Thursday, May 26, 2022

ADUHAI AH 31

 

ADUHAI AH  31

(Tien Kumalasari)

 

Danis turun lagi dari teras, untuk menjawab panggilan telpon itu.

“Ya .. tidak … aku tidak tahu … bukankah kamu sudah membawanya? Tidak … tak ada yang tertinggal. Semua yang kamu ingin bawa sudah kamu bawa semuanya. Ya, bahkan foto-foto … kalau foto sudah aku bakar, menjadi abu. Tidak, sekali lagi tidak ada. Ambil semuanya oleh kamu, dan aku tak mau ada setitikpun kenangan atas diri kamu ada di rumah. Betul, aku akan menjual rumah itu, rumah yang penuh kepalsuan. Dan .. oh ya, baguslah kalau kamu sudah menerima surat itu. Ini terakhir kalinya kita bicara, ingat, jangan lagi menghubungi aku. Oh ya, tentu, aku juga tahu bahwa itu bukan darah dagingku. Stop bicara,” kata Danis sedikit kasar lalu menutup pembicaraan itu.

Danis kembali naik ke atas teras. Dilihatnya Desy sudah meletakkan sebotol minuman dingin yang kemudian di sambarnya, lalu diteguknya habis.

Danis menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Desy tak ingin bertanya apapun, ia tahu Danis sedang kesal, entah karena apa.

“Hei, Mbak… ayo kita makan,” kata Tutut yang tiba-tiba keluar,” eeeh, ada mas Danis?”

Danis yang mendengar suara Tutut segera bangkit dan menatapnya sambil tersenyum.

“Mengapa Mbak Desy tidak mengajaknya makan sekalian?” tegur Tutut.

“Danis, kita makan yuk,” kata Desy kemudian.

“Ayo, aku tambahkan dulu piringnya," kata Tutut sambil berlari mendahului ke dalam.

Danis bangkit. Ia sudah lebih bisa menata hatinya.

“Dari isteri kamu?”

“Bekas isteri,” Danis membetulkan.

“Kenapa marah?”

“Ia mengira surat mobil masih tertinggal. Padahal tidak ada, semuanya sudah dibawa. Tak ada secuilpun milik dia tertinggal di rumah.”

“Oh, dia mencari surat mobil?”

“Ya, dan memberitahukan bahwa surat cerai sudah didapatnya, sykurlah,” kata Danis sambil mengikuti Desy masuk ke dalam.

“Ya sudah, endapkan emosi kamu, supaya bisa makan lebih nyaman.”

“Ya, aku sudah lebih tenang. Senang karena statusku sudah jelas. Duda … keren kan?” katanya mencoba bercanda.

“Baiklah.”

Keduanya sudah sampai di ruang makan.

“Mbok, tolong ini ditempatkan di wadah ya,” teriak Desy kepada simbok.

Simbok tergopoh datang, menerima bungkusan bakso yang dibawa Danis.

“Selamat siang Pak, Bu …” sapa Danis.

“Nak Danis? Ayo sini, sekalian makan ber ramai-ramai.”

“Sengaja ini Bu, datang pada saat makan,” kata Danis malu-malu.

“Tidak apa-apa, anggap seperti di rumah sendiri,” kata Haryo ramah.

“Ini kan … “ Danis menunjuk ke arah Hesti, merasa seperti pernah melihatnya.

“Ini Hesti. Sudah kenal kan?”

“Ya, sekilas … kok ada di sini?” tanyanya sambil duduk.

“Nggak apa-apa, Tutut butuh teman.”

“Tut, panggil mas mu di kamarnya,” titah Tindy kepada Tutut, yang segera menghambur ke kamar Sarman.

Ia mengetuk pintunya pelan. Tak ada jawaban, lalu membukanya langsung. Dilihatnya Sarman masih terbaring, tapi tidak sedang tidur.

“Mas Sarman,” tutut mendekat.

Sarman kemudian bangkit, dan memeluknya, membuat Tutut gelagapan.

“Mm .. Maas, apa yang kamu lakukan?” pekiknya sambil mendorong tubuh Sarman.

“Aku memeluk adik aku, tidak boleh?” Sarman menatap Tutut yang memandangnya tak berkedip.

“Ya, tentu, aku adikmu. Tapi kamu kelihatan aneh.”

“Aneh ?”

“Sangat aneh.”

