Tuesday, May 30, 2023

SEBUAH PESAN 07

 SEBUAH PESAN  07

(Tien Kumalasari)

 

Sari terkejut. Penjual tahu itu amat dikenalnya, setiap kali dia datang membantu ibunya di pasar. Tapi Sari sama sekali tidak suka. Banyak duitnya, tapi selalu berpakaian kusut, dan terkesan kumuh. Beda dong dengan Damian, yang walaupun tukang kebun, tapi tubuhnya atletis, pakaian selalu bersih dan rapi. Pokoknya jauh deh kalau dibandingkan dengan Darmo, si tukang tahu.

“Kenapa diam? Dia ganteng lho. Dan sederhana, santun. Tidak neka-neka walau duitnya banyak. Aku sudah pernah ngomong sama dia, kalau dia mau aku ambil menantu.”

“Apa?” Sari tentu saja terkejut. Ibunya sudah bicara sama Darmo untuk diambilnya sebagai menantu?

“Kamu tidak mendengar, ibu bicara?”

“Ya ampun Bu, teganya ibu menjodohkan Sari sama Darmo,” cemberut Sari.

“Memangnya kenapa? Anak sekarang, kalau mencari sendiri sering tidak pas. Hanya mengejar wajah ganteng, tapi tidak punya uang. Mau hidup seperti apa? Menyusahkan orang tua? Wah … wah, jangan sampai kamu merasa bahwa orang tua masih harus memikirkan kebutuhan anak. Itu menyedihkan, walaupun orang tua tidak keberatan,” omel bu Mijah sambil masuk ke dalam kamar.

“Kejam sekali ibuku, menjodohkan aku dengan laki-laki dekil seperti Darmo,” gumamnya yang lumayan keras rupanya didengar oleh sang ibu.

“Apa katamu? Laki-laki dekil?”

“Emang iya, kan? Selalu dekil setiap kali dia ada di pasar. Sari kan sudah sering bertemu. Keringatnya bau, lagi.”

Bu Mijan yang geregetan lalu mendekati lagi anaknya dan menjewer kupingnya.

“Dengar ya, memang kalau di pasar dia tampak dekil. Habis dia kan lagi jualan. Keringat bau, iya lah, kalau dagangan rame, pasti dong keringatan. Kamu jangan asal ngomongin orang. Nanti kamu akan bener-bener jatuh cinta sama dia.”

“Hiii , amit-amit deh.”

“Tak jewer kuping kamu lagi sampai putus ya,” gemas bu Mijan.

“Ibu kalau mencari menantu yang menarik dong, masak mas Darmo?”

“Dia itu hanya kelihatan kumuh kalau saat jualan di pasar. Kalau dia pas jalan, itu kelihatan cakep, tahu. Sekali-sekali akan ibu minta dia mengajak jalan kamu.”

“Apa?”

“Jangan bandel dan jangan membantah. Orang tua itu hanya akan memilih yang terbaik untuk anaknya.”

Sari diam, wajah Damian melintas. Tapi sebenarnya dia agak kesal, karena sikap Damian yang dingin, dan tak pernah menunjukkan perhatian pada dirinya. Tadi saja dia menyuruhnya pulang sendiri dengan alasan harus mengambil sepeda. Tapi kan memang sepeda itu harus diambil kan? Tapi memang Damian tak tampak tertarik pada dirinya. Ada sedih melintas di hati Sari. Lalu wajah Darmo terbayang. Laki-laki tinggi besar, tapi selalu kelihatan lecek dan kumuh, mengapa ibunya memaksanya agar Darmo menjadi menantunya. Hiihh, Sari mengangkat pundaknya lalu berdiri pelan dan berjalan tertatih ke dalam kamarnya. Kakinya sakit sekali. Rupanya tadi tertindih sepeda, sementara dibawahnya adalah bebatuan runcing. Ada luka yang cukup dalam, yang membuatnya berdarah-darah.

***

Hari sudah sore ketika Damian memasuki rumahnya. Pak Timan yang melihat kedatangannya, herean ketika melihat Damian membawa dua sepeda.

“Itu punya siapa, Dam?”

