Monday, November 25, 2019

DALAM BENING MATAMU 53

DALAM BENING MATAMU 53

(Tien Kumalasari)

Mirna ingin terus melangkah tapi Aji memegangi lengannya. 

"Mirna, ayo naiklah ke mobil, aku ingin bicara," kata Aji tanpa mau melepaskan pegangannya.

"Tolong lepaskan tanganku," pinta Mirna dengan wajah muram.

"Baiklah, maukan masuk ke mobil sebentar, ada yang ingin aku bicarakan, nggak enak bicara dipinggir jalan begini."

Mirna ragu-ragu. Ia tak segera meng iyakan.

"Tolong Mirna, kamu kan isteriku, masa kamu tak mau bicara sebentar saja, ini penting," pinta Aji, dan Mirna heran, Aji tampak memelas. Tak ada wajah muram apalagi garang ketika ia mengucapkan itu. Tiba-tiba Mirna ingin mempertemukan Aji dengan Dewi. Sepertinya Aji harus tau bahwa Mirna telah mengetahui kebohongann yang dia lakukan ketika meminangnya.

"Mirna..."

"Mas, ini aku sedang mau bekerja, baiklah kita bicara, tapi ayo ditempat kerja aku saja."

"Dimana ?"

"Nggak jauh dari sini, kita hampir sampai."

"Ayo naik mobil saja," kata Aji sambil menunjuk kearah mobilnya.

"Nggak usah, hanya sampai di perempatan itu lalu belok kekiri. Kalau mau ya ayo, kalau nggak mau ya sudah, pekerjaan ini penting bagiku." kata Mirna tandas.

"Baiklah.," akhirnya kaya Aji, yang kemudian mengikuti langkah Mirna.

"Aku minta ma'af, karena tidak sempat menghubungi kamu, sehingga tidak tau kamu pindah kemana," kata Aji sambil berjalan. Kata-kata yang tidak pada tematnya. Mana mungkin seorang suami tidak menanyakan dimana isterinya berada, bagaimana keadaannya. Tapi Mirna tak perduli. Baginya perhatian Aji itu tidak penting. Justru lebih baik terlepas dari tanggung jawab Aji sehingga dia bebas melakukan apa yang diingininya.

"Kamu sama bapak pindah dimana? Mengapa tidak mengabari aku juga?" tanyanya sok perhatian. 

Mirna tak menjawab, ia tau kata-kata itu hanya basa basi. Barangkli Aji membutuhkan sesuatu dari dirinya, entah apa, sehingga sikapnya tampak baik, tapi terasa... baiknya adalah baik yang di buat-buat.

"Masih jauhkah tempat kamu bekerja? Ini sudah sampai perempatan."

"Kekiri sedikit."

Dan kira=kira seratus meter dari perempatan itu, tampaklah sebuah halaman yang tidak begtu luas, ada roling door yaang masih tertutup. Memang hari masih pagi, belum sa'atnya toko dibuka.

Lalu Mirna melangkah memasuki sebuah halaman toko. Ia masuk melalui sampng, dan Aji menunggu diluar.

"Mas tunggu disini dulu, aku harus bilang kepada pemilik toko bahwa aku harus menemui tamu sebentar," kata Mirna sebelum masuk.

Aji mengangguk. Ada bangku panjang disamping toko, lalu dia duduk disitu. Sungguh dalam hati ia tak perduli Mirna bekerja dimana, ia butuh pertolongan dari Mirna. Tampaknya ia sedang dalam kesulitan.

Tiba-tiba terdengar pintu terbuka dibelakangnya, Aji menoleh, dan dilihatnya seseorang yang dikenalnya, manatapnya dengan penuh kemarahan.

"Dewi ?" bisiknya pelan.

"Rupanya kamu masih ingat namaku ?"

"Ka..kamu... disini ?" gagap Aji menghadapi perempuan yang ber tahun-tahun dilupakannya.

"Rupanya Tuhan menuntun orang-orang yang kamu tipu agar bersatu, kemudian bertemu kamu untuk menunjukkan semua kebusukan kamu Aji," hardik Dewi tajam.

"Ma'af Dewi, waktu itu aku benar-benar belum siap dan...."

"Dan apa... dan sibuk mempermainkan setiap perempuan, yang kamu tinggalkan setelah dia mengandung anak kamu."

"Benar, aku menyesal, dimana sekarang anakku?"

"Tidak, kamu tidak berhak mengetahui anak itu, anak yang kamu terlantarkan dan membiarkan aku membesarkannya sendiri."

"Dewi, aku minta ma'af.." kata Aji terbata.

"Lalu bagaimana dengan Mirna? Kamu mengaku bujang, kamu mengaku punya rumah mewah.. yang ternyata rumah kontrakan..lalu kamu biarkan dia dan bapaknya pergi tanpa kamu perduli.. "

"Dewi, aku minta ma'af.."

"Tidak, aku akan melaporkan kamu ke polisi karena penipuan yang kamu lakukan."

"Dewi, aku mohon..."

