Wednesday, November 27, 2019

DALAM BENING MATAMU 54

DALAM BENING MATAMU 54

(Tien Kumalasari)

 

Mirna merasa lemas. Kepalanya pusing tiba-tiba. Sama sekali ia tak menduga Aji akan berbuat sejauh itu. Apa benar bukan Aji pembunuhnya? Ia mencari alibi, berarti dia terlibat, atau dia memang melakukannya. Ingat akan keselamatan ayahnya, tiba-tiba timbul kekuatan pada diri Mirna. Ia bangkit berdiri dan bergegas berjalan kearah rumah. Sebungkus gorengan yang masuh hangat tertinggal di bangku tempat dia duduk, tak diperhatikannya. Aji mengikutinya dari belakang.

"Mirna, Mirna.. jangan khawatir, aku tak akan mencelakai ayahmu, tapi turutilah kata-kataku. Tolong Mirna," katanya sambil terus berjalan, dan Mirnapun tak menjawab, ia terus saja melangkah.

Ketika tiba dirumah kontrakannya, dilihatnya pintu terbuka, setengah berlari Mirna masuk kedalam.

"Bapak... bapak..," panggilnya sambil memasuki semua ruang yang ada dirumah itu, tapi tak ditemukannya orang yang dicarinya.

"Bapaaaak...," Mirna berteriak semakin keras. Kali ini sambil menangis.

"Mirna, bapak ada bersama aku," kata Aji sambil menarik tangan Mirna dan mengajaknya duduk.

"Jangan menangis, bapak baik-baik saja."

"Kembalikan bapak.. kembalikan, jangan libatkan dia kedalam perso'alan kamu mas," isak Mirna.

"Tidak, aku tidak melibatkan bapak, dia baik-baik saja, sungguh."

"Apa yang kamu inginkan mas.."

"Aku hanya ingin kamu membantu aku."

"Aku harus bagaimana?"

"Katakan pada polisi bahwa hari ketika bu Sukiman kecelakaan, aku sedang bersama kamu, ber jalan-jalan, atau belanja disebuah toko. Oh tidak, jangan belanja, aku harus punya bukti belanjaan itu. Katakan sedang ber-jalan-jalan saja."

"Jadi kamu memang membunuhnya?"

"Tidak, aku hanya dituduh, karena keluarganya mengatakan bahwa sore itu dia sedang pergi kerumah itu untuk menagih uang kontrakan."

"Kalau kamu tidak melakukannya, mengapa kamu harus memiliki alibi yang ternyata bohong? Dan melibatkan aku, melibatkan bapak.." kata Mirna setengah berteriak.

"Mirna, apapun yang dituduhkan polisi aku harus memiliki alasan kuat. Aku sudah mengatakan tak tau apa-apa, tapi mereka tak percaya. Lalu aku mengatakan bahwa waktu itu aku sedang bersama kamu."

"Penjahat!! Pembohong! Penipu kamu mas! Mimpi apa aku bisa bertemu manusia seperti kamu!!"

"Mirna, sudahlah, kamu tinggal menjawab bersedia atau tidak, lalu biarkan aku melakukan apa yang ingin aku lakukan."

"Kamu juga akan dihukum karena menyandera bapak !!"

"Apa itu masalah buat aku? Kalau aku sudah dihukum dengan tuduhan membunuh, maka tuduhan menyiksa bapak, atau bahkan membunuh bapak sekalipun, apa bedanya?"

Mirna terus menangis. Dadanya terasa sesak, perutnya juga terasa mulas.

"Kamu tau, aku hanya diberi waktu sehari untuk mencari kamu, dan besok aku sudah harus kembali ke kantor polisi dengan membawa kamu. Aku bisa keluar karena alasanku tepat, dan salah seorang saudara ayahku yang menjamin aku tak akan melarikan diri. Tapi besok aku harus kembali. Tolong Mirna."

"Bawalah bapak kembali kerumah ini."

"Pasti Mirna, tapi tidak sekarang. Besok sepulang dari kantor polisi kita akan menjemput bapak dan membawanya pulang."

Mirna tak menjawab, kepalanya terasa sangat pusing, tubuhnya gemetar, kemudian semuanya menjadi gelap. Mirna jatuh pingsan.

***

"Lho, ini Dinda kesini mau main, kok kalian mau pergi?" keluh Dinda dirumah Raka sore itu.

"Lain kali kalau mau kesini telepone dulu, supaya kamu tau kami ada ata nggak. Untung kami belum berangkat, kalau sudah, kamu nggak akan bisa ketemu siapa-siapa kan?" jawab Ayud sambil tersenyum.

"Aku libur seminggu ini, penginnya nginep disini."

"Boleh saja, tapi kami mau ke dokter dulu, kamu tunggu dirumah ya."

"Ogah, ak sendirian? Kalau begitu aku ikut saja."

