ADUHAI AH 33
(Tien Kumalasari)
Melihat Hesti tampak tertegun, Sita menatap juga ke
arah wanita yang datang mendekat.
“Itu kan ….”
“Ibuku … “ kata Hesti sambil tersenyum. Tampaknya ada harapan baik dihatinya. Apa ibu menyesal telah membuangku? Kata batinnya.
“Oh, baiklah, aku balik ke kamarku dulu ya,” kata Sita
sambil melangkah pergi.
Hesti berdiri menyambut ibunya.
“Ibu …” sambut Hesti tetap dengan senyuman, dan berusaha
memeluk ibunya. Tapi bu Sriani
menghindar, menepiskan tangan Hesti yang sudah terulur.
Hesti mundur selangkah, merasakan batinnya sangat teriris.
Lalu tanpa dipersilakan, bu Sriani duduk di kursi tamu.
“Ibu, Hesti sangat menyayangi ibu,” kata Hesti pelan,
pilu.
“Sudah, tak usah berbasa basi. Aku datang kemari mau
mengambil tas aku yang tidak juga kamu kirimkan sejak aku kembali ke Surabaya.”
Hesti terkejut. Ia buru-buru masuk ke kamarnya, dan
ternyata tas kulit berisi pakaian atau entah apa milik ibunya tergeletak di
samping almari dan tertutup kursi, Sita yang meletakkan kursi itu saat dia sakit. Itu
sebabnya dia tak melihatnya, sehingga tak juga mengirimkannya kepada ibunya.
“Ini Bu, maaf saya lupa,” kata Hesti sambil menenteng
tas itu, lalu di serahkannya kepada ibunya.
“Baiklah, sekarang aku mau kamu tanda tangan disini,”
kata bu Sriani yang membawa selembar kertas bermeterai, dan diulurkannya kepada
Hesti.
“Ini surat apa Bu?”
“Jangan kelamaan, segera tanda tangani.”
“Tap_pi ….”
“Itu surat bahwa aku bukan lagi orang tuamu. Cepat
tanda tangani, nggak usah pakai dibaca segala, aku sedang terburu-buru.”
“Bu …”
Hesti masih ragu, ia ingin membaca surat itu, tapi
ibunya segera menyodorkan sebuah ballpoint, langsung di selipkan ke jari Hesti.
“Cepat, aku ditunggu taksi, dan aku sudah beli tiket
untuk kembali, jangan sampai membuatku ketinggalan kereta. Cepaaat,” hardik
Sriani dengan mata membulat bengis.
Hesti merasa takut melihat mata itu. Dengan gemetar
dia tanda tangani surat yang entah isinya apa karena dia tak sempat membacanya.
“Bagus, dan terima kasih karena telah membuat aku tidak
terlambat,” katanya sambil berdiri, kemudian membalikkan tubuhnya, mengambil tasnya yang ketinggalan dan pergi meninggalkan
Hesti yang menatapnya pilu
“Ibu, bukankah aku anakmu? Mengapa Ibu tega sekali Bu,
aku sangat menyayangimu, Bu,” lalu berderailah air matanya.
Tiba-tiba Sita yang melihat wanita itu pergi, kemudian
kembali ke kamar Hesti. Ia heran melihat Hesti menangis.
“Hesti, ada apa? Apa ibumu memarahi kamu?”
Hesti merangkul Sita erat, dan terguguk di pundak
sahabatnya.
“Ibumu memarahi kamu lagi?”
“Ibu benar-benar tidak sayang sama aku. Aku ingin
memeluknya, dia menampiknya. Dia benar-benar ingin membuang aku,” isaknya.
“Sudah, kamu tenang ya. Bukankah bahwa ibumu tidak
lagi menganggapmu anak itu kamu sudah tahu? Kamu sakit karena itu, bukan? Lalu
mengapa kamu masih menangisinya lagi?”