"Karena kebohongan yang kamu tebarkan..! Kamu mata keranjang yang tak bermartabat. Sok kaya padahal miskin. Kamu mengaku jadi pengusaha padahal pengangguran yang hanya bisa menghabiskan harta orang tua untuk ber foya-foya. Sekarang kamu tak punya apa-apa, mobilpun bukan milik kamu, iya kan? Aku mencari kamu ketika mendengar kamu mau menikah, aku ingin mempermalukan kamu didepan banyak orang, tapi  ternyata kamu menikah diam-diam, dan aku bertemu wanita yang kamu tipu habis-habisan itu, dan  mendengar semua kebusukan kamu. Kasihan dia, gadis baik-baik dengan bapaknya yang lugu."

"Dewi... mana Mirna?"

"Mirna tidak sudi keluar untuk kamu. Sekarang enyahlah dari sini atau aku akan memanggil polisi supaya menangkap kamu."

"Biarkan aku ketemu Mirna, sebentar saja."

"Tidak, Mirna sudah bilang tidak mau, jadi lebih baik kamu pergi. cepat sebelum aku berubah pikiran !!"

"Aku mau bicara sebentar sama Mirna."

"Tidak... tidak... dan tidak... !!

Kata Dewi setengah berteriak sambil menunjuk kearak jalan keluar halaman tokonya. 

Aji , seandainya ia  tidak sedang membutuhkan sesuatu, pasti lebih baik tidak menemui Mirna, apalagi Dewi. Tapi ia sedang membutuhkannya, sebuah pertolongan, sebuah alibi, karena ia sedang dalam urusan polisi. 

***

"Dia sudah pergi," kata Dewi sambil memberikan kunci roling door kepada pembantunya. Dia mengajak Mirna duduk disebuah kursi dibelakang toko itu.

"Biarkan saya membantu membereskan toko mbak," kata Mirna melihat kesibukan dua orang pembantu ketika membuka toko.

"Tidak, biarkan mereka melakukannya. "

"Nantu mbak katakan apa yang harus saya lakukan."

"Ya, jangan khawatir, sekarang minumlah tehmu, agar hatimu tenang. Aku sudah menyiapkannya dari tadi."

"Terimakasih mbak."

"Apa kamu mencintai dia?"

"Tidak sama sekali. Saya menikah karena bapak. Bapak mengira dia laki-laki yang baik, karena kata-katanya begitu manis. Bapak mengira hidup anaknya akan bahagia bersama dia."

"Setelah kamu mengandung, tetap tak ada cinta yang tumbuh dihati kamu?"

"Saya heran pada perasaan saya. Sama sekali saya tak pernah measa jatuh cinta. Kata bapak cinta bisa tumbuh dengan berjalannya waktu, tapi ternyata tidak. Saya minta ma'af, sungguh saya tidak mengerti kalau mas Aji masih berstatus suami mbak Dewi."

"Siapa perduli? Aku marah bukan karena aku merasa dikhianati, lak-laki seperti dia sangat tak berharga untuk dipertahankan. Aku sebenarnya hanya ingin mempermalukannya, lalu aku akan mengurus surat cerai. Ikatan pernikahan ini harus berakhir. Apa kamu ingin mempertahankannya?" 

"Saya sudah bilang sama bapak, setelah bayi ini lahir aku harus bercerai resmi dengan dia. Tapi dengan penipuan itu, apakah pernikahan saya ini sah?"

"Entahlah, mungkin sah menurut agama, tapi tidak menurut hukum. Nanti aku akan bertanya kepada yang lebih mengerti. Sekarang minum tehmu, lalu marilah kita bekerja."

"Terimakasih mbak."

"Tunggu, apa kamu sudah minum obat yang seharusnya kamu minum?"

"Sudah mbak," jawab Mirna lalu meneguk teh hangatnya. Dalam hati ia bersyukur bertemu Dewi yang ternyata sangat baik kepadanya.

***

 Hari menjelang sore ketika Mirna keluar dari toko Dewi. Ia menolak ketika Dewi ingin mengantarnya. Sungguh Mirna tak ingin selalu menjadi beban bagi Dewi. Apa yang diberikan Dewi padanya sudah membuatnya sangat bersyukur.

Jalanan yang panas sudah lebih berkurang karena matahari telah condong ke barat. Walau begitu Mirna tetap membawa payung untuk melindungu kepalanya.

Ada penjual gorengan dipinggir jalan, tampaknya masih hangat. Tampak ubi goreng, tahu atau apapun yang dijualnya, tampak bertumpuk dan menebarkan aroma gurih yang menggelitik. Pasti ayahnya akan suka.

Mirna berhenti, menutupkan payungnya lalu membeli beberapa macam gorengan. Hanya sepuluh ribu, tapi Mirna yakin tak akan habis dimakan berdua.

Tas kresek putih berisi gorengan itu masih terasa panas. Mirna menentengnya lalu melanjutkan perjalanannya. Payungnya tak perlu dimegarkan lagi, ia bahkan mempergunakannya sebagai penyangga tubuhnya ketika berjalan.

Ada sebuah pohon waru dipinggir jalan itu, dan ada bangku berjajar yang kosong, tampaknya ada warung penjual makanan disitu. Tapi tidak, bangku itu tidak kosong, ada seorang laki-laki duduk disana, menatapnya dan membuatnya cemas.

