Thursday, June 1, 2023

SEBUAH PESAN 09

 SEBUAH PESAN  09

(Tien Kumalasari)

 

Damian menuntun sepedanya keluar dari rumah mewah itu. Keinginan untuk mencari pekerjaan lain, mengusik hatinya. Tegakah ia meninggalkan seseorang yang menempati hatinya dengan teramat istimewa? Ketika melintasi sebuah kamar, tak sengaja Damian menoleh ke arah kanan, matanya bertumpu pada sebuah jendela yang terbuka, ada wajah terpampang disana, menatapnya dengan pandangan yang membuatnya kembali bergetar. Damian mengalihkan pandangannya ke arah depan, sambil terus menuntun sepedanya. Berharap ia segera bisa melintasi gerbang, ia mempercepat langkahnya.

Raya terpaku di depan jendela. Angin sore menyergap rambutnya yang tergerai, karena ia membuka kerudungnya, dan membuka pintu jendelanya lebih lebar. Bayangan pangeran bersepeda itu telah tak tampak lagi. Raya merasa, seperti ada yang membawa pergi jiwanya.

“Tidak … tidak … ini salah, aku harus menghentikannya,” bisiknya pelan.

Sebuah ketukan pintu terdengar, lalu bik Sarti masuk membawa vas berisi mawar-mawar yang tadi diberikan Raya.

“Ini Non,” katanya sambil meletakkan vas yang meriah dengan aneka warna mawar itu, diatas meja.

“Terima kasih, Bik.”

“Non Raya sedang melamun ya?”

“Menikmati udara sore ini Bik, rasanya segar sekali."

“Nyonya duduk sendirian di depan, Non Raya tidak ingin menemani? Minuman untuk Non saya letakkan di sana, barangkali Non ingin menemani nyonya.”

“Ya, Bik, aku mau ke depan,” jawabnya.

Bik Sarti keluar dari kamar Raya. Raya mendekati vas bunga dengan mawar-mawar itu, mencium aromanya sambil memejamkan mata.

“Harus aku hilangkan duri kamu, agar aku bisa meraihmu dan mendekatkannya ke wajahku, untuk mencium aroma wangimu,” bisiknya.

Tak ingin berlama-lama tenggelam dalam lamunan yang membuatnya gelisah, Raya segera keluar dari dalam kamar, melangkah ke depan untuk menemani ibunya. Rupanya Kamila juga belum pulang, demikian juga pak Rahman, sehigga bu bu Rahman menikmati udara sore di teras, sendirian.

Senyumnya merekah, ketika tiba-tiba Raya muncul dan duduk menemaninya.

“Mbak Mila belum pulang?”

“Belum, nggak tahu jalan-jalan ke mana mereka.”

“Pasti kangen dong Bu, kemarin kan tidak bisa berbincang lama karena mas Abi buru-buru pergi."

“Semoga Mila segera mendapat jawaban tentang kelanjutan hubungan mereka, karena ayahmu selalu menanyakannya.”

”Semoga mas Abi segera bersiap melamar, Raya juga sudah ingin menggendong keponakan Raya.”

“Dilamar saja belum, sudah membayangkan punya keponakan.”

“Semoga mas Abi segera bisa  menyelesaikan semua urusannya, dan mbak Mila segera dilamar.”

“Aamiin.”

***

Abi dan Kamila sedang berada di luar kota. Mereka duduk di sebuah taman, di kawasan rumah makan yang nyaman di pinggiran kota.

“Sebenarnya aku ingin mengulang pertanyaan aku terdahulu.”

“Seperti tadi kata kamu, bahwa bapak menitipkan pesan?”

“Ya. Kita harus maklum, sebagai orang tua, pasti tak ingin anaknya pacaran berlama-lama, dan belum jelas ujung pangkalnya."

“Kamu kan sudah tahu alasannya?”

“Tapi bapak terus mendesak. Kemarin dulu bahkan mengancam, kalau Mas tidak segera menentukan kapan siap melamar, kita harus putus hubungan.”

Abi mengangkat wajahnya, menatap kekasihnya, tajam.

“Apa kamu juga menginginkannya?”

“Apakah kamu belum bisa memastikannya?”

Saling bertanya, menunjukkan bahwa tetap saja belum ada kepastian yang bisa dijanjikan Abi. Alasannya masih sama, tentang pekerjaan yang baru saja ditanganinya, setelah orang tuanya menyerahkan semuanya padanya.

Kamila menghela napas. Ia sudah tahu bagaimana sikap ayahnya nanti, ketika Kamila belum bisa mengatakan jawaban Abi secara tegas.

Abi tampak termenung.

“Apa Mas masih sangat sibuk?”

“Urusanku di Jakarta bukan urusan yang enteng.”

“Tapi mas tidak akan mematahkan harapan aku bukan? Terkadang aku ragu, benarkah Mas mencintai aku.”

