Monday, May 23, 2022

ADUHAI AH 28

 

ADUHAI AH  28

(Tien Kumalasari)

 

Hesti masih bersandar pada sandaran tempat tidur, air mata yang semula merebak, kemudian menjatuhkan butiran-butiran bening yang sambung menyambung menganak sungai di sepanjang pipinya.

“Hentikan tangismu. Ibumu mungkin sedang emosi.,” Sarman mencoba menghibur, walau didalam hati mengutuk ucapan  ibu yang tidak pantas itu. Bukankah ketika seorang ibu berucap maka semesta mencatatnya sebagai sebuah doa?

“Aku seperti kehilangan pegangan, sendirian di dunia Ini,” isak nya.

“Tidak, kamu tidak sendiri. Bukankah ada aku? Kamu tahu, aku juga sendiri di dunia ini karena ibuku sudah meninggal, dan ayahku entah di mana aku tidak tahu,” kata Sarman seperti bergumam.

“Perpisahan dengan ucapan menyakitkan, bukankah membuat seorang anak terluka?”

“Kamu benar, tapi bahwa kamu tidak sendiri, kamu harus yakin itu.”

“Mas Sarman, bagaimana aku harus menjalani hidupku?”

“Berserah dirilah kepada Yang Maha Kuasa, Allah akan menunjukkan jalan untuk kamu. Jangan takut mengarungi hidup, karena hidup adalah sebuah peperangan dan perjuangan.  Berperang memerangi sesuatu yang berada di pihak lawan kamu. Apa itu, ialah hal baik dan buruk. Tinggal kamu pilih akan memihak yang mana? Kalau yang baik, maka perangilah yang tidak baik, kalau kamu memilih yang tidak baik, maka kamu akan memerangi kebaikan. Untuk itu kamu harus bersiap terpuruk dalam kegelapan. Karena yang buruk itu adalah kegelapan, sedangkan yang baik itu adalah benderang yang menerangi jalan hidup kamu.”

Hesti mengusap air matanya, mencoba mengurai apa yang dikatakan seniornya.

“Jalanilah hidup dan bersemangatlah.”

“Walau sendirian?”

“Kan aku sudah bilang bahwa kamu tidak sendirian? Ada aku yang akan selalu menemani kamu. Yang selalu menyiapkan bahu untuk bersandar, menyiapkan dada untuk berlindung.”

Aduhai, hari ini Sarman romantis sekali bukan? Bahu dan dadanya akan akan selalu disiapkan demi gadis yang sedang dilanda papa.

Hesti menatap Sarman. Ia merasa menemukan ayahnya kembali. Ayah yang meninggal ketika ia msih berumur enam tahun, yang sering menjewer kupingnya pelan apabila dia melakukan kesalahan.

Air mata kembali merebak.

“Hesti … “ tiba-tiba seseorang muncul. Gadis cantik penuh pesona yang semula amat dibencinya.

“Desy,” Sarman lebih dulu menyapanya.

“Sudah kuduga, mas Sarman setia menemani di sini,” senyum Desy sambil mendekat ke arah ranjang Hesti setelah mengedipkan sebelah matanya kepada kakak angkatnya.

“Eh, bukan, aku belum lama datang, tahu,” protes Sarman, yang dibalas senyum lucu oleh Desy. Desy memegang tangan Hesti.

“Sudah merasa lebih baik ?”

Hesti mengangguk pelan. Ada perasaan berdosa ketika menatap mata tulus seorang dokter muda yang menjadi kekasih Danarto.

“Mengapa menangis?”

Hesti tersenyum tipis, kemudian mengusap sisa air mata yang masih ada di wajahnya dengan sehelai tissue yang diraih dari atas meja di dekatnya.

“Masih merasa pusing?”

“Sedikit, dok.”

“Panggil aku Desy, atau mbak Desy saja.”

Hesti kembali mengangguk.

“Kamu bukan sakit karena suatu penyakit,” kata Desy pelan.

“Nah, benar dugaanku kan?” Sarman bergumam sendiri.

