Monday, November 18, 2019

DALAM BENING MATAMU 47

DALAM BENING MATAMU  47

(Tien Kumalasari)

Adhit memacu mobilnya, tapi jalanan sedang ramai. Mobil Aji sudah tak kelihatan buntutnya. Adhit mengumpat tak habis-habisnya.

"Setan alas, sudah gatal tanganku ingin menghajarnya lagi," umpatnya penuh geram.

"Ih.. mas Adhit kalau marah menakutkan deh," kata Dinda sambil memandangi wajah Adhit yang  tampak gusar.

"Diapakan kamu tadi?"

"Dia tiba-tiba sudah ada didekat aku, aku diamkan lalu aku tinggalkan dia, tapi dia memegang tanganku."

"Kurangajar !!"

"Aku berteriak sampai orang yang ada disana memandangi kami, baru dia melepaskan tanganku."

"Kok ada ya orang segila itu."

"Yang lebih mengesalkan, ada orang berbisik-bisik, mengira kami sepasang kekasih yang lagi bertengkar."

"Benar-benar harus dihajar orang itu."

Kesal mencari tak ketemu, akhirnya Adhit mengajak Dinda makan disebuah restoran.
Kekesalan hati Adhit terobati ketika dipandanginya wajah cantik yang sedangmakan dengan lahapnya.

"Kamu lapar sekali ya?" Tanya Adhit sambil tersenyum.

"Iya.. aku belum sarapan tadi," jawab Dinda sambil mengusap bibirnya yang berlepotan terkena minyak dari ayam goreng yang digigitnya.

"Kasihaaan... anak kost.. ," goda Adhit, membuat Dinda cemberut.

"Biarin...," kata Dinda sambil menyendok suapan terakhirnya, lalu diteguknya sisa minumnya.

"Nggak mau nambah ?"

"Iih.. memangnya perutku nih karet ? Bisa diisi sesukanya."

"Sama buat ntar sore barangkali;"

"O.. iya.. kalau begitu bungkysin dong," kata Dinda sambil meleletkan lidahnya.

"Oke, pesan aja sendiri apa yang kamu suka,"

Dan bahagianya Adhit ketika tanpa dinyana bertemu Dinda yang selalu dirindukannya.

"Mengapa tiba-tiba ketika dikejar si brengsek itu kemudian larinya ke kantor mas Adhit? Pasti kamu kangen kan?"

"Aku bingung mau kemana, dan terdekat dari toko buku itu kan kantornya mas Adhit."

"Dan beruntung waktu itu mas Adhitmu ini belum keluar dari kantor. Dan menurut mas Adhit kita ini sebenarnya memang jodoh," kata Adhit memancing.

"Iya jodoh.."

Adhit berdebar mendengar jawaban Dinda. Apakah itu berarti dia mulai menyukaiku? Pikir Adhit.

"Kamu suka?"lanjut Adhit memancing.

"Suka apa," jawaban Dinda bingung.

"Tentang jodoh itu."

"Jodoh itu apa?"

Dan Adhit terperangah. Rupanya Dinda tak mengerti kemana arah kata-kataya.

"Dasar bodoh," celetuknya kesal.

Dinda menatap wajah Adhit. Mencoba mengurai arah kata Adhit.

"Lho mas Adhit kok cemberut gitu. Memangnya aku salah apa?"

"Nggak, kamu nggak salah. Kamu cuma bodoh," gerutu Adhit.

Dinda tak menjawab. Dipandanginya wajah Adhit. Benar-benar pandangan polos, seperti anak kecil yang belum memahami sebuah kata.

"Dinda..., bisik Adhit lembut. Pandangannya tajam kearah wajah Dinda. Pandangan penuh cinta kasih. Tapi yang membuat Dinda bingung.

"Mas kok memandangi Dinda begitu, Dinda takut, tau."katanya tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah Adhit.

"Kamu suka nggak sih sama mas Adhit?"

"Suka dong, apalagi setelah mas Raka menikah, mas Adhit tampak sangat menyayangi Dinda."

Lalu jiwa Adhit bagai terhempas disebuah bebatuan setelah terbang melayang dilangit tempat dewa2 bermukim. Aduhai. Begitu polosnya gadisku ini. Begitu lugu dan menganggap ungkapan perasaanku sebagai lelucon. Bisik batin Adhit.
Ia lepaskan tatapan mata polos itu lalu diteguknya habis sisa minuman yang tinggal setengahnya.

