Wednesday, May 31, 2023

SEBUAH PESAN 08

 SEBUAH PESAN  08

(Tien Kumalasari)

 

Kamila menulis sebagai balasan atas pesan singkat itu. Bukan tulisan yang dikirimkannya, tapi hanya emoticon bermakna cinta, seperti Abi selalu menuliskannya. Sang ibu menatapnya heran, melihat Kamila hanya tersenyum saja setelah menuliskan entah tulisan apa.

“Ada apa?” tanya sang ibu.

“Dari mas Abi.”

“Kenapa pula? Melihat kamu tersenyum, tampaknya dia mau datang. Ya kan?” goda sang ibu.

“Iya Bu, katanya besok.”

"Jangan lupa, sampaikan sama dia, pesan ayah kamu. Dia tidak ingin kamu pacaran berlama-lama.”

“Dulu kan sudah Mila sampaikan Bu, tapi karena memang waktunya sangat singkat, jadi Kamila tidak bisa mendesaknya terlalu dalam. Hanya saja, sekilas dia bilang bahwa masih sangat sibuk mengurus bisnis ayahnya yang baru saja diserahkan sama dia. Jadi tampaknya dia akan sering pergi ke Jakarta.”

“Ibu pikir-pikir, benar kata adik kamu.”

“Kenapa?”

"Mempunyai suami pebisnis itu sering tidak nyaman. Sering pula kesepian. Apalagi ketika belum memiliki anak.”

“Ah, Raya kan suka bicara seenaknya.”

“Tapi ada juga benarnya lhoh. Terlalu terjun ke dunia bisnis, bisa melupakan anak istri.”

“Ibu, apakah Ibu juga merasakannya?”

“Bapakmu dulu juga begitu. Ibu sering menangis karena kesepian. Untunglah bapakmu mengerti, kemudian melepaskan beberapa usaha yang semula dipegangnya.”

“Nah, kalau begitu butuh suami pebisnis yang pengertian seperti bapak, ya kan?”

“Bagaimana dengan Abi?”

“Kalau dia, entahlah.”

“Sekilas, ibu melihat bahwa perhatiannya kepada istri akan berkurang karena bisnis yang dipegangnya.”

“Karena ini baru awal Bu, dia bertanggung jawab untuk menguasai semua pelajaran yang diajarkan ayahnya, karenanya agak kelihatan sibuk, dan seperti mengacuhkan saya.”

“Baiklah, orang tua kan selalu berharap anaknya akan hidup bahagia.”

“Terima kasih Bu, doakan Mila ya.”

“Tapi ibu juga kurang setuju kamu bekerja. Kalau seandainya kamu menikah, lalu harus ikut suami kamu, bagaimana dengan pekerjaan kamu?”

“Belum tahu kapan mas Abi akan menikahi Mila, saya harap bapak dan Ibu membiarkan Mila bekerja, untuk membunuh rasa sepi karena penantian itu.”

“Bukankah menunggu sambil belajar banyak hal tentang berumah tangga juga bisa? Belajar memasak sama bibik, misalnya.”

“Bu, kalau Mila tidak bekerja, sayang ilmu yang sudah Mila dapatkan. Biarpun entah untuk berapa lama, tapi Mila merasa bahwa bekerja itu perlu. Dan mengapa harus bekerja diluaran, bukan ikut di perusahaan bapak, karena Mila ingin melakukan sesuatu tanpa dibayangi kesuksesan bapak. Biarkan Mila menjalani hidup ini dengan cara Mila sendiri, bukan bergantung kepada orang tua.”

“Baiklah, kamu memang tampak sudah dewasa. Ibu harap kamu bahagia dengan semua pilihan kamu. Pilihan pekerjaan, pilihan suami, dan semuanya.”

“Terima kasih Ibu. Ibu memang ibuku yang terbaik. Selalu mohon doanya ya Bu.”

“Doa terbaik untuk anak-anakku.”

***

Damian berdebar, ketika didengarnya sepeda motor memasuki halaman. Ia tahu, Raya baru pulang dari kuliah. Sudah agak sore, sebentar lagi dia harus pulang. Entah mengapa, suara sepeda motor itu akhir-akhir ini selalu membuatnya berdebar. Damian pura-pura tidak melihatnya. Dia memasukkan daun-daun kering yang sudah dikumpulkannya, ketempat sampah. Kemudian melangkah mengembalikan sapu dan peralatannya ke gudang.