“Kamu menduga apa Mas? Hesti sakit cinta barangkali?” goda Desy.

Sarman terbahak, membuat Hesti ikutan tersenyum dibalik wajah pucatnya.

“Benar Hes, kamu sakit cinta?” Sarman bahkan ikutan menggoda, padahal Desy bermaksud menggoda dua-duanya.

Hesti tersenyum tak mengerti.

“Baiklah. Desy, apa kamu akan tergesa pulang?” tanya Sarman mengalihkan pembicaraan.

“Tidak, kenapa?”

“Tinggallah di sini sebentar, aku mau ke kampus ketemu dosen aku.”

“Oh, baiklah. Tenang saja, Hesti aman bersama aku,” senyum Desy mengembang, menatap Sarman dengan lucu. Sarman beringsut pergi, sambil melotot ke arah Desy. Ia tahu kemana arah candaan adik angkatnya ini.

“Sudah makan?”

Hesti mengangguk.

“Sudah minum obatnya?”

Lagi-lagi Hesti hanya mengangguk.

“Jangan terlalu banyak pikiran. Bukankah kamu ingin fokus pada kuliah kamu?”

Pertanyaan itu membuat kesedihan kembali melandanya. Kalau ibunya sudah membuangnya, mana bisa dia melanjutkan kuliahnya?

“Entahlah … “ katanya pelan.

“Mengapa ‘entahlah’? Ayo bersemangatlah Hesti, kamu masih muda.”

“Sebelum bicara, aku minta maaf sama Dokter,” lirih Hesti mengatakannya.

“Desy,” Desy membetulkan panggilan Hesti.

“Mbak Desy.”

“Mengapa minta maaf?”

“Saya pernah membenci Dok … eh … Mbak.”

“Oh ya?” Desy tertawa. Ia sudah tahu karena dulu Hesti sangat mengejar Danarto, jadi tentu saja dia membencinya.

“Lupakan saja. Apakah kamu sekarang masih membenci aku?”

Hesti tersenyum tipis, tapi kepalanya menggeleng. Ia menggenggam erat tangan Desy yang sedari tadi memeganginya.

“Bagus. Lupakan kebencian. Ibuku selalu bilang, bahwa rasa benci itu hanya menyakiti hati, karena benci adalah racun.”

Hesti menatap Desy dengan takjub. Dokter ini bukan hanya cantik, tapi juga sangat bijak dalam berkata-kata, pantas saja Danarto sangat mencintainya, pikir Hesti.

“Apakah kamu mengerti ?”

Hesti mengangguk, tanpa meninggalkan senyumannya.

“Apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan sesuatu menjadi beban yang kemudian hanya bisa menyakiti hati kamu.”

Hesti diam. Kalau saja Desy tahu apa yang dipikirkannya.

“Teruslah bersemangat dan menempuh pendidikan kamu. Jadilah orang yang berhasil.”

“Tidak …” katanya pilu.

“Mengapa tidak?”

“Saya ingin mencari pekerjaan saja.”

“Kamu ingin bekerja? Kuliah kamu?”

“Saya tak akan mampu melanjutkannya.”

“Mengapa?”

“Saya tidak punya siapa-siapa,” lalu air mata itu kembali merebak.

Desy menatapnya heran. Ia gantian meremas tangan Hesti.

“Mengapa kamu berkata begitu?”

“Saya sudah dibuang oleh ibu saya.”

Mata Desy terbelalak. Ia belum sepenuhnya mengerti arti kata ‘dibuang’ yang keluar dari mulut Hesti. Ia tak mengucapkan apa-apa, hanya menatap Hesti yang kembali menitikkan air mata.

“Karena saya tidak mendukung keinginan ibu untuk menjadi jodoh mas Danarto, ibu sangat marah dan mengatakan bahwa dia tidak lagi mengakui saya sebagai anaknya,” kali ini Hesti terisak.

“Ya Tuhan,” Desy mengeluh, miris. Bagaimana mungkin seorang ibu bisa mengucapkan hal seperti itu?

