Friday, May 20, 2022

ADUHAI AH 26

 

ADUHAI AH  26

(Tien Kumalasari)

 

Spontan Sarman berteriak, lalu memburu ke arah Hesti terjatuh.

“Hesti … Hesti …” Sarman menggoyang-goyangkan tubuhnya, memegang tangannya yang terasa dingin.

Ketika itu salah seorang teman kost Hesti yang entah dari mana datangnya, sedang lewat. Mendengar teriakan Sarman yang terlihat berjongkok di depan pintu, dia mendekat.

“Ada apa?”

“Ini … Hesti tiba-tiba terjatuh.”

“Ya ampuun, Hesti, kamu kenapa?”

Hesti membuka matanya, tampak sayu, kemudian kembali terpejam.

“Tolong bantu mengangkatnya ke tempat tidur,” pinta Sarman.

Gadis yang baru datang kemudian membantu mengangkat tubuh Hesti yang terkulai lemah.

“Hesti … kamu kenapa?”

“Adakah obat gosok?” kata Sarman sambil matanya mencari-cari.

“Sita …” bisik Hesti lemah .

Gadis yang dipanggil Sita sedang mencari-cari, barangkali ada obat gosok di sekitar tempat itu.

“Kamu punya obat gosok?”

“Di laci .. “ jawab Hesti yang tetap terkulai.

“Laci mana?”

Sita mencari-cari, lalu ditariknya sebuah laci di meja dekat almari. Ada minyak gosok di situ. Sita mengambilnya.

“Tolong gosokkan di seluruh badannya, aku mau mencari minuman hangat,” kata Sarman sambil beranjak keluar. Kecuali tak ingin melihat Sita menggosok tubuh Hesti, dia juga ingin membelikan Hesti minuman hangat, karena dia tak tahu apakah ada minuman hangat di ruangan itu.

“Kamu kenapa?” tanya Sita sambil menggosokkan minyak gosok itu di dada Hesti, di perutnya, kemudian menyuruh Hesti tengkurap agar dia bisa menggosok punggungnya juga.

“Bagaimana rasanya?”

“Semuanya seperti berputar. Pusing sekali,” kata Hesti yang sejak tadi memejamkan matanya.

Sita mengoleskan minyak itu ke pelipis Hesti, sambil memijat kepalanya pelan.

“Kamu sudah makan?”

“Sejak kemarin malam aku tidak makan.”

“Apa? Kamu tidak makan sejak semalam?”

Hesti terdiam. Ia ingin mengatakan bahwa hatinya resah karena kedatangan ibunya, sehingga tak kuasa menelan sesendokpun makanan, atau bahkan minumpun tidak. Ia hanya minum ketika ada di rumah Danarto. Dan juga minum obat entah apa yang diberikan Danarto, saat perutnya kosong. Ah, ya … ada yang dia tidak ingin atau belum sempat mengatakan kepada siapapun, tentang pesan singkat dari ibunya yang mengatakan bahwa ‘ mulai detik ini kamu bukan lagi anakku ‘. Begitu sakit rasanya menerima pesan itu, dan menambah derita yang semakin mendera batinnya. Tapi dia tak ingin mengatakan itu pada Sita 

Sita terus memijat kepala Hesti, lalu terdengar panggilan dari luar.

“Sudah selesai menggosoknya?”

“Sudah Mas, masuklah. Kata Sita yang tahu bahwa pasti teman Hesti lah yang datang.

Sarman masuk, dengan membawa segelas plastik teh hangat dan juga segelas susu.

“Minumlah,”

Sita menerima ke dua minuman itu dan meletakkannya di meja, lalu mengambil susu yang diberinya sedotan, kemudian diberikan kepada Hesti.

“Ini apa?”

“Susu soklat, masih hangat.”

Hesti menggeleng.

“Aku nggak doyan susu.”

“Astaga, ini bisa sedikit menguatkan kamu.”

Hesti tetap menggeleng.

“Aku bisa muntah.”

Lalu Sita mengambil teh yang juga sudah diberi sedotan.

“Ini hangat.”

Hesti mencecap teh hangatnya, sambil terus memejamkan mata.

“Habiskan, biar tubuhmu terasa hangat.”

