ADUHAI AH 31
(Tien Kumalasari)
Danis turun lagi dari teras, untuk menjawab panggilan
telpon itu.
“Ya .. tidak … aku tidak tahu … bukankah kamu sudah
membawanya? Tidak … tak ada yang tertinggal. Semua yang kamu ingin bawa sudah
kamu bawa semuanya. Ya, bahkan foto-foto … kalau foto sudah aku bakar, menjadi
abu. Tidak, sekali lagi tidak ada. Ambil semuanya oleh kamu, dan aku tak mau
ada setitikpun kenangan atas diri kamu ada di rumah. Betul, aku akan menjual
rumah itu, rumah yang penuh kepalsuan. Dan .. oh ya, baguslah kalau kamu sudah
menerima surat itu. Ini terakhir kalinya kita bicara, ingat, jangan lagi
menghubungi aku. Oh ya, tentu, aku juga tahu bahwa itu bukan darah dagingku.
Stop bicara,” kata Danis sedikit kasar lalu menutup pembicaraan itu.
Danis kembali naik ke atas teras. Dilihatnya Desy
sudah meletakkan sebotol minuman dingin yang kemudian di sambarnya, lalu
diteguknya habis.
Danis menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.
Desy tak ingin bertanya apapun, ia tahu Danis sedang kesal, entah karena apa.
“Hei, Mbak… ayo kita makan,” kata Tutut yang tiba-tiba
keluar,” eeeh, ada mas Danis?”
Danis yang mendengar suara Tutut segera bangkit dan
menatapnya sambil tersenyum.
“Mengapa Mbak Desy tidak mengajaknya makan sekalian?”
tegur Tutut.
“Danis, kita makan yuk,” kata Desy kemudian.
“Ayo, aku tambahkan dulu piringnya," kata Tutut sambil
berlari mendahului ke dalam.
Danis bangkit. Ia sudah lebih bisa menata hatinya.
“Dari isteri kamu?”
“Bekas isteri,” Danis membetulkan.
“Kenapa marah?”
“Ia mengira surat mobil masih tertinggal. Padahal
tidak ada, semuanya sudah dibawa. Tak ada secuilpun milik dia tertinggal di
rumah.”
“Oh, dia mencari surat mobil?”
“Ya, dan memberitahukan bahwa surat cerai sudah didapatnya,
sykurlah,” kata Danis sambil mengikuti Desy masuk ke dalam.
“Ya sudah, endapkan emosi kamu, supaya bisa makan
lebih nyaman.”
“Ya, aku sudah lebih tenang. Senang karena statusku
sudah jelas. Duda … keren kan?” katanya mencoba bercanda.
“Baiklah.”
Keduanya sudah sampai di ruang makan.
“Mbok, tolong ini ditempatkan di wadah ya,” teriak
Desy kepada simbok.
Simbok tergopoh datang, menerima bungkusan bakso yang
dibawa Danis.
“Selamat siang Pak, Bu …” sapa Danis.
“Nak Danis? Ayo sini, sekalian makan ber ramai-ramai.”
“Sengaja ini Bu, datang pada saat makan,” kata Danis
malu-malu.
“Tidak apa-apa, anggap seperti di rumah sendiri,” kata
Haryo ramah.
“Ini kan … “ Danis menunjuk ke arah Hesti, merasa
seperti pernah melihatnya.
“Ini Hesti. Sudah kenal kan?”
“Ya, sekilas … kok ada di sini?” tanyanya sambil
duduk.
“Nggak apa-apa, Tutut butuh teman.”
“Tut, panggil mas mu di kamarnya,” titah Tindy kepada
Tutut, yang segera menghambur ke kamar Sarman.
Ia mengetuk pintunya pelan. Tak ada jawaban, lalu
membukanya langsung. Dilihatnya Sarman masih terbaring, tapi tidak sedang
tidur.
“Mas Sarman,” tutut mendekat.
Sarman kemudian bangkit, dan memeluknya, membuat Tutut
gelagapan.
“Mm .. Maas, apa yang kamu lakukan?” pekiknya sambil
mendorong tubuh Sarman.
“Aku memeluk adik aku, tidak boleh?” Sarman menatap
Tutut yang memandangnya tak berkedip.
“Ya, tentu, aku adikmu. Tapi kamu kelihatan aneh.”
“Aneh ?”
“Sangat aneh.”