“Punya Sari, akan Damian antarkan setelah mandi.”

“Kok bisa membawa sepeda Sari?”

Lalu Damian menceritakan peristiwa yang tadi dialaminya, sehingga dia harus meninggalkan sepedanya di rumah orang, lalu dia harus membawa sepeda Sari ke bengkel juga.

Rodanya melengkung karena tergilas mobil, dan baru sore hari selesai dibetulkan.

“Pengemudi mobil itu harus membiayai semuanya dong.”

“Dia kabur, dan tak seorangpun bisa mengejarnya, dia langsung tancap gas, dan sebagian besar perhatian tertuju kepada Sari yang menjerit-jerit di pinggir jalan.

“Lukanya parah?”

“Agak parah sih. Kaki kirinya, ada luka yang harus dijahit. Tadi Damian memanggil ambulans karena tak tahu bagaimana harus membawanya ke rumah sakit. Dia menjerit-jerit terus dan tidak bisa berjalan.”

“Sekarang sudah boleh pulang?”

“Karena lukanya tidak berbahaya, lalu boleh pulang. Tapi tetap saja tidak bisa berjalan tegak, karena menahan sakit.”

“Kasihan, tengoklah dia sekarang.”

“Saya memang mau ke sana untuk mengembalikan sepedanya.”

“Sudah bagus, sekarang?”

“Sudah. Baru dari bengkel ini tadi. Tapi saya belum membayarnya, karena tidak punya uang lagi."

“Kalau begitu cepat mandi dan antarkan sepeda Sari ke rumahnya. Biar nanti ongkosnya dibayar oleh ibunya."

***

Bu Mijan keluar dari rumah, menerima kedatangan Damian. Ia tidak membangunkan Sari yang tertidur nyenyak di kamarnya.

“Apa kamu mau ketemu Sari? Dia sedang tidur,” kata bu Mijan.

“Tidak Bu, hanya mau mengantarkan sepedanya, sudah saya bawa ke bengkel dan sudah kembali baik.”

“Oh, baiklah, berapa ongkosnya?”

“Hanya lima puluh ribu rupiah, tapi belum saya bayar juga Bu, karena saya tidak punya uang lebih.”

“Saya ganti saja, kasihan kamu. Tadi Sari juga memberikan kwitansi dari rumah sakit, biar saya ganti saja,” kata bu Mijan sambil masuk ke dalam rumah. Sebenarnya Damian sungkan menerima uang ganti itu, tapi dia benar-benar tidak punya uang, sementara uang itu sebenarnya untuk beli makan bagi ayahnya.

“Ini Dam, sebagai ganti uang kamu.”

“Ini kelebihan seratus ribu, yang ini saja, sudah cukup Bu.”

“Biar saja lebih, kan kamu sudah bersusah-payah menolong Sari.”

“Tidak Bu, jangan. Biar ini saja, sudah cukup. Saya langsung pulang ya Bu,” kata Damian sambil membalikkan badan, setelah mengembalikan uang seratus ribu dan memasukkan yang lainnya ke dalam saku bajunya.

“Sombong amat, orang tak punya, dikasih uang ditolak. Ya sudah, terserah kamu, yang penting aku sudah bermaksud baik,” gumam bu Mijan sambil masuk ke dalam rumah.

“Ada siapa Bu?” tiba-tiba Sari keluar dari kamar, karena seperti mendengar suara Damian di depan rumah.

“Ada Damian, hanya mengantarkan sepeda kamu.”

“Kenapa ibu tidak memanggil Sari?”

“Lha kenapa harus memanggil kamu? Dia kan tidak mencari kamu.”

“Masa mengembalikan sepeda tidak mencari Sari.”

“Memang tidak mencari kamu. Dia bilang hanya akan mengembalikan sepeda kok. Ongkos sama uang untuk kebutuhan rumah sakit sudah aku tukar semua.”

Sari kembali masuk ke dalam kamar dengan wajah kecewa.

***

Pagi hari itu, begitu meletakkan sepedanya di dekat garasi, Raya sudah menyambutnya dengan wajah cerah.

“Damian, sudah kamu ambil sepeda kamu?”

