Wednesday, May 25, 2022

ADUHAI AH 30

 

ADUHAI AH  30

(Tien Kumalasari)

 

Siang itu tidak begitu terik, karena ada sedikit mendung mengambang yang terkadang menutupi matahari yang mestinya sedang menghembuskan kehangatan di seluruh jagad. Sarman dan kedua orang tua angkatnya duduk bersimpuh di depan sebuah makam.

Ketiganya berdoa dengan sangat khusyuk. Sarman bahkan sampai menitikkan air mata mengingat sosok almarhumah ibundanya yang sangat mengasihinya sampai akhir hayatnya, sambil memendam duka karena ditinggalkan oleh suami yang menikahinya, dalam keadaan mengandung anak semata wayangnya.

Bahkan Haryo larut dalam duka saat melantunkan doa, mengingat semua dosa yang pernah dilakukannya. Bukan hanya kepada ibunya Sarman, tapi juga ibunya Danarto, yang menyayanginya dengan sangat tulus, tapi dia menghianati cinta itu karena kegemarannya pada wanita cantik.

“Ibu, semoga Ibu mendapatkan surga mulia disisiNya, diampuni semua salah dan dosa, aamiin,” bisiknya lirih diakhir doanya, sambil mengusap air matanya.

Tindy menepuk bahu Sarman dengan lembut.

“Ibumu akan bangga memiliki anak sebaik kamu, Sarman,” lirih kata Tindy sambil terus mengusap bahu Sarman.

Sarman merasa tenang mendapat usapan lembut itu. Ia mencium tangan Tindy, dan juga tangan Haryo yang wajahnya tampak sendu, bahkan menatapnya dengan mata merah. Sarman terharu menyadari betapa besar perhatian Haryo dan isterinya kepada ibunya, dan tentu saja dirinya.

Semilir angin siang terasa menyegarkan, karena makam ibunda Sarman ternaungi oleh sebuah pohon besar yang rindang. Ketiganya kini duduk berhadapan. Tindy dan Haryo saling pandang, merasa bingung siapa yang harus lebih dulu mengurai kehadiran Sarman di dunia ini oleh siapa.

Sarman sudah ingin mengajak keduanya singgah ke rumah kecilnya, ketika tiba-tiba Tindy membuka suara.

“Sarman, tampaknya bapak ingin mengatakan sesuatu sama kamu.”

Sarman menatap Haryo penuh tanda tanya. Apa gerangan yang ingin dikatakan oleh laki-laki baik yang mengentaskannya dari seorang satpam kampus menjadi seorang mahasiswa yang sebentar lagi boleh menyandang titel sarjana?

Haryo meraih tangan Sarman, dan menggenggamnya erat. Sarman menatap genangan air bening di pelupuk mata Haryo.

“Sarman …” terbata Haryo mengucapkannya.

Sarman menunggu dengan debaran keras di dadanya. Apakah ini tentang Tutut? Apakah ayah angkatnya itu ingin mengatakan bahwa dia dilarang mendekati Tutut secara terang-terangan? Mengapa pakai menangis segala? Tidak tega mengucapkannya? Sarman merasa sudah tahu diri dan menghapus segala rasa itu. Apakah Haryo masih mencurigainya? Berjuta pertanyaan berebut menghentak dadanya.

“Sebelumnya aku ingin minta maaf sama kamu,” kata Haryo tanpa melepaskan genggamannya pada tangan Sarman.

Tuh kan, minta maaf, pasti karena Tutut. Ya ampuun, tidak pak, saya tahu diri, tidak akan lagi mendekati Tutut dengan rasa yang terlarang menurut bapak.

“Katakan kamu akan memaafkan aku, Sarman.”

Sarman mengangguk ragu, tanpa mampu berucap apapun.

“Apakah kamu ingin tahu siapa sebenarnya ayah kandungmu?”

Sarman terhenyak. Ternyata bukan masalah Tutut. Ayah kandung? Tahu apa pak Haryo tentang ayahku? Dia kenal? Apa dia masih hidup? Dimana dia berada? Aku ingin mendatanginya dan …

“Inginkah kamu tahu?”

“Tentu saja Pak,” lirih Sarman.

“Mendekatlah, biarkan aku memelukmu,” bergetar suara Haryo.

Sarman tercekat. Ia sedang menduga-duga. Lalu ia merasa Haryo menarik tangannya, memintanya mendekat. Haryo memeluknya, tangisnya pecah.

