Friday, May 27, 2022

ADUHAI AH 32

 

ADUHAI AH  32

(Tien Kumalasari)

 

Desy masuk ke dalam, mengambil ponsel dan kembali ke teras untuk menelpon kakaknya.

“Video call Mbak,” pinta Tutut.

Desy menelpon, dan terpekik gembira manakala bisa tersambung. Lala senang melihat keluarganya berkumpul, ada Sarman pula.

“Hai, mas Sarman …” teriaknya.

Sarman melambaikan tangan sambil tertawa.

“Apa kabar Lala?”

“Baik, Mas sudah wisuda?”

“Belum. Lagi nungguin jadwal ujian. Doakan ya,” jawab Sarman.

“Pasti dong Mas, sesudah wisuda lalu cari pacar, jangan sampai jadi bujang lapuk,” canda Lala.

“Udah dapat pacarnya tuh Mbak,” teriak Desy.

“Hish! Ngawur.” Pekik Sarman sambil menjewer telinga Desy. Yang dijewer berteriak lalu menjauh.

“Sakit, tahu.”

“Kamu itu provokator,” sergah Sarman.

Haryo dan Tindy tampak tersenyum-senyum gembira.

“Bapak, Ibu, apa kabar?”

“Baik, atas doa kamu, La,” kata Haryo dan Tindy hampir bersamaan.

“Kok tumben nih, bisa ngumpul, maksud Lala, ada mas Sarman juga.”

“Mbak belum tahu ya, mas Sarman ini kan kakak sulung kita.”

“Iya dong, aku sudah tahu.”

“Kakak sulung yang sebenarnya Mbak,” terang Desy.

“Bagaimana maksudnya? Memangnya tadinya pura-pura?” tanya Lala tak mengerti.

“Bukan begitu. Mas Sarman itu benar-benar kakak sulung kita, karena sebenarnya tuh, dia anak kandung bapak kita.”

Mata Lala terbelalak.

“Pagi-pagi, kamu ngoceh tidah karuan,” gerutu Lala yang tidak mempercayai ucapan adiknya.

“Yeeey, ini malam, tahu. Pagi tuh di situ, kalau di sini malam.”

“Iya, aku lupa. Tapi kamu ngigau kan?”

“Adikmu tidak salah Lala, Sarman memang anak kandung bapak.”

“Ya ampun, Bapak, itu benar?

“Benar La, baru hari ini bapak katakan semuanya. Bahkan Sarman juga baru hari ini bapak beri tahu. Maaf ya La, terlalu banyak bapak melakukan kesalahan di masa muda.”

Lala tampak hanya mengangguk-angguk, terkejut sih, karena selama ini Sarman dikenal sebagai anak angkat ayah ibunya.

“Sebuah perjalanan hidup yang rumit. Tapi bapakmu bahagia, Sarman anak yang baik dan pintar,” sambung Tindy yang sedari tadi diam saja.

“Ya, ya … Lala agak terkejut, tapi senang, karena melihat semuanya juga tampak senang."

“Dan bahagia, karena mas Sarman tidak akan kabur lagi,” kata Tutut bersemangat.

“Baiklah, pokoknya ikut berbahagia bersama kalian. Oh ya, Desy bagaimana? Kapan menikah?”

“Secepatnya La, bukankah kamu juga mau pulang?” tanya Tindy.

“Iya bu, diusahakan pulang, Narend sudah kangen sama grandma, juga grandpa, katanya.”

“Sama Aunty juga kan?”

“Iya dong, pastinya.”

“Baiklah, aku siapkan sarapan dulu untuk Andrew ya, keburu dia masuk kerja, nanti kalau aku pulang, kalian harus cerita lebih lengkap,” kata Lala.

“Daaag, mbak Lala … “ teriak mereka bersama-sama.

***

Pagi hari itu Hesti sudah mandi dan berdandan rapi, memakai baju Tutut yang ternyata pas di tubuhnya.

“Mbak Tutut, aku pinjam dulu bajunya ya, juga yang kemarin aku buat tidur, ini aku bawa pulang ke rumah kost aku, biar aku cuci dulu,” kata Hesti sambil membawa setumpuk bajunya sendiri yang kotor dan baju tidur Tutut yang semalam dipinjamnya .

“Eeh, ngapain dibawa pulang ke kost, biar disini saja, nanti simbok yang akan mengurusnya. Baju kamu juga.”

