ADUHAI AH 28
(Tien Kumalasari)
Hesti masih bersandar pada sandaran tempat tidur, air
mata yang semula merebak, kemudian menjatuhkan butiran-butiran bening yang
sambung menyambung menganak sungai di sepanjang pipinya.
“Hentikan tangismu. Ibumu mungkin sedang emosi.,”
Sarman mencoba menghibur, walau didalam hati mengutuk ucapan ibu yang tidak pantas itu. Bukankah ketika
seorang ibu berucap maka semesta mencatatnya sebagai sebuah doa?
“Aku seperti kehilangan pegangan, sendirian di dunia Ini,”
isak nya.
“Tidak, kamu tidak sendiri. Bukankah ada aku? Kamu
tahu, aku juga sendiri di dunia ini karena ibuku sudah meninggal, dan ayahku
entah di mana aku tidak tahu,” kata Sarman seperti bergumam.
“Perpisahan dengan ucapan menyakitkan, bukankah
membuat seorang anak terluka?”
“Kamu benar, tapi bahwa kamu tidak sendiri, kamu harus
yakin itu.”
“Mas Sarman, bagaimana aku harus menjalani hidupku?”
“Berserah dirilah kepada Yang Maha Kuasa, Allah akan
menunjukkan jalan untuk kamu. Jangan takut mengarungi hidup, karena hidup
adalah sebuah peperangan dan perjuangan.
Berperang memerangi sesuatu yang berada di pihak lawan kamu. Apa itu, ialah
hal baik dan buruk. Tinggal kamu pilih akan memihak yang mana? Kalau yang baik,
maka perangilah yang tidak baik, kalau kamu memilih yang tidak baik, maka kamu
akan memerangi kebaikan. Untuk itu kamu harus bersiap terpuruk dalam kegelapan.
Karena yang buruk itu adalah kegelapan, sedangkan yang baik itu adalah
benderang yang menerangi jalan hidup kamu.”
Hesti mengusap air matanya, mencoba mengurai apa yang
dikatakan seniornya.
“Jalanilah hidup dan bersemangatlah.”
“Walau sendirian?”
“Kan aku sudah bilang bahwa kamu tidak sendirian? Ada
aku yang akan selalu menemani kamu. Yang selalu menyiapkan bahu untuk
bersandar, menyiapkan dada untuk berlindung.”
Aduhai, hari ini Sarman romantis sekali bukan? Bahu
dan dadanya akan akan selalu disiapkan demi gadis yang sedang dilanda papa.
Hesti menatap Sarman. Ia merasa menemukan ayahnya
kembali. Ayah yang meninggal ketika ia msih berumur enam tahun, yang sering
menjewer kupingnya pelan apabila dia melakukan kesalahan.
Air mata kembali merebak.
“Hesti … “ tiba-tiba seseorang muncul. Gadis cantik
penuh pesona yang semula amat dibencinya.
“Desy,” Sarman lebih dulu menyapanya.
“Sudah kuduga, mas Sarman setia menemani di sini,”
senyum Desy sambil mendekat ke arah ranjang Hesti setelah mengedipkan sebelah
matanya kepada kakak angkatnya.
“Eh, bukan, aku belum lama datang, tahu,” protes
Sarman, yang dibalas senyum lucu oleh Desy. Desy memegang tangan Hesti.
“Sudah merasa lebih baik ?”
Hesti mengangguk pelan. Ada perasaan berdosa ketika
menatap mata tulus seorang dokter muda yang menjadi kekasih Danarto.
“Mengapa menangis?”
Hesti tersenyum tipis, kemudian mengusap sisa air mata
yang masih ada di wajahnya dengan sehelai tissue yang diraih dari atas meja di
dekatnya.
“Masih merasa pusing?”
“Sedikit, dok.”
“Panggil aku Desy, atau mbak Desy saja.”
Hesti kembali mengangguk.
“Kamu bukan sakit karena suatu penyakit,” kata Desy
pelan.
“Nah, benar dugaanku kan?” Sarman bergumam sendiri.