Sarman yang berada dalam dekapan Haryo terkejut. Ada apa ini?

“Akulah ayahmu Sarman, akulah ayah kandungmu,” suara Haryo semakin gemetar.

Tindy mengusap air matanya. Ada haru menusuk batinnya, ada doa dipanjatkan, semoga Sarman bisa menerimanya tanpa murka.

Sarman mendorong dada Haryo.

“Aku ayahmu, yang menyebabkan kamu terlahir di dunia ini,” masih dalam tangis kata-kata itu terucap.

Sarman menatap tak percaya.

Saat itu aku masih sangat muda. Aku belum punya istri. Aku tertarik kepada ibumu, lalu kami menikah siri. Aku masih kuliah, dan harus melupakan kisah cinta itu, lalu aku melupakannya, tanpa sadar bahwa ibumu sudah mengandung kamu,” sekarang Haryo terguguk.

Mata Sarman berkilat. Ada amarah di sana.

Tindy yang berlinangan air mata menyentuh bahu Sarman lembut. Berharap agar sentuhan itu meredakan gejolak amarah yang sudah pasti membakarnya.

Dada Sarman terasa sesak. Sudah lama ditunggunya saat itu, saat bisa bertemu laki-laki yang membuat ibunya menderita sampai akhir hayatnya. Kedua tangannya terkepal. Haryo melihat kemarahan itu, lalu mendekati Sarman dan berusaha merengkuhnya. Tapi Sarman mundur, dan Haryo hampir terjungkal kalau Tindy tidak segera menarik lengannya.

“Kalau kamu ingin memukulku, pukullah aku. Bahkan kalau kamu ingin membunuhku, aku serahkan nyawaku, kalau memang itu bisa memuaskan hati kamu,” kata Haryo diantara tangisnya.

Sarman tampak terengah-engah mencoba menahan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. Bolehkah dia memukul laki-laki setengah tua ini? Laki-laki yang sudah cacat sebelah kakinya dan sudah tidak bisa berjalan dengan normal, lalu  menangis di hadapannya?

Kelihatannya memelas bukan? Tapi lihat apa yang telah dilakukannya pada ibuku. Dengan seenaknya dia pergi, meninggalkan seorang perempuan yang sedang mengandung anaknya, membiarkannya mengarungi hidup dalam luka dan papa.

Tindy menangkap kegelisahan Sarman. Ia beringsut mendekat, dan menepuk bahunya lembut. Sementara Haryo tertunduk dalam isak tertahan.

“Sarman, kamu ingat tidak, kita pernah bicara di kamar kamu waktu itu? Bicara tentang kebencian dan dendam?”

Sarman menatap Tindy, menelan tatapan teduh itu dengan rasa lebih nyaman. Tentu saja Sarman ingat. Bukankah kebencian itu racun dan hanya akan menyakiti hati kita?

Tapi bagaimana menguras racun kebencian itu dari dalam diri kita? Sarman masih manusia, yang memiliki hati dan rasa. Bertahun dia memendam kebencian itu dan ingin ditumpahkannya saat itu juga. Lalu ditatapnya laki-laki setengah tua yang sedang tertunduk kuyu, sambil sesekali mengusap air matanya.

Apakah aku ingin menghajarnya? Memaki-makinya? Bahkan tadi dia minta aku membunuhnya kalau memang aku menginginkannya. Kata batin Sarman bertubi-tubi.

Lalu ditatapnya wanita yang bersimpuh di hadapannya, memegangi bahunya dan menatapnya lembut. Ah ya, wanita ini bukankah isteri Haryo? Bagaimana dia bisa begitu tenang menghadapi kelakuan suaminya yang sangat tidak manusiawi itu? Apakah dia tidak terluka mengetahui semua kelakuan suaminya?

Kebencian itu hanya akan melukai hati kita. Diucapkannya kata-kata itu berkali-kali dalam hati.

“Sarman, barangkali kamu butuh waktu untuk mengendapkan segala perasaan kamu. Ayo kita pulang, kamu bisa menenangkan diri disana.”

Ajakan pulang itu terasa menggigit jiwanya. Membuatnya merasa dia punya rumah yang dihuni oleh orang tua dan saudara-saudaranya. Aduhai, betapa besar kasih sayang keluarga itu. Iya lah, kan dia merasa bersalah, kemudian menebusnya dengan segala kebaikan. Aaah, bukan. Yang punya salah kan Haryo. Tapi kenapa bu Haryo juga begitu baik dan menyayanginya? Mengapa bu Haryo tetap mengasihi suaminya walau suaminya mempunyai kelakuan begitu buruk? Apakah bu Haryo tidak memiliki rasa benci itu sehingga dia tidak tersakiti?

