BUKAN MILIKKU
26
(Tien Kumalasari)
Pak Kartomo tertegun. Tak percaya akan apa yang
dikatakan Semi kekasihnya.
“Mi, kamu mengatakan apa? Benarkah kamu menolak
seandainya aku tinggal disini bersamamu?”
“Iya Mas. Maaf.”
“Mengapa Mi, apa kamu tidak sayang sama aku? Bukankah
aku sangat menyayangi kamu, dan selalu memberikan apa yang menjadi
permintaanmu?”
“Bukan aku yang meminta. Sampeyan yang menawarkan.
Tentu saja aku mau.”
“Kamu sayang sama aku tidak Mi? Mengapa tiba-tiba kamu
berubah?”
“Karena sampeyan membohongi aku Mas.”
“Aku bohong apa sih? Aku tidak pernah mengecewakan
kamu bukan?”
“Sampeyan bilang kalau punya ATM, tapi isteri sampeyan
sendiri bilang bahwa sampeyan tidak punya uang di bank. Sampeyan bohong tentang
ATM yang hilang.”
“Owalah Mi, kok kamu percaya sama omongan orang yang
sedang cemburu. Tentu saja dia bicara yang tidak-tidak untuk menjatuhkan aku,
supaya aku putus sama kamu.”
“Jadi dia itu bohong?”
“Ya bohong lah, percaya saja sama aku. Ya. Mulai malam
ini aku akan tinggal bersama kamu disini.”
“Tidak. Semalam sampeyan sudah tidur disini, aku
biarkan karena kita pulang kemalaman. Tapi sekarang tidak.”
“Kenapa Mi? Kamu benar-benar tidak kasihan sama aku?
Aku sudah tidak kerasan tinggal bersama isteriku. Dia kelewat cerewet dan bawel.
Aku tidak betah, aku merasa nyaman disini.”
“Kita bukan siapa-siapa. Kalau sampeyan tinggal
disini, bisa ditangkap hansip.”
“Kita akan menikah Mi. Besok aku akan mengurus
perceraian sama isteri aku, lalu aku menikahi kamu. Kita akan bahagia.”
“Tidak.”
“Mi, apa kamu tidak sayang lagi sama aku?”
“Tidak.”
“Mi, tega sekali kamu mengatakan itu.”
“Sekarang sampeyan pulang saja, dan jangan lagi datang
kemari.”
“Mi… kok gitu sih Mi, kalau aku bunuh diri bagaimana?”
“Sampeyan itu tidak usah bunuh diri, lama-lama juga pasti
akan mati.”
“Astaga Mi. Tega kamu mengutuk aku?”
“Mas, pergi sana Mas, sebentar lagi akan banyak
pembeli, aku tidak mau sampeyan ada disini ketika mereka datang.”
“Bener Mi?”
“Bener Mas. Aku tahu sampeyan bohong.”
“Bohong apa sih Mi?”
“Kok tanya lagi sih Mas, ini jadi muter-muter tidak
karuan. Aku yakin sampeyan tidak punya uang. Aku ini, terus terang saja, hanya
ingin bersenang-senang dengan uang sampeyan, kalau wajah … sampeyan itu nol …
gak ada ganteng-gantengnya. Jadi karena aku yakin bahwa sampeyan tidak punya
uang, kita bubar saja. Dan jangan membuat aku bicara berulang-ulang tentang hal
itu.”
“Kok kamu tidak percaya sih Mi. Aku tuh punya uang.
Ini lagi kena halangan.”
“Oh ya, kalau begitu ayo, aku antar sampeyan ke bank sekarang,
dan kita buktikan omongan sampeyan itu.”
“Ya jangan begitu. Ini sudah siang, banyak orang
berjubel di bank.”
“Halah, itu bukan alasan. Sudah … sudah. Tuh, sudah
ada yang datang kemari, pergilah.”
Pak Kartomo keluar dari warung yu Semi dengan langkah
gontai dan wajah yang murung. Tadi dia bersombong ria kepada isterinya bahwa
dia tak ingin pulang, dengan harapan Semi mau menerimanya. Tapi ternyata dia
ditolak. Sekarang dia yakin bahwa Semi hanya suka uangnya. Pak Kartomo berjalan
tak tentu arah. Tapi akhirnya dengan melupakan rasa malu, dia melangkah menuju
rumah.
***
Retno sedang duduk di teras, ditemani ibunya, sambil
menunggu Budi yang akan menjemputnya.
“Ibu jangan sedih. Bapak sedang khilaf. Suatu hari nanti
pasti akan sadar dan kembali ke rumah. Ibu harus selalu mendoakannya,” kata Retno
yang merasa iba mengetahui keadaan rumah tangga orang tuanya.
