Monday, November 18, 2019

DALAM BENING MATAMU 48

DALAM BENING MATAMU  48

(Tien Kumalasari)

Galang berdiri dan setengah berlari kearah kamar Adhit. Dilihatnya Putri berdiri  termangu didepan pintu, berlinang air matanya. Galang merangkulnya.

"Aku baru saja ingin mengatakan semuanya," isak Putri.

"Tenanglah, Adhit bukan anak kecil. Dia tak akan ke mana=mana."

"Coba mas telpone dia..."

Dalang mengambil ponselnya dan mencoba menelon Adhit, namun ternyata tidak aktif. Galang menuntun Putri, mengajaknya duduk disofa. Acara makan pagi menjadi tidak lagi nikmat. Mereka kehilangan nafsu makannya.

"Mungkin dia sudah kembali ke Solo, dan mungkin sekarang baru di pesawat. Sebentar lagi aku akan mencoba menelponnya lagi."

"Anak itu, ya ampuun.. kalau sudah punya kemauan, sulit dihentikan. Itu sudah sejak dia masih kecil dulu bukan mas?"

"Benar, dibalik hatinya yang lembut, penuh kasih sayang, dia selalu punya keinginan yang sulit dihentikan. Tapi dalam hal ini kita harus bisa memakluminya, kita melarangnya tanpa mengatakan alasannya kenapa. Pasti dia penasaran."

"Kita yang salah mas. Kita selalu ketakitan untuk membuka rahasia itu. Aku, lebih-lebih aku.. merasa malu membuka aibku.. ini akibatnya. Bukankah se pintar-pintar kita menyimpan bangkai akhirnya akan tercium juga bau busuknya?" kata Putri pilu.

"Putri, dalam hidup terkadang kita harus melalui liku-liku, banyak bunga kehidupan yang terkadang menyakitkan, kita sudah bisa menjalani selama berpuluh tahun, kamu dan aku tetap kuat menerimanya. Tapi Tuhan ingin agar semua terbuka, karena masalah darah daging adalah masalah yang tak bisa disembunyikan. Jangan ingkar kalau Adhit itu memang darah dagingnya Raharjo.Dan Raharjo juga harus tau masalah ini."

Putri mengusap sisa air matanya dan mengangguk perlahan.

"Ayo kita lanjutkan makan paginya, setelah itu aku akan mencoba menelponnya lagi."

Dan makan pagi itu dilalui dengan saling diam. Mereka berbicara dengan hati mereka masing-masing. Walah bibir mengatakan siap membuka rahasia itu, tapi hati tetap merasa ragu, juga pilu, dan pasti ada rasa malu.

Namun setelah selesai sarapan, bahkan beberapa jam kemudian, ponsel Adhit belum juga aktif. Ketika menelpon kerumah, bu Broto bu Broto malah bingung karena mengira Adhit masih di Jakarta.

"Memangnya ada apa? Apa kalian memarahinya?" tegur bu Broto.

"Enggak bu, cuma dia tadi pulang ter gesa-gesa. Mm.. maksudnya... nggak pamit dulu sama kita." kata Putri yang semula ingin menutupi kepulangan Adhit yang tiba-tiba.

"Ibu sudah menduga, pasti karena Dinda kan?"

"Malam tadi kami sudah sepakat mau membuka rahasia itu bu, supaya Adhit tidak penasaran berkepanjangan dan bisa memaklumi mengapa kita melarangnya, tapi pagi tadi tiba-tiba dia pergi tanpa -pamit." kata Putri yang akhirnya harus berterus terang perihal kepergian Adhit.

"Sudah menelpon dia?"

"Ber kali-kali bu, tapi rupanya dia mematikan ponselnya. Kami mengira dia sudah sampai dirumah."

"Belum tuh, tapi ya sudah nggak apa-apa, ibu tungguin saja, nanti ibu suruh dia kembali ke Jakarta kalau kalian mau mengatakan hal yang sebenarnya. Ibu nggak mau mengatakannya, harus kalian sendiri."

"Baiklah bu, kabari Putri kalau Adhit sudah sampai dirumah."

***

Siang itu Dinda muncul dikantor, tapi langsung menemui Ayud karena tak melihat Adhit di ruangannya. Kata sekretaris barunya, Adhit nggak datang hari itu.

"mBak Ayus, memangnya mas Adhit kemana?"

"Nggak tau, sejak dua hari lalu menghilang," jawab Ayud sekenanya.

"Lhah, kok bisa menghilang?"

"Dia ke Jakarta, ada apa sih, kangen ya?"

"Iya kangen... ," kata Dinda sambil tertawa. Heran, kalau deket sebel, kalau jauh kangen aku sama dia."

"Hm, itu namanya cinta," goda Ayud.

"Enak aja, ogah aku jatuh cinta sama orang tua."

