ADUHAI AH 29
(Tien Kumalasari)
Danarto masih memegang surat usang
itu, lalu dibacanya sekali lagi kalimat yang membuatnya terkejut.
“Ternyata aku mandul, dan menerima anak suamiku yang masih bayi yang semula dirawat oleh neneknya, dan mengasihinya seperti anakku sendiri. Bayi itu bernama Hesi Nurani.”
Danarto melipat surat itu kembali dan
memasukkannya ke dalam amplop, kemudian menyelipkannya ke dalam album lawas
yang masih terletak di atas meja.
“Jadi Hesti itu anak tiri bu Sriani.
Pantas saja dia bisa dengan begitu mudah menyuruhnya melakukan hal yang tidak pantas dengan tanpa
beban. Tapi anak yang sudah dirawatnya bertahun-tahun, seharusnya sudah
terjalin ikatan yang begitu erat dan susah dipisahkan, bagaimana dia bisa
melakukannya? Bagaimana dia tidak berusaha menjaga kehormatan Hesti sebagai
seorang wanita? Apakah dia membesarkan Hesti hanya karena menginginkan agar
harkat dan derajatnya naik karena memiliki menantu seorang dokter spesialis?
Bukankah hidupnya sudah berkecukupan?” gumam Danarto sambil berselonjor di
lantai dan menyandarkan tubuhnya di almari.
Perihal sahabatnya itu memang ibunya
tak pernah bercerita apa-apa. Itu sebabnya ia heran ketika bu Sriani bilang ada
perjanjian perjodohan. Mana itu perjanjian? Tulisan di balik foto itu juga kan
tidak membuktikan apa-apa. ‘Kalau anak kita laki-laki dan perempuan’, tapi kan
hanya ibuku yang melahirkan anak laki-laki, dan dia tidak seorangpun? Bahkan
dia tak bermaksud menyekolahkan Hesti lebih tinggi kalau sudah menjadi isteriku.
Sekarang Danarto merasa kasihan kepada Hesti. Ia hanya diperalat ibunya, bahkan
sampai tega menyuruhnya melakukan hal memalukan yang tidak pantas dilakukannya.
“Apa kabar gadis itu, aku sampai
tidak menanyakannya pada Desy karena aku tidak ketemu dia seharian. Nanti
setelah selesai aku mau menelpon mas Sarman saja,” gumam Danarto yang kemudian
bangkit berdiri dan melanjutkan menata baju-baju bekas yang belum selesai
dimasukkannya ke dalam kardus. Ia juga memilahkannya mana baju yang sudah tidak
pantas dipakai.
Ia harus segera menyelesaikannya
karena sore nanti setelah maghrib ia berjanji akan datang ke rumah keluarga
Haryo.
Bahagianya mengingat hidup yang akan
dilaluinya, saat bersanding dengan gadis yang sudah lama dicintainya.
“Desy … Desy … baru kemarin bertemu
tapi aku sudah merindukanmu,” bisiknya sambil menyudahi pekerjaannya.
Ia mengangkat kardus yang penuh
pakaian itu ke depan rumah. Ada tetangga yang sudah berjanji akan mengambilnya
sore ini. Syukurlah.
Setelah ini dia akan menata
barang-barang apa yang perlu dibawanya ke rumah baru nanti.
“Oh ya, menelpon mas Sarman dulu,
tapi aku tak ingin membahas tentang surat yang aku temukan tadi. Rasanya belum
saatnya Hesti mengetahui tentang hal itu,” gumamnya sambil mencari nomor kontak
Sarman.
“Hallo, mas Danar?” sapa Sarman lebih
dulu.
“Mas Sarman, bagaimana kabarnya
Hesti?”
“Sudah lebih baik Mas, dia banyak
tidur sehingga lebih tenang.”
“Syukurlah, memang obat yang aku
berikan itu punya efek mengantuk, tapi memang itu maksudku. Tampaknya dia juga
bukan sakit karena penyakit.”