“Iya, ibu bukannya takut kehilangan ayah kamu. Ibu
hanya sedih melihat kelakuannya yang sangat tidak terpuji. Ia merasa bangga
bisa memiliki menantu kaya raya, dan menunjukkannya kepada setiap orang dengan
menghamburkan uang yang entah dari mana datangnya agar kelihatan seperti orang
kaya. Tapi lama-lama dia mengambil uang Ibu yang ada dalam simpanan. Lalu,
kalau uang Ibu sudah habis, dia akan melakukan apa? Ibu sangat takut Ret,
bagaimana kalau dia kemudian melakukan hal lain yang tidak terpuji,” kata bu
Kartomo sendu.
“Maka dari itu Bu, mari kita doakan agar Bapak segera
menemukan jalan yang baik bagi hidupnya, dan menyadari kekeliruannya.”
“Iya, hanya itu yang bisa kita lakukan.”
Mereka terdiam ketika melihat pak Kartomo memasuki
halaman.
Pak Kartomo sudah sampai di teras, dan melihat Retno
masih ada dirumah. Ia duduk diantara mereka.
“Mau mengambil baju-baju dan barang yang akan bapak bawa ke rumah perempuan itu?” tanya bu
Kartomo tanpa mengandung rasa marah.
Pak Kartomo menggelengkan kepala dengan lemah.
“Aku tidak akan ke sana lagi.”
“Maksudnya apa? Hubungan Bapak sudah putus? Dia tidak
mau lagi sama Bapak karena uang Bapak sudah menipis? Atau Bapak mau mengambil
lagi uang simpananku untuk meredam rasa kecewa dia?”
“Kamu kan bilang bahwa tidak punya uang. Kenapa ribut
kehilangan uang?” kata pak Kartomo tanpa merasa bersalah.
“Aku punya uang, tapi bukan untuk dihambur-hamburkan.
Aku bilang tidak punya karena tidak tahu dengan jelas, untuk apa uang yang
bapak minta itu.”
Pak Kartomo masuk ke dalam rumah dengan wajah masih tampak kusut. Ia langsung masuk ke
dalam kamarnya.
“Bu, apa Retno kasih saja uang buat Bapak ya,” kata Retno
yang merasa kasihan melihat wajah kusut ayahnya.
“Jangan. Uang dipergunakan hanya untuk sesuatu yang
jelas. Untuk makan, untuk membantu orang lain atau bersedekah, untuk berobat,
atau untuk hal-hal lain yang ada nilainya. Tapi kalau tidak untuk tujuan jelas,
lebih baik tidak usah diberikan,” kata bu Kartomo tandas.
Retno mengangguk, mengerti.
“Semoga segalanya akan menjadi baik. Kita harus
bersabar menerima semua cobaan ya Bu.”
“Anakku … kasihan kamu yang sedang hamil terpaksa ikut
memikul beban keluarga. Bukan beban berupa harta, tapi beban rasa.”
“Mengapa Ibu berkata begitu? Kalau Ibu sedih, maka
Retno juga akan merasa sedih. Tapi rasa itu bukannya beban bagi Retno. Ibu
tidak usah memikirkannya. Ya,” kata Retno sambil merangkul ibunya.”
“Baiklah. Ayahmu nanti akan pergi atau tetap disini,
ibu akan membiarkannya. Ibu hanya berharap, ada peringatan dari Allah yang akan
membuatnya sadar.”
“Aamiin.”
***
Bu Kartomo terkejut, ketika sore hari itu pak RT
datang ke rumah.
“Selamat sore Bu,” sapa pak RT.
“Sore, pak RT, silakan masuk, tumben nih, ada yang penting
ya?”
“Bukan, hanya mau ketemu pak Kartomo saja.”
“O, baiklah, akan saya panggilkan, silakan duduk dulu,”
kata bu Kartomo sambil beranjak masuk. Dilihatnya kamar suaminya tertutup
rapat. Bu Kartomo mengetuknya pelan.
“Pak, ada yang ingin bertemu Bapak,” kata bu Kartomo
agak keras.
“Siapa?” suara pak Kartomo dari dalam.
“Pak RT.”
“Aduh, bilang kalau aku sedang masuk angin, tidak bisa
menemui.”
“Memangnya kenapa? Tadi Bapak baik-baik saja kan?”
“Bilang saja kalau aku sakit, bawel amat.”
“Memangnya ada apa? Bapak ngutang sama pak RT?”
