Tuesday, May 24, 2022

ADUHAI AH 29

 

ADUHAI AH  29

(Tien Kumalasari)          

 

Danarto masih memegang surat usang itu, lalu dibacanya sekali lagi kalimat yang membuatnya terkejut.

“Ternyata aku mandul, dan menerima anak suamiku yang masih bayi yang semula dirawat oleh neneknya, dan mengasihinya seperti anakku sendiri. Bayi itu bernama Hesi Nurani.”

Danarto melipat surat itu kembali dan memasukkannya ke dalam amplop, kemudian menyelipkannya ke dalam album lawas yang masih terletak di atas meja.

“Jadi Hesti itu anak tiri bu Sriani. Pantas saja dia bisa dengan begitu mudah menyuruhnya  melakukan hal yang tidak pantas dengan tanpa beban. Tapi anak yang sudah dirawatnya bertahun-tahun, seharusnya sudah terjalin ikatan yang begitu erat dan susah dipisahkan, bagaimana dia bisa melakukannya? Bagaimana dia tidak berusaha menjaga kehormatan Hesti sebagai seorang wanita? Apakah dia membesarkan Hesti hanya karena menginginkan agar harkat dan derajatnya naik karena memiliki menantu seorang dokter spesialis? Bukankah hidupnya sudah berkecukupan?” gumam Danarto sambil berselonjor di lantai dan menyandarkan tubuhnya di almari.

Perihal sahabatnya itu memang ibunya tak pernah bercerita apa-apa. Itu sebabnya ia heran ketika bu Sriani bilang ada perjanjian perjodohan. Mana itu perjanjian? Tulisan di balik foto itu juga kan tidak membuktikan apa-apa. ‘Kalau anak kita laki-laki dan perempuan’, tapi kan hanya ibuku yang melahirkan anak laki-laki, dan dia tidak seorangpun? Bahkan dia tak bermaksud menyekolahkan Hesti lebih tinggi kalau sudah menjadi isteriku. Sekarang Danarto merasa kasihan kepada Hesti. Ia hanya diperalat ibunya, bahkan sampai tega menyuruhnya melakukan hal memalukan yang tidak pantas dilakukannya.

“Apa kabar gadis itu, aku sampai tidak menanyakannya pada Desy karena aku tidak ketemu dia seharian. Nanti setelah selesai aku mau menelpon mas Sarman saja,” gumam Danarto yang kemudian bangkit berdiri dan melanjutkan menata baju-baju bekas yang belum selesai dimasukkannya ke dalam kardus. Ia juga memilahkannya mana baju yang sudah tidak pantas dipakai.

Ia harus segera menyelesaikannya karena sore nanti setelah maghrib ia berjanji akan datang ke rumah keluarga Haryo.

Bahagianya mengingat hidup yang akan dilaluinya, saat bersanding dengan gadis yang sudah lama dicintainya.

“Desy … Desy … baru kemarin bertemu tapi aku sudah merindukanmu,” bisiknya sambil menyudahi pekerjaannya.

Ia mengangkat kardus yang penuh pakaian itu ke depan rumah. Ada tetangga yang sudah berjanji akan mengambilnya sore ini. Syukurlah.

Setelah ini dia akan menata barang-barang apa yang perlu dibawanya ke rumah baru nanti.

“Oh ya, menelpon mas Sarman dulu, tapi aku tak ingin membahas tentang surat yang aku temukan tadi. Rasanya belum saatnya Hesti mengetahui tentang hal itu,” gumamnya sambil mencari nomor kontak Sarman.

“Hallo, mas Danar?” sapa Sarman lebih dulu.

“Mas Sarman, bagaimana kabarnya Hesti?”

“Sudah lebih baik Mas, dia banyak tidur sehingga lebih tenang.”

“Syukurlah, memang obat yang aku berikan itu punya efek mengantuk, tapi memang itu maksudku. Tampaknya dia juga bukan sakit karena penyakit.”

“Benar mas, Desy juga mengatakan hal itu, dan itu memang benar adanya. Dia merasa tertekan karena keinginan ibunya yang tidak bisa dia penuhi, bahkan sampai hati mengatakan bahwa dia tak akan mengakui lagi Hesti sebagai anak.”

“Haaa, itulah dia,” Danarto segera menemukan sebuah jawaban, mengapa bu Sriani begitu tega.

“Kenapa mas?”

“Itu, karena tertekan,” kata Danarto yang belum ingin mengatakan perihal surat itu.

“Iya Mas, memang iya. Tapi sekarang sudah lebih tenang, asalkan tidak diajak bicara tentang hal yang menyakitkannya.”

