Tuesday, March 29, 2022

BUKAN MILIKKU 24

 

BUKAN MILIKKU  24

(Tien Kumalasari) 

 

“Apa itu isterinya?” tanya Wuri, agak keras.

Wahyudi menggeleng.

“Ssst, jangan keras-keras,” bisik Wahyudi.

Tapi terlambat. Perempuan yang digandeng pak Kartomo rupanya mendengar, lalu menoleh.

“Eh, tuh mulut jangan usil. Memangnya apa urusan kamu?” kata perempuan itu sambil berhenti melangkah.

“Siapa yang usil? Aku kan hanya bertanya. Kalau mau ya jawab saja. Gitu saja kok repot,” kata Wuri dengan masih tetap mengunyah kacang rebusnya.

“Ssst, Wuri.”

Pak Kartomo menarik tangan perempuan itu, diajaknya menjauh. Tapi ketika matanya menatap kearah Wahyudi, dia terkejut. Apa lagi ketika Wahyudi menganggukkan kepala kepadanya.

Pak Kartomo segera menarik tangan perempuan itu dan diajaknya menjauh dengan cepat.

Perempuan itu menoleh ke arah Wuri dengan tatapan mata marah.

Tapi dengan konyolnya Wuri meleletkan lidahnya, sehingga Wahyudi terpaksa menepuk lengannya keras.

“Aduuhh. Mas Yudi kenapa sih, sakit, tahu!”

“Kamu seperti anak kecil saja, suka membuat keributan.”

“Siapa membuat keributan? Aku ngapain coba, cuma bertanya kan? Lha kok dia marah-marah. Bingung dia, nggak tahu bagaimana caranya menyembunyikan dosanya.”

“Ya sudah, kalau tadi pak Krtomo tidak langsung menariknya untuk pergi, pasti akan menjadi lebih heboh lagi.”

“Tapi aku heran deh, pak Kartomo itu sudah bukan anak muda lagi, kok gayanya seperti anak muda saja. Jalan-jalan berdua di taman, sama bukan isterinya pula. Kasihan sekali ibunya mbak Retno ya Mas. Kalau sampai tahu akan perbuatan suaminya, pasti terjadi perang itu nanti.”

“Pastinya. Tapi kalau ketahuan, kalau enggak … ya tenang-tenang saja. Bu Kartomo itu orangnya baik, sabar, lembut hati.”

“Aku ingin sekali ketemu bu Kartomo dan menceritakan semua itu.”

“Eh, jangan Wuri. Apa-apaan sih kamu?”

“Kasihan dong kalau tidak diberi tahu.”

“Perbuatan yang tidak benar itu pasti nanti akan ketahuan juga. Tapi jangan kamu yang mengatakannya. Allah akan menunjukkan jalannya.”

“Hm, aku nggak sabar.”

“Kamu harus belajar sabar. Ingat, kamu itu bukan anak kecil lagi. Sudah pantas punya suami, jadi harus belajar menjadi lebih dewasa. Lebih sabar, lebih pengertian. Tapi kamu itu sebenarnya sudah baik. Pengertian dan baik hati. Hanya cerewetnya itu.”

“Aku itu kalau nggak cerewet nggak rame dong, dunia menjadi sepi. Eh tadi Mas bilang apa? Aku sudah pantas punya suami? Benarkah?”

“Benar dong, sudah punya pacar belum?”

“Mana bisa aku punya pacar. Kemana-mana aku seringnya sama Mas Yudi, pasti banyak yang mengira aku pacar Mas Yudi.”

“Memangnya nggak mau jadi pacar aku?”

“Ya enggak lah.”

“Awas ya, jangan bilang aku sudah tua lagi, aku jewer telinga kamu nanti.”

“Nggak, aku lagi nggak pengin bilang begitu. Aku tuh kalau punya pacar, penginnya yang seperti adik iparnya Mbak Retno itu.”

“Apa?”

“Dia itu, sudah ganteng, baik hati, murah senyum.”

“Jangan-jangan kamu jatuh cinta sama dia.”

“Bukan. Mana berani aku jatuh cinta sama orang kaya? Mimpi ‘kali. Aku cuma bilang yang seperti dia.”

“Memangnya nggak boleh jatuh cinta sama orang kaya?”

“Bukannya nggak boleh, cuma nggak berani saja.”