“Mual,” keluhnya.

Sita meneteskan setitik minyak gosoknya ke jari tangannya, lalu menciumkannya ke hidung Hesti.

“Hisap terus, aroma minyak ini akan mengurangi rasa mual kamu,” kata Sita.

Sarman diam termangu.

“Haruskah dibawa ke rumah sakit?”

“Tidak dulu Mas, dia tidak makan sejak kemarin. Bisakah membelikan bubur?”

“Baiklah. Bubur ya.”

“Yang tidak pakai kuah pedas ya Mas,” pesan Sita kepada Sarman yang sudah bergegas pergi.

Sita menggosok ulu hati Hesti, lalu kembali memijit kepalanya pelan.

“Lebih enak ?”

“Hm …”

Hesti tak mampu menggoyangkan kepalanya. Semuanya seperti berputar.

“Berkurangkah rasa mualnya?”

“Hm…”

“Baiklah, aku ke kamarku dulu ya, ganti baju, lalu aku akan kembali kemari. Tadi aku baru pulang berbelanja.

“Hm …” hanya itu yang bisa dikatakan Hesti, sambil terus memejamkan matanya.

***

Danarto tertawa keras ketika Desy mengatakan apa yang dilakukannya kepada bu Sriani, dan membuatnya dibakar cemburu tanpa terkendali.

“Hiih, tertawanya keras sekali. Malu tuh, beberapa orang melihat kita,” kata Desy pelan sambil melirik ke arah orang-orang yang memperhatikan mereka.

“Jadi kamu hanya mengerjai bu Sriani? Mengapa tiba-tiba kamu memilih ‘drama’ aneh itu?”

“Ketika aku mau mengucapkan entah apa, aku sendiri lupa, tiba-tiba pak Harun muncul. Ide gila itu tiba-tiba saja terlintas di benakku.”

“Mengapa ide itu yang kamu lakukan?”

“Kalau dia benar-benar tak tahu malu, pasti dia akan menemui kamu, dan mencoba lagi merayunya agar kamu mau dijadikan menantunya. Dan itu benar-benar dilakukannya. Aku tadi ke rumah dan melihat mereka, lalu aku pergi sambil tertawa-tawa membayangkan pemikiranku benar kejadian."

“Ya ampuun, ternyata kamu itu nakal juga ya. Rasanya aku pengin dinakalin juga nih,” canda Danarto sambil tersenyum penuh arti.

“Ah …”

“Hm, senengnya mendengar itu …”

“Tapi sesungguhnya aku deg-degan juga.”

“Kenapa?”

“Kalau tiba-tiba kamu ternyata mau.”

“Mau apa?”

“Mau menjadikan Hesti sebagai istri karena rayuan ibu cantik yang sangat gigih berjuang itu.”

Danarto kembali tertawa, kali ini lebih pelan, karena belum-belum Desy sudah memelototinya.

“Jelas aku tidak mau. Sejak dulu kan aku tidak suka sama dia.”

“Kalau Hesti masih suka kan?”

“Tidak. Begitu ibunya membuka mulut dia sudah bilang tidak.”

“Dia tidak mau? Bukankah dia suka Mas sejak lama?”

“Ya, tapi itu karena desakan ibunya. Aku juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba dia berubah. Bahkan dia ingin fokus pada kuliahnya.”

“Syukurlah.”

“Ini sudah sore, ayo kita pulang,” ajak Danarto ketika mereka sudah menghabiskan masing-masing sepiring mie rebus yang membuat keringat mereka bercucuran.

“Baiklah.”

“Jangan lupa, besok aku mau ke rumah.”

***

Danarto dan Desy keluar dari warung itu, tapi tiba-tiba Desy melihat seseorang di seberang jalan. Orang yang sangat dikenalnya.

“Mas Sarman!” teriaknya.

“Oh, iya … mas Sarman. Mau beli apa dia?”

“Ayuk kita samperin dia.”

Danarto dan Desy menyeberang jalan, mendekati Sarman yang urung memasuki sebuah warung karena mendengar orang memanggilnya.

“Desy ?” katanya dengan wajah berseri.

“Mas Sarman mau beli apa?”

