ADUHAI AH 30
(Tien Kumalasari)
Siang itu tidak begitu terik, karena ada sedikit
mendung mengambang yang terkadang menutupi matahari yang mestinya sedang
menghembuskan kehangatan di seluruh jagad. Sarman dan kedua orang tua angkatnya
duduk bersimpuh di depan sebuah makam.
Ketiganya berdoa dengan sangat khusyuk. Sarman bahkan
sampai menitikkan air mata mengingat sosok almarhumah ibundanya yang sangat
mengasihinya sampai akhir hayatnya, sambil memendam duka karena ditinggalkan
oleh suami yang menikahinya, dalam keadaan mengandung anak semata wayangnya.
Bahkan Haryo larut dalam duka saat melantunkan doa,
mengingat semua dosa yang pernah dilakukannya. Bukan hanya kepada ibunya
Sarman, tapi juga ibunya Danarto, yang menyayanginya dengan sangat tulus, tapi dia
menghianati cinta itu karena kegemarannya pada wanita cantik.
“Ibu, semoga Ibu mendapatkan surga mulia disisiNya, diampuni
semua salah dan dosa, aamiin,” bisiknya lirih diakhir doanya, sambil mengusap
air matanya.
Tindy menepuk bahu Sarman dengan lembut.
“Ibumu akan bangga memiliki anak sebaik kamu, Sarman,”
lirih kata Tindy sambil terus mengusap bahu Sarman.
Sarman merasa tenang mendapat usapan lembut itu. Ia
mencium tangan Tindy, dan juga tangan Haryo yang wajahnya tampak sendu, bahkan menatapnya
dengan mata merah. Sarman terharu menyadari betapa besar perhatian Haryo dan
isterinya kepada ibunya, dan tentu saja dirinya.
Semilir angin siang terasa menyegarkan, karena makam
ibunda Sarman ternaungi oleh sebuah pohon besar yang rindang. Ketiganya kini
duduk berhadapan. Tindy dan Haryo saling pandang, merasa bingung siapa yang
harus lebih dulu mengurai kehadiran Sarman di dunia ini oleh siapa.
Sarman sudah ingin mengajak keduanya singgah ke rumah
kecilnya, ketika tiba-tiba Tindy membuka suara.
“Sarman, tampaknya bapak ingin mengatakan sesuatu sama
kamu.”
Sarman menatap Haryo penuh tanda tanya. Apa gerangan
yang ingin dikatakan oleh laki-laki baik yang mengentaskannya dari seorang satpam
kampus menjadi seorang mahasiswa yang sebentar lagi boleh menyandang titel
sarjana?
Haryo meraih tangan Sarman, dan menggenggamnya erat. Sarman
menatap genangan air bening di pelupuk mata Haryo.
“Sarman …” terbata Haryo mengucapkannya.
Sarman menunggu dengan debaran keras di dadanya.
Apakah ini tentang Tutut? Apakah ayah angkatnya itu ingin mengatakan bahwa dia
dilarang mendekati Tutut secara terang-terangan? Mengapa pakai menangis segala?
Tidak tega mengucapkannya? Sarman merasa sudah tahu diri dan menghapus segala
rasa itu. Apakah Haryo masih mencurigainya? Berjuta pertanyaan berebut
menghentak dadanya.
“Sebelumnya aku ingin minta maaf sama kamu,” kata Haryo
tanpa melepaskan genggamannya pada tangan Sarman.
Tuh kan, minta maaf, pasti karena Tutut. Ya ampuun,
tidak pak, saya tahu diri, tidak akan lagi mendekati Tutut dengan rasa yang
terlarang menurut bapak.
“Katakan kamu akan memaafkan aku, Sarman.”
Sarman mengangguk ragu, tanpa mampu berucap apapun.
“Apakah kamu ingin tahu siapa sebenarnya ayah
kandungmu?”
Sarman terhenyak. Ternyata bukan masalah Tutut. Ayah
kandung? Tahu apa pak Haryo tentang ayahku? Dia kenal? Apa dia masih hidup?
Dimana dia berada? Aku ingin mendatanginya dan …
“Inginkah kamu tahu?”
“Tentu saja Pak,” lirih Sarman.
“Mendekatlah, biarkan aku memelukmu,” bergetar suara
Haryo.
Sarman tercekat. Ia sedang menduga-duga. Lalu ia
merasa Haryo menarik tangannya, memintanya mendekat. Haryo memeluknya,
tangisnya pecah.
Sarman yang berada dalam dekapan Haryo terkejut. Ada
apa ini?
