Wednesday, November 22, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 04

 BUNGA UNTUK IBUKU  04

(Tien Kumalasari)

 

Pak Raharjo tertegun. Memang benar, itu adalah suara istrinya, bukan? Masa dia tak mengenali suara istrinya sendiri. Tapi bagaimanapun dia tak begitu yakin. Masa istrinya sedang bersama Baskoro dan bicara seakrab itu?

“Apakah Bapak menginginkan sesuatu?” tanya Baskoro ketika untuk beberapa saat lamanya sang atasan itu diam saja.”

“Oh, iya … tentu saja, aku sedang memikirkan untuk menanyakan sesuatu tentang pekerjaan, yang seharusnya aku tanyakan dari tadi saat jam kantor.”

“Mohon maaf Pak, saya tidak ketemu Bapak sejak siang, karena_”

“Karena istri kamu sakit?”

“Iya benar Pak, karena itulah saya harus meninggalkan kantor, agak lama.”

“Yang tadi ngomong tadi siapa?”

“Yang mana Pak?”

“Yang tadi, terdengar oleh saya, suara perempuan, seperti sedang memilih sesuatu.”

“Oh, itu istri saya Pak?”

“Bukankah istri kamu sedang sakit? Suaranya begitu segar, seperti baik-baik saja.”

“Ini Pak, tadi sudah saya bawa ke dokter, dan sekarang sudah baik. Jadi besok saya bisa bekerja dengan tanpa hambatan.”

Pak Raharjo bicara agak lama, tentang pekerjaan dan kondisi cabang yang baru dibukanya. Beberapa saat ketika masih bicara itu, istrinya masuk ke dalam rumah.

“Bapak, maaf aku terlambat pulang,” katanya dengan sikap manis, lalu duduk menggelendot di samping suaminya. Pak Raharjo mendorong tubuhnya karena ia masih bicara.

“Ya sudah Bas, besok ketemu di kantor, dan bicara lebih banyak.”

“Baik Pak, besok akan saya laporkan semuanya.”

“Bapak bicara sama siapa? Kelihatannya asyik.”

“Bicara soal pekerjaan, tentu saja dengan orang kantor. Aku menelpon dia sejak siang, tapi dia tidak ada di tempat, katanya istrinya sakit.”

“Siapa Pak?”

“Baskoro.”

“Oh, istrinya sakit apa? Kasihan.”

“Katanya sekarang sudah baikan. Kamu dari mana?”

“Ya ampun Pak, arisan, yang menerima bu Mukti, rumahnya jauh di luar kota, mana jalanan macet pula. Jadi deh, sampai di rumah saat Bapak sudah pulang. Sudah lama Bapak sampai di rumah?”

“Lumayan, sempat mandi juga.”

“Ya ampuun, maaf ya Pak,” katanya sambil mencium tangan suaminya, tentu dengan sikap yang sangat manis.

“Sudah sana, mandi juga, tubuhmu bau keringat,, nggak enak banget,” kata pak Raharjo dengan wajah muram. Bagaimanapun ia kesal, istrinya pergi seharian, dan belum ada di rumah saat dia sudah sampai di rumah.

Ketika masuk ke kamarnya, didengarnya Rusmi berteriak.

“Hasti juga belum pulang?”

“Belum Bu,” terdengar jawaban bibik dari dapur.

***

Wijan sedang menyirami tanaman, ketika tiba-tiba Nilam mendekat, sambil membawa sepiring kecil pisang goreng. Ada empat biji di atasnya, lalu diletakkannya di bangku yang ada di bawah pohon belimbing.

“Mas Wijaaan ….”

Wijan menoleh, lalu melihat Nilam mengacungkan piring kecil itu ke arahnya.

“Pisang goreng, masih anget. Ayo, makan dulu, sini,” teriaknya riang.

“Nanti saja, tanganku kotor.”

“Cuci sebentar kenapa, kan ada kran air di situ?” Nilam memaksa.

“Sebentar lagi.”

“Maaas, keburu dingin, nggak enak.”

Wijan terpaksa mendekat, soalnya Nilam sudah berteriak-teriak. Ia mencuci tangannya, lalu duduk di dekat Nilam.

“Ini, cepat dimakan, kalau dingin nggak enak.”

“Nggak ada bedanya,” sahut Wijan sambil mencomot sepotong.

“Beda dong, enakan kalau panas begini.”