“Tidak. Aduh, kenapa kamu selalu menilai aku buruk? Pokoknya
bilang aku tidak bisa menemui karena sakit. Titik,” kata pak Kartomo sambil
membuka sedikit pintunya.
Bu Kartomo kembali ke depan.
“Aduh Pak RT, mohon maaf, bapaknya Retno sedang masuk
angin, tidak bisa menemui.”
“Memangnya sakit apa, Bu?”
“Cuma masuk angin sih, tapi tidak bisa bangun. Kalau
boleh tahu, ada urusan apa ya sama suami saya? Apa dia berhutang sama Pak RT?”
“O, tidak Bu, masa sih pak Kartomo yang duitnya banyak
kok berhutang sama saya,” kata pak RT sambil tertawa.
“Syukurlah,” kata bu Kartomo lega.
“Begini Bu, beberapa hari yang lalu, pak Kartomo
bilang mau mengajak piknik warga di kampung ini. Katanya, akan menyewa bus dan
pak Kartomo yang akan membayarnya. Saya disuruh mendata siapa saja yang mau
ikut, kalau cukup satu bus, ya satu saja, kalau harus dua bus juga tidak
apa-apa. Begitu kata pak Kartomo Bu. Kita mau jalan-jalan ke pantai.”
Bu Kartomo menghela napas panjang. Ia merasa sesak
karena kesal. Menyewa bus itu tidak murah. Ya kalau satu, kalau dua? Aduhai,
bener-bener ya pak Kartomo.
“Apa Ibu bisa menyampaikannya nanti kepada pak
Kartomo? Ini yang daftar sudah ada enampuluh satu orang.”
“Ya Allah,” keluh bu Kartomo.
“Saya kira acara itu lebih baik dibatalkan saja dulu
Pak RT,” katanya kemudian.
“Dibatalkan Bu?”
“Soalnya suami saya sedang sakit, dan saat ini sepertinya
belum punya uang sebanyak itu. Jadi mohon maaf, saya mendahului suami saya,
bahwa acara piknik ke pantai itu lebih baik dibatalkan saja dulu.”
“Waduh, pasti semua orang akan kecewa.”
“Lebih baik saya berterus terang Pak, supaya Bapak
mengerti keadaan keuangan suami saya.”
“Iya Bu, kalau memang pak Kartomo berterus terang,
pasti saya dan warga lainnya akan mengerti. Tapi pak Kartomo selalu bilang
bahwa dia banyak uang.”
Bu Kartomo tersenyum tipis.
“Saya mohon maaf ya Pak RT? Nanti kalau barangkali
Allah memberi kami rizki yang besar, kami akan senang kalau bisa mengajak
rekan-rekan dan tetangga kami untuk bersenang-senang.”
Pak RT mengangguk tanda mengerti.
“Baiklah Bu, kalau begitu saya permisi.”
“Sekali lagi saya mohon maaf ya Pak.”
“Iya Bu, tidak apa-apa,” kata pak RT yang kemudian
berlalu.
Bu Kartomo masuk ke rumah dengan kesal.
“Kamu bilang apa sama pak RT?”
“Batal,” kata bu Kartomo sambil berlalu ke arah
belakang.
“Apa yang batal?” pak Kartomo mengikutinya.
“Acara piknik atas kesombongan Bapak itu.”
“Kamu membatalkannya? Mengapa tidak bilang dulu sama
aku?”
“Tidak harus bilang. Sudah jelas itu acara yang nggak
mungkin dilaksanakan. Sombong amat Bapak mau mengajak warga kampung piknik ke
pantai. Peminatnya sudah lebih dari 60 orang. Semuanya tidak mungkin dilakukan,
mengapa marah ketika aku membatalkannya?”
“Lancang.” Kesalnya tanpa sadar diri.
“Dengan apa Bapak mau membayar sewa bis yang tidak
cukup hanya satu itu?”
“Aku kan bisa berusaha,” katanya ngeyel.
“Ya sudah ah, terserah Bapak saja. Aku tidak mau
ikutan. Kalau memang bisa melakukan, mengapa tadi tidak keluar?".
***
“Mas mau kemana?” kata Kori ketika sore hari itu melihat
suaminya berdandan rapi.
“Ke Solo.”
“Ke Solo? Mendadak sekali?”
“Aku ingin mengantarkan Retno periksa ke dokter
kandungan.”
“Apa? Mas bersusah payah datang kesana hanya karena
ingin mengantarkannya ke dokter kandungan?”
“Iya, kandungannya sudah semakin besar, dan aku ingin
melihat anakku saat di USG.”
“Berlebihan.”
“Apa maksudmu berlebihan?”
“Bayi di USG mana kelihatan seperti bayi? Aku pernah
mengalaminya.”