“Akulah ayahmu Sarman, akulah ayah kandungmu,” suara
Haryo semakin gemetar.
Tindy mengusap air matanya. Ada haru menusuk batinnya,
ada doa dipanjatkan, semoga Sarman bisa menerimanya tanpa murka.
Sarman mendorong dada Haryo.
“Aku ayahmu, yang menyebabkan kamu terlahir di dunia
ini,” masih dalam tangis kata-kata itu terucap.
Sarman menatap tak percaya.
Saat itu aku masih sangat muda. Aku belum punya istri.
Aku tertarik kepada ibumu, lalu kami menikah siri. Aku masih kuliah, dan harus
melupakan kisah cinta itu, lalu aku melupakannya, tanpa sadar bahwa ibumu sudah
mengandung kamu,” sekarang Haryo terguguk.
Mata Sarman berkilat. Ada amarah di sana.
Tindy yang berlinangan air mata menyentuh bahu Sarman
lembut. Berharap agar sentuhan itu meredakan gejolak amarah yang sudah pasti
membakarnya.
Dada Sarman terasa sesak. Sudah lama ditunggunya saat
itu, saat bisa bertemu laki-laki yang membuat ibunya menderita sampai akhir
hayatnya. Kedua tangannya terkepal. Haryo melihat kemarahan itu, lalu mendekati
Sarman dan berusaha merengkuhnya. Tapi Sarman mundur, dan Haryo hampir
terjungkal kalau Tindy tidak segera menarik lengannya.
“Kalau kamu ingin memukulku, pukullah aku. Bahkan
kalau kamu ingin membunuhku, aku serahkan nyawaku, kalau memang itu bisa
memuaskan hati kamu,” kata Haryo diantara tangisnya.
Sarman tampak terengah-engah mencoba menahan emosi
yang sudah naik ke ubun-ubun. Bolehkah dia memukul laki-laki setengah tua ini?
Laki-laki yang sudah cacat sebelah kakinya dan sudah tidak bisa berjalan dengan
normal, lalu menangis di hadapannya?
Kelihatannya memelas bukan? Tapi lihat apa yang telah
dilakukannya pada ibuku. Dengan seenaknya dia pergi, meninggalkan seorang
perempuan yang sedang mengandung anaknya, membiarkannya mengarungi hidup dalam
luka dan papa.
Tindy menangkap kegelisahan Sarman. Ia beringsut
mendekat, dan menepuk bahunya lembut. Sementara Haryo tertunduk dalam isak
tertahan.
“Sarman, kamu ingat tidak, kita pernah bicara di kamar
kamu waktu itu? Bicara tentang kebencian dan dendam?”
Sarman menatap Tindy, menelan tatapan teduh itu dengan
rasa lebih nyaman. Tentu saja Sarman ingat. Bukankah kebencian itu racun dan
hanya akan menyakiti hati kita?
Tapi bagaimana menguras racun
kebencian itu dari dalam diri kita? Sarman masih manusia, yang memiliki hati
dan rasa. Bertahun dia memendam kebencian itu dan ingin ditumpahkannya saat itu
juga. Lalu ditatapnya laki-laki setengah tua yang sedang tertunduk kuyu, sambil
sesekali mengusap air matanya.
Apakah aku ingin menghajarnya?
Memaki-makinya? Bahkan tadi dia minta aku membunuhnya kalau memang aku
menginginkannya. Kata batin Sarman bertubi-tubi.
Lalu ditatapnya wanita yang bersimpuh
di hadapannya, memegangi bahunya dan menatapnya lembut. Ah ya, wanita ini
bukankah isteri Haryo? Bagaimana dia bisa begitu tenang menghadapi kelakuan
suaminya yang sangat tidak manusiawi itu? Apakah dia tidak terluka mengetahui
semua kelakuan suaminya?
Kebencian itu hanya akan melukai hati
kita. Diucapkannya kata-kata itu berkali-kali dalam hati.
“Sarman, barangkali kamu butuh waktu
untuk mengendapkan segala perasaan kamu. Ayo kita pulang, kamu bisa menenangkan
diri disana.”
Ajakan pulang itu terasa menggigit
jiwanya. Membuatnya merasa dia punya rumah yang dihuni oleh orang tua dan
saudara-saudaranya. Aduhai, betapa besar kasih sayang keluarga itu. Iya lah,
kan dia merasa bersalah, kemudian menebusnya dengan segala kebaikan. Aaah,
bukan. Yang punya salah kan Haryo. Tapi kenapa bu Haryo juga begitu baik dan
menyayanginya? Mengapa bu Haryo tetap mengasihi suaminya walau suaminya
mempunyai kelakuan begitu buruk? Apakah bu Haryo tidak memiliki rasa benci itu
sehingga dia tidak tersakiti?
