ADUHAI AH 27
(Tien Kumalasari)
“Benarkah?” lagi-lagi Haryo bertanya, ingin meyakinkan
diri bahwa Sarman telah memiliki teman wanita yang pastinya istimewa. Desy
bilang dia cantik. Bukankah dengan berita itu kekhawatiran mereka tidak harus berlanjut? Memang seharusnya Sarman mendapatkan wanita
lain, dan bukan mencintai keluarga sendiri, walaupun Sarman tidak mengerti mengapa
itu menjadi terlarang.
Haryo menatap isterinya, yang juga sedang menatapnya
sambil tersenyum. Rupanya apa yang dipikirkan keduanya adalah sama.
Kekhawatiran mereka tidak harus berlanjut.
“Bagaimanakah wajah gadis itu?” tanya Haryo lagi.
“Cantik Pak, tapi dia masih kekanak-kanakan.”
“Kekanak-kanakan?”
“Maksud Desy, dia masih anak-anak. Mahasiswa semester
awal, jadi masih teramat muda.”
“Apakah perbedaan umur yang panjang itu adalah
masalah?” tanya Haryo lagi.
“Tentu bukan Pak, yang penting saling menyayangi,
saling mengerti, dan yang jelas apa berita yang kamu bawa itu benar atau baru
perasaanmu saja. Sarman itu kan sangat baik, dan suka menolong, jadi sikap itu
kan tidak boleh disalah artikan sebagai rasa suka, apalagi cinta.” Sambung
Tindy.
“Ibu, cara memandang orang suka itu kan berbeda. Mas
Sarman tampak sangat menghawatirkan gadis itu, dan pandangannya itu, Desy yakin
pasti bukan sembarang pandangan. Agak-agak gimana … gitu, kata Desy sambil
berdiri, kemudian bersiap masuk ke dalam rumah.
“Desy, siapakah nama gadis itu?” Haryo ternyata begitu
antusias terhadap cerita Desy. Ia ingin mengetahui tentang gadis itu secara
detail.
“Namanya Hesti, tapi Hesti siapa ya, Desy lupa.”
“Di mana rumahnya?” Haryo masih menggebu.
“Kalau tidak keliru … Surabaya.”
“Wah, jauh amat.”
“Itu sebabnya, gadis itu berdiam di sebuah rumah
kost.”
“Wah, jauh ya Bu, besok kalau kita harus melamar, bisa
sambil jalan-jalan,” gumam Haryo setelah Desy masuk ke dalam rumah.
Tindy tertawa.
“Bapak itu aneh. Mengapa belum-belum sudah bicara soal
lamar melamar? Desy baru menduga-duga lho.”
“Ibu punya nomor kontaknya Sarman kan?”
“Iya, tapi seringkali tidak bisa dihubungi.”
“Coba sekali lagi, katakan bahwa kita menunggu dia
datang kemari.”
“Bapak sudah akan bertanya tentang gadis yang menarik
hatinya itu?” tanya Tindy sambil tersenyum lucu.
“Bukan, aku ingin tahu tentang perkembangan kuliahnya.
Bukankah kalau saatnya wisuda kita akan menghadirinya?”
“Iya, tentu saja.”
“Baiklah, nanti ibu akan menelpon dia, atau mengirim
pesan saja, seandainya dia masih sibuk dengan gadisnya yang sedang sakit.”
Haryo mengangguk lega.
“Tapi Bapak jangan lupa, besok Danarto akan menemui
kita untuk acara lamaran itu.”
“Lhah, ibu sudah mempersiapkan semuanya?”
“Besok belum lamaran resmi. Dia baru akan berbincang.
Mungkin minggu depan dia baru akan melamar resmi dengan mengajak keluarganya.”
“Nah, saat itu suruhlah Sarman hadir. Kalau perlu
suruh dia mengajak gadis itu.”
“Iya … iya … “ Tindy masih tersenyum, mengimbangi
kegembiraan suaminya.
***
Hari sudah malam, Sarman masih duduk di kursi tamu di
ruang kost Hesti. Ia sudah memberikan obatnya, dan Sita lah yang melayaninya.
