Thursday, March 31, 2022

BUKAN MILIKKU 26

BUKAN MILIKKU  26

(Tien Kumalasari)

 

Pak Kartomo tertegun. Tak percaya akan apa yang dikatakan Semi kekasihnya.

“Mi, kamu mengatakan apa? Benarkah kamu menolak seandainya aku tinggal disini bersamamu?”

“Iya Mas. Maaf.”

“Mengapa Mi, apa kamu tidak sayang sama aku? Bukankah aku sangat menyayangi kamu, dan selalu memberikan apa yang menjadi permintaanmu?”

“Bukan aku yang meminta. Sampeyan yang menawarkan. Tentu saja aku mau.”

“Kamu sayang sama aku tidak Mi? Mengapa tiba-tiba kamu berubah?”

“Karena sampeyan membohongi aku Mas.”

“Aku bohong apa sih? Aku tidak pernah mengecewakan kamu bukan?”

“Sampeyan bilang kalau punya ATM, tapi isteri sampeyan sendiri bilang bahwa sampeyan tidak punya uang di bank. Sampeyan bohong tentang ATM yang hilang.”

“Owalah Mi, kok kamu percaya sama omongan orang yang sedang cemburu. Tentu saja dia bicara yang tidak-tidak untuk menjatuhkan aku, supaya aku putus sama kamu.”

“Jadi dia itu bohong?”

“Ya bohong lah, percaya saja sama aku. Ya. Mulai malam ini aku akan tinggal bersama kamu disini.”

“Tidak. Semalam sampeyan sudah tidur disini, aku biarkan karena kita pulang kemalaman. Tapi sekarang tidak.”

“Kenapa Mi? Kamu benar-benar tidak kasihan sama aku? Aku sudah tidak kerasan tinggal bersama isteriku. Dia kelewat cerewet dan bawel. Aku tidak betah, aku merasa nyaman disini.”

“Kita bukan siapa-siapa. Kalau sampeyan tinggal disini, bisa ditangkap hansip.”

“Kita akan menikah Mi. Besok aku akan mengurus perceraian sama isteri aku, lalu aku menikahi kamu. Kita akan bahagia.”

“Tidak.”

“Mi, apa kamu tidak sayang lagi sama aku?”

“Tidak.”

“Mi, tega sekali kamu mengatakan itu.”

“Sekarang sampeyan pulang saja, dan jangan lagi datang kemari.”

“Mi… kok gitu sih Mi, kalau aku bunuh diri bagaimana?”

“Sampeyan itu tidak usah bunuh diri, lama-lama juga pasti akan mati.”

“Astaga Mi. Tega kamu mengutuk aku?”

“Mas, pergi sana Mas, sebentar lagi akan banyak pembeli, aku tidak mau sampeyan ada disini ketika mereka datang.”

“Bener Mi?”

“Bener Mas. Aku tahu sampeyan bohong.”

“Bohong apa sih Mi?”

“Kok tanya lagi sih Mas, ini jadi muter-muter tidak karuan. Aku yakin sampeyan tidak punya uang. Aku ini, terus terang saja, hanya ingin bersenang-senang dengan uang sampeyan, kalau wajah … sampeyan itu nol … gak ada ganteng-gantengnya. Jadi karena aku yakin bahwa sampeyan tidak punya uang, kita bubar saja. Dan jangan membuat aku bicara berulang-ulang tentang hal itu.”

“Kok kamu tidak percaya sih Mi. Aku tuh punya uang. Ini lagi kena halangan.”

“Oh ya, kalau begitu ayo, aku antar sampeyan ke bank sekarang, dan kita buktikan omongan sampeyan itu.”

“Ya jangan begitu. Ini sudah siang, banyak orang berjubel di bank.”

“Halah, itu bukan alasan. Sudah … sudah. Tuh, sudah ada yang datang kemari, pergilah.”

Pak Kartomo keluar dari warung yu Semi dengan langkah gontai dan wajah yang murung. Tadi dia bersombong ria kepada isterinya bahwa dia tak ingin pulang, dengan harapan Semi mau menerimanya. Tapi ternyata dia ditolak. Sekarang dia yakin bahwa Semi hanya suka uangnya. Pak Kartomo berjalan tak tentu arah. Tapi akhirnya dengan melupakan rasa malu, dia melangkah menuju rumah.

***

Retno sedang duduk di teras, ditemani ibunya, sambil menunggu Budi yang akan menjemputnya.