Sarman menghela napas panjang. Saat tubuhnya terbaring, pikirannya melayang-layang. Kejadian di makam almarhumah ibunya membuatnya seperti sedang bermimpi. Tiba-tiba ia tahu siapa ayahnya, tiba-tiba kebencian yang bertahun dipendamnya menyeruak, bertarung melawan rasa nyaman saat diperlakukan seperti sebuah keluarga, dan menelan semua kebaikan yang membuatnya merasa menjadi orang.

“Haruskah aku tetap membencinya? Semua kebaikannya adalah penebus sebuah kesalahan yang pernah dilakukannya. Bukankah rasa benci akan menyakiti, dan pemberian maaf adalah perilaku yang mulia? Itu kata-kata bijak dari seorang wanita yang seharusnya juga tersandera oleh perilaku suaminya yang buruk. Harusnya dia menderita, membenci, mendendam, tapi rasa itu tak tampak ada padanya. Barangkali ia dengan segala kehalusan budi dan kemuliaan hatinya telah bisa melenyapkan segala dendam, benci dan sakit hati. Dia, wanita anggun itu bisa melakukannya, mengapa aku tidak?” batin Sarman terus berputar-putar, dan membuatnya tak bisa tidur walau sejenak pun.

Perilaku mulia … tidak semua orang bisa melakukannya. Sabar, ikhlas, hanya sedikit yang bisa menjalaninya. Tapi Sarman ingin melakukan yang hanya dilakukan sedikit orang itu. Ibu angkatnya selalu memujinya sebagai anak baik, apakah dia akan merusaknya dengan predikat hati penuh dendam dan benci? Rasa benci itu terurai perlahan, bersamaan dengan hadirnya gadis manja yang pernah dicintainya, yang serta merta dipeluknya tanpa basa basi.

“Mas …”

Sarman menatap Tutut yang kebingungan.

“Mas baik-baik saja? Ayo kita makan, semuanya menunggu Mas Sarman.”

Sarman mengangguk. Ia meraih laci dan membukanya, mengambil sisir dan merapikan rambutnya.

Sarman melangkah keluar, mengikuti Tutut. Di ruang makan, Haryo dan Tindy  menatapnya khawatir. Apakah Sarman akan mengamuk karena belum bisa mengendapkan amarahnya? Tapi tidak, tiba-tiba Sarman berjongkok disamping Haryo, menyembunyikan wajahnya di pangkuannya, menangis di sana.

Semuanya bingung, tapi Tindy menatapnya sambil tersenyum.

Haryo tampak mengelus kepala Sarman, dengan linangan air mata, lalu menatap kepada Desy dan Tutut berganti-ganti.

“Dia ini kakak kamu, kakak sulung kamu. Benar-benar kakak kalian,” kata Haryo bergetar.

Desy dan Tutut saling pandang.

Lalu Sarman juga melakukan hal yang sama kepada Tindy, yang menyambutnya juga dengan elusan di kepalanya.

“Anakku … berdirilah, dan mari makan bersama,” kata Tindy lembut.

Sarman berdiri dan duduk di sebuah kursi yang sudah di siapkan untuknya.

Dalam hati Desy dan Tutut berpikir, kata-kata ayah dan ibunya mereka anggap sebagai suatu kebanggaan karena Sarman hampir menyelesaikan kuliahnya.

Kendati begitu mereka makan dengan saling diam. Tak tahu harus bicara apa, lebih-lebih bagi Danis dan Hesti yang masih sangat asing dengan keluarga itu.

***

Ketika selesai makan, anak-anak muda berbincang di teras, bercanda tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, kecuali Sarman tentu saja, yang sejak tadi hanya mengimbang candaan mereka dengan ikut-ikutan tertawa.

“Tapi aku senang, Mas Danis membawakan beberapa bungkus bakso. Makan siang kita jadi lebih asyik,” kata Tutut.

“Tadi sebenarnya aku ingin makan sendiri, tapi melihat bakso, jadi ingat sama kamu, lalu aku beli deh, buat kamu.”

“Sebenarnya aku suka bakso itu awalnya karena makan bakso sama mas Sarman ini.”

“Kok bisa, awalnya kamu memang suka kan, setiap pulang kuliah, selalu ngajakin mampir di warung bakso,” sanggah Sarman.

“Iya, itu awal-awalnya. Sekali, dua kali, jadi keterusan,” kata Tutut.

“Mas Sarman, tolong telpon sama Sita deh, bilang kalau aku nanti tidur di sini,” kata Hesti tiba-tiba.

“Kamu belum menelponnya?”

“Belum, ternyata kuota ku habis,” kata Hesti malu-malu.

“Oh, ya ampuun, baiklah, nanti aku telpon dia.”