“Kamu menduga apa Mas? Hesti sakit cinta barangkali?”
goda Desy.
Sarman terbahak, membuat Hesti ikutan tersenyum dibalik
wajah pucatnya.
“Benar Hes, kamu sakit cinta?” Sarman bahkan ikutan
menggoda, padahal Desy bermaksud menggoda dua-duanya.
Hesti tersenyum tak mengerti.
“Baiklah. Desy, apa kamu akan tergesa pulang?” tanya
Sarman mengalihkan pembicaraan.
“Tidak, kenapa?”
“Tinggallah di sini sebentar, aku mau ke kampus ketemu
dosen aku.”
“Oh, baiklah. Tenang saja, Hesti aman bersama aku,”
senyum Desy mengembang, menatap Sarman dengan lucu. Sarman beringsut pergi,
sambil melotot ke arah Desy. Ia tahu kemana arah candaan adik angkatnya ini.
“Sudah makan?”
Hesti mengangguk.
“Sudah minum obatnya?”
Lagi-lagi Hesti hanya mengangguk.
“Jangan terlalu banyak pikiran. Bukankah kamu ingin
fokus pada kuliah kamu?”
Pertanyaan itu membuat kesedihan kembali melandanya.
Kalau ibunya sudah membuangnya, mana bisa dia melanjutkan kuliahnya?
“Entahlah … “ katanya pelan.
“Mengapa ‘entahlah’? Ayo bersemangatlah Hesti, kamu
masih muda.”
“Sebelum bicara, aku minta maaf sama Dokter,” lirih
Hesti mengatakannya.
“Desy,” Desy membetulkan panggilan Hesti.
“Mbak Desy.”
“Mengapa minta maaf?”
“Saya pernah membenci Dok … eh … Mbak.”
“Oh ya?” Desy tertawa. Ia sudah tahu karena dulu Hesti
sangat mengejar Danarto, jadi tentu saja dia membencinya.
“Lupakan saja. Apakah kamu sekarang masih membenci
aku?”
Hesti tersenyum tipis, tapi kepalanya menggeleng. Ia
menggenggam erat tangan Desy yang sedari tadi memeganginya.
“Bagus. Lupakan kebencian. Ibuku selalu bilang, bahwa
rasa benci itu hanya menyakiti hati, karena benci adalah racun.”
Hesti menatap Desy dengan takjub. Dokter ini bukan
hanya cantik, tapi juga sangat bijak dalam berkata-kata, pantas saja Danarto
sangat mencintainya, pikir Hesti.
“Apakah kamu mengerti ?”
Hesti mengangguk, tanpa meninggalkan senyumannya.
“Apa yang sedang kamu pikirkan? Jangan sesuatu menjadi
beban yang kemudian hanya bisa menyakiti hati kamu.”
Hesti diam. Kalau saja Desy tahu apa yang
dipikirkannya.
“Teruslah bersemangat dan menempuh pendidikan kamu.
Jadilah orang yang berhasil.”
“Tidak …” katanya pilu.
“Mengapa tidak?”
“Saya ingin mencari pekerjaan saja.”
“Kamu ingin bekerja? Kuliah kamu?”
“Saya tak akan mampu melanjutkannya.”
“Mengapa?”
“Saya tidak punya siapa-siapa,” lalu air mata itu
kembali merebak.
Desy menatapnya heran. Ia gantian meremas tangan
Hesti.
“Mengapa kamu berkata begitu?”
“Saya sudah dibuang oleh ibu saya.”
Mata Desy terbelalak. Ia belum sepenuhnya mengerti arti
kata ‘dibuang’ yang keluar dari mulut Hesti. Ia tak mengucapkan apa-apa, hanya
menatap Hesti yang kembali menitikkan air mata.
“Karena saya tidak mendukung keinginan ibu untuk
menjadi jodoh mas Danarto, ibu sangat marah dan mengatakan bahwa dia tidak lagi
mengakui saya sebagai anaknya,” kali ini Hesti terisak.