“Damiaaan!” panggil Raya agak kesal, karena Damian seperti tak mengacuhkannya. Padahal Damian asyik menenangkan debar jantungnya.

“Ya, Non.”

Damian menoleh, sebelum memasuki gudang.

“Sini !!”

Damian sudah tahu, Raya pasti membawa es krim di dalam keresek putih yang dibawanya. Mau tak mau dia mendekat, tapi dia tak berani menatapnya.

“Ini buat kamu, dimakan dulu sebelum mencair.”

“Mengapa Nona selalu membawa es krim untuk saya?” katanya sambil menerima es krim berbentuk contong itu.

“Jangan banyak tanya, segera dibuka, dan dimakan. Keburu mencair, tahu.”

Damian tersenyum, tapi ia tetap tak berani menatap nona majikannya.

“Mengapa kamu selalu menundukkan muka? Takut melihat aku?”

“Iya Non, takut,” jawab Damian sekenanya.

“Apa? Memangnya aku harimau?”

“Bukan harimau.”

“Lalu apa yang menakutkan?” katanya sambil duduk di atas batu di pinggir kolam, sambil mencecap es krimnya.

Damian benci pemandangan itu. Bibir tipis itu terlalu menggoda, apalagi kalau sedang mencecap es krim yang kelihatannya sangat nikmat. Damian sudah membuka es krimnya, tapi dia tak berani berhadapan dengan sang nona.

“Ada apa denganmu? Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu anggap aku apa, sehingga kamu takut melihat aku?”

“Peri,” jawab Damian sekenanya. Masa dia akan menjawab macan, atau singa, pasti marah dong dia. Dan lagi mana ada macan cantik, atau singa cantik.

“Apa?” Raya memekik  nyaring.

Damian meneruskan makan es krimnya, menggigitnya sebesar dia mampu, supaya segera habis.

“Damian, mengapa kamu anggap aku ini peri?”

“Peri cantik,” jawabnya begitu saja, tapi kemudian dia sangat terkejut sendiri dan menyesalinya.

“Maaf … maaf … “ katanya sambil membuang bungkus es krim itu setelah mengunyak contongnya sampai habis.

Raya tersenyum lebar. Gadis mana yang tidak suka dibilang cantik? Memang dia sudah cantik, tapi pujian akan selalu melambungkan perasaannya.

“Benarkah aku cantik?”

“Nona, sungguh saya kelepasan bicara, saya minta maaf,” kata Damian sambil berdiri. Kembali ke arah gudang, meletakkan sapu dan peralatan kebun kedalamnya, lalu menutupnya.

“Aku memang cantik, bukan?” gumam Raya sambil tersenyum. Iapun kemudian segera berdiri, membiarkan Damian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Raya melangkah masuk ke rumah, lalu memberikan sisa sebungkus es krim kepada bik Sarti.

“Ini untuk bibik,” katanya.

“Waduh, sudah hampir cair Non.”

“Masukkan ke freezer,” katanya sambil langsung masuk ke dalam rumah.

Bik Sarti geleng-geleng kepala. Ia bukannya tak tahu, akhir-akhir ini, hampir setiap hari nona bungsu majikannya selalu membawa es krim sepulang kuliah, lalu memberikannya kepada Damian. Apa nona cantiknya suka sama tukang kebunnya? Mana mungkin. Damian, biarpun  ganteng dan menawan, hanyalah anak pak Timan yang dulunya juga tukang kebun di rumah ini. Mana mungkin non Raya menyukai dia. Tapi sikapnya aneh, agak berlebihan. Bik Sarti tak berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Takut salah, kemudian jadi masalah seandainya dia berani menanyakannya.

***

Sebelum masuk ke kamarnya, ia melihat Kamila sedang membaca di depan jendela di ruang tengah.

“Aku kira Mbak tidur.”

Kamila mengangkat wajahnya.

“Kamu baru pulang? Tapi aku mendengar sepeda motormu sudah dari tadi.”

“Makan es krim sama Damian.”