“Terima kasih ya Mas, soalnya kalau aku tidak pulang tanpa kabar, Sita pasti mencari-cari.”

“Iya, pastinya, soalnya kan kamu habis sakit.”

“Kayaknya setelah kenyang aku ingin pulang dulu nih,” kata Danis sambil berdiri.

“Kok buru-buru sih Mas.”

“Aku lupa, janjian sama orang yang mau membeli rumah aku.”

“Rumah Mas mau dijual?” tanya Tutut.

“Iya, pengin pindah lokasi saja. Kalau bisa di dekat-dekat sini,” katanya sambil nyengir.

“O, aku tahu,” kata Desy sambil memincingkan sebelah matanya ke arah Danis.

“Tahu apa?” tanya Danis.

“Nggak jadi,” kata Desy sambil tertawa.

“Besok aku ke sini lagi, kalau urusanku sudah selesai. Soalnya besok kan hari kerja, jadi nggak bisa ngurus macam-macam.” kata Danis sambil melongok ke dalam.

“Bapak sama ibu tidur Mas, mau pamit kan?” tanya Tutut.

“Ya sudah, aku pamit dulu, selamat siang semuanya,” kata Danis sambil melambaikan tangan dan berlalu menghampiri mobilnya.

“Aku jadi ngantuk nih, ayuk Hes, kita tidur, nanti sore kita jalan-jalan ya,” kata Tutut sambil menarik lengan Hesti.

“Ya sudah, tidur sana. Mas Sarman juga mau tidur kan?” tanya Desy.

“Ya, tapi aku mau menelpon Sita dulu.”

***

Sita yang bolak-balik menengok ke arah kamar Hesti kemudian kembali masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Ia baru saja pulang kerja, tapi bingung melihat kamar Hesti terkunci.

Ia terkejut ketika ponselnya berdering, dan berdebar melihat di layar, ternyata Sarman yang menelpon.

“Ya, Mas Sarman,” sapanya.

“Sita, kamu di mana?”                  

“Aku sudah di rumah kost. Sebenarnya ini kan libur, tapi ada lembur saat mendekati akhir bulan.”

“Sekarang sudah pulang?”

“Sudah, belum lama aku pulang. Tapi bolak-balik melongok ke kamar Hesti kok masih terkunci, memangnya Hesti ke mana ya?”

“Iya, aku menelpon kamu, juga karena mau memberi tahu tentang Hesti.”

“Oh, memangnya Hesti ke mana?”

“Hesti menginap di rumah … mm … di rumah .. dokter Desy,” akhirnya Sarman menemukan jawaban setelah ragu ketika ingin mengatakan ‘di rumah orang tuaku’.

“Oh, di rumah dokter Desy? Baik sekali dokter itu ya, sudah cantik, baik lagi.”

“Iya, benar. Ya sudah Sita, aku cuma ingin memberi tahu soal itu, supaya kamu tidak bingung mencari-cari.”

“Memangnya kenapa Hesti tidak menelpon aku sendiri dan menyuruh mas Sarman menelpon aku?”

“Hesti kehabisan kuota.”

“Ya ampuun, dari kemarin dia bilang kuota habis dan belum mengisinya sampai sekarang?”

“Iya, nanti aku isikan saja, setelah ini.”

“Sama mau mengingatkan, eh, Hesti ingat nggak ya, lima hari lagi sudah harus membayar perpanjangan sewa kamar.”

“Oh ya, nanti aku ingatkan. Terima kasih ya Sita, eh maaf aku memanggil kamu Sita saja ya, nggak pakai ‘dik’ atau ‘mbak’.

“Eh, nggak apa-apa Mas, lebih baik begitu, jadi lebih akrab. Hesti kapan kembalinya?”

“Mungkin besok.”

“Mas mengantarnya kan?” ternyata Sita tidak ingin Sarman cepat-cepat mengakhiri percakapan itu, ada saja yang ditanyakannya.

“Ya, pastinya, karena dia tidak membawa sepeda motor.”

“Mas sekalian ke kampus?”

“Ya, ada yang harus aku selesaikan.”

“Baiklah … mmm …” Sita masih mencari-cari kalimat untuk memperpanjang pembicaraan.

“Sudah Sita, aku mau beli pulsa dulu untuk Hesti.”

Sita baru mau mengucapkan sesuatu, tapi Sarman sudah mematikan ponselnya.

“Hhmh … mas Sarman tuh …” gerutunya sambil mengunci pintu kamarnya.