“Ibu jangan sedih. Bapak sedang khilaf. Suatu hari nanti pasti akan sadar dan kembali ke rumah. Ibu harus selalu mendoakannya,” kata Retno yang merasa iba mengetahui keadaan rumah tangga orang tuanya.

“Iya, ibu bukannya takut kehilangan ayah kamu. Ibu hanya sedih melihat kelakuannya yang sangat tidak terpuji. Ia merasa bangga bisa memiliki menantu kaya raya, dan menunjukkannya kepada setiap orang dengan menghamburkan uang yang entah dari mana datangnya agar kelihatan seperti orang kaya. Tapi lama-lama dia mengambil uang Ibu yang ada dalam simpanan. Lalu, kalau uang Ibu sudah habis, dia akan melakukan apa? Ibu sangat takut Ret, bagaimana kalau dia kemudian melakukan hal lain yang tidak terpuji,” kata bu Kartomo sendu.

“Maka dari itu Bu, mari kita doakan agar Bapak segera menemukan jalan yang baik bagi hidupnya, dan menyadari kekeliruannya.”

“Iya, hanya itu yang bisa kita lakukan.”

Mereka terdiam ketika melihat pak Kartomo memasuki halaman.

Pak Kartomo sudah sampai di teras, dan melihat Retno masih ada dirumah. Ia duduk diantara mereka.

“Mau mengambil baju-baju dan barang yang akan  bapak bawa ke rumah perempuan itu?” tanya bu Kartomo tanpa mengandung rasa marah.

Pak Kartomo menggelengkan kepala dengan lemah.

“Aku tidak akan ke sana lagi.”

“Maksudnya apa? Hubungan Bapak sudah putus? Dia tidak mau lagi sama Bapak karena uang Bapak sudah menipis? Atau Bapak mau mengambil lagi uang simpananku untuk meredam rasa kecewa dia?”

“Kamu kan bilang bahwa tidak punya uang. Kenapa ribut kehilangan uang?” kata pak Kartomo tanpa merasa bersalah.

“Aku punya uang, tapi bukan untuk dihambur-hamburkan. Aku bilang tidak punya karena tidak tahu dengan jelas, untuk apa uang yang bapak minta itu.”

Pak Kartomo masuk ke dalam rumah dengan wajah  masih tampak kusut. Ia langsung masuk ke dalam kamarnya.

“Bu, apa Retno kasih saja uang buat Bapak ya,” kata Retno yang merasa kasihan melihat wajah kusut ayahnya.

“Jangan. Uang dipergunakan hanya untuk sesuatu yang jelas. Untuk makan, untuk membantu orang lain atau bersedekah, untuk berobat, atau untuk hal-hal lain yang ada nilainya. Tapi kalau tidak untuk tujuan jelas, lebih baik tidak usah diberikan,” kata bu Kartomo tandas.

Retno mengangguk, mengerti.

“Semoga segalanya akan menjadi baik. Kita harus bersabar menerima semua cobaan ya Bu.”

“Anakku … kasihan kamu yang sedang hamil terpaksa ikut memikul beban keluarga. Bukan beban berupa harta, tapi beban rasa.”

“Mengapa Ibu berkata begitu? Kalau Ibu sedih, maka Retno juga akan merasa sedih. Tapi rasa itu bukannya beban bagi Retno. Ibu tidak usah memikirkannya. Ya,” kata Retno sambil merangkul ibunya.”

“Baiklah. Ayahmu nanti akan pergi atau tetap disini, ibu akan membiarkannya. Ibu hanya berharap, ada peringatan dari Allah yang akan membuatnya sadar.”

“Aamiin.”

***

Bu Kartomo terkejut, ketika sore hari itu pak RT datang ke rumah.

“Selamat sore Bu,” sapa pak RT.

“Sore, pak RT, silakan masuk, tumben nih, ada yang penting ya?”

“Bukan, hanya mau ketemu pak Kartomo saja.”

“O, baiklah, akan saya panggilkan, silakan duduk dulu,” kata bu Kartomo sambil beranjak masuk. Dilihatnya kamar suaminya tertutup rapat. Bu Kartomo mengetuknya pelan.

“Pak, ada yang ingin bertemu Bapak,” kata bu Kartomo agak keras.

“Siapa?” suara pak Kartomo dari dalam.

“Pak RT.”

“Aduh, bilang kalau aku sedang masuk angin, tidak bisa menemui.”

“Memangnya kenapa? Tadi Bapak baik-baik saja kan?”

“Bilang saja kalau aku sakit, bawel amat.”

“Memangnya ada apa? Bapak ngutang sama pak RT?”