“Kamu masih disitu? Maksudku, di tempat kost Hesti?”

“Tidak Mas, sudah pulang, Hesti yang menyuruh aku pulang, karena temannya satu kost beda kamar yang selalu menemani dia, sudah akan pulang kerja.”

“Syukurlah, kalau begitu. Nanti sore aku mau ke rumah Desy. Kapan kamu pulang ke sana?”

“Secepatnya Mas, sebelum ujian aku sudah pasti kesana untuk mohon doa dari ibu dan bapak angkat aku.”

“Bagus Sarman, kamu tidak melupakan kebaikan mereka. Ya sudah, aku mau mandi dulu.”

“Ya Mas, semoga lamarannya diterima,” goda Sarman.

Danarto terbahak.

“Kalau tidak diterima aku mau duduk di sana terus sampai benar-benar diterima. Pasti risih lah, kalau aku tidak pulang-pulang.”

Keduanya tertawa terbahak, lalu mengakhiri perbincangan itu.

***

“Memangnya aku bisa menyembuhkan sakitnya Hesti, sehingga Mbak menyuruhnya berteman sama aku?” tanya Tutut ketika Desy mengatakan tentang sakitnya Hesti.

“Bukan menyembuhkannya begitu Tutut, maksudku … biar ngobrol sama kamu, kamu kan cerewet, jadi dia bisa terhibur, sehingga bisa melupakan kesedihannya.”

“Aku tuh ngomongnya kan ceplas ceplos, nanti malah dia tersinggung bagaimana?”

“Kamu itu ngomong yang hati-hati. Tidak usah menyinggung pribadi dia. Ya kan? Bisa kan?”

“Apa dia cantik?”

“Cantik lah, tapi dia masih sangat muda, baru awal kuliah, sekarang ingin berhenti kuliah karena nggak ada biaya.”

“Ibunya sangat keterlaluan ya. Bagaimana kalau dia kita beri pekerjaan?”

“Aku sudah punya pikiran begitu. Barangkali kalau nanti aku sama mas Danar jadi praktek sore, dia bisa bantu-bantu. Nyatat pasien yang datang misalnya. Kan dia bisa kuliah pagi, sorenya bekerja. Jadi tidak harus berhenti kuliah.”

“Bagus Mbak. Dan aku yakin bapak sama ibu juga setuju. Mas Sarman saja dikuliahin sampai hampir selesai.”

“Dan menolong itu kan perbuatan mulia juga. Klise ya, tapi itu benar kan?”

“Iya dong, benar sekali. Kapan dia mau datang kemari?”

“Biar sembuh dulu, mas Sarman sudah berjanji akan mengajaknya kemari. Dan menurut aku, mas Sarman itu suka lho sama dia.”

“Benarkah? Mbak tanya sama mas Sarman?”

“Tidak, mana dia mau mengakuinya. Tapi caranya memperhatikan gadis itu kan kelihatan.”

“Hm, Mbak itu seperti ahli nujum saja.”

“Kita lihat saja nanti. Aku sudah bilang sama bapak sama ibu, mereka kelihatannya seneng banget, seperti sudah benar-benar jadian saja.”

“Ih, Mbak sih, kalau salah bagaimana? Bapak sama ibu kecewa dong.”

Desy tertawa.

“Kita lihat saja nanti.”

“Dari tadi kita lihat saja nanti,” sungut Tutut.

“Iya lah, kan belum jelas kalau sekarang ini.”

“Sukanya menduga-duga. Awas ya, jangan bilang kita lihat saja nanti, aku cubit baru tahu rasa.”

Desy terkekeh. Tapi ia segera bangun.

“Kemana?”

“Mau mandi, mas Danar mau kesini nanti.”

“Ooh, iya, mau lamaran? Kok belum siap apapun?”

“Belum, lamaran kan sama keluarganya, nanti baru mau minta ijin dulu sama bapak sama ibu.”

“Sudah jelas diijinin, pakai ijin segala.”

“Hih, kamu cerewet ya, besok kalau ada yang suka sama kamu, nggak pakai minta ijin lalu kamu langsung dibawa kabur, bagaimana?”

“Harus ijin ya?”

“Namanya orang bermasyarakat itu kan ada tata kramanya. Misalnya mau mengambil anak orang, pasti harus ijin, melamar baik-baik, dinikahkan, baru boleh dibawa kabur.”

“Hm, baiklah, nanti aku bilang sama pacar aku bahwa begitu tata kramanya.”

“Memangnya kamu sudah punya pacar?”