“Jangan Mbak.”

“Eeeh, bandel sih kamu, ayo letakkan saja, sebentar lagi simbok akan mengumpulin baju-baju kotor di setiap kamar, termasuk bajumu itu. Sudah, letakkan di keranjang itu, itu kan tempat baju kotor.”

“Tapi nggak enak aku, merepotkan simbok.”

“Nggak apa-apa, sudah tinggalkan saja,” kata Tutut sambil mengambil tumpukan baju kotor Hesti lalu dimasukkannya ke dalam keranjang.

“Kamu mau pulang ke kost?”

“Iya Mbak, mas Sarman mana ya, dia mau mengantarkan katanya.”

“Kamu mau ke kampus?”

“Entahlah, tapi aku mau pulang dulu, pagi-pagi sebelum Sita berangkat kerja.”

“Nggak usah nungguin Mas Sarman, bareng aku saja.”

“Lhoh, mbak Tutut nganter aku? Padahal kampusnya beda, harus muter kan?”

“Nggak apa-apa, aku pakai mobilnya ibu. Ayo kita makan pagi dulu, lalu berangkat,” kata Tutut sambil menarik tangan Hesti.

Sebenarnya Hesti memang mau ke kampus. Ia memutuskan untuk berhenti kuliah saja, atau entahlah nanti kalau dia bisa mendapatkan pekerjaan yang hasilnya cukup untuk biaya kuliah dan makan. Tapi sekarang ia akan lebih tenang kalau tidak memikirkan kuliah dulu.

“Hesti, kamu boleh kok tinggal disini,” kata Tindy saat mereka sarapan. Tindy sudah mendengar dari Desy tentang keadaan Hesti.

“Nanti saya pikirkan dulu Bu, saya tidak ingin merepotkan.”

“Tidak merepotkan kok. Kami senang kalau keluarga ini bertambah ramai. Nanti kalau Desy sudah menikah pasti juga akan meninggalkan rumah ini karena harus mengikuti suami. Jadi kalau kamu mau tinggal disini, keluarga ini tidak akan menjadi sepi walau penghuninya berkurang satu.

Hesti hanya mengangguk. Sesungguhnya dia masih bingung. Ia harus memikirkan pekerjaan terlebih dulu, karena ia memerlukan uang untuk paling tidak menyambung hidup, syukur-syukur bisa melanjutkan kuliah.

“Katanya sewa kost kamu masih kurang beberapa hari lagi?” sambung Tutut.

“Iya sih, nanti saya akan ketemu ibu kost aku dulu, Mbak.”

“Hesti, paling tidak kamu harus merasa tenang, karena banyak yang memperhatikan kamu,” kata Sarman yang sedari tadi diam.

“Iya Mas, terima kasih untuk keluarga ini, yang sudah begitu baik kepada saya,” katanya sambil merangkapkan kedua tangan, ke hadapan Haryo dan Tindy.

“Mas Sarman, nanti Hesti akan bareng aku, sekalian aku ke kampus,” kata Tutut.

“Tidak perlu diantar?” kata Sarman.

“Aku naik mobilnya ibu. Mas Sarman mau pergi ke mana?”

“Masih nanti agak siangan. Ke kampus, barangkali sudah ada jadwal ujian untuk aku nanti.”

“Baiklah, atur saja apa yang harus kalian lakukan, bapak sama ibu akan santai di rumah, ya kan Bu?” kata Haryo kepada istrinya.

Tindy hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Ibu ingin masak, ngebantuin simbok.”

“Asyiik, kalau begitu aku harus pulang cepat, makan siang di rumah karena Ibu yang memasak. Ibu mau masak apa?”

“Belum tahu, simbok menyiapkan apa tuh, nanti ibu lihat dulu.”

“Hesti, nanti pulang kemari lagi ya?” ajak Tutut.

Hesti tersenyum penuh haru. Keluarga yang baru dikenalnya, dan bersikap sangat baik kepada dirinya. Bukan main.

***

Sita sudah siap berangkat, walau masih banyak waktu, Ia duduk di depan kamarnya, dan tampak menunggu.

“Kemarin Hesti bilang mau pulang agak pagi supaya bisa ketemu aku,” gumam Sita sambil melihat arloji tangannya.