“Tapi cinta itu kan datang semaunya tanpa diundang. Siapa yang menyalahkan seseorang yang jatuh cinta walau tidak sederajat?”

“Tidak ada yang menyalahkan memang, tapi kalau salah menempatkan cinta itu, bisa-bisa akan sakit nantinya. Sakit kalau ditolak, paling tidak.”

“Kan orang jatuh cinta itu harus siap patah hati?”

“Hm, ngomong itu gampang. Buktinya, mas Yudi juga merasakan sakit ketika putus cinta kan?”

“Jadi kamu tahut patah hati?”

“Takut. Aku melihat mas Yudi jatuh bangun seperti itu saat kehilangan orang yang dicintai. Lalu aku berjanji akan hati-hati dalam menjaga perasaan aku.”

“Kejadian yang menimpa aku itu, bukan karena aku tidak hati-hati. Tapi karena takdir. Siapa sangka, rencana menikah yang sudah hampir sampai pada titiknya, tiba-tiba hancur begitu saja.”

“Ya, benar. Takdir.”

Wahyudi diam, menatap langit diujung barat yang memerah jingga, menghantarkan sang matahari ke peraduannya di senja itu. Alam disekelilingnya menjadi semakin redup, karena kegelapan mulai merangkak menyelimuti bumi. Dilangit sana, hanya tersisa secercah sisa merah, yang tak mampu membuat alam menjadi cerah. Dulu bersama Retno, ia selalu menikmati senja yang terasa indah, lalu berjalan menyusuri keramaian kota, menuju pulang dengan berjalan pelan, tanpa merasa lelah. Wahyudi menghela napas, berharap semuanya adalah mimpi, tapi kemudian dia sadar bahwa ini adalah nyata. Takdir yang harus diterimanya, dan dijalaninya. Mengayuh hidup tanpa bisa merengkuh cintanya, tanpa jawab, apa yang menunggunya di muara sana.

“Hei, sudah mulai gelap, ayo pulang,” tiba-tiba Wuri berdiri dan berjalan ke arah tong sampah yang ada didekatnya, untuk membuang kulit-kulit kacang yang sudah habis disantapnya.

Wahyudi tersadar, iapun berdiri dengan rasa lelah, lalu melangkah kearah dimana sepeda motornya diparkir, lalu menuju pulang dengan Wuri di boncengan.

Wuri tak mau mengganggu. Ia tahu Wahyudi belum sepenuhnya bisa melupakan Retno. Pembicaraan yang menyinggung nama Retno, selalu membuatnya sedih.

“Besok aku kembali ke Jakarta,” kata Wahyudi ketika mengantarkan Wuri pulang.

“Ya, selamat jalan, aku tak bisa mengantarkan Mas, karena pagi-pagi harus membantu ibu.”

“Tidak apa-apa. Aku terbiasa sendirian,” katanya sendu.

“Jangan sedih, nanti akan ada Retno lain yang akan menghibur Mas,” kata Wuri bersungguh-sungguh.

“Aamiin,” Wahyudi tersenyum kemudian berlalu. Wuri menatapnya iba. Wahyudi sudah seperti kakak kandungnya. Kesedihan Wahyudi, membuatnya merasa sedih juga.

***

Dan di senja itu pula, pak Kartomo juga sudah kembali ke rumah. Dia pergi sejak pagi, dan bu Kartomo selalu membiarkannya. Kebiasaan baru pak Kartomo ialah pergi entah kemana, dan pulang entah kapan. Ia juga jarang makan masakan isterinya, yang setiap ditanya selalu mengatakan bahwa ia sudah makan di warung.

“Setiap hari makan di warung, apakah bukan pemborosan?” tegur bu Kartomo.

“Tidak seberapa. Boleh dong, sesekali bosan makan masakan rumah,” jawabnya enteng.

“Dari mana Bapak mendapatkan uang? Bapak bukan hanya sering makan di warung, tapi juga suka merokok.”

“Kamu tidak perlu bertanya dari mana uang yang aku dapatkan. Yang penting itu uang halal, bukan dari hasil mencuri atau menipu.”

“Ibu hanya heran.”

“Kamu itu kurang pergaulan, sedikit-sedikit heran.”

“Ya sudah sana, aku mulai pusing, bau rokok.”