“Ya Tuhan,” Desy mengeluh, miris. Bagaimana mungkin
seorang ibu bisa mengucapkan hal seperti itu?
“Saya tidak punya siapa-siapa. Saya akan mencari
pekerjaan saja.”
“Baiklah. Barangkali permasalahan kamu memerlukan
pemikiran panjang. Kamu sakit karena tertekan. Jadi, kamu harus bisa melepaskan
semua beban terlebih dulu.”
Hesti menatap tak mengerti.
“Lupakan ibu kamu, lupakan apa yang dikatakannya. Buat
hati kamu senang.”
Oh ya? Gampangkah menjalankan apa yang dikatakan Desy?
Melupakan semuanya? Bagaimana membuat hatinya senang?
“Percayalah, pasti ada jalan, kalau kamu benar-benar
memohon kepadaNya. Hidup harus berlanjut, dan menangisi sesuatu terus menerus
adalah kebodohan, karena kamu tak akan bisa menemukan apapun.” lanjut Desy.
Tiba-tiba ponsel Desy berdering. Dari Harun.
“Maaf Dokter, Dokter dimana?”
“Bunga menanyakan saya ?” Desy langsung mengerti.
“Iya, maaf. Tapi kalau Dokter tidak bisa datang, tidak
apa-apa, saya akan memberi alasan yang tepat untuk Bunga. Ini saya masih di
kantor, sebentar lagi mau pulang. Baru saja Sri menelpon saya.”
“Tidak Pak Harun, jangan minta maaf. Bilang pada Bunga
bahwa saya sedang mengunjungi saudara yang sakit. Tapi secepatnya saya akan
menemui Bunga.”
“Oh, baik Dokter, sekali lagi saya minta maaf.”
Desy tersenyum, lalu menutup ponselnya.
“Mbak Desy, tinggalkan saja saya. Saya sudah tidak
apa-apa.”
“Baiklah, tapi ingat kata-kata saya. Kamu harus bisa
melupakan semuanya. Oh ya, kalau kamu sudah tidak lagi merasa sakit, datanglah
ke rumah. Ada adikku yang sangat cerewet, kamu pasti suka berteman sama dia.”
Hesti tersenyum, penuh rasa terima kasih.
“Aku pergi dulu, masalah keinginan kamu itu nanti kita
bicarakan setelah kamu benar-benar sehat,” kata Desy sambil menepuk tangan
Hesti dengan hangat.
Hesti menghela napas panjang ketika Desy
meninggalkannya. Barangkali benar, hal terbaik adalah melupakan semuanya. Tidak
mudah, memang. Tapi bahwa hidup harus terus berlanjut, membuat Hesti sedikit
bersemangat. Ia bangkit dari tempat tidurnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Langkahnya masih terhuyung, lalu ia merebahkan diri kembali
ke ranjang, dan mencoba memejamkan mata.
***
“Aunty!” Teriak
Bunga ketika melihat Desy datang.
Tapi Desy senang, ada dokter Nisa didekat Bunga.
“Nah, Bunga senang kan, ditunggui ibu dokter yang
cantik ini?” sapa Desy sambil mencium pipi Bunga.
“Iya, Ibu Dokter mendongeng buat Bunga.”
“Oh ya? Dongeng apa tuh, pasti bagus dong.”
“Dongeng tentang seekor monyet yang nakal, tapi lucu.”
“Waduuh, aunty jadi ingin mendengar tuh, seperti apa
lucunya.”
“Dokter Desy, karena Anda sudah datang, saya boleh
permisi dulu kan?”
“Baiklah, Dokter, silakan. Saya tadi sedang menengok
kerabat yang sakit.”
“Oh, bagaimana sakitnya? Tidak dibawa ke rumah sakit?”
“Tidak Dok, hanya penyakit ringan saja.”
“Baik Dokter Desy, saya permisi dulu,” kata dokter Nisa, kemudian kepada Bunga “sayang, ibu dokter pergi dulu ya, ada pasien yang
lain.”