“Sudah Non,”

“Kan jauh, dari rumah kamu?”

“Saya naik taksi dari rumah sakit, sekalian mengambil sepeda Sari, lalu saya masukkan ke bengkel.”

“Sudah selesai membetulkan sepedanya? Kayanya ban depan peyot.”

“Sudah selesai dan sudah saya antarkan ke rumahnya.”

“Apa Sari dirawat di rumah sakit?”

“Tidak Non, hanya ada yang harus dijahit, tapi boleh langsung pulang.”

“Jam berapa kamu sampai rumah?”

”Sudah sore Non, habisnya, harus menunggu di reparasi sepeda sampai benar-benar menjadi baik.”

“Capek ya?”

Damian tersenyum, tapi dia senang mendengar suara Raya yang menurutnya seperti kicauan kenari cantik di pagi hari.

“Capek kan?” Raya mengulangnya karena Damian hanya tersenyum.

“Sedikit Non,” kata Damian yang kemudian langsung meninggalkan sang cantik, untuk mengambil sapu di gudang.

Raya menunggu di tepi kolam, sambil menaburkan pakan ikan yang sudah tersedia di sana.

Mengagumi indahnya pagi dan sejuknya udara, membuat wajah Raya tampak berseri-seri. Diam-diam Raya bertanya pada hatinya. Mengapa dia begitu selalu ingin dekat dengan Damian? Perasaan apa ini?

Raya menoleh, ketika didengarnya suara… sriik… srikkk… sapu lidi menyapu tanah. Dilihatnya Damian sudah melepas baju luarnya, tinggal memakai kaos oblong dan celana pendek. Hal yang dilihatnya setiap kali anak muda itu sedang bekerja. Raya belum pernah menatapnya secara jelas. Setiap kali bicara, ia hanya menatap sekilas, dan merasa sungkan pada perasaannya sendiri. Tapi yang sekilas itu sempat menangkap tubuh atletis berotot yang sangat menawan. Kemudian dia berdiri, lalu melangkah meninggalkan tempat itu, sambil menyesali rasa aneh yang selalu membayanginya.

Ia berpapasan dengan bik Sarti yang membawa nampan dan segelas kopi, dan setoples camilan.

“Non, nggak kuliah?” tanya bik Sarti.

“Ini mau kuliah,” katanya tanpa menatap bik Sarti.

Raya masuk ke kamarnya dan memukuli pipinya sendiri, berkali-kali.

“Uuh,” ia berhenti ketika pipinya terasa pedih. Tapi tamparan oleh diri sendiri itu tak bisa menghilangkan bayangan Damian yang tadi sempat diliriknya.

“Aku sudah gila,” keluhnya sambil menjatuhkan pantatnya di kursi depan cermin tempat dia berdandan.

“Kenapa kamu merasa gila?”

Raya hampir terlonjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba saja Kamila kakaknya sudah berdiri dibelakangnya, mengacak acak rambutnya.

“Mbak Mila?”

“Kamu nggak kuliah?”

“Sebentar lagi.”

“Kenapa kamu merasa gila? Ihh, ngeri mendengarnya.”

“Mbak, bagaimana rasanya orang jatuh cinta?”

Kamila terkekeh. Dia duduk di kursi di dekat adiknya.

“Kamu sedang jatuh cinta?”

“Nggak tahu aku, ini perasaan apa. Makanya aku nanya sama Mbak,  bagaimana rasanya jatuh cinta?”

“Adikku sayang sudah dewasa, memang sudah saatnya jatuh cinta,” kata Kamila sambil menatap adiknya penuh rasa sayang.

“Ditanya belum ngejawab lhoh Mbak. Bagaimana rasanya?”

“Jatuh cinta itu … mmm gimana ya, mungkin begini … kalau dekat tuh, deg-degan, kalau jauh, rasanya pengin ketemu, terus … wajahnya selalu terbayang-bayang … terus … apa lagi ya … pokoknya banyak rasa mengaduk-aduk hati kita.”

Raya menatap kakaknya lekat-lekat.

“Begitukah?”

“Kamu merasakan hal seperti itu?”

Raya dengan polosnya mengangguk.