“Kamu itu tidak tahu ya, laki-laki kalau merokok itu kelihatan gagah.”

“Gagah apanya. Badannya kurus ceking begitu, siapa bilang gagah.”

“O, menghina ya kamu Bu. Aku ini jelek-jelek begini masih digandrungi perempuan, tahu,” kata pak Kartomo sambil melangkah pergi.

Bu Kartomo menutup mulutnya dengan sebelah tangan manahan tawa mendengar kesombongan suaminya. Geli saja membayangkan suaminya digandrungi perempuan. Perempuan mana yang gandrung sama laki-laki kurus kering yang tidak pernah rapi dalam berdandan.

Dan pak Kartomo yang kebetulan menoleh, melihat isterinya cekikikan yang ditahan.

“O, belum tahu dia,” gumam pak Kartomo sambil masuk ke dalam kamarnya.

Tentu saja bu Kartomo tidak tahu, bahwa dia bisa memikat perempuan dengan uangnya. Entah apa jadinya kalau uangnya nanti habis, tapi pak Kartomo kan tidak pernah kehilangan akal? Akal bulus, maksudnya.

***

Hari itu bu Kartomo mendapat pesanan makanan untuk sebuah tasyakuran. Lumayan banyak sih, ada seratus kotak nasi dan lauknya. Bu Kartomo harus meminta tetangga untuk membantunya kalau pesanannya banyak. Tapi dia selalu belanja sendiri untuk semua keperluannya.

Pagi-pagi sekali bu Kartomo sudah berangkat ke pasar. Ia harus membeli daging dan sayuran untuk keperluan itu. Karena belanjaannya terlalu banyak, bu Kartomo harus mencari becak. Ia menenteng belanjaan yang lumayan berat sebelum mendapatkan becak. Ia juga harus membeli beberapa kilo beras.

Tiba-tiba seseorang berteriak.

“Bu … bu, ada yang jatuh.”

Bu Kartomo berhenti melangkah, menurunkan keranjang belanjaannya yang terasa berat, lalu menoleh ke belakang. Seorang gadis bergegas mendekatinya sambil menenteng sebuah bungkusan.

“Ini Bu, jatuh didekat penjual tahu tadi,” kata gadis itu.

“Ya ampun, terima kasih ya nak. Itu bungkusan daging,” kata bu Kartomo sambil menerima bungkusan daging yang lumayan banyak. Tapi bu Kartomo terkejut, ia seperti mengenal gadis itu.

“Bu Kartomo ya?” rupanya gadis itu lebih dulu mengenalinya.

“Lhoh, ini kan nak … siapa ya … duh, ibu lupa. Tetangganya nak Wahyudi kan?”

“Iya Bu, saya Wuri.”

“Ya … ya, Nak Wuri. Namanya orang tua, banyak lupanya.”

“Ibu belanja banyak sekali?”

“Iya nak, kebetulan ada pesanan besok pagi, jadi harus siap-siap hari ini.”

“Ibu naik apa?”

“Nanti sampai di luar Ibu mau mencari becak saja.”

“Mari saya bantu membawa sebagian belanjaannya Bu.”

“Sudah Nak, merepotkan saja.”

“Tidak apa-apa Bu, kan sudah hampir sampai di luar,” kata Wuri sambil menjinjing salah satu tas belanjaan bu Kartomo.

“Terima kasih lho nak, Ibu jadi merepotkan,” lata bu Kartomo setelah sampai di luar pasar.

“Tidak Bu, sungguh tidak merepotkan.”

“Nak Wuri mana belanjaannya?”

“Saya sudah pesan Bu, tinggal ambil. Ibu saya kan jualan masakan matang, biasanya pesan bahan belanjaan melalui  WA bu, lalu saya tinggal ambil.”

“Oh, praktis ya Nak, tidak perlu muter-muter.”

“Iya Bu. Kalau Ibu perlu, bisa minta nomor kontak langganan ibu yang jualannya lengkap, jadi Ibu tinggal ambil seperti saya.”

“Tidak bisa begitu Nak, Ibu kan tidak setiap hari dapat pesanan. Biasanya tidak belanja kemari, tapi di pasar dekat rumah saja. Ini karena agak banyak, dan disini kan kabarnya murah.”

“Memang murah Bu, karena pasar ini tempat para penjual sayur kulakan.”