“Baik, Ibu Dokter, besok Bunga mau didongengin lagi.”
“Oh, ya, pasti, tapi kan besok Bunga sudah boleh
pulang?”
“Sudah boleh ya Dok?”
“Tidak apa-apa rawat jalan, keadaannya sudah baik.”
“Syukurlah, terima kasih banyak Dok.”
Dokter Nisa melambaikan tangan dan berlalu.
“Wah, senangnya, besok sudah boleh pulang ya. Bisa
bermain sama adik di rumah.”
“Iya Aunty. Tidak di suntik sakit lagi kan?”
“Tentu saja tidak sayang, Bunga sudah makan?”
Bunga mengangguk dengan bersemangat, senang hatinya
karena besok sudah bisa pulang ke rumah.
***
Sarman sudah menyelesaikan urusannya di kampus. Tak
ada masalah dengan skripsinya, dan siap menunggu jadwal ujian. Ia masuk ke
halaman rumah kost Hesti. Dilihatnya pintu ruang sedikit terbuka. Ia
menstandartkan sepeda motornya, kemudian melangkah mendekatinya. Perlahan ia
membuka pintu, dan melihat Hesti terlelap.
Sarman tersenyum. Barangkali juga karena pengaruh
obatnya sehingga Hesti bisa lebih banyak tidur. Sarman menutup pintunya pelan,
kemudian duduk di kursi tamu. Ia mengangkat ponselnya, dan menelpon Desy.
“Ya Mas?”
“Kamu di mana?”
“Masih di rumah sakit, tapi aku kan sebenarnya masih
cuti.”
“Mengapa di rumah sakit?”
“Ada pasien kecil yang meminta aku menungguinya, tapi
dia sudah baik kok. Bagaimana dengan Hesti?”
“Aku baru saja kembali dari kampus. Ini di tempat kost
Hesti.”
“Ehem,” Desy berdehem menggoda.
“Apa maksudmu?” Sarman memelototkan matanya, tapi yang
dipelototin kan tidak melihatnya, sehingga kemudian Sarman geli sendiri. Ia
mencari-cari, mengapa Desy menuduhnya ada apa-apa diantara dia dan Hesti.
Memang sih, Desy tidak mengatakan apa-apa, hanya godaan-godaan kecil yang
mengarah ke arah sana. Tapi apa aku kelihatan sedang menyukai gadis itu? Pikir
Sarman.
Dari seberang sana didengarnya Desy terkekeh.
“Kamu jangan macam-macam ya, dapat dari mana pemikiran semacam itu?”
“Lhoh, pemikiran semacam apa sih Mas?” Desy masih
tertawa-tawa.
“Aku tahu lah, apa yang kamu pikirkan, tapi itu tidak
benar.”
“Maksudnya belum benar, ya kan?”
“Eh, apa pula ini?”
“Belum, artinya pada suatu hari nanti akan benar,”
Desy tertawa lebih keras.
“Huh, mentang-mentang sudah mau dilamar, berani ya
nggangguin aku.”
“Ya sudah, stop goda menggoda ya, sekarang bagaimana
keadaan Hesti? Tadi ketika aku meninggalkan dia, dia masih terjaga, tapi aku
sudah tahu sedikit banyak tentang apa yang membuatnya tertekan.”
“Dia cerita?”
“Mungkin tidak semuanya, tapi garis besarnya aku sudah
tahu.”
“Dia pantas dikasihani.”
“Dia ingin bekerja.”
“Ya, tapi aku ingin dia juga sambil kuliah.”
“Aku sudah bilang nanti kita akan bicara lagi kalau dia
sudah benar-benar sehat. Ajaklah dia ke rumah supaya berkenalan dengan Tutut. Dia
kan cerewet, siapa tahu Hesti menyukainya dan bisa terhibur.”
“Baiklah, sebelum maju ujian aku akan ketemu bapak
sama ibu, untuk memohon doa restu.”
“Jangan lupa bawa Hesti bersamamu ya Mas.”