“Pokoknya aku ingin melihatnya.”
“Aku ikut.”
“Tidak,” sergah Sapto kesal.
“Kenapa? Masa aku tak boleh ikut suami aku?”
“Tidak, kamu hanya akan membuat heboh, bicaramu selalu
menyakiti dia.”
“Jadi ceritanya nih, Mas sudah benar-benar jatuh cinta
sama dia?”
Sapto tak menjawab. Ia menenteng tas yang sudah disiapkannya,
dan keluar dari rumah karena rupanya taksi sudah menunggu.
“Mas Sapto keterlaluan!” teriak Kori dengan marah.
***
Pak Siswanto masih ada di luar kota untuk mengawasi
cabang yang baru dikelolanya. Ia ingin beristirahat ketika ponselnya berdering.
Dari Kori.
“Hallo Kori, ada apa?” sapa pak Kartomo.
“Bapak ….” Lalu Kori menangis terisak-isak.
“Lhoh, ada apa ini? Bertengkar dengan suami kamu?”
“Mas Sapto pergi ke Solo sore ini.”
“Ada apa? Mendadak sekali? Dia tidak harus mengurusi
usaha yang di Solo, itu milik Budi.”
“Bukan urusan pekerjaan Pak, dia ingin ketemu Retno.”
“Ingin ketemu Retno?”
“Iya Pak, katanya ingin mengantarkan Retno ke dokter
kandungan. Kori sedih Pak, sakit rasanya. Mas Sapto ternyata menyukai Retno, mengingkari
janji yang sudah diucapkan yang katanya akan menceraikan Retno ketika dia sudah
melahirkan.”
“Pasti itu pengaruh dari ibunya,” geram pak Siswanto.
“Kori ingin ikut, tapi dia melarang. Kori sedih sekali
Pak, cegah mas Sapto untuk mendekati Retno ya Pak.”
“Ya sudah, Bapak akan pulang sekarang. Semoga masih
ada penerbangan sore ini sehingga aku bisa secepatnya sampai di Solo.”
***
“Retno, kamu sudah siap?”
“Sudah Bu, tinggal menunggu Budi, masih belum turun
tampaknya.”
“Sebentar lagi pasti turun, tapi ibu minta maaf ya
Ret, kali ini tidak bisa mengantarkan ke dokter, badan ibu kok terasa kurang
enak.”
“Mengapa Ibu harus meminta maaf? Ini kan bukan
kewajiban Ibu. Saya justru merasa tidak enak karena selalu merepotkan Ibu.”
“Tidak repot, ini untuk cucu Ibu, tentu saja Ibu juga
punya kewajiban untuk menjaganya.”
“Baiklah Ibu, tapi kalau ibu berhalangan atau kurang
enak badan, ibu juga harus istirahat.”
“Ayo kita berangkat sekarang Mbak,” kata Budi sambil turun
dari tangga.
“Aku yang akan mengantarnya kontrol ke dokter,” tiba-tiba
sebuah suara mengejutkan mereka. Sapto sudah berada didalam rumah.
“Sapto?” pekik bu Siswanto kaget. Sementara wajah
Retno menjadi muram. Ia tahu pasti akan terjadi keributan karena kedatangan Sapto
pasti akan diiringi kedatangan Kori juga.
“Iya Bu, saya datang karena ingat bahwa hari ini Retno
harus kontrol ke dokter. Biar saya mengantarkannya.”
“Baiklah kalau begitu, tapi harus segera berangkat,
kalau kemalaman pasiennya akan semakin banyak, nanti isteri kamu kecapekan.
Kamu bersama Kori?”
“Tidak Bu, Sapto sendiri. Ayo Ret, biar aku yang mengantar
kali ini,” kata Sapto yang kemudian menarik lengan Retno. Retno ingin menepiskannya,
tapi sungkan kepada ibu mertuanya. Ia berdiri, dan mengikuti langkah suaminya
keluar dari rumah.
Budi mengikutinya, dengan wajah yang kecewa. Tapi apa
yang bisa diperbuatnya? Sapto kan suaminya?
Sapto sudah membukakan mobil, ketika sebuah taksi
tampak memasuki halaman, dan pak Siswanto keluar dari dalam taksi itu.
“Kamu kemana kamu Sap?”
“Mengantarkan Retno kontrol ke dokter kandungan Pak.”
“Tidak usah kamu, biarkan Budi mengantarnya.”
“Tapi ….”
