Tuesday, November 19, 2019

DALAM BENING MATAMU 49

DALAM BENING MATAMU  49


(Tien Kumalasari)

"Adhit ada di Medan. Barusan Raharjo menelpon," kata Galang pada isterinya sore hari sepulang kantor.

"Ya ampun, apa yang dilakukan anak itu disana? Bicara tentang Dinda ?"

"Pastinya ya. Raharjo bilang bahwa Adhit tak akan pulang kalau belum mendapat jawaban."

"Lalu mas bilang apa?"

"Aku suruh Raharjo datang ke Jakarta."

"Mas nggah nyuruh Adhit juga datang lagi kemari? Dia masih di Medan ?

"Aku nggak nanya. Kalau dia belum mau pulang itu berati masih di Medan atau dimana,"

"Mengapa mas nggak tanya?"

"Iya.. ma'af.. aku begitu kaget ketika dia menelpon dan bicara tentang Adhit. Sehingga aku hanya minta agar dia segera datang ke Jakarta untuk bicara."

"Kalau begitu telepone dia supaya datang bersama Adhit."

"Baiklah.."

Tapi ketika Galang menelpone Raharjo sore itu, dia mendapat jawaban mengecewakan.

"Ma'af mas, sebenarnya aku juga mau mengajak Adhit ke Jakarta."

"Adhit nggak mau?"

"Bukan.. Tadi Ayud menelpon, katanya ada urusan kantor yang harus segera diselesaikan dan itu penting."

"Jadi Adhit sudah  kembali ke Solo?"

"Ya mas, belum lama. Tapi dia wanti2 agar segera dikabari tentang hal yang akan kita bicarakan di Jakarta nanti."

"Yang ini kita bicara saja sendiri nanti Adhit biar aku atau ibunya yang bicara.

Tak urung Raharjo yang penuh penasaran ingin segera tau jawaban atas semuanya.

"Sayang aku baru bisa datang Minggu depan mas.. tak bisa meninggalkan pekerjaan karena ada pembicaraan dengan klient yang harus aku tangani sendiri. Dan Adhit juga bilang bahwa dia akan ke Solo hanya untuk urusan yang dikatakan Ayud. Setelahnya dia akan pergi lagi sampai dia dapatkan jawaban dari mas Galang."

Dan Galangpun harus bersabar sampai segala yang membuat keluarganya tertekan segera terurai.

***

Galang benar-benar hanya mengurusi pekerjaan yang hanya dia sendiri yang menanganinya. Setelah itu dia berpamit untuk pergi lagi.

"Kalau perlu aku akan membuat surat kuasa agar kamu bisa menyelesaikan semua urusan tanpa aku."katanya sebelum pergi.

"Sebenarnya ada apa sih mas? Mas lagi marah sama bapak sama ibu?" tanya Ayud yang berusaha menahan kakaknya tapi tak berhasil.

"Bukan lagi marah."

"Lalu ? Mengapa mas harus pergi?"

"Aku sudah bilang, tak akan kembali sebelum mendapatkan jawabannya."

"Mas, bukankah mas bisa menanti disini? Bukankah menurut kata mas.. om Raharjo akan membantu?"

"Bapak sama ibu tak akan bergeming kalau aku diam menunggu."

"Lalu .. mas akan pergi kemana?"

"Entahlah, jangan menghawatirkan mas. Mas bukan anak kecil lagi," jawab Adhit sambil memeluk adiknya. Tak urung berlinang air mata Ayud karena kepergian Adhit kali ini membawa hati yang penuh kecewa.

"Jaga baik-baik keponakanku," kata Adhit sambil mengelus perut adiknya yang mulai membuncit.

Terburai air mata Ayud, membasahi pundak Adhitama.

***

Pagi hari itu Mirna sedang duduk diteras depan bersama ayahnya. Seperti biasa Aji tak menemani mereka karena sudah 3 hari tidak pulang kerumah.

Pak Kadir yang mulai kecewa menyaksikan sikap Aji mencoba menghibur anaknya.

"Kamu harus bersabar nduk, yang penting semua kebutuhan kamu tercukupi. Bukankah nak Aji selalu memberi kamu uang belanja?"

"Sudah sebulan ini Mirna mengambil uang tabungan Mirna untuk mencukupi semua kebutuhan kita."