“Apa? Lagi?”

“Apa yang lagi?”

“Akhir-akhir ini kamu hampir setiap hari membawa es krim, lalu memakannya bersama Damian.”

“Kebetulan saja pengin. Kan udaranya sangat panas. Nggak mungkin aku memberikannya pada MBak. Kan Mbak nggak suka es krim?”

“Sekarang aku suka, jadi besok jangan kamu berikan es krim itu pada Damian, aku juga mau,” kata Kamila sambil tertawa.

“Baiklah, apa yang enggak untuk mbakyuku yang cantik ini?” katanya kemudian langsung melangkah menuju ke kamarnya, tapi tanpa diduga, Kamila mengikutinya.

Raya terkejut, ketika mau menutup pintu, ternyata Kamila ada di belakangnya.

“Ada apa?”

“Sudah ada, jawabannya?”

“Jawaban apa sih?”

“Siapa dia, orang kamu cintai itu.”

“Oh, ya ampuuun.”

Raya terkekeh geli, tapi kemudian setelah ia meletakkan tas kuliahnya di atas meja, langsung menghambur ke arah kamar mandi.

“Heiii! Bagaimana?”

“Jawabannya belum ada,” teriaknya sambil menutup kamar mandi.

Kamila mengangkat bahunya, kemudian keluar dari kamar adiknya.

Raya senang, begitu keluar dari kamar mandi, tak lagi mendapati kakaknya di dalam kamarnya. Mila terus mendesak, sementara dia belum mendapatkan jawabannya. Tiba-tiba Raya teringat ketika Damian mengatakan bahwa dia adalah peri cantik. Raya berdebar. Kata cantik yang diucapkan oleh seseorang yang sangat spesial, ternyata berbeda rasanya.

Raya tersenyum sendiri, apakah Damian juga menyukainya? Tak mungkin dia berani mengatakan, karena dia merasa berbeda. Tapi entah mengapa, Raya tak pernah mengingat perbedaan itu. Ia juga pasti tak pernah mengingat, apakah nanti orang tuanya akan suka atau menentangnya.

Sekarang Raya sudah selesai mandi. Dari jendela kamarnya, ia melihat ke arah taman, dan melihat Damian sedang mengambil sepedanya di dekat gudang. Laki-laki yang tadi tampak lusuh dan berkeringat, sekarang sudah tampil rapi, dan gagah menawan. Raya menghela napas panjang. Mungkinkah Damian berani mengatakan cinta? Lalu Raya terkejut sendiri. Cinta? Apakah ada cinta terselubung diantara mereka? Benarkah ini cinta, seperti yang digambarkan Kamila? Cinta terpendam karena saling takut menyatakan isi hatinya?.

Raya meninggalkan jendela, ketika pangeran bersepeda itu lenyap dari pandangan dewi pengagumnya.

***

Kamila sangat bahagia, ketika Abi benar-benar datang lalu mengajaknya jalan bersama disiang hari pada keesokan harinya. Raya senang melihat kakaknya begitu bahagia. Sebelum Kamila berangkat, Raya mendekatinya dan berbisik.

“Tuh, kan. Akhirnya dia datang juga. Berarti dugaanku salah.”

“Memangnya kamu menduga seperti apa?”

“Laki-laki sibuk berbisnis.”

“Kamu kira dia akan melupakan aku?”

“Tidak, aku kan bilang tidak. Hanya pada umumnya. Tapi aku bersyukur, kalian baik-baik saja.”

“Selalu doakan aku ya Ray?”

"Tentu, kakak …”canda Raya.

Abi hanya berpamit kepada ibunya saat mengajak Kamila, karena ayahnya sudah berangkat ke kantor.

“Raya mau ikut?” tanya Abi ketika mereka mau berangkat.

“Nggak, nanti nggangguin yang lagi pacaran.”

Abi tertawa. Raya heran. Baru sekali ini ia melihat Abi tertawa. Sebenarnya ganteng sih, tapi terkadang kelihatan serem. Apa karena terlalu serius dalam menghadapi apapun ya?

“Kamu kuliah juga, kan? Sambung Kamila sambil mengikuti Abi menuju mobil.

“Nggak, aku libur hari ini.”