Abi tersenyum tipis.

“Kita bukan anak kecil yang setiap kali harus mengungkapkan kata cinta. Sikap dan perbuatan yang kita rasakan, sudah menjawab semuanya. Kamu kan tahu, aku bukan pria yang romantis. Aku tidak bisa merayu, atau mengatakan ucapan yang manis.”

Kamila mengerti, ia hanya mengangguk. Kamila berbeda dengan Raya, yang bisa memvisualisasikan rasa dengan sikap dan perbuatan. Barangkali juga Damian juga tahu, bahwa Raya menyukainya, karena Raya selalu meluap-luap dalam mengungkapkan rasa. Bukan ucapan cinta, tapi sikap dan cara dia menatapnya adalah jawaban. Damian yakin, kalau dirinya bukan si tukang kebun, dan Raya bukan anak majikan, pastilah ucapan cinta itu sudah tercurah.

“Kamila.”

Kamila menatap kekasihnya.

“Maukan menunggu aku sekitar kurang lebih setahun?” akhirnya Abi mengucapkannya.

“Setahun?”

“Apakah setahun itu lama?”

“Sehari pun terasa lama, saat aku menantikan kamu datang menemui aku.”

“Aku harap kamu masih bisa bersabar.”

“Nanti, Mas bilang saja sendiri pada bapak, supaya bapak juga merasa lega, karena ada janji yang Mas ucapkan.”

“Baiklah.”

Akhirnya Kamila merasa lega. Setahun itu lama, tapi bukankah dia sabar menunggu Abi kuliah di luar negri sampai bertahun-tahun?

“Aku akan menunggu kamu.”

Abi tersenyum. Ia meraih tangan Kamila dan menciumnya lembut.

***

“Setahun? Mengapa harus setahun?” tanya pak Rahman ketika Abi mengutarakan maksudnya.”

“Saya baru saja menerima tanggung jawab dari ayah saya, dan saya perlu fokus untuk mempelajari semuanya.”

“Memangnya kenapa kalau kamu belajar berbisnis sambil menjadi seorang suami?”

“Saya tidak ingin mengecewakan Kamila, yang pasti akan sering saya tinggalkan.”

“Memangnya setelah setahun nanti, kamu tidak akan pergi-pergi meninggalkannya?”

“Tidak akan separah sekarang.”

“Baiklah, aku pegang kata-kata kamu, dan jangan mengecewakan aku.”

“Saya berjanji, Pak.”

Sudah malam ketika Abi meninggalkan rumah pak Rahman. Tapi ia sempat menikmati selat segar buatan bik Sarti, karena dulu belum sempat menikmatinya.

Raya sudah meringkuk di kamarnya, ketika Kamila mendekatinya.

“Heiii, masih sore, sudah ngorok?”

Raya membalikkan tubuhnya, duduk disamping kakaknya ditepi pembaringan.

“Ada kabar baik, kan?”

“Setahun.”

“Setahun? Maksudnya, mas Abi akan melamar, setahun lagi?”

Kamila mengangguk.

“Lama amat.”

“Tidak apa-apa, aku bisa menunggu sambil bekerja. Aku sudah bilang sama dia, dan dia tidak melarangnya.”

“Tapi bapak melarangnya kan?”

“Kami masing-masing punya alasan. Bapak akhirnya mengijinkannya.”

“Syukurlah.”

“Kamu jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu masih berhutang jawaban sama aku. Jangan pura-pura lupa ya.”

“Apaan sih?”

“Kamu sudah berani mengungkapkan bahwa kamu sedang jatuh cinta, tapi kamu belum mengatakan siapa orangnya.”

“Kan aku sudah bilang, bahwa jawabannya nanti, kalau sudah jelas-jelas dia menerima aku. Kalau aku belum-belum sudah cerita, tapi ternyata dia menolak, malu dong aku.”

“Siapa laki-laki yang berani menolak adikku yang cantik ini?”

“Terkadang kecantikan itu bukan ukuran seseorang untuk jatuh cinta. Ada pertimbangan lain, ya kan?”

“Sok pintar kamu.”

“Emang iya, kan?”

“Ya sudah, aku mau mandi,” kata Kamila sambil berdiri dan beranjak keluar kamar.

“Selat segar masih ada enggak ya?”

“O masih, salah sendiri tadi tidak mau keluar untuk makan selat bersama kita.”

“Aku mau minta sama bik Sarti, sekarang,” kata Raya yang kemudian juga beranjak keluar dari kamarnya.

***

“Bibik duduk di sini dong, menemani Raya makan,” kata Raya setelah bik Sarti meracik selatnya untuk Raya. Dia makan sendirian, karena semuanya sudah makan dari tadi.

Bik Sarti mendekat, lalu duduk di sebuah kursi kecil di dekat meja makan itu.

“Bibik, nggak makan?”