“Saya tidak punya siapa-siapa. Saya akan mencari pekerjaan saja.”

“Baiklah. Barangkali permasalahan kamu memerlukan pemikiran panjang. Kamu sakit karena tertekan. Jadi, kamu harus bisa melepaskan semua beban terlebih dulu.”

Hesti menatap tak mengerti.

“Lupakan ibu kamu, lupakan apa yang dikatakannya. Buat hati kamu senang.”

Oh ya? Gampangkah menjalankan apa yang dikatakan Desy? Melupakan semuanya? Bagaimana membuat hatinya senang?

“Percayalah, pasti ada jalan, kalau kamu benar-benar memohon kepadaNya. Hidup harus berlanjut, dan menangisi sesuatu terus menerus adalah kebodohan, karena kamu tak akan bisa menemukan apapun.” lanjut Desy.

Tiba-tiba ponsel Desy berdering. Dari Harun.

“Maaf Dokter, Dokter dimana?”

“Bunga menanyakan saya ?” Desy langsung mengerti.

“Iya, maaf. Tapi kalau Dokter tidak bisa datang, tidak apa-apa, saya akan memberi alasan yang tepat untuk Bunga. Ini saya masih di kantor, sebentar lagi mau pulang. Baru saja Sri menelpon saya.”

“Tidak Pak Harun, jangan minta maaf. Bilang pada Bunga bahwa saya sedang mengunjungi saudara yang sakit. Tapi secepatnya saya akan menemui Bunga.”

“Oh, baik Dokter, sekali lagi saya minta maaf.”

Desy tersenyum, lalu menutup ponselnya.

“Mbak Desy, tinggalkan saja saya. Saya sudah tidak apa-apa.”

“Baiklah, tapi ingat kata-kata saya. Kamu harus bisa melupakan semuanya. Oh ya, kalau kamu sudah tidak lagi merasa sakit, datanglah ke rumah. Ada adikku yang sangat cerewet, kamu pasti suka berteman sama dia.”

Hesti tersenyum, penuh rasa terima kasih.

“Aku pergi dulu, masalah keinginan kamu itu nanti kita bicarakan setelah kamu benar-benar sehat,” kata Desy sambil menepuk tangan Hesti dengan hangat.

Hesti menghela napas panjang ketika Desy meninggalkannya. Barangkali benar, hal terbaik adalah melupakan semuanya. Tidak mudah, memang. Tapi bahwa hidup harus terus berlanjut, membuat Hesti sedikit bersemangat. Ia bangkit dari tempat tidurnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Langkahnya masih terhuyung, lalu ia merebahkan diri kembali ke ranjang, dan mencoba memejamkan mata.

***

 “Aunty!” Teriak Bunga ketika melihat Desy datang.

Tapi Desy senang, ada dokter Nisa didekat Bunga.

“Nah, Bunga senang kan, ditunggui ibu dokter yang cantik ini?” sapa Desy sambil mencium pipi Bunga.

“Iya, Ibu Dokter mendongeng buat Bunga.”

“Oh ya? Dongeng apa tuh, pasti bagus dong.”

“Dongeng tentang seekor monyet yang nakal, tapi lucu.”

“Waduuh, aunty jadi ingin mendengar tuh, seperti apa lucunya.”

“Dokter Desy, karena Anda sudah datang, saya boleh permisi dulu kan?”

“Baiklah, Dokter, silakan. Saya tadi sedang menengok kerabat yang sakit.”

“Oh, bagaimana sakitnya? Tidak dibawa ke rumah sakit?”

“Tidak Dok, hanya penyakit ringan saja.”

“Baik Dokter Desy, saya permisi dulu,” kata dokter Nisa, kemudian kepada Bunga “sayang, ibu dokter pergi dulu ya, ada pasien yang lain.”

“Baik, Ibu Dokter, besok Bunga mau didongengin lagi.”

“Oh, ya, pasti, tapi kan besok Bunga sudah boleh pulang?”

“Sudah boleh ya Dok?”

“Tidak apa-apa rawat jalan, keadaannya sudah baik.”