“Tidak. Aduh, kenapa kamu selalu menilai aku buruk? Pokoknya bilang aku tidak bisa menemui karena sakit. Titik,” kata pak Kartomo sambil membuka sedikit pintunya.

Bu Kartomo kembali ke depan.

“Aduh Pak RT, mohon maaf, bapaknya Retno sedang masuk angin, tidak bisa menemui.”

“Memangnya sakit apa, Bu?”

“Cuma masuk angin sih, tapi tidak bisa bangun. Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya sama suami saya? Apa dia berhutang sama Pak RT?”

“O, tidak Bu, masa sih pak Kartomo yang duitnya banyak kok berhutang sama saya,” kata pak RT sambil tertawa.

“Syukurlah,” kata bu Kartomo lega.

“Begini Bu, beberapa hari yang lalu, pak Kartomo bilang mau mengajak piknik warga di kampung ini. Katanya, akan menyewa bus dan pak Kartomo yang akan membayarnya. Saya disuruh mendata siapa saja yang mau ikut, kalau cukup satu bus, ya satu saja, kalau harus dua bus juga tidak apa-apa. Begitu kata pak Kartomo Bu. Kita mau jalan-jalan ke pantai.”

Bu Kartomo menghela napas panjang. Ia merasa sesak karena kesal. Menyewa bus itu tidak murah. Ya kalau satu, kalau dua? Aduhai, bener-bener ya pak Kartomo.

“Apa Ibu bisa menyampaikannya nanti kepada pak Kartomo? Ini yang daftar sudah ada enampuluh satu orang.”

“Ya Allah,” keluh bu Kartomo.

“Saya kira acara itu lebih baik dibatalkan saja dulu Pak RT,” katanya kemudian.

“Dibatalkan Bu?”

“Soalnya suami saya sedang sakit, dan saat ini sepertinya belum punya uang sebanyak itu. Jadi mohon maaf, saya mendahului suami saya, bahwa acara piknik ke pantai itu lebih baik dibatalkan saja dulu.”

“Waduh, pasti semua orang akan kecewa.”

“Lebih baik saya berterus terang Pak, supaya Bapak mengerti keadaan keuangan suami saya.”

“Iya Bu, kalau memang pak Kartomo berterus terang, pasti saya dan warga lainnya akan mengerti. Tapi pak Kartomo selalu bilang bahwa dia banyak uang.”

Bu Kartomo tersenyum tipis.

“Saya mohon maaf ya Pak RT? Nanti kalau barangkali Allah memberi kami rizki yang besar, kami akan senang kalau bisa mengajak rekan-rekan dan tetangga kami untuk bersenang-senang.”

Pak RT mengangguk tanda mengerti.

“Baiklah Bu, kalau begitu saya permisi.”

“Sekali lagi saya mohon maaf ya Pak.”

“Iya Bu, tidak apa-apa,” kata pak RT yang kemudian berlalu.

Bu Kartomo masuk ke rumah dengan kesal.

“Kamu bilang apa sama pak RT?”

“Batal,” kata bu Kartomo sambil berlalu ke arah belakang.

“Apa yang batal?” pak Kartomo mengikutinya.

“Acara piknik atas kesombongan Bapak itu.”

“Kamu membatalkannya? Mengapa tidak bilang dulu sama aku?”

“Tidak harus bilang. Sudah jelas itu acara yang nggak mungkin dilaksanakan. Sombong amat Bapak mau mengajak warga kampung piknik ke pantai. Peminatnya sudah lebih dari 60 orang. Semuanya tidak mungkin dilakukan, mengapa marah ketika aku membatalkannya?”

“Lancang.” Kesalnya tanpa sadar diri.

“Dengan apa Bapak mau membayar sewa bis yang tidak cukup hanya satu itu?”

“Aku kan bisa berusaha,” katanya ngeyel.

“Ya sudah ah, terserah Bapak saja. Aku tidak mau ikutan. Kalau memang bisa melakukan,  mengapa tadi tidak keluar?".

***

“Mas mau kemana?” kata Kori ketika sore hari itu melihat suaminya berdandan rapi.

“Ke Solo.”

“Ke Solo? Mendadak sekali?”

“Aku ingin mengantarkan Retno periksa ke dokter kandungan.”

“Apa? Mas bersusah payah datang kesana hanya karena ingin mengantarkannya ke dokter kandungan?”

“Iya, kandungannya sudah semakin besar, dan aku ingin melihat anakku saat di USG.”

“Berlebihan.”

“Apa maksudmu berlebihan?”

“Bayi di USG mana kelihatan seperti bayi? Aku pernah mengalaminya.”