Ketika belum lama ini ia menjenguk ke dalam, dilihatnya Hesti pulas tertidur.
Sita keluar dari kamar, melihat Sarman masih duduk di
situ.
“Mas, sebaiknya Mas pulang dulu saja. Hesti sudah
baikan. Ia tidur sekarang.”
“Apakah tadi mau makan buburnya?”
“Mau kok, walau hanya separo bungkus, tapi lumayan.
Tubuhnya sudah tidak sedingin tadi. Setelah minum obat ia bahkan bisa tertidur.
“Pasti Mbak Sita jadi di repotkan oleh keadaan Hesti.
Apa sebaiknya aku bawa saja ke rumah sakit, kan di sana ada perawat yang akan
melayaninya?”
“Tidak usah Mas, tampaknya dia sudah tak apa-apa. Saya
mau mandi sebentar, nanti malam biarlah saya tidur di sini menemani dia.”
Sarman senang mendengarnya.
“Banarkah Mbak Sita tidak keberatan menemani dia malam
ini?”
“Kami sudah akrab kok. Sering jalan bersama, kalau dia
tidak sedang kuliah.”
“Mbak juga kuliah?”
“Tidak, saya sudah bekerja disebuah toko.”
“Oh, sudah bekerja ya? Jam berapa biasanya Mbak Sita
berangkat?”
“Jam delapan, kira-kira Mas, toko buka jam setengah
sembilan.”
“Kalau begitu saya pulang setelah Mbak mandi, besok
saya akan datang kemari sebelum Mbak Sita berangkat kerja.”
“Baiklah. Ide bagus Mas, jadi Mas juga bisa
beristirahat malam ini.”
“Ya.”
“Saya ke kamar saya dulu, hanya untuk mandi saja.”
Sarman mengangguk, tapi masih tetap duduk di luar.
Rasanya tidak enak kalau ia menunggui Hesti di dalam.
Sita melangkah menuju kamarnya, sambil terus berpikir,
alangkah baik pria bernama Sarman ini. Apakah dia pacarnya Hesti? Tapi Hesti
tak pernah menceritakan kalau dia punya pacar, dia pernah bilang suka kepada
seorang dokter, tapi dokter itu sudah punya pacar. Apakah mas Sarman sendiri
yang suka sama Hesti? Harusnya Hesti mau, dia kan ganteng, walau kelihatannya
sudah agak tua. Hehe, yang namanya laki-laki itu, biar sudah berumur, kalau
masih lajang kok kelihatannya masih muda saja ya. Apalagi tampaknya dia masih
kuliah. Aku kan sering melihat Hesti diboncengkan pulang setelah dari kampus.
Pacarnya bukan ya? Besok aku harus bertanya sama dia. Eh, gila sih, mengapa aku
harus bertanya? Tertarikkah? Enggak lah … hiiih, ngeri, baru kenal lalu
tertarik. Bagaimana kalau ternyata ia memang pacarnya Hesti? Bisa perang
saudara dong.
Sita memasuki kamarnya sambil tersenyum-senyum
sendiri. Ia harus cepat mandi, kasihan kalau dia tidak segera kembali ke kamar
Hesti, dia tampaknya sangat lelah juga.
Sarman sebentar-sebentar menjenguk ke dalam, tapi
dilihatnya Hesti masih tertidur.
“Syukurlah, barangkali obat yang diberikan mas Danarto
memang efeknya jadi ngantuk. Biarlah, semoga setelah bangun dia merasa lebih
segar. Tampaknya dia sangat tertekan. Aku yakin masih banyak yang akan dia
katakan, tapi keburu ingin masuk ke kamar dan menyuruhku pulang, karena merasa
sangat pusing. Baiklah, mudah-mudahan besok pagi, saat aku datang, dia sudah
bisa diajak bicara,” gumam Sarman yang kemudian sekali lagi menjenguk ke dalam.
Masih pulas. Bahkan sampai kemudian Sita datang setelah mandi, Hesti masih
tampak terlelap.