“Tadi aku mengira ibu menyesalinya, ternyata tidak.”
“Kalau begitu lupakan saja, nanti kamu sakit lagi
Hesti, jangan lagi menangisinya, ya.”
Lalu Sita mengajaknya masuk ke dalam kamar, mencoba
menenangkan hati Hesti dengan segala cara. Tidak mudah memang, pasti sakit
sekali rasanya menjadi anak yang dibuang dari orang tuanya. Tapi setidaknya
Sita bisa membuat tangis Hesti berhenti.
“Lalu apa yang dilakukan ibumu tadi ?”
“Ibu menyuruh aku menanda tangani sebuah surat.”
“Surat apa?”
“Entahlah, aku tidak membacanya.”
“Bodoh sekali kamu. Mengapa kamu mau menanda
tanganinya kalau kamu tidak tahu isi surat itu apa?”
“Dia memaksaku segera tanda tangan, karena buru-buru
dan takut ketinggalan kereta. Taksinya juga masih menunggu.”
“Tapi itu bisa saja membahayakan kamu Hesti. Kamu
sembrono sekali.”
“Bagaimanapun aku kan anaknya, tak mungkin dia
mencelakaiku,” kata Hesti begitu yakin.
“Nyatanya dia tega membuang kamu, kan?”
Hesti terdiam, tapi bukan tanda tangan itu yang di
sesalinya. Sikap ibunya yang tampak sangat kejam dan tanpa ada sedikitpun sikap
yang menunjukkan bahwa dia mencintainya. Hesti merasa dianggap seperti bukan
siapa-siapa nya.
***
Siang itu Desy dan
dokter Nisa memang makan diluar. Mereka memasuki sebuah rumah makan dan duduk
dengan santai di sana.
“Apa kabarnya Bunga?” tanya dokter Nisa ketika mereka
sudah memesan makanan mereka.
“Saya belum tahu Dok. Sejak diijinkan pulang, saya
belum ketemu mereka, dan tampaknya Bunga juga tidak begitu rewel seperti saat
sakit.
“Ya, mudah-mudahan begitu.”
“Pak Harun bilang bahwa saatnya kontrol nanti akan
datang ke tempat praktek Dokter yang di rumah, bukan ke rumah sakit.”
“Iya benar, pak Harun juga bilang begitu.”
“Anak itu lucu, dan menggemaskan.”
“Benar Dok. Dokter belum lama mengenalnya, tapi
tampaknya dokter sudah merasa sayang bukan?”
“Kalau aku tidak keguguran, maka pasti anakku juga
sebesar Bunga,” kata dokter Nisa pilu.
“Oh, Dokter pernah keguguran?”
“Saat itu aku belum menjadi dokter.”
“Oh.”
“Kami menikah muda. Lalu suamiku meninggal karena
kecelakaan.”
“Oh,” Desy menatap wajah cantik yang tampak sendu itu
dengan perasaan iba. Ia tak mengira dokter Nisa juga seorang janda.
“Aku sedang mengandung muda waktu itu, dan karena terlalu sedih lalu aku keguguran.”
“Dokter, saya tidak mengira.”
“Aku melanjutkan kuliah di kedokteran. Dan menjadi
spesialis anak sampai sekarang.”
Pelayan menyajikan pesanan mereka.
“Ah, sudahlah, itu kan perjalanan hidup aku. Aku sudah
melupakannya. Bagaimanapun hidup harus berlanjut, bukan?”
Desy mengangguk, lalu mendekatkan piring makanan ke
depan dokter Nisa.
“Aku senang mendengar kamu akan segera menikah.”
Desy tersenyum.
“Dokter tahu darimana?”
“Danarto tadi cerita sama aku.”
Desy tertunduk malu.
“Semoga kalian berbahagia.”
“Terima kasih Dok. Tapi saya juga berharap, dokter
juga akan menemukan seseorang yang Dokter cintai.”
“Yang terpenting adalah dicintai. Mencintai itu belum
tentu dicintai bukan?”
“Berarti kalimatnya harus begini, ‘mencintai dan dicintai’,”
kata Desy sambil tertawa.
“Itu benar,” sahut dokter Nisa sambil menghirup es kopyor
yang dipesannya.
“Dokter Nisa dan dokter Desy?” sebuah suara
mengejutkan mereka.
“Pak Harun?” seru kedua dokter cantik itu.
“Kok bisa ada disini semuanya?”
“Saatnya istirahat Pak Harun, ayo silakan duduk.
Sendirian?” sapa dokter Nisa.
“Iya lah dok, kan memang saya ini orang yang sedang sendiri?” jawab Harun sambil
duduk diantara mereka.
Harun melambai ke arah pelayan dan memesan makanan dan
minuman untuk dirinya sendiri, karena dilihatnya kedua dokter cantik itu sudah
menikmati makanannya.
“Setiap hari saya makan siang di sini.”
“Oh ya, ini baru pertama kalinya kami makan di sini,
ternyata enak,” kata Desy menimpali.
“Lumayan, saya suka, masakannya lumayan enak,” kata
Harun lagi.
“Bagaimana Bunga?”
“Oh ya Dok, nanti sore kami mau ke tempat praktek Dokter,
karena obat jalan yang Dokter berikan itu sudah habis.”
“Oh ya, silakan Pak Harun. Tapi sudah tidak rewel lagi
kan?” tanya dokter Nisa lagi.
“Tidak. Dulu dia rewel karena badannya sakit, yang dia
ingat hanya dokter Desy, karena sudah lama dia mengenalnya, dan selalu
memanggil aunty.”
Mereka tertawa, teringat bagaimana ketika awal mula
datang, lalu Bunga begitu rewel dan hanya Desy yang bisa menenangkannya.
“Dia butuh seorang ibu, Pak Harun,” kata Desy.
Harun tersipu. Didepannya ada dua wanita cantik yang
sangat baik dan penyayang. Yang dekat dengan anak-anaknya adalah Desy, tapi dia
tahu bahwa dokter Desy sudah memiliki calon suami. Dia tahu itu ketika Desy sedang
‘membual’ dihadapan seorang wanita yang menjadi tamunya waktu itu. Harun
tersenyum sendiri ketika mengingat bahwa Desy mengakuinya sebagai calon
suaminya. Ahaa, seandainya saja itu benar.
Lalu dia melirik ke arah dokter Nisa. Apakah dokter
Nisa masih sendirian?
***
“Bagus Danar, aku suka rumah itu. Dan harganya juga
masih terjangkau oleh aku. Walau sesungguhnya untuk seorang lajang seperti aku,
kelihatan agak kebesaran ya?” kata Danis ketika Danarto mengajaknya melihat
rumah yang ingin dibelinya.
“Kamu kan tidak selamanya sendirian Danis, suatu hari
pasti kamu butuh istri. Lalu kamu akan punya anak, jadi lumayanlah rumah
segitu. Kamu juga bisa praktek di rumah itu, bukan?”
Danis tersenyum.
“Semoga aku segera laku,” gumamnya sambil tersenyum
kecut.
“Laku lah, kamu kan cakep, pintar. Maksudku … pintar
merayu.”
Danis menonjok lengan sahabatnya.
“Bagaimana kalau aku suka sama Tutut. Eh tapi jangan
dulu bilang sama Desy. Dia bisa memaki-maki aku.”
Danarto tertawa.
“Masa sih, dia memaki-maki kamu?”
“Iya, belum tentu dia suka punya ipar duda. Lagi pula
Tutut masih kuliah.”
“Tungguin dong, nanti kan juga selesai.”
“Semoga dia mau.”
“Kamu benar-benar cinta sama Tutut?”
“Aku merasa nyaman sama dia.”