“Syukurlah, terima kasih banyak Dok.”

Dokter Nisa melambaikan tangan dan berlalu.

“Wah, senangnya, besok sudah boleh pulang ya. Bisa bermain sama adik di rumah.”

“Iya Aunty. Tidak di suntik sakit lagi kan?”

“Tentu saja tidak sayang, Bunga sudah makan?”

Bunga mengangguk dengan bersemangat, senang hatinya karena besok sudah bisa pulang ke rumah.

***

Sarman sudah menyelesaikan urusannya di kampus. Tak ada masalah dengan skripsinya, dan siap menunggu jadwal ujian. Ia masuk ke halaman rumah kost Hesti. Dilihatnya pintu ruang sedikit terbuka. Ia menstandartkan sepeda motornya, kemudian melangkah mendekatinya. Perlahan ia membuka pintu, dan melihat Hesti terlelap.

Sarman tersenyum. Barangkali juga karena pengaruh obatnya sehingga Hesti bisa lebih banyak tidur. Sarman menutup pintunya pelan, kemudian duduk di kursi tamu. Ia mengangkat ponselnya, dan menelpon Desy.

“Ya Mas?”

“Kamu di mana?”

“Masih di rumah sakit, tapi aku kan sebenarnya masih cuti.”

“Mengapa di rumah sakit?”

“Ada pasien kecil yang meminta aku menungguinya, tapi dia sudah baik kok. Bagaimana dengan Hesti?”

“Aku baru saja kembali dari kampus. Ini di tempat kost Hesti.”

“Ehem,” Desy berdehem menggoda.

“Apa maksudmu?” Sarman memelototkan matanya, tapi yang dipelototin kan tidak melihatnya, sehingga kemudian Sarman geli sendiri. Ia mencari-cari, mengapa Desy menuduhnya ada apa-apa diantara dia dan Hesti. Memang sih, Desy tidak mengatakan apa-apa, hanya godaan-godaan kecil yang mengarah ke arah sana. Tapi apa aku kelihatan sedang menyukai gadis itu? Pikir Sarman.

Dari seberang sana didengarnya Desy terkekeh.

“Kamu jangan macam-macam ya,  dapat dari mana pemikiran semacam itu?”

“Lhoh, pemikiran semacam apa sih Mas?” Desy masih tertawa-tawa.

“Aku tahu lah, apa yang kamu pikirkan, tapi itu tidak benar.”

“Maksudnya belum benar, ya kan?”

“Eh, apa pula ini?”

“Belum, artinya pada suatu hari nanti akan benar,” Desy tertawa lebih keras.

“Huh, mentang-mentang sudah mau dilamar, berani ya nggangguin aku.”

“Ya sudah, stop goda menggoda ya, sekarang bagaimana keadaan Hesti? Tadi ketika aku meninggalkan dia, dia masih terjaga, tapi aku sudah tahu sedikit banyak tentang apa yang membuatnya tertekan.”

“Dia cerita?”

“Mungkin tidak semuanya, tapi garis besarnya aku sudah tahu.”

“Dia pantas dikasihani.”

“Dia ingin bekerja.”

“Ya, tapi aku ingin dia juga sambil kuliah.”

“Aku sudah bilang nanti kita akan bicara lagi kalau dia sudah benar-benar sehat. Ajaklah dia ke rumah supaya berkenalan dengan Tutut. Dia kan cerewet, siapa tahu Hesti menyukainya dan bisa terhibur.”

“Baiklah, sebelum maju ujian aku akan ketemu bapak sama ibu, untuk memohon doa restu.”

“Jangan lupa bawa Hesti bersamamu ya Mas.”

Sarman mengangguk, dan lagi-lagi kemudian dia sadar bahwa pasti Desy tidak melihat anggukan itu. Dan kemudian lagi dia terkejut sendiri. Mengajak Hesti? Lalu bagaimana kalau Hesti dikira pacarnya oleh semua orang? O tidak, Desy tadi kan bilang bahwa dia ingin Hesti berkenalan dengan Tutut? Sarman tersenyum mendapatkan alasan itu.