“Ini, mau beli bubur di situ, katanya sambil menunjuk ke arah warung bubur lemu yang ada di dekatnya.

“Mas Sarman pengin makan bubur?”

“Bukan aku, ini untuh Hesti.”

“Hesti?” Desy dan Danarto hampir bersamaan menyebut nama itu.

Desy sudah tahu kalau Sarman mengenal Hesti  mahasiswa baru di kampusnya, tapi Danarto tidak.

“Iya, dia hampir pingsan tadi.”

"Hesti ..." Danarto mengulang pertanyaannya, tentang Hesti. Apakah dia Hesti yang dikenalnya?.

"Itu Hesti yang kita bicarakan tadi Mas, dia mahasiswa baru di kampus mas Sarman. Iya kan Mas? Tanyanya kemudian kepada Sarman.

Sarman mengangguk.

“Dia pingsan? Tadi dia dari rumahku, memang dia bilang pusing, aku sudah memberinya obat, aku suruh tinggal dulu sampai obatnya bekerja, dia tidak mau, langsung saja pergi dengan sepeda motornya.”

“Aku sedang lewat di rumah kostnya, tiba-tiba ingin mampir, lalu aku melihat dia sangat pucat, matanya sembab. Ia cerita sedikit, kemudian menyuruh aku pulang, tapi ketika dia berjalan masuk ke kamarnya, tiba-tiba terjatuh.”

“Pingsan?”

“Tidak, dia bilang kepalanya serasa berputar. Untung ada teman kost nya yang lewat. Dia merawatnya, dan menyuruh aku membelikan bubur.”

“Ya sudah, belikan dulu Mas, mungkin mereka sedang menunggu,” kata Danarto.

“Kenapa ya dia?” tanya Desy yang belum beranjak dari tempatnya berdiri.

“Entahlah, tampaknya sangat tertekan dengan perlakuan ibunya.”

“Ayo kita lihat,” ajak Desy.

“Kamu tidak ke sorean?”

“Tidak, aku ingin bertemu dia juga.”

Lalu keduanya mengikuti Sarman yang sudah membawa beberapa bungkus bubur untuk dibawa ke tempat kost Hesti.

***

Ketika mereka tiba di rumah kost itu, dilihatnya Sita sedang memijit-mijit kepala Hesti yang masih terpejam.

“Ini buburnya dik,” kata Sarman menyerahkan bungkusan bubur ke arah Sita.

Sita menerimanya, sambil melihat ke arah dua orang yang datang bersama Sarman.

“Coba disuapin dulu, agar tubuhnya tidak lemas,” pinta Sarman.

Sita mengangguk, lalu mengambil sendok dari dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi.

“Makan ya Hes, aku suapin.”

Hesti diam, tapi Sita tetap menyendokkan buburnya.

“Ini saudara-saudara aku, keduanya dokter,” terang Sarman sebelum Sita menanyakannya. Belum sempat juga, soalnya ingin buru-buru menyuapkan makanan ke mulut Hesti, mengingat sejak kemarin dia tidak makan.

Hesti membuka mulutnya, berusaha menelan bubur yang disuapkan temannya. Tapi matanya sedikit terbuka, mendengar Sarman mengatakan ada dua orang dokter yang datang.

Hesti terkejut melihat Danarto dan Desy berdiri di dekat ranjang tempatnya berbaring.

“Coba kamu periksa Des,” pinta Danarto kepada Desy.

Desy duduk di tepi ranjang, dan memegang tangan Hesti yang terasa sangat dingin. Ia tak membawa alat kedokteran yang bisa untuk memeriksa, tapi ia tahu bahwa tekanan darah Hesti sangatlah rendah.

“Sangat lemah,” gumam Desy.

“Dia tidak makan sejak kemarin,” ujar Sita yang masih berusaha menyuapi Hesti.

“Haruskah dirawat?” tanya Sarman yang tampak khawatir.

“Kalau dia tak bisa menerima asupan makanan, maka lebih baik dibawa ke rumah sakit,” kata Desy.

Hesti membuka sedikit matanya.

“Aku mau makan …” bisiknya pelan.

“Bagus. Makanlah yang banyak,” kata Desy sambil menepuk punggung tangan Hesti yang masih lemah.