“Baru jam setengah delapan,” gumamnya lagi sambil masuk sekali lagi ke dalam kamarnya, membetulkan dandanannya, dan merapikan rambutnya.

“Pasti mas Sarman akan mengantarkan Hesti, seperti kata Hesti kemarin, karena bukankah Hesti tidak membawa motor?”

Lalu Sita mengunci pintu kamarnya, dan berjalan perlahan ke arah kamar Hesti, berharap Hesti segera datang. Lalu sebuah mobil berhenti di depan pagar.

“Siapa ya?”  Sita mengawasinya dengan seksama.

Hesti turun dari mobil itu, lalu melambaikan tangannya ketika mobil itu berlalu.

Sita menghela napas kecewa.

“Yah, ternyata bukan mas Sarman yang mengantarnya,” gumamnya sambil terus menatap Hesti yang berjalan ke kamarnya.

“Kamu sama siapa?”

“Itu, sama mbak Tutut.”

“Siapa pula dia?”

“Mbak Tutut itu adiknya mbak Desy.”

“Ooh, kirain mas Sarman yang mengantarkan kamu.”

“Mas Sarman akan berangkat ke kampus agak siang. Kamu menunggu aku?”

“Iya lah, kalau tidak, masa aku berdiri di sini.”

“Maaf, agak kesiangan, tadi dipaksa sarapan dulu.”

“Kamu sudah tidak pusing-pusing lagi?”

“Tidak. Aku merasa sehat sekarang.”

“Tidak ke kampus?”

“Tidak dulu, aku mau istirahat lagi.”

“Kamu tidak lupa bukan, kalau sewa kost hanya tinggal beberapa hari lagi? Kamu ingin memperpanjangnya bukan?”

“Iya sih, tapi aku pikir … aku ingin mencari yang lebih murah saja.”

“Jadi mau pindah? Sudah ketemu, mau pindah kemana?”

“Nanti aku pikirkan. Kamu ingat pesan aku tentang pekerjaan itu?”

“Kamu serius, ingin bekerja?”

“Serius Sit, tolong carikan aku. Aku harus bekerja, baru memikirkan yang lainnya.”

“Ya sudah, sekarang aku berangkat dulu. Aku carikan informasi pekerjaan pada pimpinan aku, barangkali ada pekerjaan untuk kamu.”

“Baiklah, tolong aku ya Sit.”

“Ya, baiklah,” kata Sita sambil berlalu.

Hesti membuka kamarnya, mengganti bajunya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Sesungguhnya dia belum sepenuhnya merasa tenang. Tawaran untuk tinggal di keluarga dokter Desy, pasti menyenangkan, karena tidak harus membayar alias gratis, tapi dia merasa tidak enak.

“Bingung aku, apa yang harus aku lakukan? Semoga nanti mas Sarman mampir kemari sehingga ada teman untuk berbicara.”

Hesti bangkit dari tempatnya berbaring, dan bersiap membersihkan kamarnya.

***

Danarto menghampiri Danis yang sedang termenung sendirian di kantin.

“Hei, ngapain kamu sendirian disini?” tanya Danarto sambil menepuk bahu sahabatnya.

“Memangnya biasanya aku sama siapa?”

“Yaah, kok jawabnya memelas begitu. Tapi sumpah Danis, kamu kelihatan kucel, ada apa? Mau berbagi sama aku?”

“Kesal sama Nungki, aku.”

“Nungki, isteri kamu?”

“Bekas. Sudah resmi cerai aku nih.”

“Oh, hahaa … maaf.” Kata Danarto sambil tertawa.

“Baru kemarin suratnya turun.”

“Baiklah, memangnya kenapa kamu kesal? Bukankah sudah tidak ada urusan lagi?”

“Tidak, apa yang dia minta sudah aku berikan. Mobil, sejumlah uang, dan anaknya juga.”

“Kamu tidak berusaha memiliki hak asuh anak kamu?”

“Tidak, kamu tahu, dia bukan anakku.”

“Apa?” Danarto membelalakkan matanya.”

“Itu benar, aku menyimpannya selama ini, dan hanya kepada kamu sekarang ini aku mengatakannya.”

“Sungguh aku tidak mengira.”

“Kami menikah saat dia mengandung dua bulan. Aku nggak ingat siapa nama laki-laki pengecut itu. Aku menolongnya saat orang tuanya menangis meminta tolong agar aku menikahi anaknya karena ditinggal pacarnya dalam keadaan mengandung.”