“Wijan tak menjawab, asyik mengunyah pisang kepok goreng buatan bibik. Bagi Wijan, makanan seperti tidak ada bedanya, yang dingin atau yang panas, sama saja. Yang penting adalah suasana hati. Kalau hati senang, makanan yang bagaimanapun pasti enak. Tapi kalau hati sedang kusut, makanan enakpun terasa sekam. Pisang goreng ditangan Wijan tinggal satu gigitan. Ia akan menghabiskannya setelah mengunyah dan menelan gigitan sebelumnya, ketika tiba-tiba terdengar bentakan. Tidak begitu keras, tapi serasa tersayat mendengarnya.

“Hm, enak ya. Saat bekerja, enak-enak makan di bawah pohon, seperti tuan besar saja,” itu kata Hasti yang baru pulang, dan memasukkan mobilnya ke garasi, lalu langsung ke arah belakang rumah. Kesal hatinya melihat sang adik sedang bercengkerama bersama Wijan sambil makan pisang goreng.

Wijan segera berdiri, tak mempedulikan sepotong pisangnya yang terjatuh. Ia menghampiri selang, dan kembali melanjutkan menyiram tanaman.

“Mbak Hasti jahat!” pekik Nilam mendengar kata-kata kakaknya, yang kemudian tanpa malu mengambil sisa pisang yang masih ada di piring.

“Ini saatnya Wijan bekerja, bukan duduk santai seperti juragan,” katanya sambil berlalu. Nilam membanting-banting kakinya dengan marah.

“Orang jahat!! Aku benci orang jahat!!” teriaknya.

Hasti berhenti melangkah, menoleh ke arah adiknya.

“Apa kamu bilang? Kamu benci orang jahat? Setiap pagi kamu berangkat sekolah, siapa yang mengantar, siapa pula yang menjemput? Ayo bilang benci, bilang!”

“Aku benci!!”

“Awas kamu, besok berangkat sendiri, jangan harap aku mau mengantar, apalagi menjemput kamu!”

“Aku bilang sama bapak!!” Nilam tak mau kalah.

“Apa? Bapak?” Hasti masuk ke rumah sambil mencibir. Tampaknya dengan mendengar nama ‘bapak’, Hasti tak perlu takut. Hasti lupa bahwa semua yang dinikmatinya adalah pemberian ayah tirinya. Ayah Wijan yang ditindasnya.

“Mas Wijaaan, aku ambilkan lagi ke dapur ya,” kata Nilam sambil berlari ke dapur.

“Tidak usah Nilam, yang tadi sudah cukup,” teriak Wijan, tapi Nilam sudah memasuki dapur, melihat bibik masih menggoreng pisang.

“Bibik, aku mau lagi dong. Buat aku, sama mas Wijan.”

“Mbak Nilam, nanti makan pisang di ruang tengah saja, sama ibu, sama bapak. Mas Wijan biar bibik yang menyiapkannya di meja dapur,” kata bibik yang sudah tahu peristiwa pisang direbut Hasti yang baru saja terjadi. Dapur itu kan dekat kebun. Ia melihat semuanya dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku mau makan pisangnya sama mas Wijan,” Nilam masih ngeyel.

“Kalau sekarang mbak Nilam membawa lagi pisang goreng ke kebun, nanti mas Wijan kena marah. Biar nanti setelah mandi mas Wijan makan di meja dapur. Itu lebih aman.”

“Kalau begitu siapkan untuk aku juga di meja dapur.”

“Nanti mbak Nilam kena marah.”

“Biar saja, masa makan pisang dimarahin. Aku mau mandi dulu, sepertinya mas Wijan juga hampir selesai,” kata Nilam sambil beranjak ke kamarnya.

Bibik tersenyum tipis. Bibik tahu, Nilam sangat menyukai kakak tirinya, dan selalu membelanya setiap kali Wijan dibentak-bentak.

Tak lama kemudian Wijan sudah selesai membersihkan kebun. Ia beranjak ke kamar, tapi bertemu pak Raharjo yang baru keluar dari kamarnya.

“Kamu dari mana?”

“Mas Wijan dari menyiram tanaman dan membersihkan kebun, Pak,” Nilam lah yang menjawab, saat dia juga mau masuk ke kamarnya.

“Mengapa kamu? Bukan bibik saja yang mengerjakannya?”

“Yang menyuruh-” Nilam ingin menjawab, tapi Wijan memotongnya.