“Kenapa nggak mau ikut?”

“Yeeey, serius ngajakin aku? Nggak kan?” canda Raya sambil masuk ke dalam rumah, sementara mobil Abi sudah meluncur keluar halaman.

 Raya melangkah ringan ke arah taman. Sudah beberapa hari dirinya tidak memetik mawar, sedangkan mawar yang dipajang di kamar sudah tampak layu.

Ia melihat Damian sedang membuang daun-daun kering yang berserakan, dan terjepit diantara ranting-ranting pohon perdu yang ada diantara pohon-pohon bunga itu.

“Damiaaan.”

Panggilan yang terdengar bagai kidung dari sorga itu terdengar, dan Damian mulai berdebar tak karuan. Sebenarnya dia berharap tak bertemu Raya, agar hatinya berasa lebih tenang. Ia sekarang benar-benar menyadari, bahwa ada rasa lain yang menyelinap di relung hatinya, dan itu adalah cinta. Bukankah selalu ada rindu setiap kali dia pulang ke rumah dan mulai membaringkan tubuhnya di ranjang? Bukankah wajah elok menawan itu selalu terbayang? Damian bukan seorang pemimpi. Damian sadar sesadar-sadarnya bahwa perasaannya tidak ada pada tempatnya. Tapi dengan elok pula Damian mengertin bahwa cinta harus berada pada tempat yang seharusnya. Perbedaan status, dan kedudukan menjadi jurang pemisah yang maha dalam, dan sangat terjal. Ingin melompatinya? Pastilah terjerumus ke dalamnya, lalu hancur berkeping-keping.

“Damiaaaan!” kidung itu kemudian terdengar menghentak, membuatnya harus menoleh, tapi sebelumnya dia harus menata hatinya.

“Kamu tidak mendengar aku memanggilmu?”

“Maaf Non, ini ….”

“Ini apa?”

“Daun kering, susah diambil karena menyelinap diantara ranting-tanting kecil,” Damian membuat alasan.

“Aku mau mawar, Damian, mawar di kamar aku sudah layu.”

“Tapi Non ….”

“Lihat, disana ada beberapa yang mekar. Aku mau yang putih dan warna jingga, pasti indah dipadukan.”

“Tapi, ini mawar pesanan non Kamila.”

“Eeh, biarkan saja. Dia sedang tidak butuh mawar, dia sudah lupa pada pesanannya, karena sedang berdekatan dengan kekasihnya.”

“Nanti Damian ditegur, bagaimana?”

“Iih, bawel, aku kan sudah bilang bahwa dia tak mungkin teringat pada mawar-mawar itu.”

“Non Raya bertanggung jawab ya?”

“Tanggung jawab apa? Memetik mawar saja harus pakai tanggung jawab segala,” kata Raya sambil melangkah kearah pohon-pohon mawar yang beberapa diantaranya sedang berbunga mekar.

“Tanggung jawab, kalau nanti non Kamila marah.”

“Aku akan menanggungnya dan akan menjawabnya,” jawab Raya enteng, membuat Damian tersenyum. Mana mungkin dia tega membuat dewi cantiknya kecewa? Dia hanya meminta bunga, dan dia tidak harus membelinya.

Damian mengambil gunting tanaman, dan mulai memetik mawar, yang beberapa tangkai sedang mekar.

“Tolong buang durinya.”

“Iya Non, saya tahu. Pasti saya menghilangkan dulu durinya, karena kalau mengenai kulit Non pasti akan berdarah.”

“Iya ya, mengapa sih, mawar harus berduri? Ia cantik, tapi untuk memilikinya butuh perjuangan.”

“Seperti dirimu Non. Kamu cantik, tapi untuk memetikmu, butuh perjuangan yang tak mungkin bisa aku lakukan. Kamu bukan hanya mawar berduri, kamu adalah bintang yang hanya bisa aku pandang, tak mungkin tergapai tangan,” kata Damian dalam hati.

Damian merasa, tangannya gemetar ketika menyerahkan bunga itu, lalu sedikit tersentuh olehnya jemari lentik itu oleh jemarinya.

Raya menatap Damian sekilas, menghadiahkannya sebuah senyuman, lalu melangkah pergi menuju dapur.

