BUKAN MILIKKU
27
(Tien Kumalasari)
“Pak, biar saya mengantar isteri saya dulu, nanti
setelahnya kita kan masih punya banyak waktu untuk bicara,” kata Sapto yang
kesal melihat mata bapaknya melotot kepadanya seakan sedang marah.
“Tidak … tidak … aku mau sekarang, karena sebentar
lagi aku harus kembali. Urusanku disana belum selesai. Budi, antarkan dia, Bapak
akan bicara penting sama dia,” perintahnya kemudian kepada Budi. Dan kalau sudah begitu, tak ada yang bisa
membantah apa kata ayahnya.
Sapto melepaskan pegangan pintu mobil, dan melangkah
enggan mendekati ayahnya, sementara Budi segera duduk di belakang kemudi, siap
mengantarkan kakak iparnya ke dokter.
Budi membawa Retno berlalu, sementara Sapto melangkah
ke arah rumah, lalu duduk di kursi teras, diikuti ayahnya.
“Apa yang akan Bapak bicarakan?” tanya Sapto dengan
wajah kesal.
“Mengapa tiba-tiba kamu pulang ke Solo?”
“Adakah yang melarang saya menemui isteri saya?”
“Sapto, apa maksudmu?” kata Pak Siswanto dengan nada
tinggi.
“Sapto yang ingin bertanya, apa maksud Bapak
menanyakan itu?”
“Kamu lupa ya, bahwa Retno hanya isteri yang kita
pergunakan untuk melahirkan anak, dan anak itu kelak akan menjadi milik Kori.”
“Kori tidak akan bisa merawat bayi. Dan Sapto akan
tetap menjadikan Retno sebagai isteri Sapto.”
“Bukankah kamu sendiri pernah mengatakan bahwa kamu
akan menceraikannya setelah dia melahirkan?”
“Tapi sekarang keinginan itu sudah tak ada lagi.”
Pak Siswanto mengangkat tubuhnya yang semula bersandar
di kursi.
“Keinginan apa yang tidak ada lagi?”
“Keinginan untuk menceraikan Retno.”
“Kamu ingkar pada janji kamu kepada Kori. Kamu tidak
kasihan sama dia Sapto?”
“Mengapa Sapto harus mengasihani dia?”
“Apa kamu lupa bahwa karena kecelakaan itu dia harus
kehilangan bayi yang dikandungnya dan selamanya tak akan bisa mengandung lagi?
Bukankah itu sangat membuatnya menderita?”
“Bapak tidak mengerti tentang Kori.”
“Kamu melihat Kori menjadi jelek setelah ada perempuan
bernama Retno itu kan?”
“Bukankah Bapak yang menginginkan Retno menjadi
menantu Bapak?”
“Tapi tidak benar-benar menjadi isteri kamu.”
“Bapak sangat tidak adil.”
“Kamu sekarang berani menentang Bapak, apa kamu sudah
jatuh cinta sama perempuan itu?”
“Ya. Karena dia isteri Sapto yang sedang mengandung
anak Sapto.”
“Kamu benar-benar bodoh! Membiarkan isteri kamu
menderita karena kamu menjadi suka pada perempuan itu.”
“Perempuan itu isteri Sapto bernama Retno.”
“Kamu keterlaluan Sapto! Kamu tidak mau mendengar
kata-kata Bapak.” Sekarang pak Siswanto berteriak. Tak urung hati Sapto berdebar
mendengar teriakan ayahnya. Ia menundukkan wajahnya, tak berani menatap
ayahnya.”
“Isteri kamu menangis karena kamu meninggalkannya
pulang kemari,” lanjut pak Siswanto dengan suara sedikit merendah.
“Sapto tak bisa menerima kalau dia melarang Sapto
menemui isteri Sapto juga disini.”
“Bapak tidak mau berdebat. Bapak tetap melarang kamu
mencintai Retno. Titik.”
Sapto mengangkat wajahnya.
“Bapak mau kembali. Mobil perusahaan akan datang
sebentar lagi, aku naik mobil saja. Besok pagi ada pertemuan penting.”
Pak Siswanto berdiri dan melangkah masuk ke rumah,
tapi sebelum sampai ke pintu, ia menoleh sekali lagi.
“Camkan kata-kata Bapak,” katanya tandas.
Sapto menyandarkan tubuhnya di kursi lalu memejamkan
matanya. Tiba-tiba dia merasa tak rela ayahnya memperlakukan Retno sedemikian
kejam.