“Sarman, ayo pulang,” kata Tindy lagi
sambil menggamit lengannya.
Bagaimanapun Sarman tersirami rasa
haru mendengar kata ‘pulang’ itu. Pulang, seakan Sarman adalah keluarganya. Itu
sangat manis bukan?
“Bukankah memaafkan adalah perbuatan
yang sangat mulia?” bisik Tindy lembut.
Aduhai, apakah bu Haryo ini malaikat?
“Kalau kata maaf itu masih tersimpan
jauh di dasar hati kamu, biarkanlah. Ayo pulang dan endapkan perasaan kamu,”
kali ini Tindy menarik tangan Sarman pelan. Sarman yang lunglai tak mampu
menolaknya.
“Pak, ayo kita ajak anak kita pulang,”
kata Tindy lagi sambil menggamit lengan suaminya.
Ya Tuhan, dia mengatakan ‘anak kita’.
Ketiganya melangkah pelan, menaiki
mobil tanpa suara.
“Biar aku yang membawa mobilnya,”
kata Tindy yang kemudian membukakan pintu untuk suaminya, dan meminta Sarman
duduk di belakang, tanpa suara.
Ditengah perjalanan, Tindy menelpon
Tutut.
“Ya Bu.”
“Tolong bersihkan kamar kakak sulung
kamu, dia akan pulang hari ini,” katanya.
“Horeeee,” terdengar sorak dari
seberang, membuat Tindy mau tak mau tersenyum senang,
***
Tutut yang sedang berbincang dengan
Hesti dan Desy, terpaksa berdiri dengan wajah berseri.
“Mas Sarman mau pulang kemari, aku
disuruh ibu membereskan kamarnya,” katanya sambil berjingkrak dan pergi.
“Mas Sarman mau tidur di sini? Lalu
aku bagaimana?” kata Hesti khawatir.
“Hesti, kamu juga harus tidur di
sini.”
“Apa? Aku harus tidur sama mas
Sarman?”
Astaga, gadis ini polos sekali. Kalau
dua-duanya tidur disini, masa sih berarti harus tidur bersama?
“Tidak Hesti, kamu boleh tidur di
kamar yang lain, ada beberapa kamar kosong di sini,” kata Desy sambil tertawa.
“Aduh, aku takut kalau harus tidur
sendiri.”
“Bukankah di tempat kost kamu juga
tidur sendiri?”
“Tapi aku kan belum pernah tidur di
rumah ini.”
“Nanti kamu akan tidur dengan Tutut.”
“Benarkah? Tapi sebenarnya aku ingin
pulang. Sita pasti mencari aku kalau aku tidak pulang.”
“Siapa Sita?”
“Teman yang menemani saat aku sakit.”
“O, itu. Kamu telpon saja dia, dan
bilang kamu tidur di sini. Apa kamu tidak suka berada disini? Kami selalu
berisik, apalagi Tutut.
“Suka, aku suka.”
“Kapan berakhir masa sewa kamar kost
kamu?”
“Bulan ini, Mbak,” tiba-tiba wajah
Hesti berubah sedih.
“Nah, bulan ini tinggal lima hari
lagi.”
“Aku harus mencari yang lebih murah,
tapi aku juga harus bisa mendapatkan pekerjaan. Aku sudah minta Sita untuk
mencarikannya.”
“Bagaimana kalau kamu tinggal disini
saja?”
“Di sini? Mana bisa aku membayarnya?
Rumahnya sangat bagus, pasti mahal, bisa berlipat kali dari harga rumah kost
aku.”
Desy terkekeh.
“Siapa menyuruhmu membayar?”
“Apa maksud Mbak?”
“Tinggallah di sini, nggak usah
bayar.”
“Apa?”
Desy tertawa.
"Hei, mulut kamu kenapa
menganga begitu, kalau ada lalat masuk gimana?” kata Tutut yang kebetulan lewat sambil membawa seprei bersih ke dalam kamar Sarman.
Hesti mengatupkan mulutnya, dan
menutupinya dengan sebelah tangan. Desy terkekeh melihat ulahnya. Ya ampuun,
polos begitu, mau jadi isteri dokter Danarto?
“Gratis, sayang. Dan tetaplah kamu
kuliah, jangan pernah berhenti.”
“Mana mungkin?”