"Apa ?"kata pak Kadir sambil mengangkat kepalanya yang semula bersandar di kursi.

"Itu benar bapak, tapi bapak tak usah khawatir. Mirna sedang berusaha mencari pekerjaan lagi."

"Apa ?"mata pak Kadir terbelalak.

Semua yang didengarnya sungguh tak pernah dibayangkannya. Ini seperti mimpi buruk. Kebahagiaan anaknya yang selalu diharapkannya ternyata meleset dari angan-angannya. Air mata pak Kadir berlinang. Dipeluknya tubuh Mirna dan menangis tersedulah dia.

"Ma'afkan bapak nduk, ma'afkan bapak. Bapak silau oleh iming-iming gemerlap yang dipamerkannya. Iming-iming janji kasih sayang yang diucapkannya. Ma'afkan bapak ya nduk."

Mirna me nepuk-nepuk punggung bapaknya.

"Bapak jangan sedih. Tak perlu menyesali diri sampai menangis begini. Bukankah tidak semua impian bisa menjadi nyata? Mirna bukan sedih karena pilihan bapak. Mirna merasa bapak memilihkan sesuatu terbaik untuk Mirna, dan kalau semua menjadi salah.. tak perlu menyesalinya. Kegagalan ini akan kita pikul bersama. Ayo bangkit bapak, jangan menangis lagi. Mirna juga tak akan menangis. Lihat mata Mirna. Masih adaj semangat menyala disini," kata Mirna sambil tersenyum. Didorongnya tubuh ayahnya lalu diusapnya air matanya dengan jemarinya. Mata tua itu tampak sayu. Tak bisa dipercaya anaknya akan setegar itu.

"Ma'afkan bapak.. ," bisiknya pilu.

"Bapak tidak bersalah. Bapak ingin memberi Mirna kebahagiaan. Dan itu impian mulia seorang tua. Bahwa kemudian mimpi tak bisa menjadi nyata.. maka tak boleh ada sesal itu."

Pak Kadir memandangi wajah Mirna lekat-lekat. Sungguh tak percaya rasanya Mirna juga bisa mengucapkan semua itu. Rasanya ia seperti seorang kanak-kanak yang diberi petuah oleh orang tuanya. kembali air matanya berlinang.

"Lho.. bapak kok menangis lagi?"

"Sungguh menyesal bapak ini.."

"Sudahlah pak, sekarang ayo kita melakukan sesuatu. Mirna sudah mencoba melamar ke beberapa perusahaan... dan.. "

"Tidak nduk, kamu sedang hamil.Suasana perempuan hamil itu tak menentu. Kadang kamu merasa sehat. Tapi sering merasa lemas.. mual.. muntah.. Mana bisa kamu bekerja? Bapak akan menghibungi Sukir. Dia pasti bisa membantu. Jadi bapaklah yang akan bekerja."

"Bapak ? Tapi bapak seharusnya tidak bekerja," protes Mirna.

"Ahaa.. jangan menyepelekan bapakmu, lihat.. bapak masih perkasa..," kata pak Kadir sambil mengangkat kedua lengannya dan menampakkan ototnya yang masih tampak perkasa.

Mirna memeluk bapaknya.

"Jangan lagi ada tangis dan sesal diantara kita," bisik Mirna sambil tersenyum.

"Bapak akan menelpon Sukir sekarang," kata pak Kadir sambil meraih ponselnya.

"Nanti kalau anak Mirna sudah lahir, Mirna juga akan bekerja."

Tak ada yang bisa dilakukan Mirna kecuali menurut apa kata bapaknya. Memang kehamilannya terkadang membuatnya bingung. Mual dan muntah hampir tiap hari dirasakannya. Padahal kandungannya sudah memasuki usia ke 3 bulan. Memang sudah tidak sesering pada awal-awalnya, tapi terkadang rasa mual itu masih selalu menyiksanya.

***

Siang itu Mirna sedang berada di kamar. Sudah sejak pagi dia terbaring saja karena perutnya mual dan nggak doyan makan. Sementara itu pak Kadir sudah mulai bekerja sejak tiga hari yang lalu. Pak Kadir menyuruh Mirna nggak usah memasak. Untuk makan pagi dan siang pak Kadir sudah membelikan makanan di warung. Nanti sepulang kerja dia akan membawa lagi makanan untuk makan malam mereka. Tapi sejak sarapan yang hanya beberapa suap, Mirna belum lagi menyentuh makanannya. Obat anti muntahnya ternyata sudah habis. Mirna bermaksud memeriksakan lagi kandungannya sore nanti.