“Iya nak, sayangnya tidak setiap hari harus belanja banyak. Nah, itu ada becak,” kata bu Kartomo yang segera melambai ke arah salah seorang tukang becak, maksudnya biar membantu membawa belanjaannya ke atas becaknya.

“Ibu pamit dulu ya nak.”

“Hati-hati ya Bu.”

Wuri menatap bu Kartomo yang mengangkat salah satu tas belanjaannya, sementara dua tas lagi diangkat oleh si tukang becak.

“Isterinya bekerja begitu berat, sempat-sempatnya suaminya main perempuan. Banyak duit barangkali,” gumam Wuri sambil kembali masuk ke pasar untuk mengambil  belanjaannya.

Wuri sudah hampir membuka mulutnya tadi,  untuk mengatakan apa yang dilihatnya tentang ketemunya dengan pak Kartomo, tapi diurungkannya karena teringat pesan Wahyudi yang melarangnya membicarakan hal itu kepada bu Kartomo seandainya bertemu. Dan ini tanpa sengaja bertemu, tapi Wuri harus menutup mulutnya.

***

“Ada pesenan banyak Bu?” tanya pak Kartomo ketika melihat ada kesibukan di dapur.

“Ya, bu Samirin syukuran, puteranya habis khitan.”

“Banyak dong duit Ibu.”

“Banyak lah, tapi ini bener-bener duit halal, dari hasil kerja dan tetesan keringat aku.”

“Wah, boleh dong bagi-bagi.”

“Bukankah Bapak sudah bisa mencari sendiri? Bukan dari mencuri, menipu atau berjudi? Berarti jatuh dari langit dong. Mana bisa orang nggak bekerja bisa punya uang?”

“Kamu tahu apa. Ya sudah, nggak jadi minta, aku masih punya uang,” katanya sambil ngeloyor pergi.

Bu Kartomo membiarkannya. Ia kembali ke dapur dan melanjutkan memasak, dibantu salah seorang tetangganya yang memang sering mambantu saat bu Kartomo sedang repot.

“Dagingnya sudah empuk Bu, santannya dimasukkan ya,” kata bu Rus tetangga yang membantu.

“Iya bu, masukkah saja, tapi jangan lupa harus sering diaduk agar santannya tidak pecah.”

“Setelah ini kentang yang untuk sambal goreng digoreng dulu kan?”

“Benar bu, ini saya potong-potong dulu kentangnya.”

“Masakan Bu Kartomo ini enak sekali lho.”

“Ah, masa sih Bu Rus, namanya memasak kalau bumbunya sama juga akan sama enaknya.”

“Tidak begitu Bu Kartomo, walau bumbunya sama kalau tangan yang memasaknya berbeda, rasanya juga akan berbeda.”

“Oh ya?”

“Ibu-ibu di kampung kita sering membicarakan masakan Ibu lho. Mereka bilang enak, lebih enak dari makanan yang dijual yu Semi.”

“Masa? Yu Semi kan sudah terkenal. Tukang jualan makanan matang sejak lama.”

“Akhir-akhir ini kata orang, rasanya berbeda.”

“Masa ?  Saya sih jarang beli makanan di yu Semi, lebih suka masak sendiri, lebih irit.”

“Tapi pak Kartomo suka makan diwarungnya yu Semi lho.”

“Oh ya?”

“Ibu tidak tahu ya, banyak gosip beredar, kabarnya … eh, tapi maaf ya bu … kabarnya yu Semi itu pacaran sama … sama … eh … maaf ya bu, sungguh saya kelepasan bicara.”

“Bu Rus ini mau ngomong apa sih? Ngomong saja, mengapa ragu-ragu?”

“Nggak Bu, takut saya. Nanti saya dikira mengadu.”

Bu Kartomo semakin penasaran karena bu Rus seperti sudah kelepasan bicara, tapi kemudian menyembunyikan sesuatu.”

“Kalau tadi Bu Rus tidak ngomong apa-apa, saya tidak apa-apa. Tapi kan tadi sudah kelepasan bicara, mengapa tidak di lanjutkan? Yu Semi pacaran sama suami saya?” kata Bu Kartomo menebak-nebak.

Bu Rus mengaduk aduk santan di wajan, mencegah agar santannya tidak pecah dan itu mengurangi kelezatannya.

“Benar ya Bu?” bu Kartomo mendesak.