“Wijan suka kebun, suka bunga-bunga. Itu sebabnya Wijan yang memelihara semua tanaman itu,” jawab Wijan.

“Apa kamu tidak capek? Pulang dari sekolah yang lumayan jauh, bersepeda pula, harusnya beristirahat saja.”

“Tidak Pak, kan Wijan sudah bilang bahwa Wijan menyukainya,” kata Wijan sambil melanjutkan langkahnya.

Pak Raharjo tersenyum. Mana tahu bahwa apa yang dilakukan Wijan adalah perintah dari sang istri yang sangat membenci Wijan. Beruntung, Wijan adalah anak muda yang baik, dan selalu menjaga ketenangan di dalam rumah, sehingga dia tak pernah mengadu kepada sang ayah tentang perilaku ibu dan kakak tirinya.

***

 Pagi itu wajah Nilam cemberut. Sang kakak yang marah sejak sore harinya, tak peduli padanya. Ia sudah mengatakan tak akan mau mengantarkannya ke sekolah. Nilam diam saja. Ia juga tak akan mengadu pada ayahnya kalau kakaknya tak mau mengantar. Tapi pak Raharjo heran, ketika Hasti sudah siap di depan, Nilam masih enak-enak memakai sepatunya, itupun tidak tampak tergesa-gesa.

“Nilam, kamu kok enak-enak begitu, itu kakakmu sudah menunggu,” tegur ibunya.

“Nilam nggak bareng sama mbak Hasti.”

“Apa? Lalu kamu mau naik apa? Kalau bareng bapak, nanti kesiangan.”

“Nilam mau mbonceng mas Wijan.”

“Apa?” bu Rusmi sampai berteriak karena kaget. Masa gadis kecilnya mau sekolah diboncengin sepeda?

“Tidak boleh Nilam. Cepetan, itu ditunggu kakakmu,” hardik sang ibu, tapi Nilam bergeming.

“Mas Wijaaaan, boncengin aku mas Wijan, boleh kan?” teriaknya kepada Wijan, yang baru keluar dari dapur, tapi sudah menggendong tas sekolahnya. Rupanya bibik memberikan lagi bekal untuk momongan kesayangannya.

“Tidak boleh!” bentak ibunya lagi.

“Ada apa, pagi-pagi sudah teriak-teriak?” pak Raharjo yang masih duduk di ruang tengah kaget mendengar teriakan istrinya.

“Itu, Nilam nggak mau bareng kakaknya.”

“Kenapa Nilam?”

“Nggak mau Pak, mbak Hasti jahat. Nilam mau bareng mas Wijan saja.”

“Kalau bareng mas Wijan itu nanti kepanasan lho, nggak biasa kan kamu bonceng sepeda?”

“Nggak apa-apa Pak, ayo Mas, boncengin aku,” kata Nilam yang sudah menyiapkan tas sekolahnya, lalu mengikuti Wijan keluar.

“Nilam!!”

“Ya sudah, anaknya mau bonceng kakaknya, kenapa kamu berteriak-teriak?”

Bu Rusmi menyurutkan rasa marahnya. Ia lupa bahwa suaminya ada. Hampir saja dia menghardik Wijan yang disangkanya membujuk Nilam agar ikut bersamanya.

Nilam mencium tangan ibunya dengan merengut, kemudian mencium tangan ayahnya.

“Hati-hati Wijan,” pesan sang ayah kepada Wijan, ketika Nilam sudah duduk di boncengan. Sebenarnya Wijan tak mau, tapi karena ada sang ayah yang mendukungnya, jadi dengan suka cita dia memboncengkan adiknya.

“Bagaimana kalau dia sakit? Kan tidak biasa panas-panas begitu,” gerutu bu Rusmi yang sebenarnya tak rela anak gadisnya membonceng sepeda. Di halaman, dilihatnya Hasti sudah keluar dari halaman dengan mobilnya.

“Bapak berangkat siang?”

“Hari ini tidak keluar kota, ada urusan di kantor.”

Bu Rusmi teringat keinginannya memiliki mobil. Ia duduk di dekat suaminya, dan menggelendot manja. Pak Raharjo masih asik mengutak atik ponselnya.

“Bapak …. “ rengeknya merayu.

“Hm …”

“Bagaimana tentang pembicaraan kemarin?”

“Pembicaraan apa?”

“Itu, ibu kan minta mobil.”