“Danarto ingin bertanya banyak hal, termasuk kenapa tidak makan sejak kemarin, tapi melihat kondisi Hesti dia mengurungkannya.

“Mas, bisakah membelikan obatnya ke apotek?”

“Tentu saja. Aku sudah mau bertanya apa sebaiknya obat yang harus diberikan,” kata Sarman.

Danarto seperti mencari-cari.

“Apa Mas?” tanya Sarman.

“Kertas. Aku mau menuliskan resepnya. Tapi aku tak membawa apa-apa dari rumah.”

Sarman menuju ke arah meja, melihat tumpukan buku, dan melihat selembar kertas kosong di sana.

“Ini kertas dan ballpoint nya."

“Baiklah.”

Danarto menuliskan resep di kertas itu, tentu sudah dengan nama dokter dan nomor ijin prakteknya agar terlihat bahwa itu benar-benar resep, kemudian menuliskan dua macam obat di situ.

“Ini Mas Sarman,” kata Danarto sambil mengulurkan resepnya, dan dua lembar uang ratusan ribu kepada Sarman.

“Mahal kah obatnya?”

“Tidak, kalau sisa kan nggak apa-apa. Bisa buat beli makanan lagi. Kalau kurang, ya beli separo dulu. Tapi aku yakin itu tidak akan kurang.”

Sarman segera pergi, Danarto dan Desy menatap wajah Sarman yang tampak khawatir sejak tadi.

“Hesti, aku dan dokter Desy pergi dulu, nanti kalau sudah datang, obatnya segera diminum.”

Hesti mengangguk lemah. Rasa lemas di tubuhnya sedikit berkurang.

“Makan yang banyak ya, besok aku akan kemari lagi,” kata Desy sambil menepuk lagi punggung tangan Hesti yang sudah tidak sedingin tadi.

Hesti merasakan kehangatan sikap Desy kepadanya, dan yakin bahwa Desy bukanlah seorang jahat seperti yang dikatakan Endah. Tapi ia tak mampu mengucapkan apapun.

“Dik, eh … siapa namanya, kok belum kenalan dari tadi," kata Danarto kepada Sita yang masih menyuapi Hesti.

“Saya Sita Dok, kamar saya bersebelahan dengan kamar Hesti.”

“Oh, iya, dik Sita, terima kasih telah membantu. Sekarang kami pulang dulu ya,” kata Danarto.

“Iya dok, terima kasih."

***

“Kenapa baru pulang Des? Gadis kecil itu rewel kah?” tanya Haryo ketika Desy tiba di rumah. Saat itu Haryo dan Tindy sedang duduk santai di teras.

“Tidak Pak, tadi ketemu mas Danarto.”

“Oh ya, bagus. Sudah bicara banyak kan? Kapan dia mau kemari?” tanya Tindy.

“Besok mau kemari, hanya membicarakan rencana dulu, mungkin minggu depan akan datang bersama beberapa keluarganya.”

“Syukurlah. Bapak sama ibu sudah sangat menunggu. Kamu itu kan sudah lama berhubungan sama Danarto, ada baiknya segera menikah. Tidak baik pacaran terlalu lama.”

“Kami kan menunggu saat yang tepat, untuk mendalami hati masing-masing, dan mengerti sifat masing-masing,” kata Desy memberi alasan.

“Ditambah ketakutan kamu yang tidak beralasan,” sambung Tindy.

Desy hanya tersenyum. Ia ingin masuk ke dalam tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pertemuannya dengan Sarman. Ia dan Tutut juga belum pernah cerita bahwa Sarman sudah menyelesaikan skripsi nya.

“Oh iya Pak, tadi Desy ketemu mas Sarman, ya saat sedang bersama mas Danarto itu.”

“Oh ya, bagaimana kuliahnya?”

“Dia sudah menyelesaikan skripsinya. Jadi sebentar lagi dia akan maju ujian, lalu menunggu saat wisuda. Senang mendengarnya. Berarti dia akan segera pulang kemari kan?”

“Syukurlah, senang mendengarnya,” kata Tindy dengan wajah berseri. Bagaimanapun Sarman disayangi seluruh keluarga karena dia baik, santun dan sangat pintar.