“Mas Sarman, sekarang mas Sarman boleh pulang,” kata
Sita sambil tersenyum. Wajahnya tampak lebih segar, dan harum yang menyebar
dari tubuhnya terasa menyeruak menggelitik hidungnya. Refleks Sarman mencium
bau tubuhnya sendiri, asem ih.
“Baiklah dik Sita, saya pulang dulu. Kalau ada
apa-apa, mohon saya dikabari ya, Hesti punya nomor kontak saya,” kata Sarman
sambil berdiri.
“Baik Mas, hati-hati di jalan,” pesan Sita sambil
tersenyum.
Sarman juga menyambutnya dengan senyuman, dan
mengangguk lalu melangkah pergi.
***
Begitu masuk ke dalam rumah kecilnya, tiba-tiba ia
mendengar ponselnya berdering. Dengan berdebar Sarman mengangkatnya. Rasa
khawatir tentang Hesti membuatnya berdebar. Tapi ternyata wajah ibu angkatnya yang tampak
di layar ponselnya.
“Sarman ?” Tindy lebih dulu menyapa.
“Ya, Ibu, saya baru saja datang dari kampus.”
“Dari kampus, atau menunggui pacar kamu yang lagi
sakit?” Tindy langsung menembaknya.
Sarman tertawa, sekaligus terkejut. Oh ya, dia ingat,
rupanya Desy sudah bercerita tentang Hesti yang lagi sakit. Tapi pacar? Sarman
heran, mengapa Desy mengira dia pacaran sama Hesti?
“Man, tidak apa-apa, ibu senang kalau kamu sudah punya
pacar. Kapan-kapan bawalah dia ke rumah, agar bapak sama ibu mengenalnya,”
Tindy nekat menuduh.
“Ibu ada-ada saja. Doakan saja ya Bu.”
“Begini Man, kabarnya kamu sudah menyelesaikan skripsi
kamu? Bapak ingin kamu pulang, setelah kamu lulus pastinya akan wisuda, apa
kamu tidak berharap bapak sama ibu menghadiri saat wisuda kamu?”
“Iya ibu, doakan semoga lancar semuanya. Ada sedikit
revisi di skripsi saya, besok baru akan saya sempurnakan. Semoga segera bisa
maju, dan pasti lah Bu, saya akan minta agar bapak sama Ibu menghadirinya. Saya
menjadi seperti ini karena bapak sama Ibu kan?”
“Kalau sudah selesai revisi, datanglah ke rumah, bapak
mau bicara. Adik-adik kamu kan juga sudah kangen.”
“Baiklah Ibu.”
Tiba-tiba Sarman merasa dadanya seperti longgar. Ada
ganjalan yang sepertinya sudah lenyap. Rasa sungkan terhadap keluarga Haryo
sudah terurai, entah karena apa. Mungkin karena perlahan dia sudah bisa melupakan
rasa cintanya kepada Tutut, atau mungkin juga karena mereka mengira bahwa
dirinya benar-benar sudah punya pacar, lalu kedua orang tua Tutut merasa lega
dan tidak khawatir kalau dirinya tetap dekat sama Tutut. Aduhai. Sarman justru
sedang bertanya-tanya kepada dirinya, benarkah dia menyukai Hesti sehingga Desy
mengira dia pacaran sama Hesti? Sarman ingin tertawa, Hesti yang ke
kanak-kanakan, dan pernah menganggap dirinya dosen karena pastinya dia tampak
lebih tua dari mahasiswa lainnya.
Sarman masih merasa lucu ketika dia menutup
pembicaraan dengan ibu angkatnya. Tapi kemudian senyuman itu hilang ketika ia
teringat bahwa Hesti sedang sakit. Dan Sarman tahu, itu bukan sakit karena
penyakit. Semoga besok ia sudah bisa mendapatkan jawabannya.
