Thursday, May 19, 2022

ADUHAI AH 25

 

ADUHAI AH  25

(Tien Kumalasari)

 

Desy tersenyum senang. Rupanya wanita cantik tapi agak bodoh itu benar-benar menelan kata-katanya tadi, dan bersiap untuk merayu Danarto agar mau menjadi menantunya, setelah tahu bahwa dirinya sudah punya tunangan.Mana Desy tahu bahwa ucapan yang hanya main-main itu sedang menyakiti hati Danarto. Desy masih tersenyum ketika menjalankan mobilnya menjauhi tempat itu, padahal hanya dua tiga menit kemudian mobil Danarto memasuki halaman rumahnya.

Ia terkejut melihat Hesti duduk di teras, bersama ibunya pula. Ada sepeda motor diparkir di bawah pohon. Rupanya mereka datang dengan berboncengan.

“Mau apa mereka datang lagi ke mari,” gumamnya kesal sambil turun dari mobilnya.

Keduanya menoleh ke arah halaman. Hesti menundukkan kepalanya, pura-pura mengotak atik ponselnya, dan tak peduli melihat kedatangan Danarto.

Danarto sudah naik ke teras. Menatap bu Sriani dengan tatapan tak mengerti.

“Duduklah Dan,” sapa bu Sriani.

Danarto heran. Bukankah dia yang punya rumah, mengapa malah dia yang mempersilakannya duduk? Rupanya bu Sriani benar-benar tak menyadari posisinya saat itu.

“Hesti, beri salam pada calon suami kamu,” perintahnya tanpa sungkan.

Hesti memelototkan metanya, bergeming di atas kursi yang didudukinya, sementara Danarto menatap dingin pada wanita yang tak tahu malu ini.

“Hesti,” tegur bu Sriani karena Hesti tak beranjak.

“Tidak, tidak usah,” kata Danarto sambil duduk. Bukankah tamunya sudah mempersilakannya duduk?

“Danar, aku tahu kamu pasti sedang kecewa,” bu Sriani merasa bahwa sikapnya adalah benar, sementara Danarto menganggap bahwa bu Sriani sedang tidur dan mengigau.

“Mengapa ibu datang ke mari?” katanya tanpa basa basi, dan bu Sriani tampak seperti tidak merasakan sikap kaku si pemilik rumah.

“Danarto, aku tahu bahwa gadis yang kamu cintai sudah meninggalkan kamu.”

“Apa?”

“Bukankah dia sudah mau bertunangan dengan seorang pengusaha kaya bernama Harun Kusuma?”

Danarto terkejut. Bahwa Desy mengucapkan itu, dia sudah mendengarnya, tapi bahwa bu Sriani mengetahuinya, ini membuatnya heran. Ia menatap tamunya tajam, dan tiba-tiba terpikirlah olehnya sesuatu. Apakah saat itu Desy sedang berbicara dengan wanita menyebalkan ini?

“Kamu heran aku mengetahuinya Dan?” bu Sriani tersenyum dan merasa hebat karena mengetahui sesuatu, yang diharapkan akan mengejutkan Danarto.

“Aku bertemu sendiri sama dia tadi, dan dia sudah mengatakan semuanya.”

Tuh kan, benar dugaan Danarto bahwa saat itu Desy berbicara dengan ibunya Hesti.

“Mengapa ibu datang ke sana?” tegur Danarto tak senang.

“Danar, kamu tidak perlu tahu tentang mengapa aku datang ke sana, yang penting kamu sekarang sudah bukan lagi pacar dokter sombong itu, jadi bersiaplah menerima Hesti. Dia juga cantik dan penurut, dia akan bisa membahagiakan kamu, walau umur kalian terpaut jauh. Ya kan?”

Danarto membulatkan matanya. Heran melihat seorang ibu yang begitu tak tahu malu dengan menyodorkan anak gadisnya seperti yang sudah nggak laku saja.

“Tidak. Aku tidak mau.” Tiba-tiba Hesti berkata tegas, setengah berteriak.

Bu Sriani menatapnya marah.

“Hesti!”

“Aku tidak mau.”

“Dulu kamu bilang sangat mengagumi dia.”

“Mengagumi saja, tapi aku tidak suka. Ibu kan sudah berkali-kali mendengar bahwa Hesti ingin fokus kuliah?”

“Tapi kalau memang kamu ingin kuliah, kan bisa_.”

“Tidak.”

Danarto tak bersuara. Ia merasa lega Hesti kemudian menyadari kesalahannya. Ia biarkan ibu dan anak itu berdebat. Serem juga sih, melihat tampang Sriani yang tiba-tiba garang seperti harimau kelaparan.