***

Danarto sedang membenahi barang-barangnya, setelah rencana untuk pindah ke rumah baru sudah matang. Ijin praktek sudah selesai di urusnya, demikian juga ijin praktek buat Desy. Setelah lamaran ia ingin agar pernikahan segera dilangsungkan.

Ia memulai dari almari besar yang berisi barang-barang milik almarhumah ibunya. Ia akan mengumpulkan baju bekas yang masih pantas pakai, untuk diberikan kepada keluarga yang kurang mampu. Ia sudah menyiapkan sebuah kardus yang agak besar, karena baju-baju itu lumayan banyak. Lalu ia menemukan sebuah album lama. Ia memisahkannya karena ia tak ingin membuang kenangan tentang ibunda tercintanya. Tapi ketika meletakkan album itu di meja, tiba-tiba sebuah surat bersampul putih yang sudah berwarna kecoklatan terjatuh.

“Sebuah surat untuk ibu, dari bu Sriani? Ya, ia membaca nama Sriani dibalik sampul itu. Danarto tergelitik untuk membacanya. Diambilnya surat itu, dan dibacanya. Danarto terbelalak.

***

Besok lagi ya.

51 comments:

  1. Alhamdulillah...

    Mtnuwun mbk Tien....๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
    Replies
    1. Manusang bu Tien AA sdh hadir

      Delete
    2. Pak Bambang...maaf saya comment jam 21.05, ada di atas, Krn mengomentari tulisan Bu Nani.

      Delete
    3. Kalau comment sy yang asli justru di bawah, jam 08.45

      Delete
    4. Alhamdulillah isih sore wis tayang. Matur nuwun bu Tien.
      Salam sehat dan tetap ADUHAI, bunda.....

      Mohon maaf telat komen.
      Lagi ada acara rapat panitia reuni via Zoom, jadi HPnya dipakai dulu.
      Selamat buat Uti Nani malam ini juara 1

      Delete
    5. "Sebuah surat untuk ibu, dari bu Sriani? Ya, ia membaca nama Sriani dibalik sampul itu. Danarto tergelitik untuk membacanya. Diambilnya surat itu, dan dibacanya. Danarto terbelalak.

      ***

      Besok lagi ya.
      Wah besok lagi ya..........
      Pembaca kecewa..... hari ini tumben bunda banyak "typo" sedikitnya ada 13 koreksiku..... Nama Desy ditulis Hesti....
      Pokoke marem...... Sarman dah beres, tdk ada perbaikan lagi tinggal menunggu jadwal sidang. Danarto juga sdh mantap persiapannya....

      Delete
  2. Met malam , mbak Nani juara 1, saya tak ngawal juara 2

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ADUHAI-AH 28 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah....trimakasih bu Tien . Salsm sehat selalu

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ADUHAI AH~28 telah hadir , terima kasih bu Tien..๐Ÿ™

    ReplyDelete
  6. Mas Bambang. Aku ditrombol .Padahal mau aku nomer 2 looo

    ReplyDelete
  7. Alhamdulilah hatur nuwun ya mbak yu Tienkumalasari sayang, salam kangen dari Cibubur miss u muaach

    ReplyDelete
  8. Ah...... Bu Tien bikin penasaran lagi nih, apa yaa isinya, ๐Ÿค”๐Ÿค”๐Ÿค”๐Ÿค”
    Sehat selalu ya Bu, salam dari Bandung.

    ReplyDelete
  9. Makasih ibu tien, njenengan pintar sekali memberi kejutan2 di akhir cerita

    ReplyDelete
  10. Apa yaa isinya,sampai Danar kaget gitu.
    Makasih mba Tien.
    Sehat ,semangat dan selalu aduhai..ah

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Nah... ada surat dari Sriani untuk ibunya Danarto, perjalanan masih panjang dan mungkin berliku.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  12. Waduuuh...surat apalagi dari bu Sriyani ya...
    Bikin deg2an saja Bu Tien.
    Matur nuwun, salam sehat dan Aduhai..
    Bam's Bantul

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun, bu Tien. AA makin membuat penisirin

    ReplyDelete
  14. Terima kasih mbak Tien atas cerbung nya.
    Didoakan semoga mbak Tien sehat² selalu. Amin.