Sarman menghela napas panjang. Saat tubuhnya
terbaring, pikirannya melayang-layang. Kejadian di makam almarhumah ibunya
membuatnya seperti sedang bermimpi. Tiba-tiba ia tahu siapa ayahnya, tiba-tiba
kebencian yang bertahun dipendamnya menyeruak, bertarung melawan rasa nyaman
saat diperlakukan seperti sebuah keluarga, dan menelan semua kebaikan yang
membuatnya merasa menjadi orang.
“Haruskah aku tetap membencinya? Semua kebaikannya
adalah penebus sebuah kesalahan yang pernah dilakukannya. Bukankah rasa benci
akan menyakiti, dan pemberian maaf adalah perilaku yang mulia? Itu kata-kata
bijak dari seorang wanita yang seharusnya juga tersandera oleh perilaku
suaminya yang buruk. Harusnya dia menderita, membenci, mendendam, tapi rasa itu
tak tampak ada padanya. Barangkali ia dengan segala kehalusan budi dan
kemuliaan hatinya telah bisa melenyapkan segala dendam, benci dan sakit hati.
Dia, wanita anggun itu bisa melakukannya, mengapa aku tidak?” batin Sarman terus
berputar-putar, dan membuatnya tak bisa tidur walau sejenak pun.
Perilaku mulia … tidak semua orang bisa melakukannya.
Sabar, ikhlas, hanya sedikit yang bisa menjalaninya. Tapi Sarman ingin
melakukan yang hanya dilakukan sedikit orang itu. Ibu angkatnya selalu
memujinya sebagai anak baik, apakah dia akan merusaknya dengan predikat hati
penuh dendam dan benci? Rasa benci itu terurai perlahan, bersamaan dengan
hadirnya gadis manja yang pernah dicintainya, yang serta merta dipeluknya tanpa
basa basi.
“Mas …”
Sarman menatap Tutut yang kebingungan.
“Mas baik-baik saja? Ayo kita makan, semuanya menunggu
Mas Sarman.”
Sarman mengangguk. Ia meraih laci dan membukanya,
mengambil sisir dan merapikan rambutnya.
Sarman melangkah keluar, mengikuti Tutut. Di ruang
makan, Haryo dan Tindy menatapnya khawatir. Apakah Sarman akan mengamuk karena
belum bisa mengendapkan amarahnya? Tapi tidak, tiba-tiba Sarman berjongkok
disamping Haryo, menyembunyikan wajahnya di pangkuannya, menangis di sana.
Semuanya bingung, tapi Tindy
menatapnya sambil tersenyum.
Haryo tampak mengelus kepala Sarman,
dengan linangan air mata, lalu menatap kepada Desy dan Tutut berganti-ganti.
“Dia ini kakak kamu, kakak sulung
kamu. Benar-benar kakak kalian,” kata Haryo bergetar.
Desy dan Tutut saling pandang.
Lalu Sarman juga melakukan hal yang
sama kepada Tindy, yang menyambutnya juga dengan elusan di kepalanya.
“Anakku … berdirilah, dan mari makan
bersama,” kata Tindy lembut.
Sarman berdiri dan duduk di sebuah
kursi yang sudah di siapkan untuknya.
Dalam hati Desy dan Tutut berpikir, kata-kata
ayah dan ibunya mereka anggap sebagai suatu kebanggaan karena Sarman hampir
menyelesaikan kuliahnya.
Kendati begitu mereka makan dengan
saling diam. Tak tahu harus bicara apa, lebih-lebih bagi Danis dan Hesti yang
masih sangat asing dengan keluarga itu.
***
Ketika selesai makan, anak-anak muda
berbincang di teras, bercanda tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, kecuali
Sarman tentu saja, yang sejak tadi hanya mengimbang candaan mereka dengan ikut-ikutan
tertawa.
“Tapi aku senang, Mas Danis
membawakan beberapa bungkus bakso. Makan siang kita jadi lebih asyik,” kata
Tutut.
“Tadi sebenarnya aku ingin makan
sendiri, tapi melihat bakso, jadi ingat sama kamu, lalu aku beli deh, buat
kamu.”
“Sebenarnya aku suka bakso itu
awalnya karena makan bakso sama mas Sarman ini.”
“Kok bisa, awalnya kamu memang suka
kan, setiap pulang kuliah, selalu ngajakin mampir di warung bakso,” sanggah
Sarman.
“Iya, itu awal-awalnya. Sekali, dua
kali, jadi keterusan,” kata Tutut.
“Mas Sarman, tolong telpon sama Sita
deh, bilang kalau aku nanti tidur di sini,” kata Hesti tiba-tiba.
“Kamu belum menelponnya?”
“Belum, ternyata kuota ku habis,”
kata Hesti malu-malu.
“Oh, ya ampuun, baiklah, nanti aku
telpon dia.”
“Terima kasih ya Mas, soalnya kalau
aku tidak pulang tanpa kabar, Sita pasti mencari-cari.”
“Iya, pastinya, soalnya kan kamu
habis sakit.”
“Kayaknya setelah kenyang aku ingin
pulang dulu nih,” kata Danis sambil berdiri.
“Kok buru-buru sih Mas.”
“Aku lupa, janjian sama orang yang
mau membeli rumah aku.”
“Rumah Mas mau dijual?” tanya Tutut.
“Iya, pengin pindah lokasi saja.
Kalau bisa di dekat-dekat sini,” katanya sambil nyengir.
“O, aku tahu,” kata Desy sambil
memincingkan sebelah matanya ke arah Danis.
“Tahu apa?” tanya Danis.
“Nggak jadi,” kata Desy sambil
tertawa.
“Besok aku ke sini lagi, kalau
urusanku sudah selesai. Soalnya besok kan hari kerja, jadi nggak bisa ngurus
macam-macam.” kata Danis sambil melongok ke dalam.
“Bapak sama ibu tidur Mas, mau pamit
kan?” tanya Tutut.
“Ya sudah, aku pamit dulu, selamat
siang semuanya,” kata Danis sambil melambaikan tangan dan berlalu menghampiri
mobilnya.
“Aku jadi ngantuk nih, ayuk Hes, kita
tidur, nanti sore kita jalan-jalan ya,” kata Tutut sambil menarik lengan Hesti.
“Ya sudah, tidur sana. Mas Sarman
juga mau tidur kan?” tanya Desy.
“Ya, tapi aku mau menelpon Sita dulu.”
***
Sita yang bolak-balik menengok ke
arah kamar Hesti kemudian kembali masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Ia baru
saja pulang kerja, tapi bingung melihat kamar Hesti terkunci.
Ia terkejut ketika ponselnya
berdering, dan berdebar melihat di layar, ternyata Sarman yang menelpon.
“Ya, Mas Sarman,” sapanya.
“Sita, kamu di mana?”
“Aku sudah di rumah kost. Sebenarnya
ini kan libur, tapi ada lembur saat mendekati akhir bulan.”
“Sekarang sudah pulang?”
“Sudah, belum lama aku pulang. Tapi
bolak-balik melongok ke kamar Hesti kok masih terkunci, memangnya Hesti ke mana
ya?”
“Iya, aku menelpon kamu, juga karena
mau memberi tahu tentang Hesti.”
“Oh, memangnya Hesti ke mana?”
“Hesti menginap di rumah … mm … di
rumah .. dokter Desy,” akhirnya Sarman menemukan jawaban setelah ragu ketika
ingin mengatakan ‘di rumah orang tuaku’.
“Oh, di rumah dokter Desy? Baik
sekali dokter itu ya, sudah cantik, baik lagi.”
“Iya, benar. Ya sudah Sita, aku cuma
ingin memberi tahu soal itu, supaya kamu tidak bingung mencari-cari.”
“Memangnya kenapa Hesti tidak
menelpon aku sendiri dan menyuruh mas Sarman menelpon aku?”
“Hesti kehabisan kuota.”
“Ya ampuun, dari kemarin dia bilang
kuota habis dan belum mengisinya sampai sekarang?”
“Iya, nanti aku isikan saja, setelah
ini.”
“Sama mau mengingatkan, eh, Hesti
ingat nggak ya, lima hari lagi sudah harus membayar perpanjangan sewa kamar.”
“Oh ya, nanti aku ingatkan. Terima
kasih ya Sita, eh maaf aku memanggil kamu Sita saja ya, nggak pakai ‘dik’ atau ‘mbak’.
“Eh, nggak apa-apa Mas, lebih baik
begitu, jadi lebih akrab. Hesti kapan kembalinya?”
“Mungkin besok.”
“Mas mengantarnya kan?” ternyata
Sita tidak ingin Sarman cepat-cepat mengakhiri percakapan itu, ada saja yang
ditanyakannya.
“Ya, pastinya, karena dia tidak
membawa sepeda motor.”
“Mas sekalian ke kampus?”
“Ya, ada yang harus aku selesaikan.”
“Baiklah … mmm …” Sita masih
mencari-cari kalimat untuk memperpanjang pembicaraan.
“Sudah Sita, aku mau beli pulsa dulu
untuk Hesti.”
Sita baru mau mengucapkan sesuatu,
tapi Sarman sudah mematikan ponselnya.
“Hhmh … mas Sarman tuh …” gerutunya
sambil mengunci pintu kamarnya.
***
Malam itu Haryo dan Tindy mengajak
Sarman dan Desy serta Tutut berbicara di teras, setelah meminta agar Hesti
menunggu di dalam kamar.
“Ada yang ingin bapak katakan malam
ini, tentang sebuah rahasia yang kalian semua harus tahu,” kata Haryo membuka
percakapan.
Tindy mengangguk, sedangkan Sarman
menundukkan wajahnya.
Desy dan Tutut menatap ayahnya, sedikit
tegang karena mereka melihat wajah ayahnya yang sedikit sembab saat keluar dari
kamarnya.
“Kalian kan sudah tahu, betapa buruk kelakuan
bapak di masa lalu?”
Mereka mengiyakan, tapi tak
mengatakan itu dengan mulutnya.
Lalu Haryo menceritakan sebuah kisah
percintaannya dengan seorang gadis, saat dia masih remaja. Dan menceritakan
bagaimana hubungan mereka, dan mengatakan bagaimana gadis itu mengandung dan
melahirkan dan merawatnya sampai anak itu dewasa, kemudian dia meninggal dunia
dengan memendam derita karena merasa dikhianati.
Desy dan Tutut menahan napas. Rupanya
ayahnya sedang membuka salah satu aibnya lagi.
Pada suatu hari si anak yang sudah
dewasa itu dipertemukan kembali dengan ayah kandungnya, yaitu bapakmu ini.
Lalu Desy dan Tutut kembali
menduga-duga, siapa si anak tersebut.
“Anak itu ada di dekat kalian, ya
Sarman ini,” katanya tergetar, sambil merengkuh bahu Sarman yang duduk di
dekatnya.
“Haaa? Mas Sarman?” pekik mereka
hampir bersamaan.
“Ya, ini anak kandungku, jadi dia
adalah benar-benar kakak sulung kamu, bukan hanya kakak angkat.”
“Haaa … ?” keduanya menatap Sarman
dengan perasaan tak menentu.
“Apa kalian malu punya kakak seperti
aku?” tanya Sarman lirih.
“Haaa? Malu?” mereka berteriak dan
tiba-tiba mendekati Sarman dan merangkulnya erat. Sarman gelagapan, sementara
Tindy mengusap air matanya melihat keakraban anak-anaknya dengan kakak sulungnya.
“Ini sebabnya mas Sarman tidak boleh
mencintai aku,” teriak Tutut tak terkendali.
Sarman tersipu ketika Tutut membuka ‘aibnya’.
“Ya Tuhan, aku sudah sangat khawatir,”
celetuk Tindy tiba-tiba.
“Jadi Ibu sudah lama tahu, bahwa mas
Sarman adalah kakak tiri kami?”
“Ya, bapak sudah mengatakannya.”
“Mengapa Bapak sama Ibu tidak langsung
mengatakannya dan membuat kami bertanya-tanya?”
“Bapak khawatir Sarman tidak bisa
menerimanya, lalu tidak mau melanjutkan kuliah. Itu sebabnya rahasia itu dibuka
saat masmu itu sudah menyelesaikan skripsinya,” Tindy yang menerangkan
semuanya, sementara Haryo hanya mengangguk-angguk, bahagia.
“Jadi mas Sarman tidak lagi boleh
pergi dari rumah kan?” kata Tutut sambil menggoyang-goyangkan bahu Sarman.
Bahagia mereka karena benar-benar memiliki seorang laki-laki baik yang ternyata
adalah kakak sulungnya.
“Aku akan menelpon mbak Lala,” kata
Desy sambil meraih ponselnya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteSelamat... jeng Ting juara 1.
DeleteSuwun bunda Tien .
.Aduhai Ah, muncul jg di hari libur. Alhamdulillah
Matur suwun Bu Tien..
ReplyDeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah, AA31 sdh tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSehat dan bahagia selalu
ADUHAI....AH_31 sudah hadir. Matur nuwun, bun. Salam SEROJA
ReplyDeleteSelamat bu Tingting Juara 1
ReplyDeleteApa kabar bu Ting??
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun nggih Mbak Tien ...tetep sehat dan selalu bersyukur ...Aamiin🌷🌷🌷🌷🌷
Yesss 👍
ReplyDeleteAlhamdulillah sy sehat Pak..
ReplyDeleteTerima kasih Pak, Bu Wiwik🙏
Alhamdulllah..... Trimskasih bu Tien yg ditunggu2 sdh tayang ..... salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah AA 31 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin Yaa Allah
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bubTien
Alhamdullilah AA 31 sdh tayang..terima ksih bunda Tien..slmt malam dan selamat istrahat..slm sayang dan slm sht sll tetap Aduhai dari sukabumi..🙏😘😘🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMksh Ibu Tien ADUHAI AH 31 dah tayang selamat malam selamat beristirahat.
Ah....bahagianya keluarga Haryo......matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, akhirnya SARMAN ketemu bapaknya dan bisa membuang amarahnya... terima kasih mbak Tien, salam aduhai ah...
ReplyDeleteAh hari ini ceritanya gak greget Bu Tien.....trims Bu Tien AA udah hadir
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien, semoga mbak Tien sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 31 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Ahaahhh...AA dah tayang
ReplyDeleteADUHAI AH....bisa tayang lebih awal..
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏
Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu. Aamiin
ReplyDeleteHaryo ahkirnya berkata sama anak2 perempuannya .Sarman kakak laki2 nya dan Tutus tdk blh mencintai Sarman ..jadi sama Hesti yaa nanti..akan di peristri Sarman🤲🤲🤭🤭eee Sita ternyata suka ma Sarman yaa gak mungkin lah ..
ReplyDeleteAssalamualaikum wr. Wb.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien. Cerbungnya sangat menghibur.
Semoga bu Tien dan keluarga selalu sehat dan berbahagia. Aamiin.
.
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteBaguslah... Sarman dapat menerima Haryo sebagai ayahnya.
Tinggal menunggu Danar, bagaimana kisah selanjutnya.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdulillah......n ibu suwu
ReplyDeletehadir...
ReplyDeleteTerimakasih Bunda Tien... Ceritanya bikin qt ikutan happy...
ReplyDeleteSehat2 selalu Bunda Tien
Salam aduhaiii 🙏😘
Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 31 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Yeeee..... Satu konflik lagi sudah terurai, selamat mas Sarman, sudah tidak menyimpan dendam di hatimu.
ReplyDeleteSita akan mengejarmu, sedangkan dirimu akan mengejar Hesti... hehehe. Drama cinta mas Sarman akan tayang tak lama lagi....
Bu Tien memang author heibaat, cerita nya selalu keren. Sehat selalu ya Bu.. 😘😘
Betul-betul bagus...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Ahaa...mudah2an tidak ada konflik lagi dgn hesti...
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien,
Salam sehat dan Aduhai..
Bam's Bantul
Terimakasih
ReplyDeleteTerharuu...
ReplyDeleteTerimakasih mbak Tien...
Salam sehat dan Aduhaii
Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....
ReplyDeleteSalam sehat selalu....😊🙏
Alhamdulillah, matursuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu buat semuanya anggota WAG PCTK
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteBenar- benar Aduhai bu Tien,,buat terharu ,,jd mewek,,,,
Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien
Terus memanas
ReplyDeleteKembali menemukan keluarga, rasanya kaya mudik mungkin gitu, ada saling merindu.
ReplyDeleteKebayang dèh keluarga utuh bahagia sedjahtera, kaya iklan kabé aja.
Mantan istri dr Danis membingungkan diri, buku mobilnya nggak ketemu.
Sudah keduluan pacarmu tuh, aneh² sudah enak² jadi istri dokter spesialis malah buka cabang.
Apa nggak update, lagi masa pandemi, malah buka cabang.
Ya kalau laku keras, kreatif dikit napa, jual online gitu nggak kebanyakan nombok.
Nggak nge-trend, lagi viral wfh tuh.
Ya udah nikmati aja maunya bersenang-senang, lupa; semua kesenangan pakai doku, dari mana?
Pantesan Sriani jadi pembunuh karakter anak, rupanya bukan anak kandungnya, percayalah, apalagi cuma nunut ngéyup, mbok ya ngèlingi kaya semakin muda aja, bisa lho buat merawatmu besok selagi kerentaanmu mendera.
Sayang kesadisan mu sama saja menghancurkan diri sendiri.
Mengenyahkan karunia Nya.
Terimakasih Bu Tien,
Sehat sehat selalu doaku,
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteMasih setia mengikuti