ADUHAI AH 26
(Tien Kumalasari)
Spontan Sarman berteriak, lalu memburu ke arah Hesti
terjatuh.
“Hesti … Hesti …” Sarman menggoyang-goyangkan tubuhnya,
memegang tangannya yang terasa dingin.
Ketika itu salah seorang teman kost Hesti yang entah
dari mana datangnya, sedang lewat. Mendengar teriakan Sarman yang terlihat
berjongkok di depan pintu, dia mendekat.
“Ada apa?”
“Ini … Hesti tiba-tiba terjatuh.”
“Ya ampuun, Hesti, kamu kenapa?”
Hesti membuka matanya, tampak sayu, kemudian kembali
terpejam.
“Tolong bantu mengangkatnya ke tempat tidur,” pinta
Sarman.
Gadis yang baru datang kemudian membantu mengangkat
tubuh Hesti yang terkulai lemah.
“Hesti … kamu kenapa?”
“Adakah obat gosok?” kata Sarman sambil matanya
mencari-cari.
“Sita …” bisik Hesti lemah .
Gadis yang dipanggil Sita sedang mencari-cari,
barangkali ada obat gosok di sekitar tempat itu.
“Kamu punya obat gosok?”
“Di laci .. “ jawab Hesti yang tetap terkulai.
“Laci mana?”
Sita mencari-cari, lalu ditariknya sebuah laci di meja
dekat almari. Ada minyak gosok di situ. Sita mengambilnya.
“Tolong gosokkan di seluruh badannya, aku mau mencari
minuman hangat,” kata Sarman sambil beranjak keluar. Kecuali tak ingin melihat
Sita menggosok tubuh Hesti, dia juga ingin membelikan Hesti minuman hangat,
karena dia tak tahu apakah ada minuman hangat di ruangan itu.
“Kamu kenapa?” tanya Sita sambil menggosokkan minyak
gosok itu di dada Hesti, di perutnya, kemudian menyuruh Hesti tengkurap agar
dia bisa menggosok punggungnya juga.
“Bagaimana rasanya?”
“Semuanya seperti berputar. Pusing sekali,” kata Hesti
yang sejak tadi memejamkan matanya.
Sita mengoleskan minyak itu ke pelipis Hesti, sambil
memijat kepalanya pelan.
“Kamu sudah makan?”
“Sejak kemarin malam aku tidak makan.”
“Apa? Kamu tidak makan sejak semalam?”
Hesti terdiam. Ia ingin mengatakan bahwa hatinya resah
karena kedatangan ibunya, sehingga tak kuasa menelan sesendokpun makanan, atau
bahkan minumpun tidak. Ia hanya minum ketika ada di rumah Danarto. Dan juga
minum obat entah apa yang diberikan Danarto, saat perutnya kosong. Ah, ya … ada
yang dia tidak ingin atau belum sempat mengatakan kepada siapapun, tentang
pesan singkat dari ibunya yang mengatakan bahwa ‘ mulai detik ini kamu bukan
lagi anakku ‘. Begitu sakit rasanya menerima pesan itu, dan menambah derita
yang semakin mendera batinnya. Tapi dia tak ingin mengatakan itu pada Sita
Sita terus memijat kepala Hesti, lalu terdengar
panggilan dari luar.
“Sudah selesai menggosoknya?”
“Sudah Mas, masuklah. Kata Sita yang tahu bahwa pasti
teman Hesti lah yang datang.
Sarman masuk, dengan membawa segelas plastik teh hangat
dan juga segelas susu.
“Minumlah,”
Sita menerima ke dua minuman itu dan meletakkannya di
meja, lalu mengambil susu yang diberinya sedotan, kemudian diberikan kepada Hesti.
“Ini apa?”
“Susu soklat, masih hangat.”
Hesti menggeleng.
“Aku nggak doyan susu.”
“Astaga, ini bisa sedikit menguatkan kamu.”
Hesti tetap menggeleng.
“Aku bisa muntah.”
Lalu Sita mengambil teh yang juga sudah diberi
sedotan.
“Ini hangat.”
Hesti mencecap teh hangatnya, sambil terus memejamkan
mata.
“Habiskan, biar tubuhmu terasa hangat.”
“Mual,” keluhnya.