“Kamu jatuh cinta sama siapa? Teman kuliah kamu? Dosen kamu? Wah, kamu kan cantik, tidak susah untuk jatuh cinta sama kamu. Ayo katakan, sama siapa? Pasti dia ganteng, pintar, romantis. Ah, jadi ingat mas Abi yang sama sekali tidak romantis deh,” kata Kamila kemudian, dengan nada sendu.

Raya terpaku diam. Ia tak bisa mengatakannya tentang perasaannya tertuju kepada siapa. Malu dong, atau nanti malah dimarahi oleh sang kakak karena menjatuhkan cintanya pada orang yang tidak sekelas dengan keluarganya.

“Hayo, sama siapa? Kasih tahu dong, masa sih, mau main rahasia sama mbaknya sendiri? Siapaaa, Raya?” Kamila mendesaknya, tapi Raya hanya tersenyum. Ia menyisir rambutnya, kemudian membuka almari untuk mengambil baju ganti untuk kuliah.

“Heiii …!”

“Nanti saja, aku belum bisa mengatakannya, soalnya belum tentu dia juga suka sama aku,” katanya tanpa memandang ke arah kakaknya,

“Baiklah, masih rahasia ya? Mbak tunggu ya, nanti harus bilang sama Mbak.”

“Nanti, kalau dia sudah ketahuan suka sama aku. Malu dong, kalau bertepuk sebelah tangan,” kata Raya sambil tersenyum malu-malu.

“Kamu itu cantik, siapa yang tak bisa menerima cinta kamu? Orang rabun, barangkali,” canda Kamlila.

Raya hanya tertawa, kemudian asyik mengganti bajunya dan membiarkan Kamila keluar dari kamarnya.

***

Hari itu pak Rahman berangkat ke kantor agak siang. Ia duduk di teras bersama istri dan Kamila, yang kemudian baru mengatakan bahwa dia ingin bekerja. Tanpa diduga, pak Rahman sangat marah mendengarnya.

“Apa maksudmu? Kalau kamu ingin bekerja, kenapa tidak bilang sama bapak? Bapak kan bisa menempatkan kamu di suatu tempat dengan posisi yang baik?”

“Mila ingin bekerja tanpa harus bergantung kepada orang tua,” kata Kamila takut-takut.

“Apakah bergantung pada orang tua itu buruk? Memalukan?”

“Memang tidak, tapi kepuasan yang didapat, tidak sesuai dengan jerih payah yang sudah dijalani.”

“Apa maksudnya?”

“Kami sudah sekolah, belajar susah-susah, tapi begitu mudah mendapat kedudukan, karena bantuan orang tua. Itu kurang memuaskan. Kalau orang tua bisa memberi kedudukan atau posisi bagus di perusahaannya, kenapa kami harus sekolah? Tanpa itupun pasti bisa hidup enak. Bagi Mila, hal itu terasa kurang memuaskan.”

“Huh, aku nggak ngerti jalan pikiran kamu. Bukankah semua orang maunya mendapat sesuatu dengan gampang?”

“Kalau dengan jerih payah sendiri, itu baru memuaskan. Bukan karena Bapak seorang pemilik perusahaan.”

“Terserah kamu saja,” akhirnya pak Rahman menjawab singkat, kemudian berdiri meninggalkannya.

“Mengapa kamu membantah apa yang ayahmu katakan?” kata bu Rahman setelah suaminya tak ada diantara mereka.

“Mila mengatakan apa yang Mila inginkan.”

“Tapi itu membuat ayah kamu kecewa.”

“Kalau saya menjadi orang yang bisa mandiri tanpa bantuan orang tua, pada suatu hari nanti bapak sama ibu akan bangga.”

“Entahlah. Ibu hanya berharap yang terbaik untuk kalian.”

Tiba-tiba ada pesan masuk di ponselnya. Wajah Kamila berseri.

“Dari mas Abi.”

“Mila, besok aku akan pulang. Dan pasti segera menemui kamu, ada hal penting yang ingin aku katakan”

Lalu ada emoticon cinta seperti biasanya. Kamila masih bertanya-tanya. Hal penting apa yang dibawanya?