“Aku mulai mencintainya,” bisiknya pelan.
***
“Aku heran bapak bersikap seperti itu,” gumam Budi
dalam perjalanan mengantarkan kakak iparnya.
“Aku sudah tahu apa yang diinginkannya.”
“Bukankah itu menyakitkan?”
“Aku tidak akan melepaskan anakku. Apapun yang terjadi,”
kata Retno pelan, sambil mengelus perutnya yang semakin membuncit.
“Sewajarnya kalau Mbak mempertahankan bayi itu. Tapi
aku melihat, mas Sapto mulai memperhatikan Mbak Retno.”
“Karena bayi ini kan? Dia juga sama dengan pak
Siswanto, hanya menginginkan bayi ini.”
“Tidak, aku kira tidak hanya itu.”
“Apanya?”
“Perasaannya. Dia mulai menyayangi Mbak.”
Retno diam. Sikap Sapto memang berbeda. Dia mulai
bersikap lembut, dan berusaha terus memperhatikannya. Ketika mengetahui Retno
masih ingin muntah setiap kali dia mendekatinya, ia kemudian menjauh. Padahal
Retno hanya berpura-pura, agar Sapto tak menyentuhnya.
“Benarkah?”
“Aku bisa melihatnya. Dia bukan hanya menyayangi
bayinya, tapi juga mulai menyayangi Mbak.”
“Entahlah, aku tidak tahu.”
“Apakah Mbak tidak punya perhatian kepada Mas Sapto,
walau sedikit saja?”
“Aku tidak tahu.”
“Mbak masih membencinya?”
“Aku tidak benci siapa-siapa.”
“Kalau begitu Mbak juga mulai menyukai Mas Sapto,”
kata Budi, sedikit nyeri terasa di dada.
Tapi pembicaraan itu terhenti, karena mereka sudah
sampai di halaman rumah dokter yang dimaksud.
***
“Sap, masuklah … kok dari tadi duduk disitu?” tanya bu
Siswanto ketika pak Siswanto sudah pergi.
“Menunggu Retno pulang setelah periksa, Mau tahu
hasilnya.”
“Baiklah, Ibu temani.”
“Bapak sangat keterlaluan. Bukan Sapto ya
ng
keterlaluan,” kata Sapto pelan.
“Bapakmu selalu begitu. Dia tidak suka sama Retno.”
“Dulu Sapto juga tidak suka, tapi entah mengapa,
perasaan Sapto sangat berbeda.”
“Kamu mulai menyayangi Retno kan?”
Sapto mengangguk pelan.
“Ibu tahu karena sikap kamu sangat berbeda.”
“Apakah Sapto salah sehingga bapak sampai begitu
marahnya?”
“Menurut Ibu kamu tidak salah. Sudah semestinya kamu
bersikap seperti itu, karena Retno analah isteri kamu, apalagi sekarang sedang
mengandung anakmu.”
“Bayi yang dilahirkan Retno nanti, tidak bisa
diberikan begitu saja kepada Kori.”
“Ibu setuju.”
“Tapi bapak selalu berdalih tentang kecelakaan itu,
dan selalu merasa bahwa Kori akan bahagia jika bapak membrikan bayi itu untuk
dia.”
“Bapakmu tidak bisa memahami sifat Kori. Bapak hanya
merasa bahwa Kori sangat ingin punya bayi.”
“Sapto tidak akan membiarkannya. Dia akan tetap
menjadi milik Retno dan Sapto.”
“Kamu benar. Ibu percaya Kori tak akan bisa merawat
bayi.”
Ketika mobil yang dikendarai Budi dan Retno memasuki
halaman, Sapto segera menyambutnya di tangga teras.
“Bagaimana hasilnya?” tanya Sapto begitu keduanya
mulai mendekat.
“Baik-baik saja,” jawab Retno singkat.
“Kamu membawa foto USG bayi kita?”
“Ada,” kata Retno sambil memperlihatkan foto USG
anaknya.
“Wah, apa ini? Aku tidak mengerti.”
“Sudah kelihatan jelas. Kakinya, tangannya, dan ini jantungnya.”
“Tetap tidak jelas ya.”
“Yang jelas ya nanti kalau sudah lahir, ya kan Ret?”
kata bu Siswanto menimpali.
Sapto mengembalikan foto itu, kemudian menemani Retno
masuk ke dalam kamar.
“Kamu sudah tidak muntah kan, saat aku mendekati kamu?”