Tiba-tiba tanpa diduga Aji datang. Ia marah-marah melihat Mirna tiduran dan tak segera mengambilkan minum.

"Itulah perempuan. Kalau lagi hamil bawaannya malas-malasan,"omel Aji sambil berdiri didepan pintu kamar.

Mirna tak menjawab. Tapi ia berusaha bangkit. Lalu turun perlahan dari ranjang. Tubuhnya memang lemas. Dengan tertatih ia melangkah menuju pintu. Sedikit terhuyung sampai ia berhasil memegang daun pintu. Namun Aji justru meninggalkan kamar dengan wajah muram, lalu duduk sambilmenyelonjorkan kakinya di sofa panjang, seperti biasanya.

Mirna merambati pintu dan melangkah sambil berpegangan apa saja yang bisa dipegangnya. Menuju dapur dan menuangkan air putih kedalam  gelas. Lalu ia membawanya kedepan tapi begitu sampai didepan Aji, Mirna terhuyung dan air dalam gelas itu tumpah membasahi baju dan celana Aji.

"Apa kamu tidak memiliki mata?"hardiknya.

Aduhai.. begitu keras dan kasar kata-kata itu. Mirna menyandarkan tubuhnya sebentar pada sandaran sofa, tak menjawab sepatah katapun atas umpatan kasar suaminya. Dilihatnya Aji bangkit dan berjalan kearah kamar. Mungkin untuk mengganti baju dan celananya yang basah.

"Mana pak Kadir? Mana ayahmu?hardiknya lagi tak kurang kasar.

Mirna tak menjawab. Ia berjalan tertatih kebelakang. Rasa mualnya telah berganti rasa ingin muntah. Agak cepat langkahnya sambil berpegangan apa saja yang bisa dipegangnya. Dan beruntung muntahan itu tumpah ketika ia tiba di kamar mandi.

Lemas dan masih terhuyung ketika ia berjalan kearah kamarnya. Tapi dilihatnya Aji sudah tak ada disana. Deru mobil terdengar menjauh dari halaman.
Mirna menghela nafas panjang. Air tumpahan dari gelas yang tadi dihidangkan untuk suaminya masih bergelimang di lantai. Mirna belum ingin membersihkannya. Ia memungut gelas yang jatuh tergeletak disofa basah lalu mengisinya lagi dengan air setelah bisa mencapai dapur.
Setelah muntah perutnya terasa sedikit lega. Dibukanya tudung saji lalu ia menyendok beberapa suap nasi sisa pagi tadi.

***

Sore harinya Mirna sudah mandi dan berdandan. Ia menunggu ayahnya untuk diajaknya memeriksa kandungan.
Ketika itu dilihatnya mobil memasuki halaman. Tapi itu bukan mobil Aji. Ada tamu rupanya. Seorang wanita setengah baya turun dari mobil itu.
Mirna berdiri menyambut.

"Selamat sore.." sapa wanita itu.

"Selamat sore ibu,"jawab Mirna ramah

"Bisa ketemu mas Aji?"

Mirna tertegun.

"Dia ada kan?"

"Tidak ada bu, mas Aji sedang keluar,"jawab Mirna.


"Anda isterinya?"

Mirna mengangguk walau srbutan isteri membuatnya kurang nyaman.

"Boleh saya duduk? Saya ingin bicara."

"Oh, silahkan ibu."

Mirna mempersilahkan tamunya duduk dan sejuta pertanyaan membuatnya gelisah. Pandang wanita setengah tua itulah yang membuatnya rak enak.

***

besok lagi ya

5 comments:

  1. ceritanya bagus..enak dibaca..bahasanya ringan tdk jemu membacanya..ingin segera tau endingnya...trims..

    ReplyDelete
  2. Ditunggu kelanjutannya ......saya suka sekali....

    ReplyDelete
  3. Duuuh penasaran gimana perasaan Raharjo dan Adhit saat diberitau alasan ditolaknya utk nikahin Dinda..

    ReplyDelete
  4. Kelanjutannya mana jadi penasaran.

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...