“Bibiiik,” teriakan nyaring itu terdengar menggelitik telinga Damian.

“Keadaan ini sangat menyiksa, lebih baik aku pergi dari sini, mencari pekerjaan lain,” gumam Damian pelan, sambil melanjutkan acara bersih-bersih taman.

***

Besok lagi ya.

 

31 comments:

  1. πŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒ
    Alhamdulillah SP 08
    sudah hadir...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    Salam Aduhai πŸŒΉπŸ¦‹
    πŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒπŸŒΈπŸƒ

    ReplyDelete
  2. 🌹πŸ₯¬πŸ‰πŸ₯¦πŸŒπŸŒΎπŸ†πŸ₯‘❤️

    Alhamdulillah EsPe_08 sdh tayang gasik. Maturnuwun bu Tien, salam SEROJA dan tetap semangat berkarya.

    🌹πŸ₯¬πŸ‰πŸ₯¦πŸŒπŸŒΎπŸ†πŸ₯‘❤️

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, sehat selalu bunda Tien.
    Salam aduhai

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang.

    ReplyDelete
  5. Alhamdullilah..terima ksih bunda SP 08 nya..slmt mlm dan slmt istrhat bunda..salam seroja dan aduhaai dri skbmiπŸ™πŸ˜˜πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  6. Alhamdulilah....matur nuwun bunda Tien...

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah...
    SP 08 sudah tayang...
    Maturnuwun bu Tien...
    Mugiya ibu tansah pinaringan sehat wal afiat...
    Aamiin Yaa Rabb...

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilaah dah tayang, makasih bunda.,...

    ReplyDelete
  10. Nah.. benar dugaanku, Damian justru akan pergi dari rumah itu, menyadari apa resikonya.
    Mudah mudahan Mila mendapat kabar baik saja dari Abi. Tapi belum tentu juga ya...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  11. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah SEBUAH PESAN~08 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat ..πŸ™

    ReplyDelete
  13. Salam sehat selalu utk bu Tien πŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    sehat wal'afiat selalu πŸ€—πŸ₯°

    Ayo Damian ,,cari pekerjaan lain kl sdh sukses baru melamar Raya ,,,

    ReplyDelete
  15. Terima kasih SP 08 sdh tayang ...kasihan ya damian ...tersiksa karena cinta, smg saja dpt pekerjaan yg baik ... salam hangat dan salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  16. Damian & Raya...hmmm...tak sabar menanti kelanjutannya. Terima kasih, ibu Tien sayang...salam sehat selalu.πŸ™πŸ™πŸ™πŸ˜˜πŸ˜˜πŸ˜€πŸŒ·

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun bunda Tien...
    Salam sehat dari bumi Arema...

    ReplyDelete
  18. Nasib mu
    Damian abdi dalem jew, arep nggayuh putri juragan, ah belum tentu juga, sudah mau resign takut ya.
    Kan sudah dapat kekancingan jadi pangeran, pangeran bersepeda.
    Bibik Sarti mulai curiga juga, dari ulah Raya sendiri; tiap kali pulang dari kuliah, bawa buah tangan buat Damian.
    Mila berkebulatan tekat menanti Abi, sambil meniti karier, sampai kapan belum juga ngerti, apakah jadian sama Abi atawa ada berita yang kurang enak yang akan dikemukakan nya nanti.
    Abi penuh rahasia nich.
    Bisa dibilang nggak romantis gitu.
    Malu ya karena sudah diketahui temen temennya, pacar Mila itu Abi.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Sebuah pesan yang ke delapan sudah tayang
    Sehat sehat selalu ya Bu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    πŸ™

    ReplyDelete
  19. Aduh...
    Lebih baik aku menjauh darimu karena berdekatan denganmu bisa menciptakan luka menganga di hatiku nantinya.
    Aku memang punya cinta, tapi cinta saja tidaklah cukup...
    Tapi kata Buya Hamka, tidak ada yang lebih bahagia dari pada bahagia dalam bercinta...
    Terimakasih Mbak Tien.. .

    ReplyDelete
  20. Terimakasih...Bu Tien ....Damian itu anak kandung Pak Timan kah? Belum ada riwayat kehidupan Damian kecil

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...