Sita meneteskan setitik minyak gosoknya ke jari
tangannya, lalu menciumkannya ke hidung Hesti.
“Hisap terus, aroma minyak ini akan mengurangi rasa
mual kamu,” kata Sita.
Sarman diam termangu.
“Haruskah dibawa ke rumah sakit?”
“Tidak dulu Mas, dia tidak makan sejak kemarin.
Bisakah membelikan bubur?”
“Baiklah. Bubur ya.”
“Yang tidak pakai kuah pedas ya Mas,” pesan Sita
kepada Sarman yang sudah bergegas pergi.
Sita menggosok ulu hati Hesti, lalu kembali memijit
kepalanya pelan.
“Lebih enak ?”
“Hm …”
Hesti tak mampu menggoyangkan kepalanya. Semuanya
seperti berputar.
“Berkurangkah rasa mualnya?”
“Hm…”
“Baiklah, aku ke kamarku dulu ya, ganti baju, lalu aku
akan kembali kemari. Tadi aku baru pulang berbelanja.
“Hm …” hanya itu yang bisa dikatakan Hesti, sambil
terus memejamkan matanya.
***
Danarto tertawa keras ketika Desy mengatakan apa yang
dilakukannya kepada bu Sriani, dan membuatnya dibakar cemburu tanpa terkendali.
“Hiih, tertawanya keras sekali. Malu tuh, beberapa
orang melihat kita,” kata Desy pelan sambil melirik ke arah orang-orang yang
memperhatikan mereka.
“Jadi kamu hanya mengerjai bu Sriani? Mengapa tiba-tiba kamu memilih ‘drama’ aneh itu?”
“Ketika aku mau mengucapkan entah apa, aku sendiri
lupa, tiba-tiba pak Harun muncul. Ide gila itu tiba-tiba saja terlintas di
benakku.”
“Mengapa ide itu yang kamu lakukan?”
“Kalau dia benar-benar tak tahu malu, pasti dia akan
menemui kamu, dan mencoba lagi merayunya agar kamu mau dijadikan menantunya.
Dan itu benar-benar dilakukannya. Aku tadi ke rumah dan melihat mereka, lalu
aku pergi sambil tertawa-tawa membayangkan pemikiranku benar kejadian."
“Ya ampuun, ternyata kamu itu nakal juga ya. Rasanya
aku pengin dinakalin juga nih,” canda Danarto sambil tersenyum penuh arti.
“Ah …”
“Hm, senengnya mendengar itu …”
“Tapi sesungguhnya aku deg-degan juga.”
“Kenapa?”
“Kalau tiba-tiba kamu ternyata mau.”
“Mau apa?”
“Mau menjadikan Hesti sebagai istri karena rayuan
ibu cantik yang sangat gigih berjuang itu.”
Danarto kembali tertawa, kali ini lebih pelan, karena
belum-belum Desy sudah memelototinya.
“Jelas aku tidak mau. Sejak dulu kan aku tidak suka
sama dia.”
“Kalau Hesti masih suka kan?”
“Tidak. Begitu ibunya membuka mulut dia sudah bilang
tidak.”
“Dia tidak mau? Bukankah dia suka Mas sejak lama?”
“Ya, tapi itu karena desakan ibunya. Aku juga tidak
tahu, kenapa tiba-tiba dia berubah. Bahkan dia ingin fokus pada kuliahnya.”
“Syukurlah.”
“Ini sudah sore, ayo kita pulang,” ajak Danarto ketika
mereka sudah menghabiskan masing-masing sepiring mie rebus yang membuat
keringat mereka bercucuran.
“Baiklah.”
“Jangan lupa, besok aku mau ke rumah.”
***
Danarto dan Desy keluar dari warung itu, tapi
tiba-tiba Desy melihat seseorang di seberang jalan. Orang yang sangat
dikenalnya.
“Mas Sarman!” teriaknya.
“Oh, iya … mas Sarman. Mau beli apa dia?”
“Ayuk kita samperin dia.”
Danarto dan Desy menyeberang jalan, mendekati Sarman
yang urung memasuki sebuah warung karena mendengar orang memanggilnya.
“Desy ?” katanya dengan wajah berseri.
“Mas Sarman mau beli apa?”
“Ini, mau beli bubur di situ, katanya sambil menunjuk
ke arah warung bubur lemu yang ada di dekatnya.