“Sarman, ayo pulang,” kata Tindy lagi sambil menggamit lengannya.

Bagaimanapun Sarman tersirami rasa haru mendengar kata ‘pulang’ itu. Pulang, seakan Sarman adalah keluarganya. Itu sangat manis bukan?

“Bukankah memaafkan adalah perbuatan yang sangat mulia?” bisik Tindy lembut.

Aduhai, apakah bu Haryo ini malaikat?

“Kalau kata maaf itu masih tersimpan jauh di dasar hati kamu, biarkanlah. Ayo pulang dan endapkan perasaan kamu,” kali ini Tindy menarik tangan Sarman pelan. Sarman yang lunglai tak mampu menolaknya.

“Pak, ayo kita ajak anak kita pulang,” kata Tindy lagi sambil menggamit lengan suaminya.

Ya Tuhan, dia mengatakan ‘anak kita’.

Ketiganya melangkah pelan, menaiki mobil tanpa suara.

“Biar aku yang membawa mobilnya,” kata Tindy yang kemudian membukakan pintu untuk suaminya, dan meminta Sarman duduk di belakang, tanpa suara.

Ditengah perjalanan, Tindy menelpon Tutut.

“Ya Bu.”

“Tolong bersihkan kamar kakak sulung kamu, dia akan pulang hari ini,” katanya.

“Horeeee,” terdengar sorak dari seberang, membuat Tindy mau tak mau tersenyum senang,

***

Tutut yang sedang berbincang dengan Hesti dan Desy, terpaksa berdiri dengan wajah berseri.

“Mas Sarman mau pulang kemari, aku disuruh ibu membereskan kamarnya,” katanya sambil berjingkrak dan pergi.

“Mas Sarman mau tidur di sini? Lalu aku bagaimana?” kata Hesti khawatir.

“Hesti, kamu juga harus tidur di sini.”

“Apa? Aku harus tidur sama mas Sarman?”

Astaga, gadis ini polos sekali. Kalau dua-duanya tidur disini, masa sih berarti harus tidur bersama?

“Tidak Hesti, kamu boleh tidur di kamar yang lain, ada beberapa kamar kosong di sini,” kata Desy sambil tertawa.

“Aduh, aku takut kalau harus tidur sendiri.”

“Bukankah di tempat kost kamu juga tidur sendiri?”

“Tapi aku kan belum pernah tidur di rumah ini.”

“Nanti kamu akan tidur dengan Tutut.”

“Benarkah? Tapi sebenarnya aku ingin pulang. Sita pasti mencari aku kalau aku tidak pulang.”

“Siapa Sita?”

“Teman yang menemani saat aku sakit.”

“O, itu. Kamu telpon saja dia, dan bilang kamu tidur di sini. Apa kamu tidak suka berada disini? Kami selalu berisik, apalagi Tutut.

“Suka, aku suka.”

“Kapan berakhir masa sewa kamar kost kamu?”

“Bulan ini, Mbak,” tiba-tiba wajah Hesti berubah sedih.

“Nah, bulan ini tinggal lima hari lagi.”

“Aku harus mencari yang lebih murah, tapi aku juga harus bisa mendapatkan pekerjaan. Aku sudah minta Sita untuk mencarikannya.”

“Bagaimana kalau kamu tinggal disini saja?”

“Di sini? Mana bisa aku membayarnya? Rumahnya sangat bagus, pasti mahal, bisa berlipat kali dari harga rumah kost aku.”

Desy terkekeh.

“Siapa menyuruhmu membayar?”

“Apa maksud Mbak?”

“Tinggallah di sini, nggak usah bayar.”

“Apa?”                

Desy tertawa. 

"Hei, mulut kamu kenapa menganga begitu, kalau ada lalat masuk gimana?” kata Tutut yang kebetulan lewat sambil membawa seprei bersih ke dalam kamar Sarman.

Hesti mengatupkan mulutnya, dan menutupinya dengan sebelah tangan. Desy terkekeh melihat ulahnya. Ya ampuun, polos begitu, mau jadi isteri dokter Danarto?

“Gratis, sayang. Dan tetaplah kamu kuliah, jangan pernah berhenti.”

“Mana mungkin?”

“Pasti akan ada jalan, percayalah.”