“Mengapa kamu mau?”

“Aku hanya kasihan sama dia. Kami sudah kenal lama, dia teman sekolah waktu kami SMA. Memang sih, aku pernah suka sama dia, tapi dia pacaran dengan pria lain. Nggak tahunya pria itu pengecut yang sangat gila. Setelah Nungki menikah, dan bayi itu lahir, dia muncul lagi, dan Nungki kembali bersamanya. Hmh, tak ada yang aku tangisi atas semuanya. Aku bersyukur terlepas dari belenggu kepalsuan itu.”

Danarto hanya geleng-geleng kepala, tak mengira sahabatnya ternyata memendam sakit yang tak pernah diperlihatkannya.

“Lalu kenapa kamu bilang bahwa kamu kesal sama dia?”

“Kemarin dia menelpon, menanyakan surat mobil. Padahal sudah aku berikan surat-surat itu dan dibawanya. Dia mengira tertinggal di rumah. Tidak ada surat apapun atau semua yang berhubungan sama dia di rumah aku,” omelnya panjang pendek.

“Ya sudah, kan kamu sudah menjawab bahwa yang dia cari itu tidak ada?”

“Sudah. Tapi aku kesal dia menghubungi aku. Aku bahkan ingin membuang semua kenangan tentang dia. Sekarang aku mau menjual rumah aku.”

“Menjual ?”

“Sudah ada pembeli, aku lepas saja berapapun dia mau menawar. Aku akan mencari rumah yang lebih kecil.

“Sudah dapat rumahnya?”

“Belum, baru mau melihat-lihat.”

“Nanti aku temani kamu mencari rumah.”

“Benar?”

“Selepas tugas ini nanti saja. Di dekat rumah yang aku beli sepertinya ada yang belum laku.”

“Kecil saja, aku nggak mau yang besar.”

“Kamu bisa melihatnya. Tidak kecil sekali sih, tapi untuk keluarga baru, lumayan.”

“Baiklah, nanti pakai mobilku saja. Masa harus masing-masing membawa mobil sendiri.”

“Oke, baiklah, sampai lupa pesan makanan. Kamu sudah?”

“Belum, aku belum pesan apa-apa. Desy mana?”

“Dia pergi tadi, sama dokter Nisa, mungkin mereka makan di luar.”

Danarto melambai ke arah pelayan, dan melihat wajah Danis tampak lebih cerah karena ada yang menemaninya.

***

Sita sudah pulang kerja, langsung pergi ke kamar Hesti, yang ternyata sudah mandi dan duduk sendirian di depan kamarnya.

“Ngapain kamu, ngelamunin pacar ya?” sapa Sita.

“Ih, pacar apaan sih, aku nggak punya pacar, tahu!”

“Mas Sarman itu bukan pacar kamu?” tanya Sita memancing.

“Bukaaan, dia itu seperti kakak aku saja.”

“Syukurlah,” kata Sita pelan, tanpa sengaja.

“Kenapa syukur?”

“Eh … itu … maksudku, kalau kamu masih kuliah, lebih baik tidak memikirkan pacar dulu. Benar kan?”

“Iya sih, tapi apa aku masih bisa kuliah? Oh ya, bagaimana dengan pekerjaan?”

“Aku sudah bilang sama pimpinan aku, katanya saat ini belum ada. Tapi dia minta agar kamu menunggu beberapa bulan lagi.”

“Beberapa bulan? Uangku sudah menipis, aku tak tahu harus bagaimana,” gumamnya lirih.

Tapi tiba-tiba Hesti terkejut, di depan pagar ada taksi berhenti, lalu seseorang turun.

“Bukankah itu ibu?” kata Hesti heran.

***

Besok lagi ya.

38 comments:

  1. Alhamdulillah
    Mtnuwun mbk Tien....πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat Uti Nani Juara 1

      Terima kasih bu Tien, salam sehat selalu.....