"Mirna," sapa laki-laki itu yang ternyata adalah Aji.

Mirna ingin terus melangkah, tapi kembali seperti pagi tadi, Aji menahan lengannya. Mirna menyesal tadi menolak ketika Dewi ingin mengantarnya.

"Ada apa mas? Sudahlah, lepaskan aku, aku sudah tau siapa diri mas Aji."

"Ma'af Mirna, nanti aku akan ceritakan hubungan pernikahanku dengan Dewi yang tidak serasi, karena..."

"Sudahlah mas..." potong Mirna.

"Mirna, aku mohon, ijinkan aku mengatakan sesuatu. Aku kan masih suami kamu, dan kamu pasti tak keberatan untuk menolong aku bukan?" pinta Aji yang kemudian mengajak Mirna duduk dibangku kosong disebelahnya.

Mirna menurut bukan karena ingin menurut, ia malu bersitegang dipinggir jalan karena beberapa orang lewat mulai memperhatikannya.

"Ada apa sebenarnya?"

"Mirna, tolonglah aku," pinta Aji sambil meremas jari tangan Mirna, tapi yang kemudian ditepiskannya.

"Jangan begitu, ini dijalan umum," kata Mirna sebel.

"Tapi kamu kan masih isteriku, apa salah aku memegang tanganmu?"

"Sudahlah mas, hentikan sandiwara ini. Segera katakan apa keinginan mas Aji, karena aku harus segera sampai dirumah.

"Nanti aku akan mengantar kamu, atau kita bicara didalam mobil saja?"

"Tidak, katakan sekarang disini apa yang ingin mas katakan."

"Aku sedang dalam kesulitan," katanya lalu berhenti sejenak."

Mirna terdiam dan berfikir tentang bentuk kesulitan itu. Apakah Aji kebahisan uang dan ingin meminjam darinya? Darimana Mirna punya uang banyak? Beberapa uang tabungannya sudah berkurang untuk makan dan semua kebutuhannya bersama ayahnya.

"Aku sedang berurusan dengan polisi."

Mirna terkejut. Polisi?

"Itu benar, polisi menuduh aku telah melakukan kejahatan," lanjut Aji.

Mirna masih diam, ia menunggu apa yang dikatakan Aji. Apakah Dewi melaporkannya pada polisi? Pasti tidak, dia hanya mengancamnya tadi dan Mirna juga mendengarnya

"Ada seorang perempuan meninggal didalam mobil, dan polisi menduga itu korban pembunuhan."

Mirna lebih terkejut sekarang. Ia ingat ketika membaca berita koran yang dibawa ayahnya. Bu Sukiman jatuh kesungai bersama mobilnya, dan luka parah, diperkirakan nyawanya tidak tertolong.

"Bu Sukiman?" celetuk Mirna pelan. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

"Kamu tau? Darimana kamu tau?"

"Aku membaca berita di koran."

"Ya, ada di koran berita itu, tapi polisi menuduh aku."

"Mas Aji kelihatan takut, mengapa takut kalau memang tak bersalah?"

"Kamu kan tau bagaimana polisi menekan orang yang dituduh melakukan kejahatan?"

"Lalu mengapa mas Aji mengatakannya padaku? Apa yang harus aku lakukan?"

"Aku hanya butuh alibi."

"Alibi , Apa maksudnya?"

"Mirna, nanti kalau polisi bertanya, katakan bahwa pada hari itu aku sedang bersama kamu."

Mirna terkejut. Ia langsung berdiri dan menjauh dari Aji.

"Tidak, mengapa mas Aji melibatkan aku? Tidak, aku tidak mau ... aku ingin hidupku tenteram."

"Mirna, aku kan suamimu? Kamu wajib menolong aku Mirna."

"Wajib? Apa mas juga tau apa kewajiban seorang suami? Aku tidak menyesal kalau mas tidak memperhatikan aku, tidak, bagi Mirna.. mas Aji itu tidak penting. Semua yang Mirna lakukan sudah cukup. Pengorbanan Mirna juga sudah lebih dari cukup. Sekarang menjauhlah dari aku."

"Mirna, kamu harus menuruti apa kataku... Kamu hanya harus mengatakan bahwa ketika kejadian, kamu sedang bersama aku, itu cukup." kata Aji dengan nada tinggi.

"Tidak mas, Mirna tidak mau terlibat."

"Tapi kalau kamu tidak mau menurut apa kataku,ayah kamu tidak akan selamat." kata yang terakhir in adalah sebuah ancaman. Mirna merasa lemas, dan terduduk dibangku itu kembali.

"Aaap..pa... yang mas lakukan?"

"Ayahmu ada dalam tanganku !!"

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


4 comments:

  1. Jangan satu satu dong membuat kita penasaran

    ReplyDelete
  2. Jgn kelamaan lanjutanny jgn terlalu sedikit

    ReplyDelete
  3. Hadddduhhh blom puas baca dah selesai lagi...... Makadoh ya, tak tunggu lanjutannya

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...