“mBoook, bantuin dong,” teriak Tutut dari dalam kamar.

Desy berdiri, diikuti Hesti.

“Ada apa sih, simbok baru masak, dan menyiapkan makan siang,” tegur Desy.

“Ini, bantuin memasang seprei nya,” sungut Tutut.

“Sini aku bantu Mbak. Hesti segera mendekat, lalu mereka berdua bantu membantu membersihkan kamar Sarman.

“Setelah itu benahi juga kamar kamu, nanti Hesti akan menginap disini dan tidur bersama kamu,” perintah Desy sambil menatap keduanya.

“Haaa? Benarkah?” kata Tutut gembira.

“Tapi aku kalau tidur  ngorok lho Mbak.”

“Nggak apa-apa, aku kalau tidur nggak bisa mendengar apapun, jangan khawatir. Ayo sekarang gulingnya, kurang satu nih,” kata Tutut.

Desy tersenyum, lalu meninggalkan kamar itu.

***

Ketika tugas merapikan dua kamar itu selesai, Haryo dan isteri serta Sarman baru datang.

Desy yang ada di teras sendirian, heran melihat ibunya menggandeng Sarman, sedangkan wajah Sarman tampak lesu tanpa senyuman.

“Mas Sarman, kamarnya sudah di rapikan. Tutut dan Hesti yang melakukannya,” kata Desy menyambut mereka. Tapi Sarman hanya sedikit menganggukkan kepala. Tindy menggandengnya langsung ke kamar, diikuti pandangan heran Desy dan Tutut yang duduk di ruang tengah bersama Hesti.

“Nah, istirahatlah dulu di kamar kamu, sampai hatimu tenang, baru kita bicara lagi. Ya?” kata Tindy lembut sambil membiarkan Sarman berbaring, kemudian dia menutupkan pintunya.

“Mas Sarman kenapa? Sakit?”

“Tidak,” kata Tindy yang belum ingin mengatakan yang sesungguhnya kepada anak-anaknya.

“Sedih pasti, setelah berdoa di makam ibunya,” gumam Desy, yang kemudian dibalas dengan anggukan kepala oleh Tutut.

“Kasihan,” gumamnya lirih.

“Nanti malam ibu mau bicara,” kata Tindy sambil masuk ke kamar, menyusul Haryo yang sudah lebih dulu memasukinya.

***

Desy masih duduk di teras, sementara Tutut dan Hesti masih asyik berbincang. Rupanya kecerewetan Tutut membuat Hesti sedikit terhibur, apalagi menyaksikan sikap hangat keluarga itu terhadap dirinya.

“Mbak, bilang sama bapak sama ibu, makan siang sudah siap,” kata simbok dari arah ruang tengah.

“Ya Mbok, sebentar, aku bilang sama ibu.”

Desy ingin masuk ke dalam ketika dilihatnya mobil memasuki halaman.

“Itu kan mobil baru Danis?”

Danis turun dan Desy menyambutnya di tangga teras.

“Selamat siang,” sapa Danis manis.

“Siang, bawa apa kamu Danis?”

“Tutut ada?”

“Yah, adanya aku, kenapa Tutut yang dicari?”

“Ini, aku bawakan bakso kesukaannya, sama buku bacaan, aku tadi membelinya.”

“Enak tuh bakso, tapi buku bacaan? Bukankah Tutut sukanya boneka?” sergah Desy menggoda.

“Ini buku tentang cinta. Biar dia tahu bagaimana liku-liku cinta,” canda Danis sambil duduk di teras tanpa dipersilakan.

“Tutut ada kan?” lanjutnya.

“Ada, ayuk sekalian makan siang,” ajak Desy.

Tapi tiba-tiba Ponsel Danis berdering.

“Sebentar, dari isteri aku, eh bekas isteri aku,” kata Danis sambil membuka ponselnya.

“Rasain, ngajak balikan tuh,” goda Desy.

***

Besok lagi ya.

37 comments:

  1. Alhamdulillah
    Mtnuwun mbk Tien....๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Selamat juaranya jeng Nani, aku disuruh mendesign kaos REUNI eeee lha kok ditinggal balapan.....

      Matur nuwun bu Tien
      Siap koreksi

      Delete
    2. Hahaha...jadi ketinggalan ya pakdhe..