"Enak aja, kakakku biar tua tapi ganteng lho."

"Iya, percaya, idiih deh, nggak kakaknya nggak adiknya kalau ketemu topiknya itu-itu aja."

"Topik apaan sh?"

"Itu, tentang cinta, Dinda sih belum ingin jatuh cinta, kata ibu harus sekolah dulu, ya kan?"

"Anak pinter. Oh ya, ada apa kau kemari, cuma ingin ketemu mas Adhit?"

"Nggak mbak, tadi cuma nengok aja keruangannya, tapi kata sekretarisnya dia nggak ada. Aku langsung kemari deh."

"Oh, aku tau.. bapak mengirimi kamu uang, tapi ada di rekening mas Raka. Kamu butuh sekarang?"

"Iya sih, aku telpone mas Raka dulu deh, biar diambilin uangnya."

"Nggak usah, nanti mbak yang bilang, biar mbak kasih dulu sekarang."

"Nggak enak ah, nanti aku dimarahin mas Raka."

"Lho mas Raka itu kan suami aku, apa menurut kamu beda antara mbak Ayud sama mas Raka?"

"Nggak sih, tapi terkadang mas Raka suka ngomel kalau so'al uang."

"Nggak apa-apa,  ini.. mbak kasih dulu, nanti kalau kurang karu bilang sama mas Raka," kata Ayud sambil memberikan sejumlah uang.

"Terimakasih mbak, nanti aku bilang sama mas Raka kalau sudah dikasih mbak Ayud."

"Ya, bilang aja."

Tiba-tiba ponsel Ayud berdering. Ternyata dari Adhit.

"Hallo mas, lagi dimana? Iya aku tau, sudah beres semuanya... apa? Belum mau pulang? Enak aja semua urusan Ayud yang harus urus. Ada apa sih? Mas masih di Jakarta? Lama bener, sampai kapan? Waduuh.. jangan galak-galak dong, ada Dinda disini tuh.. iya.. tuh .. mau ngomong? Nggak? Tumben, nggak kangen sama Dinda? Dinda aja kangen tuh, bener, barusan dia bilang.Oh ya, baiklah, ya nantiAyud bilang sama eyang. Yaaa... salam buat Dinda? Salam apa dong.. Oke mas" Dan Ayud meletakkan ponselnya sambil masih ter tawa-tawa.

"Ada apa sih? Lucu ya?" 

"Itu mas Adhit, kangen sama kamu, tapi cuma nitip salam aja."

"Masih di Jakarta?"

"Tau tuh, ada uusan apa .. nggak bilang apa-apa, minta dilamarin barangkali."

"Oh, mau nglamar? Siapa dong, besok kalau mas Adhit nikah aku mau jadi patahnya."

Ayud tertawa keras.

"Kalau patah segede kamu, bisa-bisa dikira pengantin perempuannya kamu."

"Sama siapa sih, putri Solo? Kok nggak pernah dikenalin ya aku."

"Kamu itu, mbak Ayud cuma bercanda, nggak tau tuh ada urusan apa di Jakarta, ini semua pekerjaan jadi mbak Ayud yang ngurusin."

"Ya udah, Dinda mau pulang sekarang, nanti mbak Ayud terganggu."

"Ayo .. mbak Ayud antar aja sekarang, sekalian makan siang."

"Waah, enak dong.. nanti sekalian diantar ke kampus kan,  Dinda mau langusng ke kampus."

"Oke, tunggu sebentar ya."

***

Tapi Putri bingung ketika Ayud menelpon dan mengatakan bahwa Adhit masih ada di Jakarta. 

"Jakarta nya dimana?"

"Memangnya nggak dirumah bu?"

"Enggak, cuma semalam dirumah lalu dia pergi lagi."

"O, lagi bingung mas Adhit tuh."

"Iya bingung."

"So'al apa bu?"

"Ah, so'al yang kemarin-kemarin itu juga," jawab Putri seakan mengeluh.

"So'al Dinda?"

"Iya, sedih ibu nduk."

"Memangnya kenapa bapak sama ibu melarang mas Adhit menyukai Dinda?"

"Nanti bapak sama ibu mau mengatakannya, tapi mas mu keburu pergi. Ditelpone juga nggak diangkat, atau dimatikan sekalian ponselnya. Tampaknya dia marah sama bapak ibumu."

"Padahal Dinda sendiri seperti nggak ngerasain perasaan seperti perasaan mas Adhit lho."

"Kamu yakin?"

"Yakin lah bu, dia itu sama mas Adhit cuma bersikap seperti seorangg adik terhadap kakaknya. Tapi kayaknya ms Adhit berharap suatu hari Dinda pasti akan mencintai dia."

"Itu yang benar."

"Yang benar bagaimana bu?"