Retno ragu untuk menjawab. Ia memang sudah tak ingin
muntah saat berdekatan dengan Sapto. Ia hanya berdalih ketika itu, hanya karena
tak ingin Sapto menyentuhnya. Tapi saat kandungannya sudah menginjak enam
bulan, masihkah ia bisa berbohong? Sapto tak akan percaya, dan itu sebabnya
meka dia kemudian menggeleng.
“Syukurlah. Sekarang kamu berganti pakaian dulu, aku
mau mandi. Sejak datang tadi aku belum mandi.”
“Aku mau cuci kaki tangan dulu lalu berganti pakaian.”
“Baiklah,” kata Sapto sambil duduk di sofa sambil
menunggu Retno keluar dari kamar mandi.
Sapto masih selalu memikirkan pembicaraan dengan
ayahnya tadi. Ia tak bisa menerima keinginan yang pasti akan sangat menyakiti
perasaan Retno.
Walau sejak lama dia sudah tahu tentang maksud itu,
tapi ia mengabaikan apa yang pernah dikatakannya, bahwa dia akan menceraikan
Retno setelah bayi itu dilahirkan.
“Tidak akan … atau … malah Kori yang akan aku
ceraikan?” bisiknya lirih.
“Mandilah, aku akan berganti pakaian,” kata Retno.
Sapto berdiri, dan Retno mundur selangkah karena Sapto
mendekat.
“Maukah kamu tersenyum untuk aku, seperti saat
terakhir kita bertemu?” kata Sapto sambil menatap lekat isterinya. Retno
berdebar. Entah mengapa dia berdebar.
“Maukah?” ulang Sapto, masih tetap menatapnya.
Retno tersenyum tipis.
“Lagi dong.”
Retno membalikkan tubuhnya, mengambil baju ganti dari
dalam almari. Tapi ia kemudian menyunggingkan sebuah senyuman yang lebih lebar.
Sapto merasa mendapatkan hati.
“Nanti malam aku mau tidur disini.”
Dan Retno terkejut. Ia membelalakkan matanya, urung
menarik baju ganti yang sudah dipegangnya.
“Salahkah seorang suami tidur bersama isterinya? Dosa
lho,” kata Sapto kemudian sambil masuk ke dalam kamar mandi.
Retno tertegun, masih berdiri di depan almari.
Kata dosa itu memang sudah diketahuinya. Memang tak
seharusnya ia menolak. Dan tiba-tiba keringat dingin membasahi wajahnya.
Retno mulai mengenakan baju ganti itu ketika Sapto
berteriak dari dalam kamar mandi.
“Retno, tolong bawakan handuk untuk aku. Aku lupa
membawanya.”
Retno mengeluh.
“Modus bukan?”
“Retno! Kamu mendengar bukan?”
“Iyalah, apa dikira aku tuli?” gumamnya sambil
meneruskan mengganti bajunya, baru kemudian mengambil handuk.
“Ini… “ teriaknya.
Sapto membuka pintunya lebar-lebar, dan Retno sudah
bersiap memalingkan muka ketika mengulurkan handuk itu. Sapto tersenyum lucu, padahal
dia masih mengenakan pakaian lengkap.
***
Pagi hari itu mereka makan berempat. Bu Siswanto,
Budi, Sapto dan Retno. Bu Siswanto tampak sangat bahagia. Ia merasa, inilah
keluarga yang benar-benar keluarga, walau tanpa pak Siswanto.
“Sering-seringlah pulang, karena kandungan isteri kamu
semakin besar,” kata bu Siswanto.
“Ya Bu, akan Sapto usahakan,” katanya sambil melirik
ke arah isterinya.
Budi menatap Retno yang makan sambil menundukkan
wajahnya.
“Apa hari ini kamu akan pulang?”
“Tidak, besok pagi saja. Sapto sudah pesan ticket untuk
penerbangan paling pagi.
“Bagus, disini lebih lama, akan lebih membuat Retno
nyaman. Ya kan Ret?”
Retno mengangkat wajahnya, dan hanya tersenyum tipis.
Tapi Sapto suka senyum itu. Ia terus menatapnya sampai senyum itu hilang saat ia
menyuapkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
“Oh iya, besok hari Sabtu Ibu menerima arisan disini.
Tapi kasihan Asih kalau memasak terlalu banyak. Dia kan hanya sendirian.”
“Nanti Retno bantuin Bu,” kata Retno.
“Jangan. Ibu mau pesan makanan saja dari luar. Kemana
ya enaknya?”
“Aku tahu Bu,” kata Budi tiba-tiba.