“Benar mas, Desy juga mengatakan hal
itu, dan itu memang benar adanya. Dia merasa tertekan karena keinginan ibunya
yang tidak bisa dia penuhi, bahkan sampai hati mengatakan bahwa dia tak akan
mengakui lagi Hesti sebagai anak.”
“Haaa, itulah dia,” Danarto segera
menemukan sebuah jawaban, mengapa bu Sriani begitu tega.
“Kenapa mas?”
“Itu, karena tertekan,” kata Danarto
yang belum ingin mengatakan perihal surat itu.
“Iya Mas, memang iya. Tapi sekarang
sudah lebih tenang, asalkan tidak diajak bicara tentang hal yang
menyakitkannya.”
“Kamu masih disitu? Maksudku, di
tempat kost Hesti?”
“Tidak Mas, sudah pulang, Hesti yang
menyuruh aku pulang, karena temannya satu kost beda kamar yang selalu menemani
dia, sudah akan pulang kerja.”
“Syukurlah, kalau begitu. Nanti sore
aku mau ke rumah Desy. Kapan kamu pulang ke sana?”
“Secepatnya Mas, sebelum ujian aku
sudah pasti kesana untuk mohon doa dari ibu dan bapak angkat aku.”
“Bagus Sarman, kamu tidak melupakan
kebaikan mereka. Ya sudah, aku mau mandi dulu.”
“Ya Mas, semoga lamarannya diterima,”
goda Sarman.
Danarto terbahak.
“Kalau tidak diterima aku mau duduk
di sana terus sampai benar-benar diterima. Pasti risih lah, kalau aku tidak
pulang-pulang.”
Keduanya tertawa terbahak, lalu
mengakhiri perbincangan itu.
***
“Memangnya aku bisa menyembuhkan
sakitnya Hesti, sehingga Mbak menyuruhnya berteman sama aku?” tanya Tutut
ketika Desy mengatakan tentang sakitnya Hesti.
“Bukan menyembuhkannya begitu Tutut, maksudku
… biar ngobrol sama kamu, kamu kan cerewet, jadi dia bisa terhibur, sehingga
bisa melupakan kesedihannya.”
“Aku tuh ngomongnya kan ceplas
ceplos, nanti malah dia tersinggung bagaimana?”
“Kamu itu ngomong yang hati-hati.
Tidak usah menyinggung pribadi dia. Ya kan? Bisa kan?”
“Apa dia cantik?”
“Cantik lah, tapi dia masih sangat
muda, baru awal kuliah, sekarang ingin berhenti kuliah karena nggak ada biaya.”
“Ibunya sangat keterlaluan ya. Bagaimana
kalau dia kita beri pekerjaan?”
“Aku sudah punya pikiran begitu. Barangkali
kalau nanti aku sama mas Danar jadi praktek sore, dia bisa bantu-bantu. Nyatat
pasien yang datang misalnya. Kan dia bisa kuliah pagi, sorenya bekerja. Jadi
tidak harus berhenti kuliah.”
“Bagus Mbak. Dan aku yakin bapak sama
ibu juga setuju. Mas Sarman saja dikuliahin sampai hampir selesai.”
“Dan menolong itu kan perbuatan mulia
juga. Klise ya, tapi itu benar kan?”
“Iya dong, benar sekali. Kapan dia
mau datang kemari?”
“Biar sembuh dulu, mas Sarman sudah
berjanji akan mengajaknya kemari. Dan menurut aku, mas Sarman itu suka lho sama
dia.”
“Benarkah? Mbak tanya sama mas
Sarman?”
“Tidak, mana dia mau mengakuinya.
Tapi caranya memperhatikan gadis itu kan kelihatan.”
“Hm, Mbak itu seperti ahli nujum
saja.”
“Kita lihat saja nanti. Aku sudah
bilang sama bapak sama ibu, mereka kelihatannya seneng banget, seperti sudah
benar-benar jadian saja.”