“Pasti akan ada jalan, percayalah.”
“mBoook, bantuin dong,” teriak Tutut
dari dalam kamar.
Desy berdiri, diikuti Hesti.
“Ada apa sih, simbok baru masak, dan
menyiapkan makan siang,” tegur Desy.
“Ini, bantuin memasang seprei nya,”
sungut Tutut.
“Sini aku bantu Mbak. Hesti segera
mendekat, lalu mereka berdua bantu membantu membersihkan kamar Sarman.
“Setelah itu benahi juga kamar kamu,
nanti Hesti akan menginap disini dan tidur bersama kamu,” perintah Desy sambil
menatap keduanya.
“Haaa? Benarkah?” kata Tutut gembira.
“Tapi aku kalau tidur ngorok lho Mbak.”
“Nggak apa-apa, aku kalau tidur nggak
bisa mendengar apapun, jangan khawatir. Ayo sekarang gulingnya, kurang satu nih,”
kata Tutut.
Desy tersenyum, lalu meninggalkan
kamar itu.
***
Ketika tugas merapikan dua kamar itu
selesai, Haryo dan isteri serta Sarman baru datang.
Desy yang ada di teras sendirian,
heran melihat ibunya menggandeng Sarman, sedangkan wajah Sarman tampak lesu
tanpa senyuman.
“Mas Sarman, kamarnya sudah di
rapikan. Tutut dan Hesti yang melakukannya,” kata Desy menyambut mereka. Tapi
Sarman hanya sedikit menganggukkan kepala. Tindy menggandengnya langsung ke
kamar, diikuti pandangan heran Desy dan Tutut yang duduk di ruang tengah
bersama Hesti.
“Nah, istirahatlah dulu di kamar
kamu, sampai hatimu tenang, baru kita bicara lagi. Ya?” kata Tindy lembut
sambil membiarkan Sarman berbaring, kemudian dia menutupkan pintunya.
“Mas Sarman kenapa? Sakit?”
“Tidak,” kata Tindy yang belum ingin
mengatakan yang sesungguhnya kepada anak-anaknya.
“Sedih pasti, setelah berdoa di makam
ibunya,” gumam Desy, yang kemudian dibalas dengan anggukan kepala oleh Tutut.
“Kasihan,” gumamnya lirih.
“Nanti malam ibu mau bicara,” kata
Tindy sambil masuk ke kamar, menyusul Haryo yang sudah lebih dulu memasukinya.
***
Desy masih duduk di teras, sementara
Tutut dan Hesti masih asyik berbincang. Rupanya kecerewetan Tutut membuat
Hesti sedikit terhibur, apalagi menyaksikan sikap hangat keluarga itu terhadap
dirinya.
“Mbak, bilang sama bapak sama ibu,
makan siang sudah siap,” kata simbok dari arah ruang tengah.
“Ya Mbok, sebentar, aku bilang sama ibu.”
Desy ingin masuk ke dalam ketika
dilihatnya mobil memasuki halaman.
“Itu kan mobil baru Danis?”
Danis turun dan Desy menyambutnya di
tangga teras.
“Selamat siang,” sapa Danis manis.
“Siang, bawa apa kamu Danis?”
“Tutut ada?”
“Yah, adanya aku, kenapa Tutut yang
dicari?”
“Ini, aku bawakan bakso kesukaannya,
sama buku bacaan, aku tadi membelinya.”
“Enak tuh bakso, tapi buku bacaan? Bukankah
Tutut sukanya boneka?” sergah Desy menggoda.
“Ini buku tentang cinta. Biar dia
tahu bagaimana liku-liku cinta,” canda Danis sambil duduk di teras tanpa
dipersilakan.
“Tutut ada kan?” lanjutnya.
“Ada, ayuk sekalian makan siang,”
ajak Desy.
Tapi tiba-tiba Ponsel Danis
berdering.
“Sebentar, dari isteri aku, eh bekas
isteri aku,” kata Danis sambil membuka ponselnya.
“Rasain, ngajak balikan tuh,” goda
Desy.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien....๐๐
Selamat juaranya jeng Nani, aku disuruh mendesign kaos REUNI eeee lha kok ditinggal balapan.....
DeleteMatur nuwun bu Tien
Siap koreksi
Hahaha...jadi ketinggalan ya pakdhe..
DeleteLha aku isa nyambi kok Kek
DeleteYes,
ReplyDeleteManusang bu Tien sdh tayang AA 30
Deletealhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulilah hatur nuwun mbakyuku sayang miss u muaach
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulillah, AA sudah tayang, matur nwn bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan Aduhai..