“Tahu restoran yang masakannya enak?”
“Bukan restoran, tapi warung yang sering menerima
pasanan.”
“Dimana itu?”
“Teman Budi, namanya Wuri. Eh, bukan Wuri yang memasak,
tapi ibunya.”
Retno menoleh kearah Budi, dan tersenyum.
“Benar bu,” kata Retno setuju.
“Baguslah. Kalau begitu Retno saja yang mengatur
menunya. Ibu nggak mau mikir yang macam-macam.”
“Nanti Retno akan ke sana sama Budi, dan menanyakan
menu apa yang sebaiknya dihidangkan untuk acara arisan. Ya kan Bu?”
“Ya, tentu saja.”
“Kapan mau kesana?” tanya Sapto.
“Nanti sepulang aku dari kantor,” kata Budi.
“Aku ikut ya,” kata Sapto lagi.
“Ikut saja, sambil jalan-jalan bertiga,” kata ibunya.
Retno hanya bisa meng iyakan.
***
Ketika tiba dirumah Wuri, Sapto memilih menunggu di
mobil, sementara Retno turun bersama Budi.
Wuri berdebar ketika melihat Budi datang bersama Retno.
“Mas Budi? Mbak Retno?”
“Bagaimana lukanya, sudah baik kah?” tanya Budi.
“Ya sudah, kan sudah lama.”
“Syukurlah. Senang mendengarnya.”
“Kami mau ketemu Ibu, bisakah?”
“Bisa, kenapa tidak? Jangan bilang kalau kalian mau
melamar aku ya?” canda Wuri.
Retno dan Budi terkekeh lucu.
“Ngelamarnya nanti, lain kali, ini baru mencari hari baik,” Budi menyambut candaan Wuri.
Wuri tertawa, sambil melangkah masuk.
“Buuu, ada yang ngelamar, eh, ada yang mencari,”
teriak Wuri.
“Siapa?”
“Ibu keluar saja, Ibu sudah kenal kok.”
Bu Mantri keluar, dan tersenyum lebar melihat kedua
tamunya.
“Ini kan … nak Retno sama nak Budi?”
“Iya Bu,” kata Retno dan Budi hampir bersamaan.
“Ada apa ya kira-kira , kok tumben mencari saya?”
“Bukan mau melamar Wuri lho Bu,” teriak Wuri dari
balik pintu.
“Hush. Anak itu,” tegur bu Mantri sambil menoleh ke
arah pintu.
“Begini Bu, Ibu mertua saya mau mengadakan arisan,
maukah Ibu membuatkan masakan pada acara itu?”
“Kapan itu nak?”
“Besok hari Minggu ini.”
“Waduh, maaf ya nak, hari Minggu ini Ibu sudah
menerima pesanan dari langganan, dan agak banyak. Bagaimana ya?”
“Oh, gitu ya Bu? Gimana Bud?” tanya Retno kepada Budi.
“Ya sudah, kalau memang repot mau apa lagi.”
“Bagaimana kalau Ibuku?” tawar Retno.
“Nah, itu bagus. Kita kerumah ibu ya.”
“Eh, jangan pulang dulu, sudah aku buatkan minuman
nih, wedang jahe. Enak hangat segar,” kata Wuri sambil meletakkan cangkir-cangkir
di meja.
“Wuri kok repot, kami kan hanya sebentar.”
“Nggak apa-apa, tinggal jahe dituangi air panas.”
“Pedes dong.”
“Iya, nggak apa-apa mas, orang tidak melamar ya
dikasih yang pedes, kalau ngelamar, Wuri kasih yang manis-manis,” canda Wuri
lagi.
“Wuri!” kata bu Mantri sambil mencubit lengan anaknya.
“Aduh, ibu nih.”
“Jangan bercanda keterlaluan, nanti nak Budi enggan
datang kemari.”
Budi tertawa.
“Nggak apa-apa kok Bu, kami senang.”
“Kebiasaan dia itu, sama tetangga sebelah juga begitu.
Untunglah dia sudah tahu wataknya Wuri. Kalau seperti nak Budi ini, baru saja
kenal, bisa kaget.”
“Maaf ya mas, nggak marah kan?”
“Nggak kok. Masa gitu saja marah.”
“Ya sudah, ayo diminum Bud, sudah susah-susah
dibuatin. Setelah itu kita pamit.”
***
Ketika sampai dirumah bu Kartomo, Sapto ikut
turun. Sejauh ini ia belum pernah mengunjungi mertuanya.