***
“Aunty mana?” masih pagi Bunga sudah bangun, hal pertama
yang ditanyakannya adalah aunty. Harun yang sudah bersiap pergi ke kantor,
masih menunggui Bunga di rumah sakit. Ia akan ke kantor setelah mbak Sri datang
dengan membawa Azka. Sudah berhari-hari Harun tidak ke kantor, dan ini hari
pertama ia akan ke kantor setelah Bunga sakit. Ia bermaksud membawa Azka ke
kantor, karena Azka tidak begitu merepotkan, sementara mbak Sri harus menjaga
Bunga.
“Sayang, ini kan masih pagi. Mungkin Aunty belum
bangun, atau belum mandi, atau belum makan pagi juga, ya kan?”
“Nanti datang kemari kan?”
“Iya, tentu sayang.”
“Mengapa ibu dokter juga belum datang?”
“Kalau ibu dokter, mungkin masih ada pasien. Tapi
nanti pasti datang kemari.”
Bunga meraih boneka beruang berwarna pink yang
diberikan dokter Nisa, ia merangkulnya erat.
“Ternyata ibu dokter tidak jahat kan?”
“Lhoh, siapa bilang ibu dokter jahat?”
“Kalau menyakiti, berarti memberi obat kan?”
“Iya, bagus sekali Bunga sudah mengerti.”
“Bunga pengin pulang.”
“Nanti bilang kepada dokter Nisa, kapan Bunga boleh
pulang. Kalau dokter Nisa mengijinkan, ya Bunga boleh pulang. Tapi kalau dokter
Nisa belum mengijinkan, Bunga masih harus tidur di sini untuk sementara waktu
lagi, sampai Bunga benar-benar sehat.”
“Bunga tidak panas lagi.”
“Benar, tapi yang namanya sehat itu harus benar-benar
sehat. Bunga belum mau makan banyak kan? Nah, makan yang banyak, dan menurut
apa kata dokter.”
“Papiiii …” teriakan Azka sambil berlari-lari kecil,
lalu merangkul kaki ayahnya dengan erat.
Mbak Sri mengikutinya dari belakang.
“Azka sudah makan?”
“Udah …”
“Sudah minum susu?”
“Udah.
"Bagus, anak papi pintar.”
“Sri, aku mau ke kantor sebentar, kamu disini
menunggui Bunga ya?”
“Kalau Azka rewel bagaimana?”
“Azka akan ikut bersama aku ke kantor, aku juga tidak
akan lama.”
“Selamat pagi….”
terdengar suara nyaring, dokter Nisa diikuti seorang perawat pembantu
memasuki ruangan.
“Selamat pagi dokter,” Harun membalas sapaan dokter
Nisa sambil menggendong Azka.
“Apa kabar, Bunga yang cantik.”
“Ibu Dokter tidak akan menyuruh suster menyuntikkan
obat ke situ kan?” kata Bunga sambil menunjuk ke arah botol infus yang
tergantung. Ia tahu, suntikan ke dalam infus itu juga akan terasa sakit di
tangannya.
“Tidak sayang. Kamu sudah tampak segar. Perutnya
terasa sakit?”
“Tidak. Bunga juga tidak panas,” kata Bunga sambil
memegangi dahinya dengan sebelah tangannya.
Dokter Nisa tertawa renyah.
“Anak pintar, iya benar, Bunga tidak panas lagi.”
“Boleh pulang kan, Ibu Dokter.”
“Mm, pengin buru-buru pulang ya? Coba, ibu dokter
lihat dulu ya,” kata dokter Nisa sambil memeriksa Bunga dengan stetoskopnya,
lalu menekan-nekan perut Bunga, lalu mengangguk senang.
“Bunga sudah mau makan banyak?” tanyanya sambil
melihat laporan perkembangan kesehatan Bunga di berkas yang dibawa perawat.
Bunga mengangguk mantap.
“Baiklah, kalau nanti keadaannya stabil, besok Bunga
boleh pulang.”
“Horeeee,” Bunga berteriak senang.
“Tapi ibu dokter sedih nih, kalau Bunga pulang, ibu
dokter tidak ketemu Bunga lagi dong.”
“Nanti Bunga mau main ke rumah Ibu Dokter,” janji
Bunga seenaknya. Sang ayah hanya tersenyum. Ia tahu, kalau Bunga sudah
mengatakannya, pasti suatu saat dia akan memintanya benar-benar mendatangi
rumah dokter Nisa.