"Mas Adhit marah ?" tanya Dinda, lagi-lagi dengan pandangan polos. Sepasang mata bening itu benar-benar bening. Bagai telaga.tak berombak. Indah memukau. Adhit menelan ludah dan memalingkan wajah. Aduhai mata indah yang bodoh. Bisiknya lirih.

"Mas Adhit bilang apa?"sepasang mata bening itu ber kejap -kejap. Adhit gemas.. tapi tak berdaya. Baiklah, akan aku jaga cinta ini sampai kamu mengerti. Aku yakin kamu tak akan menolakku. Bisik batinnya lagi.

***

Siang itu Mirna sedang membersihkan dapur setelah memasak, ketika tiba-tiba Aji masuk kedalam. Mirna segera menyambutnya dengan mencium tangan suaminya seperti biasa dilakukannya setelah menjadi seorang isteri.

"Aku buatkan minum dulu," katanya sambil mengambil gelas dan siap menuangkan jus jeruk kedalamnya.
Aji tak menjawab. Ia hanya mengangguk lalu membalikkan tubuhnya, kemudian duduk diruang tengah. Ia bahkan tak menyalami mertuanya ketika dilihatnya pak Kadir baru masuk kerumah setelah membersihkan kebun.

"Lho, jam segini nak Aji sudah pulang?"

"Ya pak, nggak ada pekerjaan penting."

"Oh, Mirna sudah memasak tadi, apa dia sudah tau? " lanjut pak Kadir sambil terus berjalan kebelakang untuk membersihkan kaki tangannya.

"Sudah pak, sudah tau," kata Aji tanpa menoleh. Diselonjorkannya kakinya disofa dengan santai.
Ketika Mirna datang membawa segelas minuman, Aji mengambilnya dan segera meeguknya habis. Tampaknya ia kehausan.

"Mirna.. ," panggilnya ketika dilihatnya Mirna membalikkan tubuhnya. Mirna berhenti.

"Aku mau minum obat dulu mas, perutku mual, itu harus diminum sebelum makan."

"Aku hanya ingin bicara sebentar. Kebangetan ya perempuan kalau lagi hamil. Sungguh merepotkan," keluh Aji. Tapi ia membiarkan Mirna terus berjalan kebelakang.
Sakit hati Mirna mendengar perkataan Aji. Tapi ia mendiamkannya. Pak Kadir yang juga mendengar perkataan itu ketika mau keluar menemui menantunya, urung melangkah. Ia membalikkan tubuhnya dan masuk kekamarnya. Barangkali sakit hati yang dirasakannya sama dengan yang Mirna rasakan. Perasaan sesal sedikit demi sedikit mulai merayapi hatinya.

"Mirna..," panggil Aji setengah berteriak.

Mirna baru saja memasukkan tablet anti muntahnya, lalu diteguknya air yang sudah disiapkannya.

"Mirnaa," panggil Aji lebih keras.

Mirna meletakkan gelasnya lalu berjalan menemui suaminya.

"Duduklah, aku i ngin bicara."

Mirna duduk di hadapan suaminya. Menunggu apa yang akan di katakannya. Sedikitpun ia tak berharap suaminya akan bertanya tentang keadaannya setelah dari dokter dua hari yang lalu. Dan memang Aji tak menanyakannya, juga tak tampak kebahagiaan diwajahnya ketika mengetahui Mirna sedang mengandung anaknya.

"Aku ingat ketika bertemu kamu pada suatu hari.. disebuah toko bunga ..." Aji berhenti sebentar .. Mirna masih menunggu.

"Kalau tidak salah waktu itu kamu sedang bersama temanmu."

Mirna meng ingat-ingat. Kalau itu menjelang pernikahan bu Ayud.. dia bersama Dinda, apa maksudnya, pikir Mirna.

"Siapa dia? Oranga kecil tinggi semampai,  rambut sebahu, wajahnya ayu..."

Kalau isteri lain merasa cemburu ketika sang suami me muji-muji perempuan lain, tapi tidak dengan Mirna. Tak sedikitpun ada cemburu dihatinya. Benar kan, cemburu pertanda cinta.. lhah kalau nggak cemburu? Memang Mirna mengakui bahwa cinta itu belum tumbuh dihatinya. Tak ada semi karena tak ada pupuk yang membuatnya subur.