“Mas Sarman pengin makan bubur?”
“Bukan aku, ini untuh Hesti.”
“Hesti?” Desy dan Danarto hampir bersamaan menyebut
nama itu.
Desy sudah tahu kalau Sarman mengenal Hesti mahasiswa baru di kampusnya, tapi Danarto tidak.
“Iya, dia hampir pingsan tadi.”
"Hesti ..." Danarto mengulang pertanyaannya, tentang Hesti. Apakah dia Hesti yang dikenalnya?.
"Itu Hesti yang kita bicarakan tadi Mas, dia mahasiswa baru di kampus mas Sarman. Iya kan Mas? Tanyanya kemudian kepada Sarman.
Sarman mengangguk.
“Dia pingsan? Tadi dia dari rumahku, memang dia bilang
pusing, aku sudah memberinya obat, aku suruh tinggal dulu sampai obatnya
bekerja, dia tidak mau, langsung saja pergi dengan sepeda motornya.”
“Aku sedang lewat di rumah kostnya, tiba-tiba ingin
mampir, lalu aku melihat dia sangat pucat, matanya sembab. Ia cerita sedikit,
kemudian menyuruh aku pulang, tapi ketika dia berjalan masuk ke kamarnya,
tiba-tiba terjatuh.”
“Pingsan?”
“Tidak, dia bilang kepalanya serasa berputar. Untung
ada teman kost nya yang lewat. Dia merawatnya, dan menyuruh aku membelikan
bubur.”
“Ya sudah, belikan dulu Mas, mungkin mereka sedang
menunggu,” kata Danarto.
“Kenapa ya dia?” tanya Desy yang belum beranjak dari
tempatnya berdiri.
“Entahlah, tampaknya sangat tertekan dengan perlakuan
ibunya.”
“Ayo kita lihat,” ajak Desy.
“Kamu tidak ke sorean?”
“Tidak, aku ingin bertemu dia juga.”
Lalu keduanya mengikuti Sarman yang sudah membawa
beberapa bungkus bubur untuk dibawa ke tempat kost Hesti.
***
Ketika mereka tiba di rumah kost itu, dilihatnya Sita
sedang memijit-mijit kepala Hesti yang masih terpejam.
“Ini buburnya dik,” kata Sarman menyerahkan bungkusan
bubur ke arah Sita.
Sita menerimanya, sambil melihat ke arah dua orang
yang datang bersama Sarman.
“Coba disuapin dulu, agar tubuhnya tidak lemas,” pinta
Sarman.
Sita mengangguk, lalu mengambil sendok dari dapur yang
bersebelahan dengan kamar mandi.
“Makan ya Hes, aku suapin.”
Hesti diam, tapi Sita tetap menyendokkan buburnya.
“Ini saudara-saudara aku, keduanya dokter,” terang
Sarman sebelum Sita menanyakannya. Belum sempat juga, soalnya ingin buru-buru
menyuapkan makanan ke mulut Hesti, mengingat sejak kemarin dia tidak makan.
Hesti membuka mulutnya, berusaha menelan bubur yang
disuapkan temannya. Tapi matanya sedikit terbuka, mendengar Sarman mengatakan
ada dua orang dokter yang datang.
Hesti terkejut melihat Danarto dan Desy berdiri di
dekat ranjang tempatnya berbaring.
“Coba kamu periksa Des,” pinta Danarto kepada Desy.
Desy duduk di tepi ranjang, dan memegang tangan Hesti
yang terasa sangat dingin. Ia tak membawa alat kedokteran yang bisa untuk
memeriksa, tapi ia tahu bahwa tekanan darah Hesti sangatlah rendah.
“Sangat lemah,” gumam Desy.
“Dia tidak makan sejak kemarin,” ujar Sita yang masih
berusaha menyuapi Hesti.
“Haruskah dirawat?” tanya Sarman yang tampak khawatir.
“Kalau dia tak bisa menerima asupan makanan, maka
lebih baik dibawa ke rumah sakit,” kata Desy.
Hesti membuka sedikit matanya.
“Aku mau makan …” bisiknya pelan.
“Bagus. Makanlah yang banyak,” kata Desy sambil
menepuk punggung tangan Hesti yang masih lemah.
“Danarto ingin bertanya banyak hal, termasuk kenapa
tidak makan sejak kemarin, tapi melihat kondisi Hesti dia mengurungkannya.