“Benar?” tanya dokter Nisa sambil tersenyum.
“Nanti kontrol nya ke rumah Dokter saja,” kata Harun.
“Baiklah, besok kita lihat dulu perkembangannya, mungkin kalaupun boleh pulang, tetap sabaiknya masih kontrol," kata dokter Nisa. "saya permisi dulu, pak Harun."
“Ibu dokter jangan pergi,” Bunga merengek.
Dokter Nisa menghentikan langkahnya.
“Ibu dokter harus memeriksa pasien yang lainnya,
Bunga,” kata ayahnya.
“Benar. Nanti ibu dokter ke sini lagi,” sambung dokter
Nisa.
“Papi mau pergi, nanti Bunga sama siapa?”
“Bunga, ada Mbak Sri menemani kok.”
“Aunty kapan datangnya?” kata Bunga ketika dokter Nisa
berlalu setelah lebih dulu mencium pipi Bunga yang menggemaskan.
“Sebentar lagi Bunga, sabar ya, sekarang papi mau ke
kantor dulu, sama Azka, mbak Sri biar disini menemani Bunga.
“Telpon aunty dulu,” rengek Bunga.
“Baiklah, sambil berangkat, papi akan menelpon aunty
ya.”
***
Sarman sudah datang di tempat kost Hesti, dengan
membawa bungkusan bubur. Ketika dia datang, Sita kemudian berangkat ke tempat
kerja. Ia adalah kasir di sebuah toko.
Sarman sedikit lega, melihat Hesti tidak sepucat kemarin. Tapi ketika dia menawarkan bubur yang dibawanya, ternyata Sita sudah lebih dulu membelikannya, dan memintanya agar Hesti memakannya, karena dia sudah bisa duduk dan menyendok makanannya sendiri.
“Mas Sarman repot-repot datang sepagi ini,” kata Hesti
sambil menyandarkan kepalanya di sandaran tempat tidur, dengan beralaskan
bantal.
Sarman membuka ruangan lebar-lebar, karena dia berada
di tempat kost seorang gadis.
“Aku sekalian mau ke kampus, ketemu dosen aku.
Bagaimana keadaan kamu?”
“Sudah lebih baik. Masih lemas, tapi tidak pusing
seperti kemarin.”
“Sebenarnya apa yang membuatmu sakit? Pasti ada yang
kamu pikirkan. Dan itu berat. Bukan hanya desakan ibu kamu tentang mas Danarto,
kan?”
Hesti diam, matanya kembali merebak. Sarman terkejut.
Ia menyesal telah menanyakan hal itu. Pasti Hesti kembali merasa sedih.
“Maaf, jangan dijawab. Anggap aku tak menanyakan
apa-apa,” sesalnya.
“Sesampai di Surabaya, ibu bilang dengan pesan
singkatnya, katanya mulai detik ini, maksudnya kemarin, aku bukan lagi anak
ibuku.”
Sarman terpana. Adakah ibu sekejam itu?
***
Besok lagi ya.
AA
ReplyDeleteAlhamdulillah eyang Uti Nani Juara 1
DeleteSelamat malam bu Tien
Selamat malam sahabat2 Pecinta Cerbung Tie Kumalasari
Salam SEROJA
Tetap ADUHAI.... AH.
Selamat mlm mingguan bunda Tien.. Terimakasih cerbung ya.. semoga sehat sll.. salam Aduhaaai..❤️😘🤗🕋
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteMa ksh bu Tien
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah hatur nuwun mbakyu Tienkumalasari sampun tayang gasik, salam sayang dari Cibubur, JakTim
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah dah tayang, makasih Bunda Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdullilah AA 27 sdh tayang..terima ksih bunda Tien...slmt mlm dan slmt beristrht..slm sayang dan slm sehat sll drisukabumi 🙏🥰🥰🌹🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah, salam sehat mbak Tien..