“Apa tidak aneh, baru saja bercerai, kamu sudah jatuh
cinta lagi?”
“Aneh? Aku sudah lama menyadari bahwa aku tidak
mencintai isteriku. Aku hanya kasihan padanya karena ditinggalkan kekasihnya
saat dia hamil. Aku sudah berusaha menjadi suami yang baik, dan tetap mencintai
bayi yang dilahirkannya seperti darah dagingku sendiri. Tapi ketika Nungki
bertemu lagi dengan kekasih lamanya, ternyata dia memilih kembali sama dia. Aku
tidak sedih. Sama sekali tidak,” kata Danis gusar.
“Tapi kamu terluka.”
“Tidak juga. Aku hanya marah.”
“Apakah itu berbeda?”
“Berbeda. Terluka, bisa karena merasa kehilangan.
Marah, lebih karena merasa ditipu dan dibohongi. Tapi itu tidak lama. Ini hidup
yang harus aku jalani. Yang penting aku merasa telah berbuat kebaikan dengan
menutupi aib seseorang.”
“Aku kagum sama kamu Danis. Kamu bisa menjalani semua
itu tanpa seorangpun tahu bahwa sesungguhnya kamu tidak bahagia.”
“Sekarang aku justru bahagia Danar, bahagia karena
merasa terlepas dari himpitan kepalsuan dan kepura-puraan.”
“Syukurlah, aku harap kamu tetap bahagia, dan segera
menemukan seseorang yang kamu cintai.”
“Dan mencintai aku, bukan cinta palsu.”
“Aamiin.”
***
Desy dan dokter Nisa masih asyik berbincang saat makan
siang itu, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.
“Maaf ya, saya terima telpon dulu, dari kakak saya,”
kata Desy sambil berdiri dan agak menjauh.
Harun dan dokter Nisa mengangguk mengerti.
“Ada apa Mas?” Desy menjawab telpon dari Sarman.
“Tolong, bisakah kamu datang sekarang?”
“Datang … kemana ?”
“Aku sedang di rumah kost Hesti.”
“Ada apa memangnya?”
“Hesti sakit lagi. Badannya tiba-tiba panas. Mual dan
muntah-muntah.”
“Oh, ya ampun, kenapa pula? Salah makan barangkali?”
“Entahlah, bisakah kamu datang?”
“Baiklah, aku akan segera ke sana.”
Desy menutup ponselnya, lalu mendekati meja di mana
dokter Nisa dan Harun masih duduk menunggu. Mereka sudah selesai makan.
“Dok, mm … bagaimana ya, ada kerabat saya yang sakit,
dan saya harus ke sana.”
“Nggak apa-apa Des, aku bisa pulang sendiri,” kata
dokter Nisa. Mereka berdua memang keluar dengan mengendarai mobil Desy.
“Bagaimana kalau saya yang mengantar Dokter?” kata
Harun menawarkan diri.
“Aduh, jangan merepotkan Pak Harun, saya bisa naik
taksi. Tadi memang kami keluar dengan memakai mobilnya dokter Desy.”
“Tidak repot, kan sekalian saya kembali ke kantor.”
“Benar, tidak repot nih?”
“Benar Dok, masa saya bohong. Senang bisa mengantarkan
dokter. Sungguh.”
“Baiklah Pak Harun, maaf jadi merepotkan Pak Harun,”
sambung Desy.
“Tidak. Saya tidak merasa di repotkan kok.”
“Dokter Nisa, saya minta maaf ya.”
“Nggak apa-apa Des, segera temui saudara kamu, siapa
tahu sakitnya serius.”
“Terima kasih Dok.”
***
“Apa yang terjadi? kata Desy ketika memeriksa tubuh
Hesti.
Dilihatnya Hesti berbaring, didahinya ada kompres yang
masih menempel.
“Kata temannya, tadi ibunya datang kemari,” jawab
Sarman tampak khawatir.