“Apa itu sangat perlu?”

“Perlu dong Pak. Kalau ibu bawa mobil sendiri, kalau bepergian tidak usah tergantung taksi. Hasti sudah lebih padat acaranya.”

“Acara main?”

“Acara di kampusnya. Dia sedang belajar lebih keras, supaya segera selesai, ibu tak mau mengganggu. Nggak apa-apa kan Pak, ibu janji nggak akan pergi kalau tidak sangat perlu.”

“Buktinya ibu tiap hari pergi.”

“Ibu banyak kegiatan juga Pak. Ibu nggak mau menjadi tua tanpa melihat dunia luar. Ada teman-teman ibu yang banyak melakukan kegiatan sosial juga, dan ibu sungkan kalau setiap kali harus menumpang. Pulang dan pergi tergantung orang lain, kan nggak enak.”

Pak Raharjo masih mengutak atik ponselnya.

“Bagaimana Pak?” kali ini bu Rusmi mengelus punggungnya, dadanya, sambil mengulaskan senyum menawan.

“Ya sudah, nanti bapak lihat dulu mobil di tempat langganan bapak.”

“Ibu ikut ya.”

“Kenapa harus ikut? Yang penting ada mobil kan?”

“Barangkali ibu bisa memilih warna, atau modelnya.”

“Bukan mobil yang mahal-mahal. Yang penting bisa digunakan.”

“Jangan yang murahan dong Pak.”

Pak Raharjo diam. Ia meletakkan ponselnya ke dalam tas kerja yang sudah disiapkannya. Tak tahan mendengar rengekan istrinya, sesampainya di kantor, setelah menyelesaikan berkas-berkas yang harus ditanda tanganinya, ia segera memanggil Baskoro.

Baskoro memang kepala gudang, tapi dia adalah orang kepercayaan pak Raharjo, karena dia selalu bisa menjalankan tugas yang diberikan dengan baik.

“Ya Pak,” katanya setelah Baskoro masuk ke dalam ruangannya.

“Antarkan aku,” katanya sambil berdiri.

“Ke mana? Apa Bapak ada janji?”

“Ke dealer mobil.”

“Haa, Bapak ingin membeli mobil baru?”

“Bukan untuk aku. Untuk istriku.”

“Waah, bukan main. Ternyata Bapak sangat menyayangi istri Bapak.”

“Bukan karena sayang. Merengek-rengek terus seperti anak kecil,” gerutunya sambil menyerahkan kunci mobil, dan meminta Baskoro mengemudikannya.

Baskoro tersenyum lebar. Entah mengapa, dia merasa senang mengantarkan sang bos ke dealer mobil.

Mereka memilih-milih. Tapi memang pak Raharjo tidak ingin beli yang mahal. Yang penting pantas digunakan.

“Apa ibu Raharjo pasti senang dengan pilihan Bapak?”

“Yang penting bagus. Aku suka warna silver ini.”

“Sepertinya ibu suka yang hijau. Hijau lumut.”

“Hijau?” tiba-tiba pak Raharjo teringat kata-kata ‘hijau’ yang dia dengar dari seorang perempuan, ketika dirinya sedang bertelpon dengan Baskoro.

Entah mengapa, perasaan pak Raharjo tiba-tiba menjadi tidak nyaman. Bagaimana Baskoro tahu kalau istrinya suka warna hijau?

***

Besok lagi ya.

 

 

47 comments:

  1. πŸ’πŸͺ·πŸ’πŸͺ·πŸ’πŸͺ·πŸ’πŸͺ·
    Alhamdulillah
    BeUI_04 sampun tayang.
    "Like mother like daughter".
    Bu Rusmi & Hasti 11-12 deh.
    Yg jahat nanti ada balasannya
    Tunggu kisah lanjutannya...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu dan
    tetep smangat nggih.
    Salam aduhai πŸ¦‹πŸŒΈ
    πŸ’πŸͺ·πŸ’πŸͺ·πŸ’πŸͺ·πŸ’πŸͺ·

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah.....
      Matur nuwun bu Tien, BeUI_04 sdh ditayangkan.
      Selamat malam selamat beristirahat.