“Kamu sadar apa yang kamu katakan? Kita hampir berhasil, Danarto tidak akan menolak kamu, Hesti.”

“Saya tidak bisa menerimanya juga bu,” tiba-tiba Danarto bersuara, berharap perdebatan segera usai, dan harimau betina itu segera pergi dari rumahnya.

“Apa? Bukankah kamu sudah tidak bisa mengharapkan dokter itu lagi?”

“Apapun alasannya, saya tidak bisa menerima. Seperti Hesti, saya juga tidak mencintainya.”

“Dasar anak-anak bodoh. Tidak mengerti keinginan orang tua yang ingin anaknya bahagia.”

Sriani berdiri, lalu beranjak keluar.

“Ibuuuu,” Hesti berteriak.

“Ibu akan langsung pulang,” katanya tanpa menoleh lagi ke belakang.

“Tas ibu masih di tempat kost Hesti,” Hesti berteriak dari tangga teras, kemudian turun mengejarnya. Tapi Sriani terus saja melangkah.

“Jangan ikuti ibu. Kirim lewat paket saja barang-barang ibu.” Lalu Sriani hilang dibalik pagar.

Hesti berjongkok di sana, menangis terisak-isak.

Danarto mendekatinya, dan menariknya agar berdiri.

“Berdirilah, jangan menangis di sini,” katanya sambil menuntun ke arah rumah.

Danarto membiarkan Hesti menangis setelah mendudukkannya di kursi.

Ah ya, Danarto juga belum sempat membuka pintu rumahnya. Ia berdiri dan membuka pintunya, lalu beranjak ke belakang. Ketika keluar, ia membawa sebotol minuman yang sudah dibuka dan memasukkan sedotan ke dalamnya, lalu diberikannya kepada Hesti.

“Berhentilah menangis, ini … minumlah.”

Hesti meraih tissue yang ada di atas meja, lalu mengusap wajahnya, membersihkannya dari air mata yang terus mengalir.

“Sudah, jangan menangis,” kata Danarto lembut.

Hesti menyedot minuman yang diberikan Danarto, pelan. Kristal bening itu masih menetes. Lagi-lagi ia meraih tissue, karena tissue pertama telah kuyup oleh air matanya.

“Maaf,” Hesti berkata lirih, dan gemetar.

“Tidak ada yang harus dimaafkan. Lupakan semuanya.”

“Aku bersalah telah melakukan hal yang tidak pantas sama Mas.”

“Ya, sudah, lupakanlah. Bagus sekali kalau orang bisa menyadari kesalahannya.”

“Mas mau memaafkannya bukan?”

“Sudah aku berikan sebelum kamu memintanya. Kamu masih sangat muda. Kamu terpengaruh oleh keinginan ibu kamu, dan mungkin mengajari kamu untuk melakukan hal yang tidak pantas. Tapi lupakan semuanya. Aku senang kamu berniat fokus pada kuliah kamu. Itu bagus, aku akan mendukung kamu.”

“Aku akan mencari pekerjaan.”

“Kamu ingin bekerja?”

“Untuk membiayai kuliah aku. Setelah ibu marah, aku yakin ibu tak akan peduli lagi sama aku, dan tak akan mau membiayai kuliah aku.”

“Masa setega itu?” tanya Danarto heran.

“Sesungguhnya aku di suruh kuliah di sini itu supaya bisa dekat dengan Mas.”

“Oh ya?”

“Tadinya aku tidak mengerti, tapi belakangan ibu mengatakan itu.”

“Ya sudah, sekarang fokus pada kuliah kamu, soal pekerjaan gampang, nanti aku bantu kalau kamu memang memerlukannya. Tapi kan harus menunggu dulu bagaimana sikap ibu kamu?”

“Ya Mas, terima kasih karena tidak marah dan membenci aku,” kata Hesti sambil menunduk.

“Tidak, aku tidak marah dan tidak benci sama kamu kok. Tetaplah menjadi sahabat.”

“Sekarang aku mau pulang ya Mas, kepalaku agak pusing.”

“Kebanyakan menangis juga bisa menyebabkan pusing, aku ambilkan obat dulu, kamu kan naik motor, kalau pingsan di jalan bagaimana?” kata Danarto yang masuk ke dalam rumah, kemudian memberikan sebutir obat kepada Hesti.

“Minumlah.”

Hesti menelan obat yang diberikan dengan minuman yang masih tersisa,

“Aku pulang dulu,” kata Hesti sambil berdiri.