“Ih, Mbak sih, kalau salah bagaimana?
Bapak sama ibu kecewa dong.”
Desy tertawa.
“Kita lihat saja nanti.”
“Dari tadi kita lihat saja nanti,”
sungut Tutut.
“Iya lah, kan belum jelas kalau
sekarang ini.”
“Sukanya menduga-duga. Awas ya,
jangan bilang kita lihat saja nanti, aku cubit baru tahu rasa.”
Desy terkekeh. Tapi ia segera bangun.
“Kemana?”
“Mau mandi, mas Danar mau kesini
nanti.”
“Ooh, iya, mau lamaran? Kok belum
siap apapun?”
“Belum, lamaran kan sama
keluarganya, nanti baru mau minta ijin dulu sama bapak sama ibu.”
“Sudah jelas diijinin, pakai ijin
segala.”
“Hih, kamu cerewet ya, besok kalau
ada yang suka sama kamu, nggak pakai minta ijin lalu kamu langsung dibawa
kabur, bagaimana?”
“Harus ijin ya?”
“Namanya orang bermasyarakat itu kan
ada tata kramanya. Misalnya mau mengambil anak orang, pasti harus ijin, melamar
baik-baik, dinikahkan, baru boleh dibawa kabur.”
“Hm, baiklah, nanti aku bilang sama
pacar aku bahwa begitu tata kramanya.”
“Memangnya kamu sudah punya pacar?”
“Dikasih tahu nggak yaaa …”
“Nggak usah, aku sudah tahu kalau
kamu belum punya pacar. Pada takut tuh, cowok ngedeketin kamu. Cerewetnya
kebangetan,” kata Desy sambil melompat turun dari tempat tidur. Tutut geram,
diambilnya bantal lalu dilemparkannya ke arah kakaknya, tapi luput. Desy
tergelak dan menghilang di balik pintu kamar mandi.
***
Danarto sudah berbicara banyak kepada
Haryo dan Tindy sebagai calon mertua, dan menyatakan keseriusannya untuk
mendampingi Desy, dengan janji setinggi langit bahwa akan selalu mencintai dan
menjaga rumah tangganya dengan baik.
“Kamu tahu kan Dan, Desy itu sangat
susah ditundukkan. Bukan karena apa, tapi karena dia takut menghadapi kehidupan
berumah tangga. Kamu kan tahu sebabnya?” kata Haryo yang seakan mengingatkan
akan keburukan perilakunya di masa lalu.
“Ya Bapak, saya sangat mengerti.
Susah sekali memberi dia pengertian. Mudah-mudahan sekarang dia sudah
bulat-bulat bisa menerima saya, karena sesungguhnya memang sudah lama saya
mencintai dia.”
“Cintai dan jagalah dia, seperti kami
menjaganya,” pesan Haryo lagi.
“Saya siap Pak.”
“Bagus. Dan nanti aku berharap,
setelah lamaran kita tidak usah menunggu terlalu lama untuk pernikahan kalian.”
“Itu juga keinginan saya Pak. Saya
sudah menyiapkan rumah untuk kami berdua dan untuk praktek bersama.”
“Baiklah, kami akan menunggu keluarga
kamu datang untuk berbincang. Jangan terlalu lama.”
“Tidak Pak, saya harap Minggu depan
kami sudah siap.”
“Syukurlah.”
Danarto merasa lega, pembicaraan
tidak bertele-tele, karena pada dasarnya keluarga Desy memang sudah menyetujui
hubungan mereka sejak lama.
Setelah berbincang itu, Danarto minta
ijin untuk bisa mengajak Desy keluar.
“Silakan, asalkan pulangnya tidak
terlalu malam,” pesan Tindy.
“Aku ikuttt,” tiba-tiba Tutut yang
mendengar segera berteriak sambil mendekat.