      Selamat jeng Sari Usman, rajin lari cepat, sprinter-ku

      Delete
    2. Gercep ya Kek...Iya nih, mumpung udah duduk manis dirumah...😁😍

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hijau Lumut. Ya... Baskoro juga tahu warna kesukaan Bu Rusmi. Mungkin kesukaan yang lainpun juga tahu.
      Yang baik jagalah tetap baik, biarkan yang jahat menerima hasil kejahatannya.
      Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

      Delete
  3. Maturnuwun sanget Bu Tien...
    πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah
    Matur sembah nuwun mbak Tien
    Sehat selalu

    ReplyDelete
  5. Matur suwun Bu Tien ...Salam sehat selalu..πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  6. Terima kasih atas segala dukungan, penyemangat dan perhatian yang penuh cinta, buat bapak2, kakek2, opa:
    Kakek Habi, Nanang, Bambang Subekti, Djoko Riyanto, Hadi Sudjarwo, Wedeye, Prisc21, Latief, Arif, Djodhi, Suprawoto, HerryPur, Zimi Zainal, Andrew Young, Anton Sarjo, Yowa, Bams Diharja, Tugiman, Apip Mardin Novarianto, Bambang Waspada, Uchu Rideen, B Indiarto, Djuniarto, Cak Agus SW, Tutus, Wignyopress, Subagyo, Wirasaba, Munthoni, Rinta, Petir Milenium, Bisikan Kertapati, Syaban Alamsyah,

    Dan mbakyu, ibu, eyang, nenek, oma, diajeng:
    Nani Nuraini Siba, Iyeng Santosa, Mimiet, Nana Yang, Sari Usman, KP Lover, Uti Yaniek, Lina Tikni, Padmasari, Neni Tegal, Susi Herawati, Komariyah, I'in Maimun, Isti Priyono, Yati Sribudiarti, Kun Yulia , Irawati, Hermina, Sul Sulastri, Sri Maryani, Wiwikwisnu, Sis Hakim, Dewiyana, Nanik Purwantini, Sri Sudarwati, Handayaningsih, Ting Hartinah, Umi Hafid, Farida Inkiriwang, Lestari Mardi, Indrastuti, Indi, Atiek, Nien, Endang Amirul, Naniek Hsd., Mbah Put Ika, Engkas Kurniasih, Indiyah Murwani, Werdi Kaboel, Endah, Sofi, Yustina Maria Nunuk Sulastri, Ermi S., Ninik Arsini,
    Tati Sri Rahayu, Sari Usman, Mundjiati Habib, Dewi Hr Basuki, Hestri, Reni, Butut, Nuning, Atiek, Ny. Mulyono SK, Sariyenti, Salamah, Adelina, bu Sukardi, mBah Put Ika, Yustinhar, Rery, Paramita, Ika Larangan. Hestri, Ira, Jainah, Wiwik Nur Jannah, Laksmi Sutawan, Melly Mawardi, Tri, Rosie, Dwi Haksiwi, Purwani Utomo, Enny, Bunda Hanin , Dini Ekanti, Swissti Buana, YYulia Dwi, Kusumawati,

    Salam hangat dan ADUHAI, dari Solo.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun saben dina kakek habi, selalu disapa.....
      Sugeng aso salira....
      H-2 operasi katarak lho ya, jaga kesehatan Budhe.....

      Delete
  7. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah... matur nuwun bunda, smg sehat2 sllu.. Aamiin

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah" Bunga untuk Ibu "eps 04 sdh tayang ..terima kasih bu Tien... semoga bu Tien selalu sehat dan bahagia. Salam hangat dan aduhai bun❤️🌹

    Aduuuh jahatnya bu Rusmi dan hasti ... biarlah si jahat pasti ada balasan yg setimpal

    ReplyDelete
  10. Mobil hijau lumut bikin pinisirin.Maturnuwun Bunda

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah B U I dah tayang, makasih bunda Tien.
    Baskoro anak buah yg tidak tahu diri, masak istri bos mau diembat juga.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~04 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🀲

    ReplyDelete
  13. Mbak Tien.... Sugeng dalu... Matur Nuwun sapaannya... Mugi panjenengan sekeluarga tansah pinaringan keberkahan sehat wal afiat....πŸ™πŸ˜˜❤️
    Salam Aduhai dr Surabaya πŸ™πŸ˜˜πŸ˜❤️
    Baskorooo... haraaah πŸŽƒπŸŽƒ

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah...BUNGA UNTUK IBUKU dah tayang terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  15. Baru koment... terima kasih mbu Tien... partnya mulai bikin pinisrin... seht trs mbu tien bersama keluarga trcnta

    ReplyDelete
  16. πŸ‘‰Kamu ketahuan...... berbohong lagi....
    πŸ‘‰Ngakunya isterinya sakit, padahal selingkuh dengan isteri bossnya....._ _
    πŸ‘‰Pak Raharjo kok dikibulin..... dipecat nanti lo, baru tahu nyahok, lo ......

    ReplyDelete
  17. Feeling Pak Raharjo kuat, smg lekas ketahuan borok istrinya & Baskoro.
    Mtr nwn Bu Tien, sehat sll
    .

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah Bunga Untuk Ibuku- 4 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  19. Nah lo...si Baskoro terlanjur bikin curiga pak Raharjo...tapi masa sih terlalu naif si bapak...anak kesayangannya dikerjain ibu tirinya ga tau? Hmm...ga sabar pingin tau kapan kedoknya terbongkar.πŸ˜…

    ReplyDelete
  20. Membuat penasaran mbakyuku Tienkumalasari dear...btw matur nuwun sampun tayang episode 4, salam kangen dan tetep semangat inggih , wassalam..

    ReplyDelete
  21. Ya tahu tΓ₯ Djo, masak nggak ngerti selera sang sevia nya.
    Wuah biyungnya Hasti pas nelpon donjuan lagi.
    Bubar bubar nggak jadi beli, eh menggerutu lagi di dealer sana ada warna apa aja, kok tahu.
    Wuah ada mata mata di sampingnya, nah lho ayo, sedikit cerdas, mulai ada tanda-tanda mencurigakan, di diri Baskoro, Raharjo merasa aneh aja.
    Eh Hasti kebablasan sama doi nya, aduh hancur dèh cita cita emak, pada blandang déwé déwé gitu.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu
    Bunga untuk ibuku yang ke empat sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  22. Wah sedikit lagi ketahuan deh selingkuhan... Makasih bunda

    ReplyDelete
  23. Bu Rusmi lama2 ngeselin deh

    Hasti juga kelakuan gak bikin org simpati udah tinggal nongkrong doang belagu skli

    Untung Nilam punya sifat yg baik santun jauh sekali dgn Hasti meskipun dlm cerita sdr kandung

    Kl Wijan seh mang tabiatnya sangat baik jd mau di apakan juga ttp sabar

    Semoga pak Raharjo dgn celetukan Baskoro tentang warna mobil yg akan di pilihnya
    Jadi teringat suara perempuan yg waktu itu minta baju warna hijau Baskoro msh terima tlp dari pak Raharjo

    Wow moga jd ketahuan yah atas ulah Baskoro

    Hai pak Raharjo sadar lah

    Wah makin seru nih

    Bunda Tien sehat selalu doaku
    Ttp semangat dan
    ADUHAI ADUHAI ADUHAI

    ReplyDelete
  24. Wijan mungkin tahu tetapi diam, baru sekali bertemu, penasaran menunggu besok.. terimakasih bunda Tien salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien. Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  26. Hamdallah... Bunga Untuk Ibuku 4 sudah tayang. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu tetap Semangat, tetap Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala. Aamiin

    Pak Rahardjo masih klepek klepek di rayu istri muda nya yang minta mobil baru.

    Yang di titeni pak Raharjo adalah, istri nya minta mobil berwarna hijau. Ada apa dengan warna tsb. Inilah yng msh menjadi teka teki dan tentu nya jadi PR nya pak Raharjo, thd polah tingkah istri nya tsb.

    Salam hangat dan Aduhai dari Jakarta

    ReplyDelete
  27. Wes.

    Wes..
    Rasido tuku mobil waelah pak Raharjo....
    Ndak garwo ne keluyuran wae.......marai greget...

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah bisa terimakasih Bunda Tien πŸ₯°

    ReplyDelete
  29. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat dari Yk...

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah Matur nuwun bu Tien πŸ€— πŸ₯°
    Keseruan pak Rahardjo & Baskoro
    Cerita baru dimulai nih 🀭
    Salam sehat wal'afiat semua
    Salam aduhaiii

    ReplyDelete
  31. Terima ksih bunda..salam sehat sll unk bundaπŸ™πŸ˜˜πŸŒΉ

    ReplyDelete
  32. Semoga pak Raharjo cepat tanggap ya. Jangan mau dibohongi terus.
    Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu. Aduhai

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...