Bu Kartomo tentu saja sangat senang menerima
kedatangan menantunya, yang ternyata memang baik dan santun seperti yang pernah
didengarnya. Sapto memang sudah berubah, setelah tumbuh rasa sayangnya
kepada Retno. Wajah dingin yang selama ini diperlihatkan, tak ada lagi. Bu
Kartomo bahagia, karena apa yang dikatakan Retno adalah benar adanya. Dia yakin keluarga anaknya baik-baik saja.
Ketika Retno mengutarakan keinginan ibunya untuk memasak
untuk acara ibu mertuanya, bu Kartomo tampak ragu.
“Ibu kok takut Ret, masak untuk keluarga pak Siswanto.
Nanti kalau nggak enak bagaimana?”
“Masakan Ibu enak kok. Yakin saja.”
“Iya Bu, coba saja dulu. Ibu saya pasti suka.”
“Gimana kalau besok saya buatkan masakan dulu, lalu bu
Sis disuruh ngicipin? Kalau enak ya saya buatkan, tapi kalau enggak, lebih baik
tidak usah.”
“Baiklah Bu, kami menurut,” kata Budi.
“Besok akan saya antarkan ke rumah ya nak.”
“Biar aku saja yang mengantarkan,” kata pak Kartomo
yang ternyata sejak tadi mendengarkan pembicaraan itu dibalik pintu.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteHorreeee....mbk Tieng juara 1
DeleteNah gitu, gantian juaranya
DeleteNguantuk poll ki.
ReplyDeleteLadalah.....wis tayang. Alhamdulillah.
Tapi wis nguantuk poll aku....
Besuk subuh saja ngeditnya
Salam ADUHAI bu Tien dari mBandung
Mtnuwun mbk Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 27 sudah hadir ,terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSdh datang
Matur nuwun bu Tien
Alhamdulilah, sampun tayang suwun mbakyu Tienkumalasari, selamat menjalankan ibadah puasa injih salam sehat dan aduhaai dari Lampungnya
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 27 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah BM~27 telah hadir, maturnuwun bu Tien 🙏
ReplyDeleteMaturnuwun mbak Tien, salam dari Pati
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tien untuk BMnya 🤗
ReplyDeletePak Kartomo modus nih,, ujung2 nya minta uang Pak Sis,,hehe
Aduhaaii deh 👍
Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien
Mohon Maaf lahir bathin , selamat berpuasa bulan Ramadhan 🙏🙂
Alhamdulillah BM 27 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan sukses selalu
Aamiin
Salam ADUHAI
𝘈𝘥𝘶𝘩 𝘱𝘢𝘬 𝘒𝘢𝘳𝘵𝘰𝘮𝘰 𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘢𝘶𝘯𝘺𝘢...
ReplyDelete𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...
Lho kok aku bisa masuk ranking 7.
ReplyDeleteAduhai..
Alhamdulillah BM 27 dah tayang
ReplyDeleteTerimakasih bunfa Tien
Salam sehat dan aduhai
Alhamdulillah BM 27 dah tayang
ReplyDeleteTerimakasih bunfa Tien
Salam sehat dan aduhai dari Purworejo
Alhamdulillah, BM27 telah hadir,
ReplyDeleteTrm ksh mbak Tien, sehat selalu dan bahagia bersama keluarga. Salam aduhai
Akhirmya yang ditunggu muncul juga
ReplyDeleteMakasih Bunda
Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteTampaknya Sapto mulai sadar siapa yang baik dan siapa yang buruk.
ReplyDeleteKalau Wuri didekati Budi terus Yudi merana lagi... kacian.
Salam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah...BM 27 dah tayang..
ReplyDeleteMksh bu Tien smoga sht sll
Alhamdulillah, maturnuwun bu Tien, selamat menunaikan ibadah puasa, semoga selalu sehat
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien BM27nya..
ReplyDeletePak Kartomo moduusss....😏
Pak Siswanto gak becuuss..ky bulus 😏
Jangan2 Kori yg disepak Sapto..krn udh menyadari taknkan bs jd ibu yg baik..istri kasar..crewet..bawel..suka triak2..ngadu ke mertua mentang2 disayang...iih..blm tau aja tuh mertuamu..
Salam sehat selalu dan aduhaii sanget
bu Tien..🙏🌷
Asyiik...yg ditunggu hadir juga ...suwun bunda Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 27 sdh sls dibaca. Tks bu Tien. Selamat menjalankan ibadah puasa ramadhan. Salam sehat sll.