    ReplyDelete
  15. Trimakasih bu Tien A A 28 nya
    Apa ya kira' isi surat itu....
    Kok Danarto sampai terbelalak
    Penasaran ahh..
    Moga aja ndak masalah perjodohan

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 28 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  17. Apa ya isi surat itu ?
    Sabar ..... Sabar ......
    Terimakasih bu Tien, makin penasaran saja....

    ReplyDelete
  18. Terima kasih bu Tien Aduhai Ah 28 sudah tayang

    ReplyDelete
  19. AA datang ... baca ya yang banyak salam mba sadayana hahaha

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah bisa menikmati karya bunda Tien, mksh salam sehat dan aduhai..

    ReplyDelete
  21. Aduh isi suratnya apa ya semoga bukan surat perjanjian perjodohan.....masak ceritanya mau mbulet terus .....trims Bu tien

    ReplyDelete
  22. Terimakasih bund, sehat selalu

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah AA 28 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
    Semoga selalu sehat, bahagia bersama keluarga, dan senantiasa dalam lindungan Nya. Aamiin

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah, suwun Bu Tien......
    Salam sehat selalu....๐Ÿ˜Š๐Ÿ™

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien..
    Selalu sehat dan bahagia bersama keluarga.

    ReplyDelete
  26. Aduh, mbak Tien pandai sekali memainkan perasaan pembaca...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  27. Jgn2 bpknya Hesti juga p Haryo๐Ÿคญ๐Ÿค—

    ReplyDelete
  28. Oo kamu ketahuan..
    Nungguin idaman hati, digodain Desy lagi, pakai cerita ke ortu segala.

    Mau enggak ya Hesti diajak kenalan sama Tutut kan seumuran nggak beda jauh, mudah mudahan bisa sedikit menghibur meluruhkan beban yang terlalu berat baginya.

    Semua perhatian dan prihatin apa yang membebani pikiran Hesti, apa pun itu.

    Danarto baru tahu ada surat dari Sriani, lagi lagi harapan mengajak berbesanan dengan Larsih.
    Boro boro perjodohan, diri sendiri juga masih berharap datangnya Haryo, sampai menyuruh anaknya menemui agar mau mempertemukan dengannya.

    Kan belum sempat di balas, keburu sakit sampai meninggal nya.
    Wah enggaklah toh Hesti juga menolak Danarto kan.

    Biarlah berjalan sesuai rencana, nggak tahu besok ada apa lagi.

    Sudah saatnyakah Haryo berterus-terang pada Sarman kalau sedjatinya itu anaknya.
    Bisakah Sarman menerima cerita itu dan legawa menerima Haryo sebagai bapaknya.
    Besok lagi saja..


    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke dua puluh delapan sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  29. Aduh surat apa pasti bukan surat jodohkan ma Hesti hahahah Danarto gak perlu apa dak Tahu Desy sdh di minta secara langsung ke ibu bapaknya semoga saja ..sehat kan Ibu Tien ..salam aduhai..terimakasih

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah AA 28 sdh hadir
    Apa ya isi suratnya? semakin penasaran lanjutan ceritanya
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
    Aamiin
    Salam ADUHAI AH

    ReplyDelete
  31. Alhamdulillah. Hiburan pasca subuh.
    Apa kabar bu Tien.
    Semoga sehat selalu dan berbahagia bersama keluarga. Aamiin

    ReplyDelete
  32. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Aduhai semua nya deh,,
    Danarto knp kamu....kl memang Hesti jodohmu pasti ibu bilang ...jd tenang ya

    Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien๐Ÿ˜Š

    ReplyDelete
  33. Terima ksih bunda Tien..slm sayang n sehat sll dri skbmi๐Ÿ’–๐ŸŒน๐Ÿ™

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...