“Biarkan obatnya bekerja.”

“Tidak apa-apa, hanya pusing sedikit kok.”

Hesti keluar dan menghampiri sepeda motornya. Danarto mengikutinya.

“Benar, kamu tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa Mas, jangan khawatir,” Hesti mulai menstarter sepeda motornya.

“Hati-hati,” pesan Danarto mengiringi Hesti yang pergi dengan motornya.

Danarto menghela napas, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

Tanpa mengganti pakaiannya, ia menghempaskan tubuhnya di sofa. Kejadian hari ini benar-benar membuatnya lelah. Kembali terngiang di telinganya saat Desy mengatakan bahwa dia adalah tunangan Harun, seorang pengusaha terkemuka di kota ini.

Apakah dia mimpi? Baru beberapa jam sebelumnya Desy mengajaknya merayakan ulang tahun Bunga, mengapa tiba-tiba dia mengatakan hal seperti itu?

Tapi Danarto mulai bisa menata hatinya. Mengurai setiap kejadian yang dialaminya sejak pagi. Tak ada tanda-tanda Desy dekat dengan Harun secara khusus. Apalagi pacaran. Tapi mengapa Desy mengatakan itu pada Sriani?

“Ya Tuhan, jangan-jangan dia salah dengar. O, tidak, tadi bu Sriani juga mengatakan itu. Jadi apa yang sebenarnya terjadi?”

Danarto meraih ponselnya yang sejak tadi dimatikannya karena rasa cemburu yang membakarnya.

Ia melihat dilayar ponselnya, ada beberapa panggilan telpon, dari Desy, juga dari Danis.

Danarto memutar nomor ponsel Desy yang dengan cepat diterimanya.

“Mas, kemana saja?”

“Kamu di mana?”

“Di jalan.”

“Di jalan, mau pulang?”

“Aku dari rumah kamu.”

“Kok nggak masuk?”

“Saat itu kamu belum sampai di rumah. Aku melihat ada tamu di rumah kamu.”

“Jangan pulang dulu, aku ingin bicara.”

“Aku harus kembali ke rumah kamu?”

“Tungguin, aku menyusul kamu. Kamu sampai di mana?”

“Aku tunggu di warung mie Jawa saja ya, dekat hotel Larisa.”

“Baiklah, aku tahu tempat itu.”

Danarto bergegas mengunci rumahnya dan kembali membawa mobilnya keluar. Tak ada perubahan dari sikap Desy. Lalu apa artinya pembicaraan yang dia dengar tadi, dan membuat bu Sriani berharap dirinya akan kembali menuruti kemauannya?

***

Sarman baru saja selesai konsultasi dengan dosen pembimbingnya. Ia senang hasil skripsinya nyaris sempurna, hanya ada sedikit revisi yang besok pasti bisa diselesaikannya. Lalu ia bersiap maju ujian. Senyumnya mengembang ketika berjalan ke arah parkiran. Sekilas ia menoleh ke arah bawah pohon trembesi, seperti ada yang sedang dicarinya, tapi tak ditemukannya. Ia langsung menghampiri sepeda motornya. Ada rasa kecewa karena tak melihat gadis itu.

“Apa dia tidak masuk hari ini?” gumamnya sambil mengendarai sepeda motornya keluar dari kampus.

Ia menjalankannya pelan, melewati rumah kost Hesti. Entah mengapa saat ke kampus dan tidak melihat Hesti ia merasa seperti ada yang kurang.

Ketika melewati rumah kost itu, ia melihat sepeda motor Hesti diparkir di halaman. Iseng Sarman masuk ke sana. Dilihatnya kamar Hesti sedikit terbuka.

“Apa dia baru pulang dari bepergian?”

Sarman menghentikan sepeda motornya, dan memarkirnya di samping motor Hesti, lalu melangkah mendekati kamar Hesti.

Ia berdiri di tangga, dan memanggil nama Hesti pelan.

“Hesti,”

Tanpa diduga Hesti segera membuka pintu dan tersenyum senang melihat siapa yang datang.

“Mas Sarman ?”

“Kamu dari mana?” tanyanya sedikit heran, melihat wajah Hesti pucat dan matanya sembab.

“Duduklah Mas.” Kata Hesti mempersilakan Sarman duduk di ruang tamu.

“Kamu sakit?”

Hesti tak menjawab, matanya kembali merebak oleh genangan air mata.

“Ada apa? Siapa yang menyakiti kamu?”