“Ayuk, nggak apa-apa pergi rame-rame,”
kata Danarto.
***
Akhirnya setelah jalan-jalan itu Danarto
dan Desy mengalah pada keinginan Tutut, makan bakso.
“Hm, apa aku bilang, begini nih kalau
sama Tutut, ujung-ujungnya minta makan bakso, ya kan?”
“Mas Danar saja tidak mengeluh,
weeek..” Tutut memeletkan lidahnya.
“Tenang saja, makan sepuas kamu.
Jangan hiraukan kakakmu,” kata Danarto sambil menyendok baksonya.
“Hm, seneng ya, dibelain ..” sungut
Desy.
“Iya lah, dia mau mengambil kakak
aku, harus ngebelain aku dong. Ya kan Mas?”
“Hm-mh,” jawab Danarto sambil
menyendok baksonya.
Tapi ketika mereka asyik makan sambil
berbincang itu, tiba-tiba muncul seseorang mengejutkan mereka.
“Wah, jahat banget ya, enak-enak
makan nggak ingat sama teman,” sungutnya sambil terus duduk diantara mereka.
“Mas Danis?” Tutut berteriak.
“Danis!” pekik Danarto dan Desy hampir
bersamaan, cuma tidak berteriak seperti Tutut.
“Baru saja datang ya?”
“Baru, ayo cepat pesen.”
“Mas Danis sendiri?”
“Iya lah sendiri, memangnya aku punya
teman, apa?” sahut Danis sambil melambai ke arah pelayan lalu memesan untuk dia
sendiri.
“Kasihan deh lo,” ejek Danarto sambil
tertawa.
“Mentang-mentang sudah rukun kembali,
bisa-bisanya mengejek duda keren.”
Tutut dan Desy ikut tertawa.
“Ho oh Mas Danar, kasihan mas Danis
dong,” kata Tutut bergaya sok mengasihani.
“Tuh, belum-belum ada yang ngebelain.”
“Iya dong, Tutut selalu baik sama mas
Danis nya kok. Ya kan Tut?”
“Nggak tuh.”
“Kok gitu.”
“Tergantung, kalau aku,” sergah Tutut.
“Tergantung apanya?”
“Kalau dibeliin boneka lagi aku pasti
ngebelain terus.”
“Oo, gitu ya, harus ada boneka nih?
Ayuk kita beli lagi,” tantang Danis.
“Hm, Tutut, kebiasaan deh,” tegur Desy.
“Kamu gitu terus sama Danis,
lama-lama bisa jatuh cinta lho,” sambung Danarto.
“Eh, benarkah? Aku mau dong,” kata
Danis cengengesan.
“Heii, masa adikku mau dapatin duda?”
pekik Desy sambil tertawa.
“Duda juga duda keren lho Des, jangan
sembarangan menghina duda,” kata Danis sambil tersenyum, lalu menarik mangkuk
bakso yang sudah disajikan pelayan.
Tutut hanya tersenyum. Baginya Danis
itu baik, perkara nanti akan jatuh cinta, entahlah, kalau sekarang barangkali
dia hanya kagum saja. Eh, kagum apanya sih? Gantengnya? Nggak ganteng-ganteng
amat kok. Tapi keren, kocak dan baik hati. Tutut menghirup es tape yang
dipesannya sambil melirik ke arah Danis.
***
Hari itu setelah acara lamaran
selesai, tiba-tiba Sarman muncul, bersama Hesti yang tampak ragu menaiki tangga
teras keluarga Haryo.
Tamu-tamu sudah pada pulang, tapi
Haryo dan Tindy masih duduk santai di teras.
“Bapak, Ibu …” kata Sarman yang
kemudian mencium tangan Haryo dan Tindy bergantian.
Sarman menarik tangan Hesti yang
berdiri mematung tak tahu apa yang harus dilakukannya.
“Hesti, ini Pak Haryo dan bu Haryo, beri
salam. Mereka yang menyekolahkan aku,” kata Sarman.