"Kamu mendengar perkataanku?"tanya Aji ketika dilihatnya Mirna terdiam.

"Apa kamu cemburu?"lanjutnya.

Mirna buru-buru menggelengkan kepalanya. Cemburu? Tidaak.. kamu bukan hanya boleh memuji setiap perempuan cantik, kamu memacaripun aku tak perduli. Kata batin Mirna.

"Siapa sebenarnya gadis itu?"

"Namanya Dinda," jawab Mirna singkat.

"Dia bekerja ditempat kerja kamu dulu?"

"Nggak..."

"Tapi aku melihatnya memasuki halaman kantor itu."

"Itu kerabat bekas atasanku."

"Oh, kerabat?"

"Kalau nggak salah dia itu pacarnya bekas atasanku."

Aji terkejut setengah mati.

"Pacarnya? Mati aku," cetus Aji.

***

Setelah pertemuan terakhir dengan Dinda, hati Adhit semakin tak bisa melupakannya.
Hari itu ia nekat terbang ke Jakarta untuk menemui kedua orang tuanya. Ia harus meyakinkan mereka bahws ia benar-benar cinta dan ingin.menikahinya.

Galang dan isterinya terkejut ketika tanpa kabar tiba-tiba Galang.muncul dihadapan mereka.

"Ada yang penting, atau kangen sama bapak ibumu?"tanya Galang setelah berbincang tentang usaha dan juga keadaan keluarga Solo.

"Kangen bapak sama ibu.. iya, tapi Adhit masih akan melanjutkan pembicaraan yang dulu pernah Adhit utarakan."

"Tentang apa itu?"

"Tentang Dinda."

Galang dan Putri terkejut.Tak mengira Adhit akan senekat itu.

"Kamu itu sudah lupa pada yang pernah bapak katakan ya?"kata Galang tajam. Putri diam dan berdebar.

"Bapak, Galang benar-benar cinta. Katakan alasannya kalau memang tak diijinkan,"

"Kamu tidak perlu alasan apapun. Kalau orang tua melarang pasti ada alasannya."kata Galang tandas.

"Tapi apa aladannya, bapak. Apa dia buruk, apa dia penyakitan, apa dia punya umur yang tidak akan panjang?"

"Tidak semuanya. Pada suatu hari nanti kamu akan mengerti."

"Pada suatu hari? Mengapa tidak sekarang bapak, Adhit mohon.."

Tapi sampai kemudian Putri menyuruhnya istirahat, Adhit belum juga mendapatkan jawabannya.

Dikamarnya, Putri dan Galang berbincang.

"Menurut aku, kita bisa mengarang kebohongan.." kata Galang dengan mata menerawang.

"Kebohongan bagaimana mas?"

"Bagaimana kalau kita katakan bahwa..."

"Tidak mas, aku lelah menyimpan rahasia ini dan akan menutupinya dengan kebohongan," kata Putri sambil berlinang air mata. Galang merengkuh tubuh isterinya dan mengelus kepalanya lembut. Sungguh ia tak ingin batin Putri terluka. tapi bukankah luka itu masih ada?

"Apa maksudmu Putri?"

"Sudahlah mas, katakan saja, buka saja rahasia ini. mungkin dengan begitu batin kita akan merasa lebih tenteram."

Galang termenung. apa yang dikatakan isterinya memang benar. Rahasia itu menyiksa perasaannya seumur hidup. apalagi dengan kerewelan Adhit yang tak henti-hentinya.

"Apa kamu sudah siap? kamu ber sungguh-sungguh ?" tanya Galang masih sambil mengelus kepala isterinya.
Putri mengangguk.

***

Pagi itu Putri sudah menyiapkan makan pagi. Galang sudah duduk dimeja makan. Putri menunggu Adhit yang tak segera keluar.

"Coba kamu lihat kekamarnya, mungkin dia masih tertidur."

Putri menuju kamar Adhit dan mengetuk pintunya.

"Adhit, kamu masih tidur?"

Dan karena tak ada.jawaban maka Putri membuka pintu kamarnya yang ternyata tidak terkunci.
Namun Putri tertegun. Adhit tak ada dikamarnya. Ranjang itu sudah rapi tapi kopor Adhit yang semula terletak didepan almari juga tidak ada.
Adhit pergi diam-diam.

"Maaas... Adhit sudah pergi maas," teriak Putri.

***

besok lagi ya

4 comments:

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 02

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  01 (Tien Kumalasari)   Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...