“Pokoknya aku ingin melihatnya.”

“Aku ikut.”

“Tidak,” sergah Sapto kesal.

“Kenapa? Masa aku tak boleh ikut suami aku?”

“Tidak, kamu hanya akan membuat heboh, bicaramu selalu menyakiti dia.”

“Jadi ceritanya nih, Mas sudah benar-benar jatuh cinta sama dia?”

Sapto tak menjawab. Ia menenteng tas yang sudah disiapkannya, dan keluar dari rumah karena rupanya taksi sudah menunggu.

“Mas Sapto keterlaluan!” teriak Kori dengan marah.

***

Pak Siswanto masih ada di luar kota untuk mengawasi cabang yang baru dikelolanya. Ia ingin beristirahat ketika ponselnya berdering. Dari Kori.

“Hallo Kori, ada apa?” sapa pak Kartomo.

“Bapak ….” Lalu Kori menangis terisak-isak.

“Lhoh, ada apa ini? Bertengkar dengan suami kamu?”

“Mas Sapto pergi ke Solo sore ini.”

“Ada apa? Mendadak sekali? Dia tidak harus mengurusi usaha yang di Solo, itu milik Budi.”

“Bukan urusan pekerjaan Pak, dia ingin ketemu Retno.”

“Ingin ketemu Retno?”

“Iya Pak, katanya ingin mengantarkan Retno ke dokter kandungan. Kori sedih Pak, sakit rasanya. Mas Sapto ternyata menyukai Retno, mengingkari janji yang sudah diucapkan yang katanya akan menceraikan Retno ketika dia sudah melahirkan.”

“Pasti itu pengaruh dari ibunya,” geram pak Siswanto.

“Kori ingin ikut, tapi dia melarang. Kori sedih sekali Pak, cegah mas Sapto untuk mendekati Retno ya Pak.”

“Ya sudah, Bapak akan pulang sekarang. Semoga masih ada penerbangan sore ini sehingga aku bisa secepatnya sampai di Solo.”

***

“Retno, kamu sudah siap?”

“Sudah Bu, tinggal menunggu Budi, masih belum turun tampaknya.”

“Sebentar lagi pasti turun, tapi ibu minta maaf ya Ret, kali ini tidak bisa mengantarkan ke dokter, badan ibu kok terasa kurang enak.”

“Mengapa Ibu harus meminta maaf? Ini kan bukan kewajiban Ibu. Saya justru merasa tidak enak karena selalu merepotkan Ibu.”

“Tidak repot, ini untuk cucu Ibu, tentu saja Ibu juga punya kewajiban untuk menjaganya.”

“Baiklah Ibu, tapi kalau ibu berhalangan atau kurang enak badan, ibu juga harus istirahat.”

“Ayo kita berangkat sekarang Mbak,” kata Budi sambil turun dari tangga.

“Aku yang akan mengantarnya kontrol ke dokter,” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan mereka. Sapto sudah berada didalam rumah.

“Sapto?” pekik bu Siswanto kaget. Sementara wajah Retno menjadi muram. Ia tahu pasti akan terjadi keributan karena kedatangan Sapto pasti akan diiringi kedatangan Kori juga.

“Iya Bu, saya datang karena ingat bahwa hari ini Retno harus kontrol ke dokter. Biar saya mengantarkannya.”

“Baiklah kalau begitu, tapi harus segera berangkat, kalau kemalaman pasiennya akan semakin banyak, nanti isteri kamu kecapekan. Kamu bersama Kori?”

“Tidak Bu, Sapto sendiri. Ayo Ret, biar aku yang mengantar kali ini,” kata Sapto yang kemudian menarik lengan Retno. Retno ingin menepiskannya, tapi sungkan kepada ibu mertuanya. Ia berdiri, dan mengikuti langkah suaminya keluar dari rumah.

Budi mengikutinya, dengan wajah yang kecewa. Tapi apa yang bisa diperbuatnya? Sapto kan suaminya?

Sapto sudah membukakan mobil, ketika sebuah taksi tampak memasuki halaman, dan pak Siswanto keluar dari dalam taksi itu.

“Kamu kemana kamu Sap?”

“Mengantarkan Retno kontrol ke dokter kandungan Pak.”

“Tidak usah kamu, biarkan Budi mengantarnya.”

“Tapi ….”