Sarman mengangguk, dan lagi-lagi kemudian dia sadar
bahwa pasti Desy tidak melihat anggukan itu. Dan kemudian lagi dia terkejut
sendiri. Mengajak Hesti? Lalu bagaimana kalau Hesti dikira pacarnya oleh semua
orang? O tidak, Desy tadi kan bilang bahwa dia ingin Hesti berkenalan dengan
Tutut? Sarman tersenyum mendapatkan alasan itu.
***
Danarto sedang membenahi barang-barangnya, setelah
rencana untuk pindah ke rumah baru sudah matang. Ijin praktek sudah selesai di
urusnya, demikian juga ijin praktek buat Desy. Setelah lamaran ia ingin agar
pernikahan segera dilangsungkan.
Ia memulai dari almari besar yang berisi barang-barang
milik almarhumah ibunya. Ia akan mengumpulkan baju bekas yang masih pantas
pakai, untuk diberikan kepada keluarga yang kurang mampu. Ia sudah menyiapkan
sebuah kardus yang agak besar, karena baju-baju itu lumayan banyak. Lalu ia
menemukan sebuah album lama. Ia memisahkannya karena ia tak ingin membuang
kenangan tentang ibunda tercintanya. Tapi ketika meletakkan album itu di meja,
tiba-tiba sebuah surat bersampul putih yang sudah berwarna kecoklatan terjatuh.
“Sebuah surat untuk ibu, dari bu Sriani? Ya, ia
membaca nama Sriani dibalik sampul itu. Danarto tergelitik untuk membacanya.
Diambilnya surat itu, dan dibacanya. Danarto terbelalak.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien....๐๐
Manusang bu Tien AA sdh hadir
DeletePak Bambang...maaf saya comment jam 21.05, ada di atas, Krn mengomentari tulisan Bu Nani.
DeleteKalau comment sy yang asli justru di bawah, jam 08.45
DeleteAlhamdulillah isih sore wis tayang. Matur nuwun bu Tien.
DeleteSalam sehat dan tetap ADUHAI, bunda.....
Mohon maaf telat komen.
Lagi ada acara rapat panitia reuni via Zoom, jadi HPnya dipakai dulu.
Selamat buat Uti Nani malam ini juara 1
"Sebuah surat untuk ibu, dari bu Sriani? Ya, ia membaca nama Sriani dibalik sampul itu. Danarto tergelitik untuk membacanya. Diambilnya surat itu, dan dibacanya. Danarto terbelalak.
Delete***
Besok lagi ya.
Wah besok lagi ya..........
Pembaca kecewa..... hari ini tumben bunda banyak "typo" sedikitnya ada 13 koreksiku..... Nama Desy ditulis Hesti....
Pokoke marem...... Sarman dah beres, tdk ada perbaikan lagi tinggal menunggu jadwal sidang. Danarto juga sdh mantap persiapannya....
Makasih Bunda
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAsyik sdh tayang matur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah... terima kasih
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMet malam , mbak Nani juara 1, saya tak ngawal juara 2
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 28 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah....trimakasih bu Tien . Salsm sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH~28 telah hadir , terima kasih bu Tien..๐
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeleteMas Bambang. Aku ditrombol .Padahal mau aku nomer 2 looo
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYes
ReplyDeleteAlhamdulilah hatur nuwun ya mbak yu Tienkumalasari sayang, salam kangen dari Cibubur miss u muaach
ReplyDeleteAh...... Bu Tien bikin penasaran lagi nih, apa yaa isinya, ๐ค๐ค๐ค๐ค
ReplyDeleteSehat selalu ya Bu, salam dari Bandung.
Makasih ibu tien, njenengan pintar sekali memberi kejutan2 di akhir cerita
ReplyDeleteApa yaa isinya,sampai Danar kaget gitu.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Sehat ,semangat dan selalu aduhai..ah
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteNah... ada surat dari Sriani untuk ibunya Danarto, perjalanan masih panjang dan mungkin berliku.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Waduuuh...surat apalagi dari bu Sriyani ya...