***

Malam itu Haryo dan Tindy mengajak Sarman dan Desy serta Tutut berbicara di teras, setelah meminta agar Hesti menunggu di dalam kamar.

“Ada yang ingin bapak katakan malam ini, tentang sebuah rahasia yang kalian semua harus tahu,” kata Haryo membuka percakapan.

Tindy mengangguk, sedangkan Sarman menundukkan wajahnya.

Desy dan Tutut menatap ayahnya, sedikit tegang karena mereka melihat wajah ayahnya yang sedikit sembab saat keluar dari kamarnya.

“Kalian kan sudah tahu, betapa buruk kelakuan bapak di masa lalu?”

Mereka mengiyakan, tapi tak mengatakan itu dengan mulutnya.

Lalu Haryo menceritakan sebuah kisah percintaannya dengan seorang gadis, saat dia masih remaja. Dan menceritakan bagaimana hubungan mereka, dan mengatakan bagaimana gadis itu mengandung dan melahirkan dan merawatnya sampai anak itu dewasa, kemudian dia meninggal dunia dengan memendam derita karena merasa dikhianati.

Desy dan Tutut menahan napas. Rupanya ayahnya sedang membuka salah satu aibnya lagi.

Pada suatu hari si anak yang sudah dewasa itu dipertemukan kembali dengan ayah kandungnya, yaitu bapakmu ini.

Lalu Desy dan Tutut kembali menduga-duga, siapa si anak tersebut.

“Anak itu ada di dekat kalian, ya Sarman ini,” katanya tergetar, sambil merengkuh bahu Sarman yang duduk di dekatnya.

“Haaa? Mas Sarman?” pekik mereka hampir bersamaan.

“Ya, ini anak kandungku, jadi dia adalah benar-benar kakak sulung kamu, bukan hanya kakak angkat.”

“Haaa … ?” keduanya menatap Sarman dengan perasaan tak menentu.

“Apa kalian malu punya kakak seperti aku?” tanya Sarman lirih.

“Haaa? Malu?” mereka berteriak dan tiba-tiba mendekati Sarman dan merangkulnya erat. Sarman gelagapan, sementara Tindy mengusap air matanya melihat keakraban anak-anaknya dengan kakak sulungnya.

“Ini sebabnya mas Sarman tidak boleh mencintai aku,” teriak Tutut tak terkendali.

Sarman tersipu ketika Tutut membuka ‘aibnya’.

“Ya Tuhan, aku sudah sangat khawatir,” celetuk Tindy tiba-tiba.

“Jadi Ibu sudah lama tahu, bahwa mas Sarman adalah kakak tiri kami?”

“Ya, bapak sudah mengatakannya.”

“Mengapa Bapak sama Ibu tidak langsung mengatakannya dan membuat kami bertanya-tanya?”

“Bapak khawatir Sarman tidak bisa menerimanya, lalu tidak mau melanjutkan kuliah. Itu sebabnya rahasia itu dibuka saat masmu itu sudah menyelesaikan skripsinya,” Tindy yang menerangkan semuanya, sementara Haryo hanya mengangguk-angguk, bahagia.

“Jadi mas Sarman tidak lagi boleh pergi dari rumah kan?” kata Tutut sambil menggoyang-goyangkan bahu Sarman. Bahagia mereka karena benar-benar memiliki seorang laki-laki baik yang ternyata adalah kakak sulungnya.

“Aku akan menelpon mbak Lala,” kata Desy sambil meraih ponselnya.

***

Besok lagi ya.

44 comments:

  1. Replies
    1. Selamat... jeng Ting juara 1.
      Suwun bunda Tien .
      .Aduhai Ah, muncul jg di hari libur. Alhamdulillah

      Delete
  2. Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien ..

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, AA31 sdh tayang, matur nuwun mbak Tien.
    Sehat dan bahagia selalu

    ReplyDelete
  4. ADUHAI....AH_31 sudah hadir. Matur nuwun, bun. Salam SEROJA

    ReplyDelete
  5. Selamat bu Tingting Juara 1
    Apa kabar bu Ting??

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah
    Matur nuwun nggih Mbak Tien ...tetep sehat dan selalu bersyukur ...Aamiin🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah sy sehat Pak..
    Terima kasih Pak, Bu Wiwik🙏

    ReplyDelete
  8. Alhamdulllah..... Trimskasih bu Tien yg ditunggu2 sdh tayang ..... salam sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah AA 31 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin Yaa Allah

    ReplyDelete
  10. Alhamdullilah AA 31 sdh tayang..terima ksih bunda Tien..slmt malam dan selamat istrahat..slm sayang dan slm sht sll tetap Aduhai dari sukabumi..🙏😘😘🌹

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah....
    Mksh Ibu Tien ADUHAI AH 31 dah tayang selamat malam selamat beristirahat.