“Aku ingin bicara penting sama kamu sekarang, waktuku tidak banyak.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 


49 comments:

  1. Alhamdulilah, udh tayang kesuwun bu Tienkumalasari dear salam aduhaai dari Lampung

    ReplyDelete
  2. Slmt mlm bunda Tien..terima ksih BM 26 sdh tayang..slm sehat dan tetap aduhai dri sukabumi..🥰🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ,BM 26 sudah hadir ,terimakasih bunda sayang

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah BM 26 sdh tayang, Manusang bu Tien. slm Aduhai

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah BM 26 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah BM~26 sudah hadir.. maturnuwun bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah. BM_26, sdh tayang.
    Selamat menunaikan ibadah Puasa Ramadhan 1443H, bagi saudara²ku yang menunaikannya. Semoga ibadah shaum kita, diterima Allah SWT. Aamiin.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Maturnuwun Bu Tien

    ReplyDelete
  9. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, matur nuwun Bu Tien, salam aduhai dari Pasuruan

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah ... Trimakasih Bu Tien. Sslam sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah, terima kasih bu tien yg ditunggu sdh tayang... salam sehat bu tien 🙏

    ReplyDelete
  14. ADUHAI ....
    Matur nuwun, mbak Tien.
    Salam sehat nggih .....

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah BM eps 26 sudah tayang.
    Matur nuwun mbak Tien Kumalasari.
    Salam sehat selalu dari Tangerang.

    ReplyDelete
  16. Hmmm...pak Siswanto mencoba menghalangi pdkt nya Sapto ke Retno. Moga2 Sapto dan Retno semakin akrab

    Matur nuwun, bu Tien. Salam Aduhai

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah BM 26 sdh tayang.
    Matursuwun bu Tien. Aduhai... salam sehat selalu

    ReplyDelete
  18. Siswanto ngeselin.
    Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  19. Kartomo...Kartomo...kamu itu looo mau mengajak rekreasi orang se RT ...tau diri dong...
    Trimaksh bu Tien salam Aduhai..

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah BM 26 sudah tayang...salam aduhai bu Tien

    ReplyDelete
  21. Terima kasih mbak tien, semoga mbak tien selalu sehat² saja.

    ReplyDelete
  22. Gawat juga yah, kl mantu bisa menguasai bapak mertua.

    ReplyDelete
  23. Matur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
    Kartomo keterlaluan pamernya padahal nol, Siswanto keterlaluan membela Kori. Ya sudah yang penting 'becik ketitik ala ketara'saja.
    Salam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  24. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  25. Terima kasih Bu Tien semoga Bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah,matur nuwun bu Tien untuk BMnya 🤗💖

    Sehat wal'afiat semua ya bu Tien

    ReplyDelete
  27. Trimakasih bu Tien..BM26nya..

    Iih..pak Sis nyebelin..masa suaminya ga boleh antar istri ke dokter..malah nyuruh Budi..orgtua mcm apa itu..😏😏

    Duuuh...p kartomo lg sombong mau bw piknik org sekampung...ampuun 🤦‍♀️🤦‍♀️

    Pinisitin lanjutannyaaa...

    Salam sehat selalu dan aduhaii bu Tien..🙏🌷

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah...Terima kasih bu Tien ..mohon maaf lahir dan batin ..semoga kita di beri kesehatan u menjalankan Puasa yg sdh makin dekat..Aamiin juga u semua pengemar Novel Bu Tien ...mohon maaf yaaa biar puasa kita lbh lancar ..Aamiin

    ReplyDelete
  29. 𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...

    ReplyDelete
  30. Rasakan tu pak Kartomo..ajak² rekreasi ngajak orng 1 kampung lagi..
    tp kalau msi ada yg kosong ikutan dong pak saya...😅😅

    Hii..matur nuwun bunda Tien BM 26 telah hadir...salam ADUHAI selalu.

    ReplyDelete
  31. BM26 tayang, ma jacih bu Tien. Mohon maaf lahir dan bathin, selamat menjalankan ibadah ramadhan

    ReplyDelete
  32. Assalamualaikum wr wb. Menjelang ramadhan, saya mohon maaf lahir dan batin Bu Tien, semoga kita bisa menunaikan ibadah puasa ramadhan 1443 H dgn khusyuk, iklhas dan hanya mencari ridho Allah Swt. Aamiin Yaa Robbal'alamiin....Salam sehat dari Pondok Gede....

    ReplyDelete
  33. Nuryatutik,30Mart 2022
    Semoga Retno selalu sabar menghadapi Santo dan semoga bisa mencintainya..

    ReplyDelete
  34. Selamat menjalankan ibadah ramadhan, semoga diberi kesehatan dan rezeki yg berkah buat bu Tien dan keluarga

    ReplyDelete
  35. Malam semoga sehat selalu semuanya

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...