"Ke dokter, mbak Ayud mau periksa kandungannya, kamu nggak papa ikut ngantri disana?" tanya Raka.

"Nggak apa-apa, daripada sendirian disini, kalau aku diculik hantu bagaimana?"

"Nggak mungkin, sesama hantu mana bisa saling menculik?" goda Raka.

"Eeh... apa? Jadi mas Raka ngatain aku hantu? Huuh.. jahat banget sih. Kalau aku hantu kan mas Raka juga hantu? Mana ada hantu punya kakak manusia." kata Dinda cemberut.

Lalu Raka dan Ayud tertawa renyah.

"Jadi kangen mas Adhit deh, kemana sih dia, lama banget perginya," kata Dinda yang tiba-tiba teringat Adhit.

"Oo.. kangen ya...?" goda Ayud.

"Iya lah, lama nggak diledekin mas Adhit. Kenapa sih orang-orang pada suka ngeledekin Dinda?"

"Karena kamu tuh nggemesin..."

"Sudah.. sudah, ayo kita berangkat sekarang. Tadi belum ngambil nomor antrian, pasti dapat belakangan." kata Raka yang kemudian berdiri.

"Ayuk, itu tas kamu bawa masuk kekamar dulu, nanti aja ngeberesinnya, Dinda."

"Iya.. kamarku yang biasanya itu kan?"

***

Dan benar juga, karena mengambil nomor antrian belakangan, maka Raka dan Ayud harus sabar karena pasien lumayan banyak.

"Tuh, harus nungguin lama kan, kamu pasti nggak sabar," kata Ayud.

"Nggak apa-apa... seneng liat perempuan-perempuan perutnya buncit."

Tapi ternyata Dinda juga merasa letih karena duduk terus ber lama-lama. Kemudian ia berdiri dan ber jalan-jalan disekitar rumah sakit itu.

Tiba-tiba Dinda melihat seseorang yang dikenalnya, duduk di sebuah kursi tunggu diluar ruang UGD. Laki-laki yang pernah mengganggunya. Dinda ingin membalikkan tubuhnya, tapi laki-laki itu keburu melihatnya. Laki-laki itu Aji, yang sedang menunggui Mirna diruang UGD. Melihat Dinda, Aji bukannya ingin mengejar seperti biasanya kalau melihat perempuan yang menarik hatinya. Kali itu tidak, ia teringat kata Mirna bahwa gadis cantik itu pacarnya Adhit. Aji justru mengalihkan pandang kearah lain. Ia mencari jalan agar bisa pergi dari situ dan tidak berpapasan dengan Dinda. Aji berdiri dan berjalan kearah pintu ruang UGD.

Dinda merasa heran karena Aji seperti tak perduli padanya. Ia membalikkan tubuhnya untuk menemui Ayud dan Raka.

"Aku melihat dia, katany ketika sudah tiba didepan kakaknya."

"Dia.. siapa?"

"Itu... laki-laki mata keranjang itu, yang.. mm.. katanya menikah dengan mbak Mirna."

"Aji?" seru Ayud.

"Iya.. untung dia tidak perduli sama aku."

"Dia sama Mirna ?"

"Nggak tau, diluar ruang UGD, dia sendirian."

"Berarti Mirna ada didalam? Kenapa dia?" tanya Ayud sambil berdiri. Ia ingin mencari tau apa yang terjadi pada Mirna. Tapi Raka menahannya.

"Sudahlah Yud, disini saja, kita bisa mencari tau nanti. Kalau kamu kesana, lalu namamu dipanggil, bagaimana? Masa Dinda yang harus masuk."

"Iih.. mas Raka, emangnya aku hamil?"

Ayud kembali duduk. Tapi ketika ruang dokter kandungan itu dibuka, dilihatnya dokter keluar, lalu bergegas pergi dari ruang prakteknya. Pasien yang menunggu ber tanya-tanya. Dan seseoang yang bertanya pada perawat yang membantu dokter itu, jawabannya adalah sang dokter harus segera menangani pasien yang harus di operasi.

"Waduh, operasi kan lama.." keluh Ayud.

"Lumayan, tapi mau bagaimna lagi?"

"Kita pulang saja yuk, periksa besok saja," kata Ayud sambil berdiri.

Tapi ketika tiba diruang UGD itu, tak dilihatnya lagi sosok Aji yang katanya menunggu disana. Ayud mendekati perawat yang keluar dari ruangan itu.

"Ma'af suster, ada pasien bernama Mirna?" Ayud bertanya sekenanya, karena menurutnya pasti Aji bersama Mirna.

"Oh, dia sudah dibawa ke ruang operasi," jawab perawat itu.

"Memangnya dia kenapa?"

"Dia keguguran."

Ayud terkejut. Ia berjalan kearah ruang operasi, diikuti Raka dan Dinda.

"Ayud, mau apa kamu itu?" tanya Raka sambil berjalan mengikuti isterinya.