“Lhoh, bukannya senang ibunya datang?”
“Kalau ibu biasa, ya senang. Itu kan ibu yang luar
biasa?”
“Dia masih datang dan marah-marah?”
“Dia datang dan memaksa Hesti menanda tangani sebuah
surat.”
“Surat apa?”
“Hesti tidak tahu isinya, hanya tanda tangan saja.”
“Lhoh, kenapa dia mau?”
“Pastinya dipaksa, entahlah, dia belum banyak cerita,
temannya yang bernama Sita itu tadi yang bercerita.”
“Mana dia sekarang?”
“Baru kembali ke kamarnya, katanya dia punya obat
panas.”
“Saya buatkan resep seperti yang diberikan mas Danarto
itu saja ya Mas, tolong Mas belikan di apotek. Nanti kalau tidak berkurang,
kita bawa ke rumah sakit saja.”
“Baiklah.”
Desy menuliskan resep, lalu Sarman berlalu untuk pergi
membelikan obatnya. Kemudian Desy menggantikan kompres di dahi Hesti. Hesti
masih memejamkan mata.
“Dokter … “ bisik Hesti pelan.
“Hei, lupa ya, panggil aku mbak. Sudah terbiasa ‘mbak’
kok ganti lagi?”
“Mbak … saya pengin mati saja.”
“Haaaa? Mati? Memangnya kamu siapa bisa menentukan
hidup dan mati?”
“Saya …”
“Hentikan ucapan itu. Tetaplah bersemangat dan jalani
hidup. Jangan putus asa. Berjuanglah untuk terlepas dari belenggu yang
menjeratmu, entah apa bentuknya belenggu itu.”
Hesti meremas tangan Desy yang dari tadi memeganginya.
Tiba-tiba ponsel Desy berdering.
“Desy …” suara Danarto dari seberang.
“Ya Mas.”
“Kamu di mana?”
“Di tempat kost Hesti, dia jatuh sakit lagi.”
“Sakit lagi?”
“Ibunya belum lama datang dan tampaknya berulah lagi.”
“Oh ya, baiklah, aku segera kesana. Tampaknya ada yang harus Hesti ketahui.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdullah.....
ReplyDeleteADUHAI... AH_33 sdh tayang.
Matur nuwun bunda, salam sehat mugi rahayu widodo ingkang pinanggih.
Aamiin ya Mujiibas Sailiin.
Kakek selamat juara 1
Delete...
Td langsung nyanggong
Gawang udah di jaga kakek sakjané ngantuk tp kok penasaran
DeleteSelamat kakek juara 1
DeleteAduhai ahh
Mbk Iin bilangnya sdh mgantuk, tp tetep ora tega ninggal blog
DeleteManusang bu Tien, AA 33 sdh Tayang, Bobok jadi nyenyak
DeleteYes
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien
ReplyDeleteAA dah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah..AAh...sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah AA sdh datang. Matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Kebangetan bu Sriani, sampai segitunya demi ambisi pribadi....
ReplyDeleteSalam sehat Bu Tien... 😘😘😘
Alhamdulillah ADUHAI AH~33 sudah hadir... maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete𝐒𝐞𝐩𝐞𝐫𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐚𝐧𝐚𝐫𝐭𝐨 𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐞𝐥𝐚𝐬𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐢𝐚𝐩𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐧𝐚𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐇𝐞𝐬𝐭𝐢 𝐝𝐠𝐧 𝐛𝐮𝐤𝐭𝐢 𝐬𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐒𝐫𝐢𝐚𝐧𝐢 𝐤𝐞 𝐈𝐛𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐲𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐬𝐢𝐦𝐩𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐚𝐥𝐦𝐚𝐫𝐢 𝐢𝐛𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐃𝐚𝐧𝐚𝐫𝐭𝐨..😄
ReplyDelete𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚
Alhamdulilah AA sdh tayang.. bukannya dr. Danarto punya info klu tyt Hesti bukan anak kandung bu Sriani... Dan mgkn srt yg ditandatangani Hesti pengalihan rmh warisan bpknya Hesti ke bu Sriani...