Hesti membungkuk lalu menirukan apa
yang dilakukan Sarman, dengan mencium tangan keduanya.
“Ini … pacar kamu?” kata Haryo tanpa
sungkan sambil menatap Hesti.
Sarman gelagapan. Pasti Desy sudah bicara
macam-macam sama ayah ibunya, gerutu Sarman dalam hati.
Hesti diam tersipu, tak menduga Haryo
akan mengatakan itu.
“Bapak, ini namanya Hesti, mahasiswa
baru di kampus Sarman,” kata Sarman memperkenalkan.
“Iya, aku sudah tahu, dia cantik, aku
suka. Cantik dan malu-malu,” kata Haryo berterus terang. Memang sih Hesti malu,
masa dikatain pacarnya Sarman.
Tiba-tiba Tindy keluar dan berteriak
ke dalam.
“Tutut, kemarilah, ada Hesti nih,”
katanya sambil menarik tangan Hesti diajaknya masuk ke rumah. Sarman hanya
memandanginya sambil tersenyum.
“Semoga mereka bisa berteman,” kata
Tindy.
“Sarman, kamu sudah mau pulang ke
rumah ini kan?”
“Sebetulnya saya datang kemari untuk
mohon doa restu, sebelum saya maju ujian.”
“Kami akan mendoakan kamu, supaya
sukses, kalau sudah lulus, mau bekerja apa, mau menikah dengan gadis mana, kami
akan mendukung, ya kan Bu,” katanya kemudian kepada isterinya.
“Tentu Sarman, kami selalu
mendoakanmu. Tapi yang lebih penting juga, sebaiknya kamu menziarahi makam ibu
kamu juga.”
“Nah, itu aku setuju, aku sama ibumu
akan minta agar kamu mengajak kami serta. Ya kan Bu?” lagi-lagi Haryo berkata
kepada isterinya.
“Baiklah Pak, tapi rencana saya sore
ini.”
“Bagus, ayo Bu, kita ikut ke makam
ibunya Sarman, aku juga ingin kesana.”
“Baiklah, aku akan bersiap-siap dulu.
Hesti biar bersama anak-anak dulu di sini,” kata Tindy sambil melangkah ke
dalam.
Tentu saja mereka kompak, karena di
sana nanti mereka akan mengungkapkan siapa sebenarnya Haryo bagi Sarman. Bisakah
Sarman menerimanya?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulilah
ReplyDeleteDanarto
ReplyDeleteNgapain
Jangan ragu
Apa lagi kamu sudah punya rencana
Sarman ada Sita yang juga mengagumimu.
Aduhai ah..
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien....🙏🙏
Mantap
ReplyDeletematur nuwun
ReplyDeleteSelamat mbak I'in juara1
ReplyDeleteAduhai Ah senengnya bisa hadir lebih awal...
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..🙏
Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteTernyata diem2 sdh mbalap yang lagi bahas seragam. Selamat jeng Iin juara 1
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien, salam SEROJA
Alhamdulillah
ReplyDeleteSlmt mlm bunda Tien..terima ksih AA 29 nya..slmt istrht dan slm sehat sll..aduhai ah..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang .... Trimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 29 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Bagi Anda yang berminat mengkoleksi novel karya bu Tien Kumalasari, masih ada stok, sbb :
ReplyDelete1. Sepenggal Kisah (6 buku)
2. Saat Hati Bicara (6 buku)
3. Sekeping Cinta Menunggu Purnama (6 buku)
Yang berminat hubungi bunda Tien Kumalasari
*WA 082226322364*
Sebentar lagi akan terbit cetakan perdana novel Tien Kumalasari CINTAKU ADA DI ANTARA MEGA,
DeleteSegera pesan dan transfer ke bu Tien harga per eksemplar Rp. 100.000,00 (seratus ribu) belum termasuk ongkir.