      Delete
    2. Terima kasih, bunda Tien.... Salam sehat selalu, yaa

      Delete
  2. Terima kasih Bunda

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah
    Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  4. Alhamdullilah AA 32 sdh tayang..mksih y bunda Tien..slm seroja dan slm sht sll..tetap semangat dan aduhai ..πŸ™πŸ˜˜πŸ˜˜πŸŒΉ

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ADUHAI AH~32 sudah hadir... maturnuwun bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  6. Maturnuwun bu Tien..
    Salam sehat selalu..πŸ™πŸŒΉ

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Nah Sriani muncul lagi, tanda akan datangnya masalah lagi.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  9. Terima kasih Mbak Tien, salam bahagia...

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah ADUHAI-AH 32 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Wah ibunya Hesti datang lagi,mau ngapain lagi ya?katanya sdh tidak ngaku anak sama Hesti.
    Aduh mau bikin gara2 apa lagi nih.Sayang sudah besok lagi...
    Hanya mbak Tien yg tahu jawabannya.
    Tks mbak Tien,salam seroja dr Tegal.

    ReplyDelete
  13. Terima kasih Bunda, salam Aduhai Ah ..dari Pasuruan

    ReplyDelete
  14. Ah.... Bu Sriani datang lagi.
    Bakal gonjang-ganjing kembali sepertinya
    πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun mbak tien, AA32 sdh tayang, sehat selalu dan tetap menghibur kita, gak bisa komen, saking apike semua bagus je.
    Salam aduhai, ah.πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Aduhai,,,knp lg tuh Ibu nya Hesty

    Selamat beristirahat,,salam sehat wal'afiat semua bu Tien

    ReplyDelete
  17. Ya Allah AA dah tayang baca baca yaaa salam ka sadayana

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah AA sdh tayang, matursuwun bu Tien.
    Salam sehat selalu... monggo sami rehat

    ReplyDelete
  19. Wah bakalan berebut Sarman kah Hesti sama Sita...seru².

    na ini ada apa lgi dng bu.Sriani...getem² deh ngrasainnya..

    Matur nuwun bunda Tien...πŸ™

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah AA 32 sdh hadir
    wah bu Sriani mau apa lagi?
    Bikin penasaran lanjutan ceritanya
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu selalu sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien..

    ReplyDelete
  22. Wadhuh Sriani balik lagi ke kost an Hesti.
    Mudah mudahan baik baik saja..
    Nggak marah² kaya kemaren, sampai ngedrop gitu.
    Hesti pasti sudah ada kekuatan paling tidak semangat hidup bertahan.

    Bisa juga pemaksaan kehendak yang menguntungkan Sriani tentu saja, maèn paksa, adakah perlawanan dari Hesti untuk bertahan agar tetap dikota ini.
    Mengingat Hesti merasa nyaman di keluarga Tutut teman baru yang menyenangkan.

    Hm ada penggemar baru.
    Sita ada hati untuk Sarman, semoga tidak terganggu perhatian Sarman pada Hesti yang akan diculik Sriani dengan berbagai alasan.
    Sayang Danarto tidak segera diberi tahu Sarman kalau Hesti bukan anak Sriani.



    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tiga puluh dua sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  23. Wadhuh Sriani balik lagi ke kost an Hesti.
    Mudah mudahan baik baik saja..
    Nggak marah² kaya kemaren, sampai ngedrop gitu.
    Hesti pasti sudah ada kekuatan paling tidak semangat hidup bertahan.

    Bisa juga pemaksaan kehendak yang menguntungkan Sriani tentu saja, maèn paksa, adakah perlawanan dari Hesti untuk bertahan agar tetap dikota ini.
    Mengingat Hesti merasa nyaman di keluarga Tutut teman baru yang menyenangkan.

    Hm ada penggemar baru.
    Sita ada hati untuk Sarman, semoga tidak terganggu perhatian Sarman pada Hesti yang akan diculik Sriani dengan berbagai alasan.
    Sayang Danarto tidak segera memberi tahu Sarman kalau Hesti bukan anak Sriani.



    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tiga puluh dua sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  24. Lah sriani datang LG.....trims Bu Tien AA udah hadir

    ReplyDelete
  25. Aaduh dtg 🀭🀭🀲deh wes wes pokok e .nuhun bu Tien

    ReplyDelete
  26. Makin membuat penasaran saja, tapi baiklah... Maturnuwun mbak Tien, ditunggu lanjutannya... Salam sehat dari Pondok Gede...

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  02 (Tien Kumalasari)   Arumi menyandarkan tubuhnya, menikmati rasanya naik mobil bagus nan halus hampir tak ...