Hesti tak menjawab. Air matanya terurai, mengalir di sepanjang pipinya.

Sarman membiarkannya. Saat pikiran sudah lebih tenang, pasti Hesti akan segera menghentikan tangisnya. Kalau dia bertanya terus, tangisnya tak akan habis. Itu benar kan?

Sarman terus menunggu sambil menatap terus wajah pucat itu. Ada rasa iba yang ikut meremas hatinya melihat gadis yang biasanya banyak bicara itu terkulai seperti tak berdaya, sambil terus berurai air mata.

Sarman mengulurkan sapu tangannya. Hesti menerimanya dan menutupi wajahnya dengan sapu tangan itu.

“Terima kasih telah datang kemari,” katanya tersendat.

“Aku kira kamu duduk di bawah pohon seperti biasanya. Aku tadi mencari kamu.”

“Aku sejak kemarin tidak ke kampus. Ibuku datang,” katanya lebih lancar.

“Oh ya, senang dong ibunya datang. Pasti bawa oleh-oleh banyak. Apa sih makanan yang terkenal di daerah Surabaya?”

“Tidak membawa oleh-oleh apapun, hanya marah.”

“Marah?”

“Marah karena ponselku tak bisa dihubungi, lalu datang kemari.”

“Marah karena ponsel itu saja?”

“Tidak, ada yang lainnya.”

“Tentang hubungannya dengan mas Danarto?”

Hesti mengangguk.

“Aku tidak suka, demikian juga mas Danarto. Tapi ibu marah-marah.”

“Kamu tadi dari mana?”

“Dari rumah mas Danarto, sama ibu.”

“Jadi ibu marahnya di sana?”

“Ya. Kami sama-sama menolak. Ibu kenapa bersikap begitu, aku sangat kesal.”

“Lalu sekarang ibu di mana?”

“Dari rumah mas Danarto langsung pulang ke Surabaya dengan marah, lalu aku kembali ke sini. Aku sedih Mas. Mengapa ibuku seperti itu. Aku malu juga sama mas Danarto.”

“Ya sudah. Aku yakin mas Danarto bisa mengerti. Sekarang kamu bagaimana, ingin kembali ke Surabaya juga?” Sarman mengucapkannya pelan, seperi khawatir kalau itu benar-benar terjadi.

“Tidak, aku ingin melanjutkan kuliah aku.”

Sarman bernapas lega.

“Apa aku salah?”

“Tidak, aku dukung kamu. Lanjutkan cita-cita kamu.”

“Terima kasih Mas,” Hesti sudah berhenti menangis sejak beberapa saat lalu, dan bibirnya sudah bisa mengembangkan senyuman.

Sarman senang melihatnya, walau wajah itu masih tampak pucat.

“Nah, gitu dong, tersenyum. Kalau tersenyum kan cantik. Kalau mewek jelek dong.”

“Aku bisa tersenyum karena ada mas Sarman yang selalu menguatkan aku. Tapi aku sedih, karena mas Sarman sudah hampir selesai dan kita tak akan bertemu lagi.”

“Jangan khawatir, aku akan sering mengunjungi kamu.”

“Benar?”

Sarman mengangguk. Tapi tiba-tiba dilihatnya Hesti seperti menahan sakit.

“Kenapa?”

Dan tanpa menjawab, tiba-tiba Hesti terkulai lemas.

“Hesti.”

“Tolong Mas pulang dulu, kepalaku tiba-tiba sakit sekali, seperti berputar,” kata Hesti sambil berdiri, berjalan tertatih masuk ke kamarnya, tapi sampai di pintu, tiba-tiba dia terjatuh.

“Hesti!”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

39 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah....
      Mtnuwun mbk Tien.๐Ÿ™๐Ÿ™

      Delete
    2. Selamat buat jeng Ika Larangan Juara1

      Saya sejak kemarin dari HP walau blm ada yang komen tidak bisa masuk....
      Tapi dari laptop bisa. Kenapa ya ada yang bisa bantu akyu??

      Delete
    3. Kok gantian Danarto yg marah ๐Ÿ˜ฅ. Tanya baik2 dong sama Desy maksudnya apa? Kan sdh mau melamar.. ada saja halangannya. Tambah seru bunda Tien ๐Ÿคญ

      Delete
    4. Saya juga tadi berkali-kali susah posting nya

      Delete
    5. Aku mlh lgsg baca aj
      Krn udah penisirin bingitz seh

      Delete
  2. Alhamdulilah.....AA 25 asyiik...suwun bunda Tien...