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 33 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien.....
ReplyDeleteSalam sehat selalu.....😊🙏
Mature nuwun Mbak Tien
ReplyDeleteSriani ibu tiri yg kejam.....trims Bu tieAA udah hadir
ReplyDeleteAlhamdulilla..
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Salam sehat dan Aduhai
Bersyukurlah Hesti, banyak orang peduli dan membantumu ...
ReplyDeleteMaafkan ibumu...
Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSelalu sehat wal'afiat bersama keluarga.
“Ibunya belum lama datang dan tampaknya berulah lagi.”
ReplyDelete“Oh ya, baiklah, aku segera kesana. Tampaknya ada yang harus Hesti ketahui.”
Sebentar lagi terkuak suatu rahasia yang selama ini Hesti tidak tahu.......
Danarto punya bukti, bahwa Sriani Mandul......
Apa pula isi "surat bermeterai" yang ditandatangani Hesti.....
Hanya bunda Tien Kumalasari yang tahu......
Sabar.....sabar.....sabar.... hatiku....hatiku....
setiap malam "dikau dibuat penasaran" oleh penulis yang piawi membuat orang gemes.... penasaran... dan tetap sabar mau menunggu walau sudah mengantuk menunggunya......
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.
Alhamdulillah AA 33 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Sembrono Hesti tt ,hmmm semoga yaa dak kenapa2 Hesti dah balik ke rmh Tindy ma Haryo..duh kah ...bu Tien euy meni reuwas ...garemes pisan
ReplyDeleteAlhamdullilah..slnt pgii bunda Tien. Terima ksih AA 33 nya..slm sht n sayang unk bunda dan tetap Aduhai Ah dri skbmi..🙏😘🌹
ReplyDeleteAlhamdulilah.. Terimakasih bunda Tien..
ReplyDeleteTambah penasaran surat apa yg di ttd Hesti..
Bu Sriani tambah marah ke Hesti.. Tunggu hr senin lg..
Salam sehat selalu utk bunda Tien..
Salam aduhai untuk bunda...
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu aduhai...ah
Paling kisah Hesti kalau diceritakan ke Tindy sudah mengira kalau Sriani ibu sambung Hesti.
ReplyDeleteDi awal kepengasuhan anak nampak semangat, disana juga ada sanjungan terucap sekalian orang yang ada dan tahu posisi Sriani, rupanya kejenuhan rutinitas mendera yang membuatnya ragu dan bertanya-tanya sampai kapan.
Sayang rasa syukur itu menipis.
Merasa tidak ada harapan lagi jadi mencoba peruntungan lain.
Merampas hak waris karena merasa memelihara nya dari kecil.
Susah nya hidup berdasarkan untung rugi, perlu juga ada kesiapan keduwitan bahasa nge-trend nya finansial gitulah, simpanan dana itu perlu buat besok, kalau sudah dirasa berat, kurang mampu berkegiatan yang menghasilkan, disitulah dana mulai di ambil, sesuai kebutuhan, biasa orang bilang pensiun.
Dipaksa menandatangani sesuatu itulah yang membuat orang-orang di dekat Hesti merasa perlu menolongnya.
Didiri Hesti masih ada rasa sayang dan syukur, bagaimana andaikan dulu tidak ada Sriani tentu tidak ada yang mengasuh dirinya.
Harun mulai pédékaté Nisa, baru tahu kalau Nisa sendiri, adakah nanti dirumah Nisa riuh celoteh Bunga dan Azka
semoga.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke tiga puluh tiga sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Makasih bunda tien. Menunggu edisi senin
ReplyDeleteKutunggu dan kutunggu lagi
ReplyDelete