“Tapi sungguh ya Bu, saya minta maaf.”

“Jadi benar?”

“Kabarnya sih begitu. Setelah tutup warung di sore hari, mereka sering jalan berdua. Dan pak Kartomo itu sangat royal lho bu.”

Bu Kartomo menghela napas, menahan nyeri yang menyesak dadanya. Tapi dia menahan perasaannya, melanjutkan memasak karena besok pagi harus sudah siap.

“Besok pagi Bu Rus masih membantu saya kan? Menata lauk di kardus-kardus,” katanya seakan tak merasakan apapun mendengar suaminya selingkuh.

“Iya Bu, pasti saya datang pagi-pagi. Setelah subuh saya sudah ada disini Bu. Tapi benar ya, Bu Kartomo tidak marah sama saya? Sungguh saya tadi kelepasan bicara.”

“Tidak apa-apa Bu, jangan dipikirkan. Ini kentangnya sudah selesai, Bu Rus tinggal menggoreng, saya akan membuat bumbunya.”

“Baiklah Bu.

***

Bu Kartomo menghitung pembayaran uang setelah mengirimkan pesanannya, lalu menyisihkannya untuk belanja harian, dan menyimpan keuntungannya di suatu tempat, dijadikan satu dengan pemberian uang belanja dari Retno beberapa minggu yang lalu.

Ia membuka almari, dan membuka kotak bekas roti yang dipergunakan untuk menyimpan uangnya. Tapi tiba-tiba bu Kartomo terkejut, uangnya berkurang banyak. Lebih separonya.

Ia mengambil kotak uang itu dan kembali menghitungnya diatas kasur. Wajahnya memerah menahan marah.

***

Besok lagi ya.

 

 

57 comments:

  1. Replies
    1. Selamat buat jeng dosen Juara 1 di BM Episode ke 24, disusul pa Latief Sragentina dan jeng Wiwik Bojonegoro, pada jam jam yang sama 21.52 WIG

      Selsmat malam bu Tien salam sehat tetap semangat.
      Salam ADUHAI dari mas kakek mBandung

      Delete
    2. Kata bu Tien khan dpt uang dari langit mb. Iyeng, selamat

      Delete
    3. Terima kasih, ibu Tien cantiik.... salam sehat penuh semangat buat Ibu sekeluarga....

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang

    ReplyDelete
  3. Trimakasih bunda BM sdh tayang....
    Waduh p.Kartomo kok banyak tingkah...

    ReplyDelete
  4. Wah bu dokter mer ji.
    Alhamdulillah yg ditunggu sdh nongol

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah....BM 24 sdh tayang
    Mtnuwun mbk Tien

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah BM 24 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah .....
    Matur nuwun Bu Tien BM 24 sampun tayang...

    ReplyDelete
  8. Replies
    1. Mbak Susi tadi sudah pamit mau bobo...maka aku mancal gas hehe..

      Delete
    2. 😭😭😭 baru ditinggal gosok gigi , eh Kartomo mak bedunduk,,
      Bunda Iyeng kagi yang buka pintu,,👍👍👍

      Delete
  9. Aku gak balapan kalah sama yg muda²
    Salam Aduhai jeng Tien

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah BM eps 24 sudah tayang.
    Matur nuwun mbak Tien Kumalasari
    Salam sehat selalu dari Tangerang City

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun bunda Tien BM 24 telang tayang..

    Salam ADUHAI selalu..

    ReplyDelete
  12. Alhmdllh... terima kasih mbu tien... sehat² trs

    ReplyDelete
  13. Mesake ibuxa retnoduitxa yg dikumpul2 dr jualan dicolong p kartomo sedih nelongso kanggo modal selingkuh lagi nyesek tenan

    ReplyDelete
  14. Maturnuwun mbak Tien sayang. Waah tambah gregeten sama Kartomo, ugh pingin mithes. Biar saja, dia yang sudah tega menjual anak dan calon cucunya, lalu uangnya untuk foya-foya, gak lama lagi bakal kuwalat. Begitu juga Siswanto yang ambisius, pasti bakal kejungkel.
    Maturnuwun mbak Tien..