      Delete
  2. Alhamdulilah hatur nuwun mbakyuku sayang miss u muaach

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, AA sudah tayang, matur nwn bu Tien.
    Salam sehat dan Aduhai..
    Bam's Bantul

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน
    Syukron nggih Mbak Tien.☺️

    ReplyDelete
  5. A͟l͟h͟a͟m͟d͟i͟l͟i͟l͟l͟a͟h͟ e͟p͟s͟ 30 t͟a͟y͟a͟n͟g͟ ..M͟a͟t͟u͟r͟ s͟u͟w͟u͟n͟ B͟u͟ T͟i͟e͟n͟ ..
    S͟a͟l͟a͟m͟ s͟e͟h͟a͟t͟ u͟t͟k͟ b͟u͟ T͟i͟e͟n͟ d͟a͟n͟ k͟e͟l͟u͟a͟r͟g͟a͟..๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah AA 30 dah tayang, makasih Bunda

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah ADUHAI-AH 30 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillaah, matursuwun bu Tien
    salam sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Harusnya Sarman bisa menerima kenyataan, tapi entahlah kalau sang dalang berkehendak lain.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  10. Ih ih ngajak balikan kali istrinya pak dokter hehe nggak jd duren dong ,...trims Bu tien

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 30 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  13. Maturnuwun Mbak Tien.. tetaplah sehat..

    ReplyDelete
  14. Waduh upacara penyambutan tertunda, lagian akan ada pengumuman penting dari pejabat rumah tangga, terpaksa nunggu iklan lewat, lumayan ada sponsor.
    Mudah mudahan ide Desy agar Hesti tinggal dirumah bisa di terima penguasa setempat.

    Bahkan kedatangan rombongan nggak ada gagah² nya nyuklun kabรจh, รจh yang masih bisa tenang cuma Tindy, bahkan memerintahkan properti buat salah satu anggota baru yang masih shock, menerima keputusan yang diumumkan tadi.

    Danis mau menemui penelphon, yang mendadak mau minta bertemu.
    Dengan meninggalkan masalah; yang suka bakso ada tiga dara tapi stok terbatas.

    Nggak tahu kapan diadakan konferensi pers, biasanya juga ada pernyataan sikap disusul peraturan dan petunjuk pelaksanaannya.



    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tiga puluh sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku; sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Aduhai bu Tindy ,,hatinya begitu tulus ,,smp Sarman tdk bisa berkata - kata

    Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah..
    Aduhaiii 30 ...seep
    Makin seruuu ๐Ÿ˜€

    ReplyDelete
  17. Kaget pasti,marah juga pasti..ya Apa lg Ibu Tindy syok dgn kelakuan suaminya..Sarman ooo iki opo to wes tidak ada yg sempurna kok kita,trims bu Tien

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, walau sambil terkantuk, mks bund Tien

    ReplyDelete
  19. Hesty ukuran kaosmu apa ? tangan panjang yah

    ReplyDelete
  20. Tapi tiba-tiba Ponsel Danis berdering.

    “Sebentar, dari isteri aku, eh bekas isteri aku,” kata Danis sambil membuka ponselnya.

    “Rasain, ngajak balikan tuh,” goda Desy.

    ***

    Besok lagi ya.

    Yahhhhhh, setelah nemu 6 koreksian..... HBP Danis berdering..... dari mantan istrinya...... padahal mau diajak makan bersama ....... jadi tertunda dech....... Mungkinkah "Teklek kecemplung kalen" ???
    Terserah apa kata dunia...... eh salah apa kata ibu penulisnya.
    Kita ini hanyalah pembaca sekaligus penyemangat bu Tien Kumalasari yang ADUHAI....AH, itu lho.... yang setiap malam ditunggu penggemarnya.....
    Lanjoooottttt bun, besok lagi ya...........

    ReplyDelete
  21. Yg ke 30 tlah hdir.. yg di nanty... masih tegang smpai besok lagi..... terima kasih.. sehat² trs...

    ReplyDelete
  22. Mbak Tien memang ok punya...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, suwun Bu Tien.....
    Salam sehat selalu.....๐Ÿ˜Š๐Ÿ™

    ReplyDelete
  24. Makin seru ceritanya, kapan Danarto memberitahu Hesti, siapa sebenarnya dia,.. Tahukah Danarto bhw ibunya pernah dicintai Haryo... Mengapa mantan istri Danis menelponnya... Tunggu saja dgn sabar, semoga Mbak Tien senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin. Aamiin Yaa Robbal'alamiin...

    ReplyDelete
  25. Mulai nih mata g bs terkendali buat tdk menetes hiks,,,haru...uuuuhuhu

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...