dan penyayang. Yang dekat dengan anak-anaknya adalah Desy, tapi dia tahu bahwa dokter Desy sudah memiliki calon suami. Dia tahu itu ketika Desy sedang ‘membual’ dihadapan seorang wanita yang menjadi tamunya waktu itu. Harun tersenyum sendiri ketika mengingat bahwa Desy mengakuinya sebagai calon suaminya. Ahaa, seandainya saja itu benar.

Lalu dia melirik ke arah dokter Nisa. Apakah dokter Nisa masih sendirian?

***

“Bagus Danar, aku suka rumah itu. Dan harganya juga masih terjangkau oleh aku. Walau sesungguhnya untuk seorang lajang seperti aku, kelihatan agak kebesaran ya?” kata Danis ketika Danarto mengajaknya melihat rumah yang ingin dibelinya.

“Kamu kan tidak selamanya sendirian Danis, suatu hari pasti kamu butuh istri. Lalu kamu akan punya anak, jadi lumayanlah rumah segitu. Kamu juga bisa praktek di rumah itu, bukan?”

Danis tersenyum.

“Semoga aku segera laku,” gumamnya sambil tersenyum kecut.

“Laku lah, kamu kan cakep, pintar. Maksudku … pintar merayu.”

Danis menonjok lengan sahabatnya.

“Bagaimana kalau aku suka sama Tutut. Eh tapi jangan dulu bilang sama Desy. Dia bisa memaki-maki aku.”

Danarto tertawa.

“Masa sih, dia memaki-maki kamu?”

“Iya, belum tentu dia suka punya ipar duda. Lagi pula Tutut masih kuliah.”

“Tungguin dong, nanti kan juga selesai.”

“Semoga dia mau.”

“Kamu benar-benar cinta sama Tutut?”

“Aku merasa nyaman sama dia.”

“Apa tidak aneh, baru saja bercerai, kamu sudah jatuh cinta lagi?”

“Aneh? Aku sudah lama menyadari bahwa aku tidak mencintai isteriku. Aku hanya kasihan padanya karena ditinggalkan kekasihnya saat dia hamil. Aku sudah berusaha menjadi suami yang baik, dan tetap mencintai bayi yang dilahirkannya seperti darah dagingku sendiri. Tapi ketika Nungki bertemu lagi dengan kekasih lamanya, ternyata dia memilih kembali sama dia. Aku tidak sedih. Sama sekali tidak,” kata Danis gusar.

“Tapi kamu terluka.”

“Tidak juga. Aku hanya marah.”

“Apakah itu berbeda?”

“Berbeda. Terluka, bisa karena merasa kehilangan. Marah, lebih karena merasa ditipu dan dibohongi. Tapi itu tidak lama. Ini hidup yang harus aku jalani. Yang penting aku merasa telah berbuat kebaikan dengan menutupi aib seseorang.”

“Aku kagum sama kamu Danis. Kamu bisa menjalani semua itu tanpa seorangpun tahu bahwa sesungguhnya kamu tidak bahagia.”

“Sekarang aku justru bahagia Danar, bahagia karena merasa terlepas dari himpitan kepalsuan dan kepura-puraan.”

“Syukurlah, aku harap kamu tetap bahagia, dan segera menemukan seseorang yang kamu cintai.”

“Dan mencintai aku, bukan cinta palsu.”

“Aamiin.”

***

Desy dan dokter Nisa masih asyik berbincang saat makan siang itu, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

“Maaf ya, saya terima telpon dulu, dari kakak saya,” kata Desy sambil berdiri dan agak menjauh.

Harun dan dokter Nisa mengangguk mengerti.

“Ada apa Mas?” Desy menjawab telpon dari Sarman.

“Tolong, bisakah kamu datang sekarang?”

“Datang … kemana ?”

“Aku sedang di rumah kost Hesti.”

“Ada apa memangnya?”

“Hesti sakit lagi. Badannya tiba-tiba panas. Mual dan muntah-muntah.”

“Oh, ya ampun, kenapa pula? Salah makan barangkali?”

“Entahlah, bisakah kamu datang?”

“Baiklah, aku akan segera ke sana.”

Desy menutup ponselnya, lalu mendekati meja di mana dokter Nisa dan Harun masih duduk menunggu. Mereka sudah selesai makan.

“Dok, mm … bagaimana ya, ada kerabat saya yang sakit, dan saya harus ke sana.”