BURUAN JUMLAH BUKU TERBATAS
Bida hubungi :
1. Bu Tien 0822 2632 2364
2. Bu Iyeng 0817 9228 969
Saya mau pesan satu untuk judul yang ini...
DeleteYang lainnya, alhamdulillah sudah saya koleksi.
Alhamdulillah, makasih bu Tien
ReplyDeleteYes bu iin juara, manusang bu Tien AA 29 sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 29 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah ... Syukron nggih Mbak Tien ..Semoga kita semua sehat Aamiin🌷🌷🌷🌷🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteWah... kalau Hesti juga anak Haryo jadi repot nih. Terus Sarman apa tetap benci kepada ayahnya kalau tahu bahwa dia adalah Haryo.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Horee...AA 29 sudah tayang mruput...
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, salam sehat dan Aduhai..
Bam's Bantul
alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah Aduhai Ah 29 sudah tanyang....suwun bu Tien
ReplyDeleteSalam ka sadayana... AA. dah tayang baca yaaa.. kapan kapan dapat AA Danar
ReplyDeleteAyo sahabat WAG PCYK.....
ReplyDeleteSukseskan !!!
REUNI-II/2022 WAG PCTK DI BATU MALANG, 26-27 AGUSTUS 2022.
Kakek Hasbi..pasti ini, sy tinggal di Malang
DeleteTrims Bu tien
ReplyDelete𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡...𝐦𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐞𝐩𝐬 29 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠.
ReplyDeleteTerima kasih banyak mbak Tien. Semoga mbak Tien sehat selalu. Amin.
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
ReplyDeleteAkhirnya satu persatu konflik terurai, cinta mas Danar sudah berlabuh sama mbak Desy.
ReplyDeleteTinggal konflik tokoh lainnya...
Tetap semangat dan selalu sehat ya Bu Tien.. Salam dari Bandung.
Makasih mba Tien
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu.
Aduhai...ah
Alhamdulillah AA29 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga selalu sehat, bahagia bersama keluarga, dan senantiasa dalam lindungan Nya. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Mudah2an sarman mau menerima pak haryo yg sdh bertobat dan menyayangi apalagi bu tindy sangat baik
ReplyDeleteAlhamdulillah...trims bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien....
ReplyDeleteSalam sehat selalu....😊🙏
Mengantar Sarman ziarah ke makam Wulansih mau minta restu maju dicêplok, Haryo klayu kepingin ikut, tentu Tindy juga.
ReplyDeleteDisini ada beberapa kejadian yang nganèh anèhi.
Lha kok Haryo mohon maaf didepan nisan sampai segitunya, lha iya mestinya; bikin bingung Sarman, èh rupanya sudah ada tanda² duluan rupanya ini bapak yang mengejorkan saja ibuku, pantes waktu itu habis diner, diboncèng Sarman, mampir rumah besoknya nyêkukruk demam tinggi, oh ini yang membuat Haryo kembali ke rumah sakit, èh paké kabur lagi nggak berani ketemu Desy.
Nanti ndak di oso² suruh kembali ke rumah.
Paké cerita mimpi lagi.
Mengigau panggil² anaku lagi.
Tindy mengiyakan kalau Sarman itu anak nya, nah terusé besok saja
Tapi énaké sesuai saran Tindy waktu itu; buat apa menyimpan dendam, percuma; benci itu cuma nambah penyakit, biarkan saja yang penting kita tetap menjaga agar diri ini jauh dari dendam kebencian dan berusaha berbuat baik.
Terjawab sudah, ternyata ini tå bapaké.
Di ajak mampir ke rumah Sarman..
Wis nggak usah nranyak mêngko di enggoké mênèh; lha iyå diplekotho..
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke dua puluh sembilan sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Wih-hhh juara. Nyanggong terus ya? Bu Tien selalu bikin penisirin.... Ah
ReplyDeleteJozzz
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih bu Tien
ReplyDelete