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah yang ditunggu-tunggu sudah tayang....
    ADUHAI... AH_25

    Terima kasih bunda Tien, salam SEROJA dan tetap semangat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalah omKakek? Hehehe, bu Tien emang pinter mengaduk-aduk hati pembaca.... Ah

      Delete
  4. Alhamdulillah AA sdh tayang. Trmksh mb Tien slm seroja selalu utk mb Tien dan para pctk semua. Aamiin YRA๐Ÿคฒ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  5. Semoga hesti baik2 saja.
    Terimakasih bu Tien.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah... Syukron Mbak Tien๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  7. Ah... plooong.... terima kasih Mbu Tien....

    ReplyDelete
  8. Trimakasih bu Tien... yg ditunggu2 sdh tayang ... Salam aduhai

    ReplyDelete
  9. ๐“๐ž๐ซ๐ข๐ฆ๐š ๐ค๐š๐ฌ๐ข๐ก ๐๐ฎ ๐“๐ข๐ž๐ง ๐ž๐ฉ๐ฌ 25 ๐ญ๐š๐ฒ๐š๐ง๐ ...๐’๐š๐ฅ๐š๐ฆ ๐ฌ๐ž๐ก๐š๐ญ ๐ฌ๐ž๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ..๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

    ReplyDelete
  10. Semoga danarto tidak salah paham dengan hesti

    ReplyDelete
  11. Baguslah kalau sriani tahu Hesti maupun Danar menolak. Mudah mudahan tidak 'main belakang ' saja.
    Sarman akan lebih baik kalau tahu bahwa dia anak Haryo, bukan anak angkat.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  12. Kasihan Hesti ... untung ada Sarman dewa penolongnya semoga mereka berjodoh... Terimakasih bunda Tien salam sehat selalu dan Aduhai Ah semakin asyiik.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah ADUHAI-AH 25 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah...AA 25 dah tayang mksh Ibu Tien selamat mlm selamat beristirahat smoga sht sll

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun bunda Tien

    AA 25 telah tayang..

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien.
    Salam sehat, salam Aduhai..

    ReplyDelete
  17. Apa Hesti pura² lagi?
    Makasih mba Tien .
    Salam sehat selalu, aduhai ah

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah AA 25 sudah tayang, trm ksh mbak Tien, sehat dan bahagia selalu bersama keluarga

    ReplyDelete
  19. Ya sudah mas Sarman malah tertahan di tempat kost Hesti, karena Hesti pingsan dari siang nggak makan, hatinya diisi ketidaktenangan gundah dan was was, yang menguras energi, wuah berat juga ya beban Hesti, semoga cรชpรชt siuman diisi go foot aja, la wong panik ya cari taksi mau dibawa ke rumah sakit, ya nggak tahu kalau semaput karena kelaparan, umyeg cari minyak angin buat biar sadar dulu.
    Yรฅ jangan dulu tรฅ; wong gitu aja kok di gropyok, padhakan srรชmรชt aja.

    Danar siuman mau menemui Desy rupanya.

    Lho yang pingsan Hesti malah yang siuman Danarto piyรฉ tรฅ kok mรฉncla mรฉnclรฉ ..

    Lha iya tรฅ tadi Hesti kan jadi operator ojol, belum dibayar sama Sriani jadi belum bisa dapat nasi bungkus. Pingsan dรจh.

    Danarto merasa ada yang janggal dari pembicaraan nya dengan mak nya Hesti.
    Yang menggebu-gebu menyonthok nyonthokan anaknya diajukan sebagai kandidat pasangan, yang di impikan Sriani.
    Dengan perasaan yang kemebul uleng ulengan bikin blank pikiran sepanjang jalan kenangan; isinya tunangan sama Harun kusumaning ati, yรฅ enggak lah, masak secepat itu pasti ada alasan.
    Nah gitu lho sadar ada sesuatu alasan; wuih tenanรฉ ..

    Ya begitulah kira kira..
    Ayako waรฉ lho..



    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke dua puluh lima sudah tayang.
    Sehat, semangat, sedjahtera dan bahagia selalu bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah ..Terimakasih bu Tien seru Dr Danarto pasti mikir Desy ngini pasti ibu Sri

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah. Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Aduhaaii ah nya

    Sarman & Hesty sdh Ada tanda2 cinta
    Smg Danarto & Dessy berlanjut ya bu Tien ๐Ÿคญ

    Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien ๐Ÿค—๐Ÿ’–

    ReplyDelete
  23. Semoga baik baik saja semuanya ๐Ÿ™‚

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...