"Mm... maksud itu, menyukai sebagai seorang kakak, itu lebih bagus," kata Putri buru=buru, karena ia belum ingin membuka rahasia itu sekarang.

"Bingung ya bu.."

"Oh ya, bagaimana kehamilan kamu nduk?"

"Baik bu, Ayud sehat, dan nggak ngerasain ngidam. Apa saja Ayud makan. Besok anaknya Ayud rakus 'kali ya?" kata Ayud sambil tertawa.

"Syukurlah nduk, itu bagus, memang orang ngidam itu yang dirasakannya ber macam-macam, ada yang terus muntah-muntah, ada yang banyak keinginannya, ada yang tidak bersasakan apa-apa seperti kamu ini. Tapi kamu harus hatu-hati menjaga kehamilan kamu ya? Meski tidak merasakan apapun, tapi jaga terus, jangan kecapaian, jangan mengangkat yang berat-berat."

"Iya bu, Ayud tau.Do'akan Ayud ya bu.."

"Pasti lah nduk, ibu dan bapak akan selalu berdo'a yang baik-baik untuk anak-anaknya.

"Nanti ibu kabari kalau masmu kembali lagi kerumah."

"Baiklah ibu."

***

Tapi Raharjo  terkejut ketika tiba-tiba Adhit muncul lagi dihadapannya. Kali itu ia datang ke kantornya.

"Adhit, kamu jadi mau buka cabang di kota ini?" tanya Raharjo.

"Belum tau om, baru meng hitung-hitung untung ruginya, dan kemungkinan menjalankannya."

"Ya, harus begitu, jangan asaln memiliki perusahaan banyak tapi tidak bisa cara mngelolanya dengan baik."

"Sebetulnya ada hal lain yang ingin Adhit sampaikan," kata Adhit sedikit ragu-ragu.

"Oh ya, ada apa nih? 

"Adhit dari Jakarta kemarin om."

"Oh ya, kamu membawa pesan dari bapak?"

"Nggak juga..."

Raharjo sedikit bingung. Dipandanginya Adhit lekat-lekat, dan ia menemukan kesedihan disana.

"Ada apa sebenarnya ?"

 "Ini so'al perasaan saya."

"Haaa... perasaan? Coba jelaskan Dhit, om jadi bingung.."

"Adhit menyukai Dinda om." 

Raharjo terkejut. Sedikit banyak ada terbersit keinginan untuk bermenantukan Adhit, tapi Raharjo merasa sepertinya Galang tidak suka. Apakah Adhit juga tau tentang penolakan ayahnya?

"Lalu... bagaimana? Dinda kan masih sekolah?" hanya alasan itu yang Raharjo bisa jawab. Tapi itu kan bukan penolakan keras?

"Bapak sama ibu menolak keras, Adhit ingin tau tau alasannya," kata Adhit pelas.

"Iya.. iya, om tau dan merasakannya."

"Apa om tau alasannya? Hanya itu yang Adhit ingin tau."

"NGgak, om nggak tau alasannya, tapi bahwa ayah kamu menolak, om sudah tau."

Adhit diam, tak seorangpun bisa memberi jawaban. Itu membuatnya semakin kacau. Ia tak ingin cintanya kandas tanpa tau penyebabnya. Cinta yang dipendamnya serasa semakin besar dirasakannya, dan semakin ia ingin mengejarnya. Sampai dapat.

"Apakah om juga akan menolaknya seandainya pada suatu hari nanti Adhit melamarnya?"

Entah darimana datangnya semua keberanian itu, Adhit sendiri tak tau. Mungkin rasa penasaran yang terus menghantuinya membuat Adhit lupa akan rasa malu dan sungkan terhadap Raharjo yang sejak lama dianggapnya sebagai keluarga dekat sejak dirinya masih kanak-kanak.

"Tidak, om suka itu, tapi bagaimana lagi kalau orang tuamu menolaknya?"

"Maukah om menolong Adhit?"

"Apa yang harus om lakukan?"

"Tolong tanyakan pada bapak sama ibu, mengapa mereka menolak. Adhit tak akan pulang ke Solo atau[un ke Jakarta kalau belum mendapat jawaban.

Raharjo terkejut. Ini sebuah kenekatan .. dan tiba-tiba dirinya juga merasa penasaran.

Tapi ketika dia menelpon Galang, jawabannya adalah bahwa dia harus datang ke Jakarta.

***

besok lagi ya

 

3 comments:

  1. Duh mbak.. Pimter banget bikin penadaran....ditunggu selalu kelanjutannya....jangan lama lama pleadw mbak....seruuuu penasaran tingkat dewa...

    ReplyDelete
  2. Ibu episode 57 belum dikirim ya? Saya sdg nungguin, tolong kirim ya...kl bisa 2 episode.makasih

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...