Bam's Bantul
Alhamdulillah๐น๐น๐น๐น๐น
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien.☺️
A͟l͟h͟a͟m͟d͟i͟l͟i͟l͟l͟a͟h͟ e͟p͟s͟ 30 t͟a͟y͟a͟n͟g͟ ..M͟a͟t͟u͟r͟ s͟u͟w͟u͟n͟ B͟u͟ T͟i͟e͟n͟ ..
ReplyDeleteS͟a͟l͟a͟m͟ s͟e͟h͟a͟t͟ u͟t͟k͟ b͟u͟ T͟i͟e͟n͟ d͟a͟n͟ k͟e͟l͟u͟a͟r͟g͟a͟..๐๐๐
Alhamdulillah AA 30 dah tayang, makasih Bunda
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 30 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillaah, matursuwun bu Tien
ReplyDeletesalam sehat selalu
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteHarusnya Sarman bisa menerima kenyataan, tapi entahlah kalau sang dalang berkehendak lain.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Ih ih ngajak balikan kali istrinya pak dokter hehe nggak jd duren dong ,...trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.
Ya AA dah tayang.. baca aja yaahh
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 30 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Maturnuwun Mbak Tien.. tetaplah sehat..
ReplyDeleteWaduh upacara penyambutan tertunda, lagian akan ada pengumuman penting dari pejabat rumah tangga, terpaksa nunggu iklan lewat, lumayan ada sponsor.
ReplyDeleteMudah mudahan ide Desy agar Hesti tinggal dirumah bisa di terima penguasa setempat.
Bahkan kedatangan rombongan nggak ada gagah² nya nyuklun kabรจh, รจh yang masih bisa tenang cuma Tindy, bahkan memerintahkan properti buat salah satu anggota baru yang masih shock, menerima keputusan yang diumumkan tadi.
Danis mau menemui penelphon, yang mendadak mau minta bertemu.
Dengan meninggalkan masalah; yang suka bakso ada tiga dara tapi stok terbatas.
Nggak tahu kapan diadakan konferensi pers, biasanya juga ada pernyataan sikap disusul peraturan dan petunjuk pelaksanaannya.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke tiga puluh sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku; sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteAduhai bu Tindy ,,hatinya begitu tulus ,,smp Sarman tdk bisa berkata - kata
Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien
Alhamdulillah..
ReplyDeleteAduhaiii 30 ...seep
Makin seruuu ๐
Kaget pasti,marah juga pasti..ya Apa lg Ibu Tindy syok dgn kelakuan suaminya..Sarman ooo iki opo to wes tidak ada yg sempurna kok kita,trims bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, walau sambil terkantuk, mks bund Tien
ReplyDeleteHesty ukuran kaosmu apa ? tangan panjang yah
ReplyDeleteMakasih mba Tien
ReplyDeleteTapi tiba-tiba Ponsel Danis berdering.
ReplyDelete“Sebentar, dari isteri aku, eh bekas isteri aku,” kata Danis sambil membuka ponselnya.
“Rasain, ngajak balikan tuh,” goda Desy.
***
Besok lagi ya.
Yahhhhhh, setelah nemu 6 koreksian..... HBP Danis berdering..... dari mantan istrinya...... padahal mau diajak makan bersama ....... jadi tertunda dech....... Mungkinkah "Teklek kecemplung kalen" ???
Terserah apa kata dunia...... eh salah apa kata ibu penulisnya.
Kita ini hanyalah pembaca sekaligus penyemangat bu Tien Kumalasari yang ADUHAI....AH, itu lho.... yang setiap malam ditunggu penggemarnya.....
Lanjoooottttt bun, besok lagi ya...........
Yg ke 30 tlah hdir.. yg di nanty... masih tegang smpai besok lagi..... terima kasih.. sehat² trs...
ReplyDeleteMbak Tien memang ok punya...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....
ReplyDeleteSalam sehat selalu.....๐๐
Makin seru ceritanya, kapan Danarto memberitahu Hesti, siapa sebenarnya dia,.. Tahukah Danarto bhw ibunya pernah dicintai Haryo... Mengapa mantan istri Danis menelponnya... Tunggu saja dgn sabar, semoga Mbak Tien senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin. Aamiin Yaa Robbal'alamiin...
ReplyDeleteSalam sehat dari Pondok Gede...
ReplyDeleteMulai nih mata g bs terkendali buat tdk menetes hiks,,,haru...uuuuhuhu
ReplyDelete