    ReplyDelete
  12. Ah....bahagianya keluarga Haryo......matur nuwun, bu Tien

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, akhirnya SARMAN ketemu bapaknya dan bisa membuang amarahnya... terima kasih mbak Tien, salam aduhai ah...

    ReplyDelete
  14. Ah hari ini ceritanya gak greget Bu Tien.....trims Bu Tien AA udah hadir

    ReplyDelete
  15. Terima kasih mbak Tien, semoga mbak Tien sehat selalu.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah ADUHAI-AH 31 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  17. ADUHAI AH....bisa tayang lebih awal..

    Matur nuwun bunda Tien...🙏

    ReplyDelete
  18. Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  19. Haryo ahkirnya berkata sama anak2 perempuannya .Sarman kakak laki2 nya dan Tutus tdk blh mencintai Sarman ..jadi sama Hesti yaa nanti..akan di peristri Sarman🤲🤲🤭🤭eee Sita ternyata suka ma Sarman yaa gak mungkin lah ..

    ReplyDelete
  20. Assalamualaikum wr. Wb.
    Terimakasih bu Tien. Cerbungnya sangat menghibur.
    Semoga bu Tien dan keluarga selalu sehat dan berbahagia. Aamiin.
    .

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Baguslah... Sarman dapat menerima Haryo sebagai ayahnya.
    Tinggal menunggu Danar, bagaimana kisah selanjutnya.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah......n ibu suwu

    ReplyDelete
  23. Terimakasih Bunda Tien... Ceritanya bikin qt ikutan happy...
    Sehat2 selalu Bunda Tien
    Salam aduhaiii 🙏😘

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 31 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  25. Yeeee..... Satu konflik lagi sudah terurai, selamat mas Sarman, sudah tidak menyimpan dendam di hatimu.
    Sita akan mengejarmu, sedangkan dirimu akan mengejar Hesti... hehehe. Drama cinta mas Sarman akan tayang tak lama lagi....

    Bu Tien memang author heibaat, cerita nya selalu keren. Sehat selalu ya Bu.. 😘😘

    ReplyDelete
  26. Betul-betul bagus...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  27. Ahaa...mudah2an tidak ada konflik lagi dgn hesti...
    Terimakasih bu Tien,
    Salam sehat dan Aduhai..
    Bam's Bantul

    ReplyDelete
  28. Terharuu...
    Terimakasih mbak Tien...
    Salam sehat dan Aduhaii

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....
    Salam sehat selalu....😊🙏

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien
    Salam sehat selalu buat semuanya anggota WAG PCTK

    ReplyDelete
  31. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,

    ReplyDelete
  32. Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
    ADUHAI.....

    ReplyDelete
  33. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Benar- benar Aduhai bu Tien,,buat terharu ,,jd mewek,,,,

    Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien

    ReplyDelete
  34. Kembali menemukan keluarga, rasanya kaya mudik mungkin gitu, ada saling merindu.
    Kebayang dèh keluarga utuh bahagia sedjahtera, kaya iklan kabé aja.

    Mantan istri dr Danis membingungkan diri, buku mobilnya nggak ketemu.
    Sudah keduluan pacarmu tuh, aneh² sudah enak² jadi istri dokter spesialis malah buka cabang.
    Apa nggak update, lagi masa pandemi, malah buka cabang.
    Ya kalau laku keras, kreatif dikit napa, jual online gitu nggak kebanyakan nombok.
    Nggak nge-trend, lagi viral wfh tuh.
    Ya udah nikmati aja maunya bersenang-senang, lupa; semua kesenangan pakai doku, dari mana?

    Pantesan Sriani jadi pembunuh karakter anak, rupanya bukan anak kandungnya, percayalah, apalagi cuma nunut ngéyup, mbok ya ngèlingi kaya semakin muda aja, bisa lho buat merawatmu besok selagi kerentaanmu mendera.
    Sayang kesadisan mu sama saja menghancurkan diri sendiri.
    Mengenyahkan karunia Nya.


    Terimakasih Bu Tien,
    Sehat sehat selalu doaku,
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  35. Matur nuwun bu Tien
    Masih setia mengikuti

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  02 (Tien Kumalasari)   Arumi menyandarkan tubuhnya, menikmati rasanya naik mobil bagus nan halus hampir tak ...