“Dikasih tahu nggak yaaa …”

“Nggak usah, aku sudah tahu kalau kamu belum punya pacar. Pada takut tuh, cowok ngedeketin kamu. Cerewetnya kebangetan,” kata Desy sambil melompat turun dari tempat tidur. Tutut geram, diambilnya bantal lalu dilemparkannya ke arah kakaknya, tapi luput. Desy tergelak dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

***

Danarto sudah berbicara banyak kepada Haryo dan Tindy sebagai calon mertua, dan menyatakan keseriusannya untuk mendampingi Desy, dengan janji setinggi langit bahwa akan selalu mencintai dan menjaga rumah tangganya dengan baik.

“Kamu tahu kan Dan, Desy itu sangat susah ditundukkan. Bukan karena apa, tapi karena dia takut menghadapi kehidupan berumah tangga. Kamu kan tahu sebabnya?” kata Haryo yang seakan mengingatkan akan keburukan perilakunya di masa lalu.

“Ya Bapak, saya sangat mengerti. Susah sekali memberi dia pengertian. Mudah-mudahan sekarang dia sudah bulat-bulat bisa menerima saya, karena sesungguhnya memang sudah lama saya mencintai dia.”

“Cintai dan jagalah dia, seperti kami menjaganya,” pesan Haryo lagi.

“Saya siap Pak.”

“Bagus. Dan nanti aku berharap, setelah lamaran kita tidak usah menunggu terlalu lama untuk pernikahan kalian.”

“Itu juga keinginan saya Pak. Saya sudah menyiapkan rumah untuk kami berdua dan untuk praktek bersama.”

“Baiklah, kami akan menunggu keluarga kamu datang untuk berbincang. Jangan terlalu lama.”

“Tidak Pak, saya harap Minggu depan kami sudah siap.”

“Syukurlah.”

Danarto merasa lega, pembicaraan tidak bertele-tele, karena pada dasarnya keluarga Desy memang sudah menyetujui hubungan mereka sejak lama.

Setelah berbincang itu, Danarto minta ijin untuk bisa mengajak Desy keluar.

“Silakan, asalkan pulangnya tidak terlalu malam,” pesan Tindy.

“Aku ikuttt,” tiba-tiba Tutut yang mendengar segera berteriak sambil mendekat.

“Ayuk, nggak apa-apa pergi rame-rame,” kata Danarto.

***

Akhirnya setelah jalan-jalan itu Danarto dan Desy mengalah pada keinginan Tutut, makan bakso.

“Hm, apa aku bilang, begini nih kalau sama Tutut, ujung-ujungnya minta makan bakso, ya kan?”

“Mas Danar saja tidak mengeluh, weeek..” Tutut memeletkan lidahnya.

“Tenang saja, makan sepuas kamu. Jangan hiraukan kakakmu,” kata Danarto sambil menyendok baksonya.

“Hm, seneng ya, dibelain ..” sungut Desy.

“Iya lah, dia mau mengambil kakak aku, harus ngebelain aku dong. Ya kan Mas?”

“Hm-mh,” jawab Danarto sambil menyendok baksonya.

Tapi ketika mereka asyik makan sambil berbincang itu, tiba-tiba muncul seseorang mengejutkan mereka.

“Wah, jahat banget ya, enak-enak makan nggak ingat sama teman,” sungutnya sambil terus duduk diantara mereka.

“Mas Danis?” Tutut berteriak.

“Danis!” pekik Danarto dan Desy hampir bersamaan, cuma tidak berteriak seperti Tutut.

“Baru saja datang ya?”

“Baru, ayo cepat pesen.”

“Mas Danis sendiri?”

“Iya lah sendiri, memangnya aku punya teman, apa?” sahut Danis sambil melambai ke arah pelayan lalu memesan untuk dia sendiri.

“Kasihan deh lo,” ejek Danarto sambil tertawa.

“Mentang-mentang sudah rukun kembali, bisa-bisanya mengejek duda keren.”

Tutut dan Desy ikut tertawa.

“Ho oh Mas Danar, kasihan mas Danis dong,” kata Tutut bergaya sok mengasihani.

“Tuh, belum-belum ada yang ngebelain.”

“Iya dong, Tutut selalu baik sama mas Danis nya kok. Ya kan Tut?”

“Nggak tuh.”

“Kok gitu.”

“Tergantung, kalau aku,” sergah Tutut.

“Tergantung apanya?”

“Kalau dibeliin boneka lagi aku pasti ngebelain terus.”

“Oo, gitu ya, harus ada boneka nih? Ayuk kita beli lagi,” tantang Danis.

“Hm, Tutut, kebiasaan deh,” tegur Desy.