“Mas, bisakah membelikan obatnya ke apotek?”
“Tentu saja. Aku sudah mau bertanya apa sebaiknya obat
yang harus diberikan,” kata Sarman.
Danarto seperti mencari-cari.
“Apa Mas?” tanya Sarman.
“Kertas. Aku mau menuliskan resepnya. Tapi aku tak
membawa apa-apa dari rumah.”
Sarman menuju ke arah meja, melihat tumpukan buku, dan
melihat selembar kertas kosong di sana.
“Ini kertas dan ballpoint nya."
“Baiklah.”
Danarto menuliskan resep di kertas itu, tentu sudah
dengan nama dokter dan nomor ijin prakteknya agar terlihat bahwa itu
benar-benar resep, kemudian menuliskan dua macam obat di situ.
“Ini Mas Sarman,” kata Danarto sambil mengulurkan
resepnya, dan dua lembar uang ratusan ribu kepada Sarman.
“Mahal kah obatnya?”
“Tidak, kalau sisa kan nggak apa-apa. Bisa buat beli
makanan lagi. Kalau kurang, ya beli separo dulu. Tapi aku yakin itu tidak akan kurang.”
Sarman segera pergi, Danarto dan Desy menatap wajah
Sarman yang tampak khawatir sejak tadi.
“Hesti, aku dan dokter Desy pergi dulu, nanti kalau
sudah datang, obatnya segera diminum.”
Hesti mengangguk lemah. Rasa lemas di tubuhnya sedikit
berkurang.
“Makan yang banyak ya, besok aku akan kemari lagi,”
kata Desy sambil menepuk lagi punggung tangan Hesti yang sudah tidak sedingin
tadi.
Hesti merasakan kehangatan sikap Desy kepadanya, dan yakin bahwa Desy bukanlah seorang jahat seperti yang dikatakan Endah. Tapi ia tak mampu mengucapkan apapun.
“Dik, eh … siapa namanya, kok belum kenalan dari tadi," kata Danarto kepada Sita yang masih menyuapi Hesti.
“Saya Sita Dok, kamar saya bersebelahan dengan kamar
Hesti.”
“Oh, iya, dik Sita, terima kasih telah membantu.
Sekarang kami pulang dulu ya,” kata Danarto.
“Iya dok, terima kasih."
***
“Kenapa baru pulang Des? Gadis kecil itu rewel kah?” tanya
Haryo ketika Desy tiba di rumah. Saat itu Haryo dan Tindy sedang duduk santai
di teras.
“Tidak Pak, tadi ketemu mas Danarto.”
“Oh ya, bagus. Sudah bicara banyak kan? Kapan dia mau
kemari?” tanya Tindy.
“Besok mau kemari, hanya membicarakan rencana dulu,
mungkin minggu depan akan datang bersama beberapa keluarganya.”
“Syukurlah. Bapak sama ibu sudah sangat menunggu. Kamu
itu kan sudah lama berhubungan sama Danarto, ada baiknya segera menikah. Tidak
baik pacaran terlalu lama.”
“Kami kan menunggu saat yang tepat, untuk mendalami
hati masing-masing, dan mengerti sifat masing-masing,” kata Desy memberi
alasan.
“Ditambah ketakutan kamu yang tidak beralasan,”
sambung Tindy.
Desy hanya tersenyum. Ia ingin masuk ke dalam tapi
tiba-tiba ia teringat sesuatu. Pertemuannya dengan Sarman. Ia dan Tutut juga
belum pernah cerita bahwa Sarman sudah menyelesaikan skripsi nya.
“Oh iya Pak, tadi Desy ketemu mas Sarman, ya saat
sedang bersama mas Danarto itu.”
“Oh ya, bagaimana kuliahnya?”
“Dia sudah menyelesaikan skripsinya. Jadi sebentar
lagi dia akan maju ujian, lalu menunggu saat wisuda. Senang mendengarnya.
Berarti dia akan segera pulang kemari kan?”
“Syukurlah, senang mendengarnya,” kata Tindy dengan
wajah berseri. Bagaimanapun Sarman disayangi seluruh keluarga karena dia baik,
santun dan sangat pintar.
“Dimana kalian ketemu dia?”