"Aku ingin tau keadaan Mirna. Kenapa dia?"

Walau sebenarnya tak ingin ikut campur, tapi Raka dan Dinda mengikuti Ayud menuju ruang operasi. Dinda memegangi tangan kakaknya erat ketika melihat Aji. Raka yang pernah melihat sikap Aji terhadap isterinya memandang tajam Aji, mungkin bersiap menonjokkan kepalan tangannya kalau Aji bersikap kurangajar terjadap isterinya.

Dan walau kurang senang melihat sikap Aji beberapa waktu lalu, Ayud terpaksa bertanya.

"Ma'af, ada apa dengan Mirna?" tanya Ayud.

Aji kali itu tampak pucat, Ayud mengira ia mencemaskan keadaan isterinya.

"Keguguran," jawab Aji singkat. Mata nyalang itu tak ada lagi, ada kecemasan yang ditahannya, dan membuatnya lemas.

"Jatuh ya?"

Aji menggeleng, lalu ia berjalan menjauh dari Ayud, rupanya tak ingin mendengar petanyaan-pertanyaan Ayud lagi. Banyak yang dipikirkannya, dan membuatnya bingung, juga takut. Ancaman hukuman itu. Bagaimana kalau Mirna tak bisa memberinya keterangan? Besok ia harus kembali ke kantor polisi. Apa ia harus kabur? Berjuta pikiran memenuhi benaknya. Pikiran yang membuat kepalanya terasa berat. Ada sesal memenuhi dadanya ketika ia terpaksa melakukan kejahatan itu.

Tiba-tiba telephone berdering, Aji mengangkat ponselnya. Dari pamannya, saudara ayahnya yang telah membayar penangguhan penahanan atas dirinya.

"Hallo om, iya.. sudah ketemu, bisa.. tapi sial om... iya.. dia tiba-tiba pingsan.. sekarang sedang dioperasi... keguguran om.. saya lagi menungguinya. Belum tau, entahlah om, tolonglah saya. Bagaimana lagi, saya juga bingung.. baiklah, besok saya akan ke sana dengan membawa surat keterangan dari rumah sakit ... baik om. Tidak... bukan saya... saya sedang ingin membuktikan bahwa bukan saya pelakunya. Baiklah.."

Ayud dan Raka mendengar sedikit pembicaraan itu, tapi tidak mengerti apa maksudnya. Tapi mereka melihat bahwa Aji sangat cemas.

"Ia sangat mencemaskan isterinya, lihat wajahnya pucat," kata Ayud.

"Kita pulang saja dulu, besok kita mencari keterangan tentang keadaan Mirna."

Ayud keberatan, tapi Raka mendesaknya. 

"Baiklah, besok kita cari keterangan."

***

Tapi keesokan harinya, ketika Ayud kerumah sakit itu lagi, didapatnya keterangan yang membuatnya heran.

"Pasien Mirna dipindahkan ke rumah sakit lain atas permintaan suaminya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


21 comments:

  1. Makin penasaran deh bu tien, pinter srkali meliukliukan cerita.... Ngga sabar menanti kelanjutannya ..... Matur nuwun

    ReplyDelete
  2. Berdebar debar di nanti lanjutan nya ibu tien..

    ReplyDelete
  3. Berdebar-debar menunggu kelanjutannya

    ReplyDelete
  4. Bu tien kpn lanjutannya membuat penasaran sekali

    ReplyDelete
  5. Bu Tien mengapa postingan Sepenggal Kisah episode 65 tidak ada isinya.. Kita jadi bingung di episode 66 ujug2 ada Tumi..
    Mohon di re upload. Tks

    ReplyDelete
  6. episode 56..koq tdk muncul2 ya bu tien...ingin segera tau endingnya..lain waktu cerbung tentang lansia ya ibuk..krn teman2 sy sdh lansia..senang baca cerbung ibuk..trims...

    ReplyDelete
  7. Ibu smp mlm cerbung no 56 belum ada, saya nunggu dr pagi, tolong kirim ya, sdg seru, penasaran. Kl bisa sekalian bbrp no lagi,makasih

    ReplyDelete
  8. Ibu tolong kirim no 56 dst, ditunggu , makasih

    ReplyDelete
  9. Ibu ditunggu no 57 nya...jangan malem2, saya ngantuk...kl bisa sekalian no 58...
    Saya sampai baca ulang Sekeping cinta menunggu purnama no 1 smp 59...ini lanjutannya ya..betul2 bagusss



    ....

    ReplyDelete
  10. Ceritanya seru.. dan bikin penasaran..👍👍

    ReplyDelete
  11. Ceritanya seru,episide 55 kok ngak mucul

    ReplyDelete
  12. Episode 55 kok enggak ada ya Bu Tien.. ? Jadi bingung.

    ReplyDelete
  13. Nyari episode 55 kok gak ketemu ya...

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...