“Kamu gitu terus sama Danis, lama-lama bisa jatuh cinta lho,” sambung Danarto.

“Eh, benarkah? Aku mau dong,” kata Danis cengengesan.

“Heii, masa adikku mau dapatin duda?” pekik Desy sambil tertawa.

“Duda juga duda keren lho Des, jangan sembarangan menghina duda,” kata Danis sambil tersenyum, lalu menarik mangkuk bakso yang sudah disajikan pelayan.

Tutut hanya tersenyum. Baginya Danis itu baik, perkara nanti akan jatuh cinta, entahlah, kalau sekarang barangkali dia hanya kagum saja. Eh, kagum apanya sih? Gantengnya? Nggak ganteng-ganteng amat kok. Tapi keren, kocak dan baik hati. Tutut menghirup es tape yang dipesannya sambil melirik ke arah Danis.

***

Hari itu setelah acara lamaran selesai, tiba-tiba Sarman muncul, bersama Hesti yang tampak ragu menaiki tangga teras keluarga Haryo.

Tamu-tamu sudah pada pulang, tapi Haryo dan Tindy masih duduk santai di teras.

“Bapak, Ibu …” kata Sarman yang kemudian mencium tangan Haryo dan Tindy bergantian.

Sarman menarik tangan Hesti yang berdiri mematung tak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Hesti, ini Pak Haryo dan bu Haryo, beri salam. Mereka yang menyekolahkan aku,” kata Sarman.

Hesti membungkuk lalu menirukan apa yang dilakukan Sarman, dengan mencium tangan keduanya.

“Ini … pacar kamu?” kata Haryo tanpa sungkan sambil menatap Hesti.

Sarman gelagapan. Pasti Desy sudah bicara macam-macam sama ayah ibunya, gerutu Sarman dalam hati.

Hesti diam tersipu, tak menduga Haryo akan mengatakan itu.

“Bapak, ini namanya Hesti, mahasiswa baru di kampus Sarman,” kata Sarman memperkenalkan.

“Iya, aku sudah tahu, dia cantik, aku suka. Cantik dan malu-malu,” kata Haryo berterus terang. Memang sih Hesti malu, masa dikatain pacarnya Sarman.

Tiba-tiba Tindy keluar dan berteriak ke dalam.

“Tutut, kemarilah, ada Hesti nih,” katanya sambil menarik tangan Hesti diajaknya masuk ke rumah. Sarman hanya memandanginya sambil tersenyum.

“Semoga mereka bisa berteman,” kata Tindy.

“Sarman, kamu sudah mau pulang ke rumah ini kan?”

“Sebetulnya saya datang kemari untuk mohon doa restu, sebelum saya maju ujian.”

“Kami akan mendoakan kamu, supaya sukses, kalau sudah lulus, mau bekerja apa, mau menikah dengan gadis mana, kami akan mendukung, ya kan Bu,” katanya kemudian kepada isterinya.

“Tentu Sarman, kami selalu mendoakanmu. Tapi yang lebih penting juga, sebaiknya kamu menziarahi makam ibu kamu juga.”

“Nah, itu aku setuju, aku sama ibumu akan minta agar kamu mengajak kami serta. Ya kan Bu?” lagi-lagi Haryo berkata kepada isterinya.

“Baiklah Pak, tapi rencana saya sore ini.”

“Bagus, ayo Bu, kita ikut ke makam ibunya Sarman, aku juga ingin kesana.”

“Baiklah, aku akan bersiap-siap dulu. Hesti biar bersama anak-anak dulu di sini,” kata Tindy sambil melangkah ke dalam.

Tentu saja mereka kompak, karena di sana nanti mereka akan mengungkapkan siapa sebenarnya Haryo bagi Sarman. Bisakah Sarman menerimanya?”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

44 comments:

  1. Danarto
    Ngapain
    Jangan ragu

    Apa lagi kamu sudah punya rencana


    Sarman ada Sita yang juga mengagumimu.

    Aduhai ah..

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah.....
    Mtnuwun mbk Tien....🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Aduhai Ah senengnya bisa hadir lebih awal...

    Matur nuwun bunda Tien..🙏

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien ..

    ReplyDelete
  5. Ternyata diem2 sdh mbalap yang lagi bahas seragam. Selamat jeng Iin juara 1

    Matur nuwun bu Tien, salam SEROJA

    ReplyDelete
  6. Slmt mlm bunda Tien..terima ksih AA 29 nya..slmt istrht dan slm sehat sll..aduhai ah..