    ReplyDelete
  15. Yes .makin seru aja nih .Bu cantik .. salam sehat selalu dan bahagia Amin YRA 🙏 mr wien

    ReplyDelete
  16. Alhamsulillahh BM 24 sudah tayang
    Twrimakasih bunda Tien
    Semoga bunda selalu sehat
    Sal sehat dan aduhai

    ReplyDelete
  17. Ealah bu Kartomo...kerja peras keringat uangnya digondol thuyul. Pilih yang santai saja bu tidak usah ngoyo. Tapi thuyulnya tahu pacaran ya, makin repot nih.
    Salam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  18. Alhamsulillahh BM 24 sudah tayang
    Matursuwun Bu Tien
    Semoga selalu sehat
    Aduhai Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Tksh bu Tien, semakin menarik ceritanya.jadi ga sabar menunggu. Salam Aduhai

    ReplyDelete
  20. 𝘈𝘥𝘶𝘩..
    𝘗𝘢𝘬 𝘒𝘢𝘳𝘵𝘰𝘮𝘰 𝘪𝘵𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯..
    𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...

    ReplyDelete
  21. Horeee....tayang
    Sambil ngantuk ngantuk tetap hrs bacaa...penisiriiiin dg Kartomo yang bergenit genit

    Bu Kartomo harus memberi pelajaran pada pak Kartomo yg sok kaya...

    ReplyDelete
  22. Terimakasih bu Tien..
    Dalam sehat dan aduhay...
    Bam's

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, suwun Bu Tien...
    Salam sehat selalu....🙏🙏

    ReplyDelete
  24. Matur nuwun, bu Tien. BM nya semakin menarik. Sehat selalu nggih

    ReplyDelete
  25. Nah p. Kartomonya yg dibuat gemesin bu Tien. Wahyudi ttp bijak jadi makin babyak tokohnya?

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien .

    ReplyDelete
  27. Retno mana ya kok.gk.kliatan ? Hehehe .. mtr nwn mbak Tien

    ReplyDelete
  28. Pak Kartomo betul² Ndak punya hati.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu . Aduhai

    ReplyDelete
  29. Jahat Pak Kartomo selingkuh .jgn taruh uang di lemari hahhaah namae Novel ..makasih Bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  30. Tobat pa Kartomo ga mau susah senang foya"semoga mendapat pelajatan dari perbuatannya.

    ReplyDelete
  31. Assalamualaikum wr wb. Sayang Bu Kartomo kurang hati hati dan primpen dlm menyimpan uangnya. Siapa lagi yg ambil, mereka hanya hidup berdua. Kartomo tdk kerja tapi banyak uang... Patut diduga Kartomo pelakunya. Seru nih. Maturnuwun Bu Tien ditunggu lanjutannya, semoga Bu Tien tansah pinaringan karahayon wilujeng ing sadoyonipun. Aamiin Yaa Robbal'alamiin... Salam sehat dari Pondok Gede...

    ReplyDelete
  32. Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh
    Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien untuk BMnya 🤗
    Begitu sabarnya ibu nya Retno ,,,msh dikhianati Pak Kartomo,,Wuri Aduhaaii deh sdh bisa menjaga omongan 👍👍

    Salam Sehat wal'afiat semua ya bu Tien
    🤗💞☘️🌼🌿

    ReplyDelete
  33. Kalo aku punya suami seperti pak Kartono , aku pecat dia jd suami.
    Biar nyaho....

    ReplyDelete
  34. Terima ksih bunda Tien..BM 24 dah tayang dan sdh dibc..makin gemes dan penasaran bunda..slm sht sll dri skbmi🥰🥰

    ReplyDelete
  35. Retno sdg apa yaa??
    Sabaar nunggu BM 25 tayang..
    Semoga bunda Tien tetap aduhaii..
    Salam sehat & bahagia selalu..
    Aamiin

    ReplyDelete
  36. Wah..baru sempat baca BM24..
    Trimakasih bu Tien..

    Eps pak Kartomo lg yang2an...eeeee..udh mulai ambil uang istrinya...siapa lagi??..belagu amat yaa..ada yg gandrung..🤨😏

    Retno lg istrht..setelah Sapto ke jkt..hehe..

    Salam sehat selalu bu Tien dan aduhaiii...🙏🌷

    ReplyDelete
  37. Salam sehat buat bu Tien dan keluarga.
    Tetap ADUHAI.........

    ReplyDelete
  38. Wah sudah ngantuk.. Baca BM 25 besok saja

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...