Desy yang tadinya masih berdiri, lalu duduk karena
ingin lebih banyak bercerita.
“Kami mau pulang setelah selesai makan di warung mie
Jawa, tiba-tiba melihat mas Sarman di seberang jalan. Kami menghampiri dia,
ternyata dia sedang membelikan bubur untuk temannya.”
“Bubur?
“Temannya sedang sakit,”
“Temannya itu siapa?”
“Sebenarnya mahasiswa baru, yang dikenalnya baik.”
“Perempuan?”
“Gadis yang sangat cantik.”
“Haaa? Apa Sarman menyukainya?” kata Haryo bersemangat.
“Kami datang ke rumah kost nya, untuk melihat penyakitnya,
ternyata tidak apa-apa. Mungkin karena tidak makan sejak kemarinnya.”
“Kenapa?”
“Entahlah, mas Sarman belum bercerita banyak, hanya
saja menurut Desy, mas Sarman suka pada gadis itu.”
“Benarkah?”
Wajah Haryo dan Tindy tampak berseri.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteWallaah Kakek juara terus ig
DeleteMatur nuwun Mbak Tien
DeleteMatur nuwun bu Tien, sing ditunggu-tunggu sampun rawuh....
DeleteSugeng dalu, mugi tansah ginanjar kawilujengan, rahayu widodo, tanpa rubeda. Aamiin.
Yes
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteManusang bu Tien, AA sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, Terima kasih mbak Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah AA26 sudah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH~26 sudah hadir... maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeleteWah..gak konflik lagi, belum ada tiga puluh episode mestinya masih panjang.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
AA datang... baca yaa... mangga
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Salam ADUHAI
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 26 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien. Semoga Sarman cepat lulus.
ReplyDeleteSalam sehat dan Aduhai..
Bam's Bantul
Alhamdulillah, akhirnya rona kebahagiaan buat mbak Desy dan mas Danar ada di episode ini... Ah, senangnya.
ReplyDelete💃💃💃💃💃
Tinggal Tutut, mas Sarman, Danis dan Hesti... Semoga mereka berjodoh juga.
Nah, pak Harun.....?? Ayooo siapa yang mau.... Wkwkwk
Alhamdulillah, terimakasih bu Tien rame seru dah ma mas Sarman siip deh ..Duren Harun ma Dr anak cucok
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteTrims Bu Tien sdh menghibur
ReplyDeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah AA26 sudah hadir... matur nuwun mbak Tien, sehat dan bahagia selalu ya 🙏
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien
ReplyDeleteSemoga bu Tien sehat selalu
Akhirnya sdh menemukan pasangan masing² rupanya..bgtu kira²
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...tetap dan makin ADUHAI AH...😊
Alhamdulillah, besok lagi ya....
ReplyDeletematursuwun bu Tien AAnya. Salam sehat selaly
Makin seru nih.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat dan selalu aduhai..ah
Baru
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien.... semangat sehat selalu
ReplyDeleteTerima msih bunda Tien..Slm sht sll dan tetap aduhai🙏💖🌹
ReplyDeleteKelegaan keluarga Haryo terasa setelah Desy menceritakan tentang Sarman dan rencana kunjungan keluarga/kerabat Danarto.
ReplyDeleteTerselip dibalik itu Hesti yang terbuang, dan hanya ada Sarman yang menjadi tumpuan harapan nya, sungguh pun Danarto janji akan membantu sedikit melegakan Hesti untuk menjemput hari depan, ternyata disekitarnya ada orang-orang yang masih perhatian.
Bersabar menunggu sikap Sriani.
Bagaimana memulai berterus terang kepada Sarman, bahwa dia sudah dianggap bukan anaknya lagi.
Anak terbuang; mengingatkan Sarman akan nasibnya bila mengingat, sangat benci pada ayahnya yang membiarkan Winarsih menanggung dan bertahan hidup demi menghidupi nya, sendirian.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke dua puluh enam sudah tayang,
Sehat sehat selalu doaku,
sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Saya berpendapat sebaiknya sriani membuat 'jurus baru ' yang dapat mengguncang ketenangan.
DeleteBiar mbak Iin nguleg sambel yang banyak, Pupung lomboknya masih.
Makasih Bunda untuk AA26
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat
Terima kasih mbak Tien...
ReplyDelete