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

33 comments:

  1. 🐭🐹🐮🐮🐰🐰🐸🐸
    Alhamdulillah......
    EsPe_07 sdh tayang.
    Matur nuwun, bu Tien tetap sehat dan berkarya.
    🐼🐼🤝🤝🏳‍🟧‍⬛‍🟧🏳‍🟧‍⬛‍🟧🥬🥬

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku SP tayang

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah SEBUAH PESAN~07 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat ..🙏

    ReplyDelete
  4. Terima kasih bu Tien.
    Salam sehat dan bahagia selalu.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah...
    Maturnuwun bu Tien...
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  7. 🌻🌿🌻🌿🌻🌿🌻🌿
    Alhamdulillah SP 07
    sudah hadir...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    Salam Aduhai 🌹🦋
    🌻🌿🌻🌿🌻🌿🌻🌿

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Matur nuwun bunda Tien...
    Salam sehat dan terus semangat dlm berkarya, amin!

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  10. Alhandulillah.... matur nuwun bunda, salam SeRoJa

    ReplyDelete
  11. Alhamdulilah terima kasih bu tien SP 07 sdh hadir..salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah tayang sugeng ndalu bu Tien

    ReplyDelete
  13. Waduh apa y yg mau dikatakan sama Abi?
    jangan² sdh dijodohkan ni orang tua nya...😰

    Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
    Sehat selalu kagem bunda...

    ReplyDelete
  14. Selamat malam bunda Tien..terima kasih SP nya .slm seroja dan tetap aduhai unk bunda dari skbmi🙏😘😘🌹

    ReplyDelete
  15. Ibunya Sari lebih realistis...jodohin Sari dgn penjual tahu, yg penting pintar cari uang, bukan pilih gantengnya.😀 Bu Tien mmg keren idenya...adaaa aja.👍👍 Sehat selalu, bu...🙏🙏🙏😘😘

    ReplyDelete
  16. Sepertinya Damian dan Raya sama sama ada rasa. Tapi perbedaan 'kasta' cukup jauh, bisakah...
    Kalau Sari dengan Darmo bisa selevel, cuma Darmo perlu sedikit berdandan.
    Bagaimana ya dg Mila...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulilah..
    Tks banyak bunda Tien..
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah SP-07 sdh hadir
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  19. Hmm,
    Karmila maunya cari kerja sendiri yang membuat rasa puas, kalaupun sukses atas usaha sendiri, bagus donk, gitu seyogyanya ibunya suport pada putri nya, nggak lah lebih baik diam ngikut aja pemegang otoritas; sang babe galak.
    Nah, Raya memperjuangkan agar Damian sepadan; sama sama insan manusia, nggak peduli kasta, nah kan berseberangan, memang mau nyebrang, kan ada jpo.

    Sari merasa tertekan, Mak Mijan yang ngebet; mana Damian dingin lagi, untung berani mengambil sikap pada pak Timan yang peka keinginan Sari; mbregudul kepingin dekat orang cakep style atletis, nggak bau lagi.
    Ah Sari; kan Darmo itu memang cari duwitnya di pasar, namanya juga pasar ya gitu baunya macêm macêm, apa lagi kalau yang membuat perut lega rasanya, jangan bilang nggak nambah menyeruak itu aroma.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Sebuah pesan yang ke tujuh sudah tayang
    Sehat sehat ya Bu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  20. Matur nuwun ada namaku disebut...

    Jangan2 Abi mau bilang bahwa terpaksa mau menikah dgn cewek yg menelpon waktu itu krn terlanjur hamil walaupun dulu bukan maunya Abi...
    Atau mungkin minta cepat2 nikah dgn Karmila sehingga kalau terpaksa menikahi yg hamil, Karmila isteri yg pertama.

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    sehat wal'afiat selalu 🤗🥰

    Yg sedang jatuh cinta ,,,,sabar ya Raya 🤭

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun bunda Tien yg aduhai...
    Semoga selalu sehat, amin!

    ReplyDelete
  23. Semakin seru .
    Makasih mba Tien.
    Sehat selalu dan tetap semangat. Aduhai

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...