“Aku ingin bicara penting sama kamu sekarang, waktuku
tidak banyak.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulilah, udh tayang kesuwun bu Tienkumalasari dear salam aduhaai dari Lampung
ReplyDeleteMakasih Bunda
ReplyDeleteSlmt mlm bunda Tien..terima ksih BM 26 sdh tayang..slm sehat dan tetap aduhai dri sukabumi..🥰🙏
ReplyDeleteWess
ReplyDeleteAlhamdulillah ,BM 26 sudah hadir ,terimakasih bunda sayang
ReplyDeleteAlhamdulillah. Matur Nuwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 26 sdh tayang, Manusang bu Tien. slm Aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 26 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah, makasih bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Alhamdulillah BM~26 sudah hadir.. maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah. BM_26, sdh tayang.
ReplyDeleteSelamat menunaikan ibadah Puasa Ramadhan 1443H, bagi saudara²ku yang menunaikannya. Semoga ibadah shaum kita, diterima Allah SWT. Aamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, salam sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun Bu Tien, salam aduhai dari Pasuruan
ReplyDeleteAlhamdulillah ... Trimakasih Bu Tien. Sslam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulilah, terima kasih bu tien yg ditunggu sdh tayang... salam sehat bu tien 🙏
ReplyDeleteADUHAI ....
ReplyDeleteMatur nuwun, mbak Tien.
Salam sehat nggih .....
alhamdulillah... maturnuwun bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah BM eps 26 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien Kumalasari.
Salam sehat selalu dari Tangerang.
Hmmm...pak Siswanto mencoba menghalangi pdkt nya Sapto ke Retno. Moga2 Sapto dan Retno semakin akrab
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien. Salam Aduhai
Alhamdulillah BM 26 sdh tayang.
ReplyDeleteMatursuwun bu Tien. Aduhai... salam sehat selalu
Siswanto ngeselin.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam sehat selalu. Aduhai
Kartomo...Kartomo...kamu itu looo mau mengajak rekreasi orang se RT ...tau diri dong...
ReplyDeleteTrimaksh bu Tien salam Aduhai..
Trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 26 sudah tayang...salam aduhai bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih mbak tien, semoga mbak tien selalu sehat² saja.
ReplyDeleteGawat juga yah, kl mantu bisa menguasai bapak mertua.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
ReplyDeleteKartomo keterlaluan pamernya padahal nol, Siswanto keterlaluan membela Kori. Ya sudah yang penting 'becik ketitik ala ketara'saja.
Salam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien semoga Bu Tien sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah,matur nuwun bu Tien untuk BMnya 🤗💖
ReplyDeleteSehat wal'afiat semua ya bu Tien
Alhamdulilah. Makasih M Tien
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien..BM26nya..
ReplyDeleteIih..pak Sis nyebelin..masa suaminya ga boleh antar istri ke dokter..malah nyuruh Budi..orgtua mcm apa itu..😏😏
Duuuh...p kartomo lg sombong mau bw piknik org sekampung...ampuun 🤦♀️🤦♀️
Pinisitin lanjutannyaaa...
Salam sehat selalu dan aduhaii bu Tien..🙏🌷
Alhamdulillah...Terima kasih bu Tien ..mohon maaf lahir dan batin ..semoga kita di beri kesehatan u menjalankan Puasa yg sdh makin dekat..Aamiin juga u semua pengemar Novel Bu Tien ...mohon maaf yaaa biar puasa kita lbh lancar ..Aamiin
ReplyDelete𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...
ReplyDeleteRasakan tu pak Kartomo..ajak² rekreasi ngajak orng 1 kampung lagi..
ReplyDeletetp kalau msi ada yg kosong ikutan dong pak saya...😅😅
Hii..matur nuwun bunda Tien BM 26 telah hadir...salam ADUHAI selalu.
Maturnuwun
ReplyDeleteBM26 tayang, ma jacih bu Tien. Mohon maaf lahir dan bathin, selamat menjalankan ibadah ramadhan
ReplyDeleteAssalamualaikum wr wb. Menjelang ramadhan, saya mohon maaf lahir dan batin Bu Tien, semoga kita bisa menunaikan ibadah puasa ramadhan 1443 H dgn khusyuk, iklhas dan hanya mencari ridho Allah Swt. Aamiin Yaa Robbal'alamiin....Salam sehat dari Pondok Gede....
ReplyDeleteNuryatutik,30Mart 2022
ReplyDeleteSemoga Retno selalu sabar menghadapi Santo dan semoga bisa mencintainya..
Selamat menjalankan ibadah ramadhan, semoga diberi kesehatan dan rezeki yg berkah buat bu Tien dan keluarga
ReplyDeleteRetno diantar Budi ya jadinya...
ReplyDeleteMalam semoga sehat selalu semuanya
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete