Saturday, January 25, 2020

LASTRI 05

LASTRI  05

(Tien Kumalasari)

 

"Lastri... Lastri.."

Lastri yang sedang menata belanjaannya menoleh kearah Bayu, yang memanggilnya dengan bertubi-tubi.

"Ada apa mas ?

"Kamu tadi diantar oleh siapa?"

"O, tadi itu, namanya mas Timan, penjual buah dipasar."

"Apa biasanya dia juga mengantar kamu sehabis belanja?"

"Enggak mas, baru kali ini, karena dia memberi selirang pisang ambon dan saya nggak bisa membawanya. Itu mas, dimeja."

"Iya Yu, itu pisangnya, enak, ini.. ibu sudah mengambilnya satu, belum habis , lha besarnya se lengan ibu sih." kata bu Marsudi menimpali.

Bayu melihat ke arah meja makan.

"Cobalah Yu, dan bawakan juga untuk bapak."

"Ah, Bayu nggak suka pisang ambon," kata Bayu sedikit tak acuh. Ada rasa kurang senang ketika mengetahui si penjual buah mengantar Lastri, terus memberi selirang buah pisang pula.

"Masa nggak suka, biasanya kamu suka pisang ambon kan?"

"Iya, tapi nggak suka yang besar-besar begitu. Makan satu saja bisa kekenyangan."

"Ya ambil separo, gitu aja kok repot," omel bu Marsudi.

Bayu mengambil basi berisi pisang dan dibawanya keteras, diletakkan dimeja dihadapan ayahnya.

"Ini pak.."

"Apa itu?"

"Pisang, bapak suka kan ?"

"Lastri membelinya? O.. bukan, ini dikasih si penjual buah itu tadi."

"Iya, ibu bilang enak, kayaknya matang pohon."

"Besar-besar sekali pisangnya," kata pak Marsudi lalu mengambil sebuah.

"Aku separo saja, yang separo lagi buat kamu ya."

"Ternyata enak," kata Bayu setelah mengunyah satu gigitan pisangnya. Tapi tiba-tiba diletakkannya sisa pisang itu dimeja ketika teringat bahwa pisang itu pemberian si tukang buah untuk Lastri. Kenapa aku ini? Cemburu? Ya Tuhan, tidak.. lalu witing trena itu muncul lagi dibenaknya.

"Lastri itu kan sudah mau ujian sekolah," tiba-tiba kata pak Marsudi.

"Ada apa? Bapak mau menyruhnya kuliah?"

"Tidak, tidak.. ibumu pernah bicara so'al itu, tapi aku tidak setuju."

"Bapak keberatan membiayai kuliahnya?"

"Bukan keberatan, bapak punya uang tapi bapak kira itu sudah cukup buat Lastri."

"Bagaimana kalau Bayu saja yang membiayainya?"

"Apa? Tidak Bayu, bapak tidak setuju, lebih baik carikan jodoh untuk Lastri."

Bayu terkejut. Dipandanginya ayahnya lekat-lekat.

"Ada apa denganmu Yu? Kamu tidak setuju ?"

"Ini bukan jamannya menjodoh-jodohkan orang pak. Kasihan Lastri."

"Kasihan bagaimana maksudmu?"

"Biarkan dia memilih apa yang dia suka, siapa yang dia suka, kasihan kalau kita mengatur hidupnya."

"Bapak kan memilihkan yang terbaik untuk Lastri? Dia itu umurnya sudah sekitar duapuluhan lebih, kalau dulu dia datang kemari umurnya sebelasan tahun, sekarang sudah duapuluh tiga tahun. Didesa, gadis seumur itu sudah disebut perawan tua."

"Ini bukan didesa pak, mengapa harus ikut-ikutan tradisi desa?"

"Kenapa juga kamu menentangnya?" pak Marsudi menatap curiga.

Bayu memalingkan mukanya. 

"Tukang buah yang mengantar Lastri tadi pagi itu cocog untuk Lastri."

"Apa?" Bayu kembali memandangi ayahnya. Ada rasa kesal mendengar keinginan ayahnya.

"Bapak kok gitu. Bagaimana kalau tukang buah itu sudah punya isteri?"

"Ya nanti kita tanya lah, kalau cocog ya bagus, bapak yang akan membiayai pernikahan Lastri nanti."

"Jangan pak."

"Mengapa kamu seperti tidak suka?"

"Bukan tidak suka, Bayu kurang suka kalau kita mengatur hidupnya Lastri, termasuk jodohnya juga."

"Bapak kan mau menanyakannya dulu, kalau cocog ya oke lah, kalau nggak ya nggak akan memaksa, tapi melihat gelagatnya kok cocog."

"Bapak mengarang."

Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman. Bayu mengerutkan keningnya karena tau siapa yang datang.

"Tamu siapa dia?"

"Teman Bayu pak," kata Bayu yang kemudian berdiri menyambut.

Tamu itu memang Sapto, ia turun dari mubil dengan penampilan yang menurut Bayu agak berlebihan. Pakai celana jean dan kaos lengan pendek yang bergambar-gambar, pakai kacamata hitam besar, pokoknya semua membuat Bayu kesal.

"Hallo bro. Hari Minggu kok dirumah saja," katanya begitu sampai dihadapan Bayu. Tapi matanya nyelonong kedalam rumah, barangkali ada Lastri disana. Tapi yang ada malah pak Marsudi, yang memandangnya seperti orang tak kenal.

Melihat pak Marsudi, Sapto mencopot kacamatanya dan mengangguk hormat.

"Selamat siang om," sapanya sambil mendekat lalu mencium tangan pak Marsudi.

"Aku kok agak pangling ya.. ini siapa?"

"Saya Sapto om. Om lupa ya?"

"O.. iya, Sapto temannya Bayu SMA?"

"Iya, tuh om masih ingat."

"Iya, sudah lama nggak main kesini. Ayo silahkan duduk, om mau kebelakang."

"Ya om, ma'af kalau mengganggu."

"Nggak aoa-apa. Silahkan," kata pak Marsudi sambil melangkah kebelakang, sedangkan Sapto kemudian duduk dengan santai.

"Kamu ini kayak remaja saja, pakai kaos kayak begitu." tegur Bayu sambil duduk dihadapan Sapto.

"Memangnya aku sudah tua? Eh, mana Lastri?"

"Nggak ada."

"Aduh, jangan gitu dong Yu, aku mau mengajaknya jalan-jalan, sama kamu sekalian juga nggak apa-apa."

"Dia harus belajar. Minggu depan mau ujian."

"Ini hari libur, jangan dipakai buat mikir terus, nanti bisa stress.."

"Ya enggak.. masa belajar saja bisa membuat orang stress."

Tiba-tiba pak Marsudi muncul kembali. Maksudnya mau mengambil pisang yang tadi masih tertinggal. Ternyata makan separo masih kurang.

"Ada apa nak? Siapa yang stress?" tanya pak Marsudi.

"Itu om, Lastri, katanya belajar terus karena mau ujian. Bukankah ada baiknya istirahat sejenak, menenangkan pikir sambil jalan-jalan?"

"Nak Sapto mau mengajaknya jalan?"

"Sebenarnya begitu om, tapi dilarang sama Bayu, katanya lagi belajar."

"Ah, biarin saja kalau hanya jalan-jalan sebentar. Biar om suruh Lastri bersiap," kata pak Marsudi sambil mengambil sebuah pisang lalu melangkah ke belakang.

"Tuh, bapak kamu mengijinkan, mengapa kamu melarang?"

"Dasar kamu yang pinter ngomng. Oke kalau begitu, aku juga harus ikut," kata Bayu sambil bangkit lalu meninggalkan Sapto cengar cengir kesenangan.

***

 "Bu..bu... mana Lastri?" teriak pak Marsudi sambil menuju kearah dapur.

"Ini pak, lagi mbantuin ibu didapur," kata bu Marsudi sambil menggiling bumbu. Dilihat oleh pak Marsudi Lastri sedang mencuci daging.

"Sudah selesai itu Tri?" tanya pak Marsudi kepada Lastri..

"Sudah pak, ibu suruh masukkan ke panci presto."

"Ya sudah, kamu pergi sana. Cuci tanganmu dan ganti baju yang bagus."

"Ada apa to pak?" tanya bu Marsudi sambil menumis bumbu.  

"Wah, ibu mau memasak rawon kan? Hm.. harumnya."

"Ini Lastri mau disuruh kemana to pak?"

"Ada temannya Bayu mau mengajak Lastri pergi. Biarkan saja, Lastri kan tidak harus terus-terusan bekerja. Biar dia senang. Lastri, kok masih berdiri disitu? Cepat ganti baju, ditungguin tuh."

"Tapi saya masih membantu ibu, biar saya disini saja."

"Tidak Lastri, jangan membantah, cepat ganti bajumu !!"

Lastri tertegun. Kata-kata pak Marsudi seperti sebuah perintah yang tak bisa dibantah. Matanya tajam menatap Lastri, membuat Lastri surut kebelakang, lalu menuruti apa kata pak Marsudi.

Sesungguhnya pak Marsudi kecewa, karena ketika Lastri keluar, dilihatnya Bayu juga sudah ganti pakaian, siap untuk berangkat bersama Sapto.Tapi tak ada alasan bagi pak Marsudi untuk melarang Bayu pergi.  Lastri yang enggan pergi,  agak lega melihat Bayu ikut.Tapi ia heran mengapa pak Marsudi memaksanya pergi.

***

 "Mengapa sih pak, bapak memaksa Lastri pergi. Dari beberapa hari yang lalu, nak Sapto itu mencari-cari Lastri terus. " kata bu Marsudi ketika mereka sudah berpamit untuk pergi. Pak Marsudi duduk dimeja dapur, menungguin isterinya memasak.

"Sebetulnya bapak itu khawatir bu."

"Khawatir apa  pak?"

"Menurut pengamatan bapak, Bayu itu kok sepertinya suka sama Lastri. Dan temannya Bayu itu sepertinya juga suka sama Lastri, lalu bapak dorong saja supaya nak Sapto sama Lastri bisa dekat dan siapa tau berjodoh. Tapi sebenarnya bapak kecewa kenapa tadi Bayu ikut-ikutan pergi. Mau bapak larang kok alasannya nggak ada."

"Ah, bapak ada-ada saja."

"Iya bu, benar itu. Orang suka itu kan kelihatan."

"Bapak jangan meng ada-ada."

"Ibu dikasih tau kok nggak percaya. Dengar, beberapa hari yang lalu, bapak bilang sama Bayu, supaya segera menikah. Umurnya sudah cukup, tapi dia menolak. Katanya mau cari sendiri kalau sudah sa'atnya nanti. Tadi bapak bilang mau mencarikan jodoh untuk Lastri, eh dia juga menolak keras. Bapak benar-benar khawatir."

"Dia menolak itu alasannya apa, kalau alasannya jelas ya nggak usah difikirkan, anak jaman sekarang memang nggak mau di jodoh-jodohin, biarkan saja."

"Nanti kalau sudah kejadian, ada hal-hal yang tidak kita inginkan, ibu jangan salahkan bapak lho ya."

"Sudah pak, bapak jangan memikirkan ulah anak-anak muda itu, mereka sudah dewasa, pasti sudah tau mana yang terbaik bagi diri mereka. Kalau Bayu ikut, ya syukurlah, biar dia bisa menjagga Lastri, ibu kok nggak percaya sama temannya Bayu itu."

"Kenapa nggak percaya" Dia itu ganteng, sudah mapan, Beruntung kalau dia suka sama Lastri."

"Bukan gantengnya atau mapannya, tapi nggak tau lah, ibu takut salah. Semoga yang terbaik saja untuk Lastri. Dia itu sejak kecil kan sudah kita anggap sebagai keluarga, jadi kalau dia mendapatkan kehidupan yang baik, kita harus mensyukurinya. Tapi ada baiknya kita ikut menjaga, seperti menjaga keluarga kita sendiri."

Bau rawon itu semakin menyengat, bu Marsudi hampir menyelesaikan masakannya. Ia sudah menggoreng perkedel, membuat sambal dan menyiapkan segela perlengkapan dimeja dapur. Pak Marsudi menopang kepalanya dengan kedua tangannya, seperti memikirkaan sebuah perso'alan yang berat. Dan bau rawon yang biasanya menjadi kesukaannya itu seakan tidak mengusiknya.

"Bapak mau makan disini atau dimeja makan, kita nggak usak menunggu mereka, pasti mereka sudah makan diluar."

"Disini saja lah bu, sudah terlanjur duduk," katanya tak bersemangat.

***

Setelah mengajaknya keliling kota, Sapto mengajaknya makan disebuah restoran. Wajah Bayu tampak kesal, sementara Lastri tak banyak bicara. Ia bersedia pergi karena pak Marsudi seperti 'memerintahnya'

"Sebenarnya kamu tuh maunya apa sih Sap? Jalan-jalan nggak jelas," gerutu Bayu setelah mereka duduk disebuah meja dirumah makan itu.

"Bayu, kamu itu kan sudah tau apa mauku. Masih tanya lagi," kata Sapto sambil melirik kearah Lastri.

"Aku sudah bilang 'tidak' !!"

"Itu kan kamu, bagaimana yang bersangkutan dong, Ayo mau pesan apa Lastri?"

"Terserah mas Bayu saja," jawab Lastri pelan.

"Tuh kan, dia itu selalu terserah aku. Semuanya," kata Bayu sambil tersenyum.

"Makan yang ringan-ringan saja mas, tadi ibu kan masak rawon," kata Lastri mengingatkan.

"Oh iya, aku lupa."

"Nanti sampai dirumah makan lagi, gitu saja kok repot," kata Sapto sambil memanggil pelayan. 

"Aku mau minum jus mangga. Kamu Yu?"

"Aku es kopyor, dua sama Lastri, ya kan?" jawab Bayu sambil menatap Lastri. Lastri mengangguk sambil tersenyum. Bayu sedikit berdebar melihat senyum itu. Alangkah manisnya 'adikku' itu, pikirnya.

"Baiklah, Mau makan apa? Aku mau steak ah.. sirloin steak.. "

"Aku sama Lastri gado-gado saja, supaya sampai dirumah nanti sudah lapar lagi dan bisa makan rawon bikinan ibu," kata Bayu menimpali.

Lagi-lagi Lastri mengangguk sambil tersenyum. Sapto agak kesal melihat senyuman Lastri yang ditujukan pada Bayu. Hm, aku yang nraktir, mengapa yang dikasih senyum Bayu? Pikirnya konyol. Tapi ia melihat senyuman Bayu yang dirasanya sedikit aneh. Apakah itu senyuman seorang kakak terhadap adiknya?

"Lastri mau ujian kapan sih?" tanya Sapto mencoba menarik hati Lastri, dan juga mencoba menarik senyuman Lasri.

"Masih Minggu depan mas," jawab Lastri. Tapi jawaban itu tanpa senyum. Sapto menghela nafas.

"Tadi ketika aku kesana Lastri lagi belajar ya?"

"Lagi masak, bantuin ibu," senyum itu belum nampak.

"Lhoh, kata Bayu lagi belajar," kata Sapto sambil memandangi Bayu. Bayu tersenyum.

"Belajar lah, belajar memasak sama ibu, ya kan Tri?"

Dan kali ini Lastri tersenyum. Tapi senyum itu ditujukan lagi pada Bayu.

Aduuh, susah ya orang jatuh cinta? Tapi ini kan baru sekali, Sapto berjanji akan lebih bisa menark hati Lastri pada kali yang lain.

Tiba-tiba...

"Lastri....?"

Sebenarnya itu bukan panggilan tapi sebuah ucapan terkejut, ketika melihat seseorang yang dikenalnya. Tapi karena Bayu, Sapto dan Lastri duduknya dimeja depan dan agak ketepi, bisa mendengar suara itu. Ketiganya menoleh kearah seorang laki-laki yang membawa kotak buah-buahan, tapi kemudian berhenti disamping rumah makan itu karena melihat Lastri.

"Mas Timan !!" pekik Lastri yang kemudian berdiri dan menghampirinya.

Bayu dan Sapto heran, melihat Lastri begitu perhatian pada laki-laki muda itu.

"Lagi ngapain mas?" sapa Lastri setelah dekat.

Sapto lebih dulu keluar dan mendekat.

"Biasa Tri, aku kan setiap siang mengirim buah-buahan pada beberapa rumah makan," jawab Timan.

"Oh, syukurlah laris mas."

"Lagi sama majikan kamu?" tanya Timan, dan itu mengejutkan Sapto yang sudah berada didekat mereka. Kata 'majikan' itu membuat Sapto bertanya-tanya.

***

besok lagi ya

13 comments:

  1. Bu Tien... baca sama nunggunya kok lama nunggunya? amg setiap hari keluar part lanjutannya....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya kan sambil kerja. Terkadang saya sangat capek. Mohon maklum ya?

      Delete
    2. Saya kan sambil kerja. Terkadang saya sangat capek. Mohon maklum ya?

      Delete
  2. Semangat terus bu tein.. Kalo bs ditmbh lg cerbungnya biar agak lama bacanya

    ReplyDelete
  3. Sehat2selalu ibu tien, kami setia menunggu kelanjutannya

    ReplyDelete
  4. Hmmm...baguslah mas Bayu ketemu Timan jd bs tahu ada satu pesaing lg yg musti diwaspadai
    Semoga mbak Tien senantiasa diparingi sehat wal afiat dan banyak idea utk mengemas cerbung ini menjadi cerita yg menarik dan berkesan..... Selamat menulis mbaak.... kami tunggu episode2 berikutnya 🤗😗😚

    ReplyDelete
  5. Bu Tien, agak keliru namanya ortunya Bayu...pak Marsudi jadi pak Broto...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih banyak koreksinya. Sudah saya betulkan. Salam hangat.

      Delete
    2. Terimakasih banyak koreksinya. Sudah saya betulkan. Salam hangat.

      Delete
    3. aduh ada ada aja. bapa. bapa. . . tetima kadih banyak embabTin

      Delete
  6. Terimakasih mba tien, selalu ditunggu lanjutannya, sy slalu setia membacanya. Smoga sehat slalu.semangat

    ReplyDelete
  7. Muhrim itu org yg berihram
    Mahrom yg harom dinikahi
    Bayu n lastri bukan mahrom bisa menikah

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...