ReplyDeleteBikin deg2an saja Bu Tien.
Matur nuwun, salam sehat dan Aduhai..
Bam's Bantul
Matur nuwun, bu Tien. AA makin membuat penisirin
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien atas cerbung nya.
ReplyDeleteDidoakan semoga mbak Tien sehat² selalu. Amin.
Trimakasih bu Tien A A 28 nya
ReplyDeleteApa ya kira' isi surat itu....
Kok Danarto sampai terbelalak
Penasaran ahh..
Moga aja ndak masalah perjodohan
Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 28 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Apa ya isi surat itu ?
ReplyDeleteSabar ..... Sabar ......
Terimakasih bu Tien, makin penasaran saja....
Terima kasih bu Tien Aduhai Ah 28 sudah tayang
ReplyDeleteAA datang ... baca ya yang banyak salam mba sadayana hahaha
ReplyDeleteAlhamdulillah bisa menikmati karya bunda Tien, mksh salam sehat dan aduhai..
ReplyDeleteAduh isi suratnya apa ya semoga bukan surat perjanjian perjodohan.....masak ceritanya mau mbulet terus .....trims Bu tien
ReplyDeleteTerimakasih bund, sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah AA 28 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien.
ReplyDeleteSemoga selalu sehat, bahagia bersama keluarga, dan senantiasa dalam lindungan Nya. Aamiin
Alhamdulillah, suwun Bu Tien......
ReplyDeleteSalam sehat selalu....๐๐
Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteSelalu sehat dan bahagia bersama keluarga.
Penasaran isi suratnya...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAduh, mbak Tien pandai sekali memainkan perasaan pembaca...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Jgn2 bpknya Hesti juga p Haryo๐คญ๐ค
ReplyDeleteOo kamu ketahuan..
ReplyDeleteNungguin idaman hati, digodain Desy lagi, pakai cerita ke ortu segala.
Mau enggak ya Hesti diajak kenalan sama Tutut kan seumuran nggak beda jauh, mudah mudahan bisa sedikit menghibur meluruhkan beban yang terlalu berat baginya.
Semua perhatian dan prihatin apa yang membebani pikiran Hesti, apa pun itu.
Danarto baru tahu ada surat dari Sriani, lagi lagi harapan mengajak berbesanan dengan Larsih.
Boro boro perjodohan, diri sendiri juga masih berharap datangnya Haryo, sampai menyuruh anaknya menemui agar mau mempertemukan dengannya.
Kan belum sempat di balas, keburu sakit sampai meninggal nya.
Wah enggaklah toh Hesti juga menolak Danarto kan.
Biarlah berjalan sesuai rencana, nggak tahu besok ada apa lagi.
Sudah saatnyakah Haryo berterus-terang pada Sarman kalau sedjatinya itu anaknya.
Bisakah Sarman menerima cerita itu dan legawa menerima Haryo sebagai bapaknya.
Besok lagi saja..
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke dua puluh delapan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Aduh surat apa pasti bukan surat jodohkan ma Hesti hahahah Danarto gak perlu apa dak Tahu Desy sdh di minta secara langsung ke ibu bapaknya semoga saja ..sehat kan Ibu Tien ..salam aduhai..terimakasih
ReplyDeleteAlhamdulillah AA 28 sdh hadir
ReplyDeleteApa ya isi suratnya? semakin penasaran lanjutan ceritanya
Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Salam ADUHAI AH
Alhamdulillah. Hiburan pasca subuh.
ReplyDeleteApa kabar bu Tien.
Semoga sehat selalu dan berbahagia bersama keluarga. Aamiin
Terima kasih..
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteAduhai semua nya deh,,
Danarto knp kamu....kl memang Hesti jodohmu pasti ibu bilang ...jd tenang ya
Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien๐
Turnuwun Mbak
ReplyDeleteTerima ksih bunda Tien..slm sayang n sehat sll dri skbmi๐๐น๐
ReplyDelete