“Nggak apa-apa Des, aku bisa pulang sendiri,” kata dokter Nisa. Mereka berdua memang keluar dengan mengendarai mobil Desy.

“Bagaimana kalau saya yang mengantar Dokter?” kata Harun menawarkan diri.

“Aduh, jangan merepotkan Pak Harun, saya bisa naik taksi. Tadi memang kami keluar dengan memakai mobilnya dokter Desy.”

“Tidak repot, kan sekalian saya kembali ke kantor.”

“Benar, tidak repot nih?”

“Benar Dok, masa saya bohong. Senang bisa mengantarkan dokter. Sungguh.”

“Baiklah Pak Harun, maaf jadi merepotkan Pak Harun,” sambung Desy.

“Tidak. Saya tidak merasa di repotkan kok.”

“Dokter Nisa, saya minta maaf ya.”

“Nggak apa-apa Des, segera temui saudara kamu, siapa tahu sakitnya serius.”

“Terima kasih Dok.”

***

“Apa yang terjadi? kata Desy ketika memeriksa tubuh Hesti.

Dilihatnya Hesti berbaring, didahinya ada kompres yang masih menempel.

“Kata temannya, tadi ibunya datang kemari,” jawab Sarman tampak khawatir.

“Lhoh, bukannya senang ibunya datang?”

“Kalau ibu biasa, ya senang. Itu kan ibu yang luar biasa?”

“Dia masih datang dan marah-marah?”

“Dia datang dan memaksa Hesti menanda tangani sebuah surat.”

“Surat apa?”

“Hesti tidak tahu isinya, hanya tanda tangan saja.”

“Lhoh, kenapa dia mau?”

“Pastinya dipaksa, entahlah, dia belum banyak cerita, temannya yang bernama Sita itu tadi yang bercerita.”

“Mana dia sekarang?”

“Baru kembali ke kamarnya, katanya dia punya obat panas.”

“Saya buatkan resep seperti yang diberikan mas Danarto itu saja ya Mas, tolong Mas belikan di apotek. Nanti kalau tidak berkurang, kita bawa ke rumah sakit saja.”

“Baiklah.”

Desy menuliskan resep, lalu Sarman berlalu untuk pergi membelikan obatnya. Kemudian Desy menggantikan kompres di dahi Hesti. Hesti masih memejamkan mata.

“Dokter … “ bisik Hesti pelan.

“Hei, lupa ya, panggil aku mbak. Sudah terbiasa ‘mbak’ kok ganti lagi?”

“Mbak … saya pengin mati saja.”

“Haaaa? Mati? Memangnya kamu siapa bisa menentukan hidup dan mati?”

“Saya …”

“Hentikan ucapan itu. Tetaplah bersemangat dan jalani hidup. Jangan putus asa. Berjuanglah untuk terlepas dari belenggu yang menjeratmu, entah apa bentuknya belenggu itu.”

Hesti meremas tangan Desy yang dari tadi memeganginya.

Tiba-tiba ponsel Desy berdering.

“Desy …” suara Danarto dari seberang.

“Ya Mas.”

“Kamu di mana?”

“Di tempat kost Hesti, dia jatuh sakit lagi.”

“Sakit lagi?”

“Ibunya belum lama datang dan tampaknya berulah lagi.”

“Oh ya, baiklah, aku segera kesana. Tampaknya ada yang harus Hesti ketahui.”

***

Besok lagi ya.



41 comments:

  1. Alhamdullah.....
    ADUHAI... AH_33 sdh tayang.

    Matur nuwun bunda, salam sehat mugi rahayu widodo ingkang pinanggih.
    Aamiin ya Mujiibas Sailiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kakek selamat juara 1
      ...
      Td langsung nyanggong

      Delete
    2. Gawang udah di jaga kakek sakjané ngantuk tp kok penasaran

      Delete
    3. Selamat kakek juara 1
      Aduhai ahh

      Delete
    4. Mbk Iin bilangnya sdh mgantuk, tp tetep ora tega ninggal blog

      Delete
    5. Manusang bu Tien, AA 33 sdh Tayang, Bobok jadi nyenyak

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah..AAh...sudah tayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah AA sdh datang. Matursuwun bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  5. Kebangetan bu Sriani, sampai segitunya demi ambisi pribadi....
    Salam sehat Bu Tien... 😘😘😘

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah ADUHAI AH~33 sudah hadir... maturnuwun bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. 𝐒𝐞𝐩𝐞𝐫𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐚𝐧𝐚𝐫𝐭𝐨 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐞𝐥𝐚𝐬𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐢𝐚𝐩𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐇𝐞𝐬𝐭𝐢 𝐝𝐠𝐧 𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢 𝐬𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐒𝐫𝐢𝐚𝐧𝐢 𝐤𝐞 𝐈𝐛𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐲𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐚𝐥𝐦𝐚𝐫𝐢 𝐢𝐛𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐚𝐧𝐚𝐫𝐭𝐨..😄

    𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah AA sdh tayang.. bukannya dr. Danarto punya info klu tyt Hesti bukan anak kandung bu Sriani... Dan mgkn srt yg ditandatangani Hesti pengalihan rmh warisan bpknya Hesti ke bu Sriani...

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah ADUHAI-AH 33 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....
    Salam sehat selalu.....😊🙏

    ReplyDelete
  11. Sriani ibu tiri yg kejam.....trims Bu tieAA udah hadir

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilla..
    Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat dan Aduhai

    ReplyDelete
  13. Bersyukurlah Hesti, banyak orang peduli dan membantumu ...
    Maafkan ibumu...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien.
    Selalu sehat wal'afiat bersama keluarga.

    ReplyDelete
  15. “Ibunya belum lama datang dan tampaknya berulah lagi.”

    “Oh ya, baiklah, aku segera kesana. Tampaknya ada yang harus Hesti ketahui.”

    Sebentar lagi terkuak suatu rahasia yang selama ini Hesti tidak tahu.......
    Danarto punya bukti, bahwa Sriani Mandul......
    Apa pula isi "surat bermeterai" yang ditandatangani Hesti.....
    Hanya bunda Tien Kumalasari yang tahu......
    Sabar.....sabar.....sabar.... hatiku....hatiku....
    setiap malam "dikau dibuat penasaran" oleh penulis yang piawi membuat orang gemes.... penasaran... dan tetap sabar mau menunggu walau sudah mengantuk menunggunya......

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah AA 33 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  18. Sembrono Hesti tt ,hmmm semoga yaa dak kenapa2 Hesti dah balik ke rmh Tindy ma Haryo..duh kah ...bu Tien euy meni reuwas ...garemes pisan

    ReplyDelete
  19. Alhamdullilah..slnt pgii bunda Tien. Terima ksih AA 33 nya..slm sht n sayang unk bunda dan tetap Aduhai Ah dri skbmi..🙏😘🌹

    ReplyDelete
  20. Alhamdulilah.. Terimakasih bunda Tien..
    Tambah penasaran surat apa yg di ttd Hesti..
    Bu Sriani tambah marah ke Hesti.. Tunggu hr senin lg..
    Salam sehat selalu utk bunda Tien..
    Salam aduhai untuk bunda...

    ReplyDelete
  21. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu aduhai...ah

    ReplyDelete
  22. Paling kisah Hesti kalau diceritakan ke Tindy sudah mengira kalau Sriani ibu sambung Hesti.

    Di awal kepengasuhan anak nampak semangat, disana juga ada sanjungan terucap sekalian orang yang ada dan tahu posisi Sriani, rupanya kejenuhan rutinitas mendera yang membuatnya ragu dan bertanya-tanya sampai kapan.
    Sayang rasa syukur itu menipis.
    Merasa tidak ada harapan lagi jadi mencoba peruntungan lain.
    Merampas hak waris karena merasa memelihara nya dari kecil.
    Susah nya hidup berdasarkan untung rugi, perlu juga ada kesiapan keduwitan bahasa nge-trend nya finansial gitulah, simpanan dana itu perlu buat besok, kalau sudah dirasa berat, kurang mampu berkegiatan yang menghasilkan, disitulah dana mulai di ambil, sesuai kebutuhan, biasa orang bilang pensiun.

    Dipaksa menandatangani sesuatu itulah yang membuat orang-orang di dekat Hesti merasa perlu menolongnya.
    Didiri Hesti masih ada rasa sayang dan syukur, bagaimana andaikan dulu tidak ada Sriani tentu tidak ada yang mengasuh dirinya.

    Harun mulai pédékaté Nisa, baru tahu kalau Nisa sendiri, adakah nanti dirumah Nisa riuh celoteh Bunga dan Azka
    semoga.




    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tiga puluh tiga sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  23. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono

    ReplyDelete
  24. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,

    ReplyDelete
  25. Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
    ADUHAI.....

    ReplyDelete
  26. Makasih bunda tien. Menunggu edisi senin

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...