ReplyDeleteTrims Bu Tien BM udah hadir
ReplyDeleteAkhirnya hadir juga BM 27...suwun bunda..
ReplyDeleteAlhamdulillah, suwun Bu Tien...
ReplyDeleteSalam sehat selalu....🙏🙏
Trima kasih bu Tien, BM 27 sdh hadir...
ReplyDeleteSalam SeROJA selalu...
Selamat berpuasa bu Tien, mohon maaf lahir dan batin...ADUHAi....
Alhamdulillah Yg masak ibunya Retno top masaknya sipp donk...Sapto mulai sayang dgn Retno ..ee si krempeng mulai nyari perhatian ke ibunya Retno ..sdh pak Kastom jelek aja keakeaan pola😄😄🤣🙏🤭terima kasih bu Tein sehat selalu .
ReplyDeleteAlhamdulillah.kartomo dpt peluang hehehe.Maturnuwun Mbak Tien
ReplyDeleteTrmksh mb Tien utk tayang BMnya...Sapto sdh berubah manis sikapnya kpd Retno ... smg ini pertanda baik bagi Sapto & Retno membina rt yg samawa... Smg Kori juga bs merubah sifat galaknya menjd ibu yg baik utk "calon anaknya" wlu bukan dr rahimnya. mb Tien pernah menulis crt yg hampir sm dg tokoh Dewi dan Marni? Yg berbagi suami krn Dewi dinyatakan tdk bisa punya keturunan ... Akhirnya berakhir happy end. Tp BM tentu berbeda versinya.. hanya mb Tien yg tahu. Marhaban ya ramadhan kpd segenap pctk... Mhn maaf lahir batin atas salah d khilaf dlm bersilaturahmi lwt komen. Aamiin YRA🙏🤲
ReplyDeleteAssalamualaikum wrwb
ReplyDeleteAlhamdulillah, bunda akhirnya timbul rasa antara Sapto dan Retno, sebaliknya juga..
Bunds Tien Msrhaban ya ramadhan.. semoga kita semua dibeikan kekuatan aamiin ..🤲🤲
Salam sehat salam Aduhai dsri Kuta Bali 🙏🏻🙏🏻
Alhamdulillah.
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, salam sehat dan aduhai selalu 🙏
Pak Kartomo modus nih. Ada maunya..
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Selamat memasuki bulan suci Ramadhan. Maaf lahir batin.
Alhmdulillah...mtr suwun bu tien. .sehat selalu njih bu
ReplyDeleteSelamat pg, smua
ReplyDeleteSemoga setelah Sapto sadar biarlah dia menjadi suami yg baik untuk Retno. Kartomo....
Salam manis, mb Tien
Yuli Semarang
Sementara asyik ngobrol tentang pesanan makanan yang akan dicobakan ke Bu Siswanto. Ternyata KARTOMO mendengar makanan itu akan diantar ke rumah bu siswanto. Kartomo langsung menawarkan diri untuk mengantarnya. Mungkin ada maksud lain dari Kartomo. Secara bila Kartomo ke rumah besannya selalu mengharap mendapat duit.
ReplyDeleteMakasih mbak Tien , selamat menunaikan ibadah puasa. Marhaban ya Ramadhan. BM 27
Alhamdulillah
ReplyDeleteAssalamualaikum wr wb. Wah, modus nih Kartomo, sdh jelas ketahuan. Apakah bu Kartomo mengijinkan...?.. Sabar menunggu kelanjutannya. Maturnuwun Bu Tien, semoga senantiasa dikaruniai kesehatan lahir dan batin. Aamiin Yaa Robbal'alamiin... Salam sehat dari Pondok Gede...
ReplyDeleteAssalamualaikum wr wb..slmt sore bunda Tien..terima ksih BM 27 nya..tambah makin penasaran aja dgn lelakonnya..slm sht dan aduhai dri 🙏🥰
ReplyDeletePak Kartomo modus... Ingin mengantarkan atau ingin ketemu Pak Siswanto utk minta uang lagi. Uh dasar kampret tua.. Gak punya malu dan selalu malu2in. Puji syukur kalo Salto mulai jatuh cinta sama Retno. Berarti amanlah anaknya.
ReplyDeleteMature nuwun Mbak Tien. Ditunggu dengan tidak sabar kelanjutannya. Semoga Mbak Tien selalu sehat wl afiat dan bahagia selalu.
Horeee....gasik mbacanya
ReplyDeleteAlhamdulillah