“Dimana kalian ketemu dia?”

Desy yang tadinya masih berdiri, lalu duduk karena ingin lebih banyak bercerita.

“Kami mau pulang setelah selesai makan di warung mie Jawa, tiba-tiba melihat mas Sarman di seberang jalan. Kami menghampiri dia, ternyata dia sedang membelikan bubur untuk temannya.”

“Bubur?

“Temannya sedang sakit,”

“Temannya itu siapa?”

“Sebenarnya mahasiswa baru, yang dikenalnya baik.”

“Perempuan?”

“Gadis yang sangat cantik.”

“Haaa? Apa Sarman menyukainya?” kata Haryo bersemangat.

“Kami datang ke rumah kost nya, untuk melihat penyakitnya, ternyata tidak apa-apa. Mungkin karena tidak makan sejak kemarinnya.”

“Kenapa?”

“Entahlah, mas Sarman belum bercerita banyak, hanya saja menurut Desy, mas Sarman suka pada gadis itu.”

“Benarkah?”

Wajah Haryo dan Tindy tampak berseri.

***

Besok lagi ya.

33 comments:

  1. Replies
    1. Matur nuwun bu Tien, sing ditunggu-tunggu sampun rawuh....
      Sugeng dalu, mugi tansah ginanjar kawilujengan, rahayu widodo, tanpa rubeda. Aamiin.

      Delete
  2. Manusang bu Tien, AA sdh tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, Terima kasih mbak Tien

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah AA26 sudah tayang

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ADUHAI AH~26 sudah hadir... maturnuwun bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Wah..gak konflik lagi, belum ada tiga puluh episode mestinya masih panjang.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 26 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien. Semoga Sarman cepat lulus.
    Salam sehat dan Aduhai..
    Bam's Bantul

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, akhirnya rona kebahagiaan buat mbak Desy dan mas Danar ada di episode ini... Ah, senangnya.
    💃💃💃💃💃

    Tinggal Tutut, mas Sarman, Danis dan Hesti... Semoga mereka berjodoh juga.
    Nah, pak Harun.....?? Ayooo siapa yang mau.... Wkwkwk

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, terimakasih bu Tien rame seru dah ma mas Sarman siip deh ..Duren Harun ma Dr anak cucok

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien . .

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah AA26 sudah hadir... matur nuwun mbak Tien, sehat dan bahagia selalu ya 🙏

    ReplyDelete
  14. Terimakasih bu Tien
    Semoga bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  15. Akhirnya sdh menemukan pasangan masing² rupanya..bgtu kira²

    Matur nuwun bunda Tien...tetap dan makin ADUHAI AH...😊

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, besok lagi ya....
    matursuwun bu Tien AAnya. Salam sehat selaly

    ReplyDelete
  17. Makin seru nih.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat dan selalu aduhai..ah

    ReplyDelete
  18. Terimakasih Bu Tien.... semangat sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Terima msih bunda Tien..Slm sht sll dan tetap aduhai🙏💖🌹

    ReplyDelete
  20. Kelegaan keluarga Haryo terasa setelah Desy menceritakan tentang Sarman dan rencana kunjungan keluarga/kerabat Danarto.

    Terselip dibalik itu Hesti yang terbuang, dan hanya ada Sarman yang menjadi tumpuan harapan nya, sungguh pun Danarto janji akan membantu sedikit melegakan Hesti untuk menjemput hari depan, ternyata disekitarnya ada orang-orang yang masih perhatian.
    Bersabar menunggu sikap Sriani.

    Bagaimana memulai berterus terang kepada Sarman, bahwa dia sudah dianggap bukan anaknya lagi.
    Anak terbuang; mengingatkan Sarman akan nasibnya bila mengingat, sangat benci pada ayahnya yang membiarkan Winarsih menanggung dan bertahan hidup demi menghidupi nya, sendirian.


    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke dua puluh enam sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku,
    sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya berpendapat sebaiknya sriani membuat 'jurus baru ' yang dapat mengguncang ketenangan.
      Biar mbak Iin nguleg sambel yang banyak, Pupung lomboknya masih.

      Delete
  21. Makasih Bunda untuk AA26
    Sehat selalu dan tetap semangat

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...