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah sdh tayang .... Trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 29 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  9. Bagi Anda yang berminat mengkoleksi novel karya bu Tien Kumalasari, masih ada stok, sbb :
    1. Sepenggal Kisah (6 buku)
    2. Saat Hati Bicara (6 buku)
    3. Sekeping Cinta Menunggu Purnama (6 buku)

    Yang berminat hubungi bunda Tien Kumalasari
    *WA 082226322364*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebentar lagi akan terbit cetakan perdana novel Tien Kumalasari CINTAKU ADA DI ANTARA MEGA,
      Segera pesan dan transfer ke bu Tien harga per eksemplar Rp. 100.000,00 (seratus ribu) belum termasuk ongkir.

      BURUAN JUMLAH BUKU TERBATAS

      Bida hubungi :
      1. Bu Tien 0822 2632 2364
      2. Bu Iyeng 0817 9228 969

      Delete
    2. Saya mau pesan satu untuk judul yang ini...
      Yang lainnya, alhamdulillah sudah saya koleksi.

      Delete
  10. Yes bu iin juara, manusang bu Tien AA 29 sdh tayang

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah ADUHAI-AH 29 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah ... Syukron nggih Mbak Tien ..Semoga kita semua sehat Aamiin🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Wah... kalau Hesti juga anak Haryo jadi repot nih. Terus Sarman apa tetap benci kepada ayahnya kalau tahu bahwa dia adalah Haryo.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  14. Horee...AA 29 sudah tayang mruput...
    Terimakasih bu Tien, salam sehat dan Aduhai..
    Bam's Bantul

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah Aduhai Ah 29 sudah tanyang....suwun bu Tien

    ReplyDelete
  16. Salam ka sadayana... AA. dah tayang baca yaaa.. kapan kapan dapat AA Danar

    ReplyDelete
  17. Ayo sahabat WAG PCYK.....
    Sukseskan !!!
    REUNI-II/2022 WAG PCTK DI BATU MALANG, 26-27 AGUSTUS 2022.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kakek Hasbi..pasti ini, sy tinggal di Malang

      Delete
  18. 𝐀𝐥𝐡𝐚𝐦𝐝𝐮𝐥𝐢𝐥𝐥𝐚𝐡...𝐦𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐞𝐩𝐬 29 𝐭𝐚𝐲𝐚𝐧𝐠.

    ReplyDelete
  19. Terima kasih banyak mbak Tien. Semoga mbak Tien sehat selalu. Amin.

    ReplyDelete
  20. Akhirnya satu persatu konflik terurai, cinta mas Danar sudah berlabuh sama mbak Desy.
    Tinggal konflik tokoh lainnya...
    Tetap semangat dan selalu sehat ya Bu Tien.. Salam dari Bandung.

    ReplyDelete
  21. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu.
    Aduhai...ah

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah AA29 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
    Semoga selalu sehat, bahagia bersama keluarga, dan senantiasa dalam lindungan Nya. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  23. Mudah2an sarman mau menerima pak haryo yg sdh bertobat dan menyayangi apalagi bu tindy sangat baik

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
    Salam sehat selalu....😊🙏

    ReplyDelete
  25. Mengantar Sarman ziarah ke makam Wulansih mau minta restu maju dicêplok, Haryo klayu kepingin ikut, tentu Tindy juga.

    Disini ada beberapa kejadian yang nganèh anèhi.
    Lha kok Haryo mohon maaf didepan nisan sampai segitunya, lha iya mestinya; bikin bingung Sarman, èh rupanya sudah ada tanda² duluan rupanya ini bapak yang mengejorkan saja ibuku, pantes waktu itu habis diner, diboncèng Sarman, mampir rumah besoknya nyêkukruk demam tinggi, oh ini yang membuat Haryo kembali ke rumah sakit, èh paké kabur lagi nggak berani ketemu Desy.
    Nanti ndak di oso² suruh kembali ke rumah.
    Paké cerita mimpi lagi.
    Mengigau panggil² anaku lagi.
    Tindy mengiyakan kalau Sarman itu anak nya, nah terusé besok saja

    Tapi énaké sesuai saran Tindy waktu itu; buat apa menyimpan dendam, percuma; benci itu cuma nambah penyakit, biarkan saja yang penting kita tetap menjaga agar diri ini jauh dari dendam kebencian dan berusaha berbuat baik.

    Terjawab sudah, ternyata ini tå bapaké.
    Di ajak mampir ke rumah Sarman..
    Wis nggak usah nranyak mêngko di enggoké mênèh; lha iyå diplekotho..


    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke dua puluh sembilan sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  26. Wih-hhh juara. Nyanggong terus ya? Bu Tien selalu bikin penisirin.... Ah

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah, terimakasih bu Tien

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...