ReplyDeleteMaturnuwun
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah.. maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteManusang bu Tien, AA 27 sdh tayang
ReplyDeleteAA dah datang baca aja yah
ReplyDeleteTerimakasih episode 27 nya, karya Bu Tien emang selalu keren... Pokoknya .. Ah
ReplyDeleteSehat selalu ya Bu, salam dari Bandung.
😘😘
Trims Bu Tien AA udah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI-AH 27 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah...wah wah....Dr Nisa...dgn Harun
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, salam sehdan tetap semangat, salam Aduhai AH dari Pasuruan
ReplyDeleteSugeng dalu, bu Tien. Matur nuwun AA 27 nya
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah..terimakasih ni Tien..
ReplyDeleteSalam sehat dan Aduhai..
Bam's Bantul
Terimakasih Bunda Tien....senang bacanya....
ReplyDeletesehat2 selalu ya Bun...
salam aduhaiiii
“Sesampai di Surabaya, ibu bilang dengan pesan singkatnya, katanya mulai detik ini, maksudnya kemarin, aku bukan lagi anak ibuku.”
ReplyDeleteSarman terpana. Adakah ibu sekejam itu?
***
Besok lagi ya.
Sarman tentunya merasa ikut sedih, mendengar penuturan Hesti.
Empatinya terhadap Hesti pasti bertambah sebab Hestui menjadi anak yang sebatangkara karena orang tuanya "si mak Lampir" sudah terucap Hesti bukan anaknyan lagi....... atau mungkin Hesti anak pungut ???
Jika berhasil meraya Danarto "SRIANI" nunbut mulyo ????
Besok lagi ya........ Ciri khas akhir cerita nenek Tien Kumalasari.
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun
Saya masih mengharapkan Sriani lebih gigih berusaha menggagalkan hubungan Danarto - Desy. Masih banyak persediaan Lombok.
ReplyDeleteSalam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Tjoekherisubiyandono
Alhamdulillah sudah tayang, semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteTrims bu Tien cerbung nya ..salam kangen dr Yogys
ReplyDeleteRame
ReplyDeleteTerima kasih literasinya mbak Tien...selamat ber malam Minggu, salam aduhai....ah...
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys,
Alhamdulilah sdh tayang Aduhai nya..
DeleteTerimakasih bunda..
Tks juga sdh disapa.. seneng sekali
Semoga bunda Tien sehat selalu dan bahagia bersama keluarga tercinta.. Selamat week end
Salam aduhai dari sukabumi
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem, Boston Massachusetts, Bantul, Mataram, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Wadhuh denger nasib Hesti kaya gitu, Sarman yang nggak percaya betapa kejam; melebihi kejamnya ibukota..
ReplyDeleteSiapa tahu dulu Sriani ibu sambung nya Hesti jadi pakai metode berbagi beban demi menghadapi kerentaan yang bakal di temui dimasa depan.
Masihkah Haryo penasaran ketika tahu yang disukai Sarman ternyata anak yang tidak diakui oleh ibunya, atau hanya shock terapi bagi anak yang tidak menuruti kemauannya.
Warna kehidupan kadang susah dimengerti, tapi itu yang terjadi.
Hanya ketegaran dan kemauan yang teruji yang bisa melewati alurnya, tetap berusaha berdamai, berkompromi dengan keadaan, mengatasi masalah tanpa masalah.
Kok kåyå gadaian waé, kulinå nyamperin mesthi..
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke dua puluh tujuh sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku,
sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta.
🙏
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu.
Aduhai
Alhamdulillah AA 27 telah tayang , terima kasih mbak Tien, sehat dan bahagia bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteAlhamdulilah, matursuwun Bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 27 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah terima kasih Bu Tien semoga selalu sehat.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien 🤗
ReplyDeleteAduhaaii ah,,Sarman,,,
Membayangkan kl dibuat film ,,bgm peran2 mereka
Di grub PCTK,,sdg membuat drama kecil ,,seru
Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien,, rasanya ingin Segera berjumpa 🤗😍🤭
Terimakasih Bunda Tien ..salam sehat
ReplyDeleteCeritanya semakin seru...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...