“Non saja makan duluan. Tadi ketika semua makan, saya ke kamar Non, tapi Non sepertinya tidur nyenyak.”

“Aku sebenarnya hanya tiduran.”

“Masa sih? Bibik memanggil-manggil Non Raya, tapi tidak bangun juga.”

“Tidak tidur sebenarnya.”

“Non sedang melamun, kalau begitu.”

Raya tertawa.

“Banyak yang aku pikirkan, Bik.”

“Non masih muda, memikirkan apa?”

“Banyak. Aku sudah mau ujian, terus ,,, ah, pokoknya banyak.”

“Memikirkan pacar, barangkali,” goda bibik.

Raya tertawa.

 “Bibik ada-ada saja. Belum ada yang mau sama aku.”

“Masa sih Non? Non sangat cantik, yang ngantri pasti banyak.”

Raya tertawa semakin keras.

“Memangnya tiket? Ambilnya harus ngantri?”

“Bibik tidak main-main Non. Kalau Non mau, pasti Non nanti tinggal milih mana salah satu yang mau. Sebentar lagi non Kamila menikah, tentu tidaK lama kemudian Non Raya akan menyusul.”

“Entahlah Bik, bukankah jodoh itu ditangan Allah?”

“Benar, tapi manusia juga boleh memilih kok. Setelah cocok, meminta kepada Allah, agar pilihannya tidak salah.”

“Bagaimana kalau yang aku suka tidak membalas?”

“Wah, mana ada Non. Laki-laki yang disukai Non pasti mau dong. Orang rabun itu, yang menolak gadis secantik Non.”

“Bibik kok kompak sih sama mbak Mila, pakai bilang orang rabun yang nggak mau sama aku?”

“Benar kan? Mana ada orang yang nggak mau sama gadis cantik, coba.”

“Nyatanya ada yang nggak suka sama aku tuh.”

“Non memilihnya yang seperti apa sih? Pasti yang ganteng, yang kaya, yang mobilnya banyak kayak bapak, yang rumahnya mewah, yang_”

“Nggak!” Raya cepat-cepat memotong perkataan bibik.”

“Lalu apa? Yang bagaimana?”

“Yang ganteng, iya lah … tapi bukan yang mobilnya banyak kayak bapak.”

“Lalu, masa non mau memilih laki-laki miskin? Nggak mungkin kan?”

“Semua kemungkinan itu kan ada Bik.”

“Apa?” bibik terkejut mendengar jawaban Raya. Seperti dugaannya, jawaban dari pertanyaannya adalah Damian. Benarkah? Melihat sikapnya sama Damian, sepertinya memang iya. Kan mereka sering duduk berdua di taman, yang kalau dari dapur, bibik bisa melihatnya dengan jelas. Tapi rasa was-was segera menghinggapi perasaan bibik. Kalau iya, apa tidak akan terjadi huru hara di rumah ini? Nggak mungkin dong, kedua orang tuanya memberi restu? "Tapi entahlah, belum tentu juga dugaanku benar, kok aku sudah berpikir seperti sudah terjadi saja." Bibik mengusap wajahnya kasar, berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang belum tentu akan terjadi.

“Kok bibik bengong?”

“Bengong lah, mendengar jawaban Non. Pilihan Non kan harusnya seperti apa yang bibik katakan tadi, ganteng, kaya, lalu_”

“Bukan Bik, aku tidak ingin yang terlalu tinggi. Aku hanya ingin menurutkan kemana hatiku memilihnya. Yang penting dia baik, dia rendah hati, dan tentu saja dia juga harus sayang sama aku.”

Bibik benar-benar bengong seperti sapi ompong.

“Kalau dia miskin?”

“Apakah harta itu harus selalu dipikirkan oleh setiap orang? Benarkah hanya harta yang bisa membahagiakan?”

“Tapi kalau orang nggak punya uang ya sedih Non. Non belum pernah merasakan rasanya menjadi orang miskin sih. Ingin itu, nggak kesampaian, ingin ini … hanya mimpi. Sedih Non.”

Raya melanjutkan menyendok sisa selatnya, sampai habis, tanpa berkomentar terhadap apa yang bibik katakan.

Kalau cinta sudah bicara, abaikan semua kemungkinan, yang pahit sekalipun.

***

Sari sedang termangu di depan rumahnya. Seharusnya dua hari yang lalu dia kontrol ke dokter. Obatnya sudah habis, dan lukanya juga belum menunjukkan kesembuhan. Masih nyeri, dan terkadang membuatnya nggak bisa tidur. Sang ibu tadi menyarankan untuk berangkat sendiri dengan taksi. Bu Mijan justru marah ketika Sari mengatakan bahwa dia sudah minta tolong Damian, tapi ditolak gara-gara Damian harus bekerja.

“Kenapa harus Damian? Memangnya Damian itu siapa kamu? Memang sih, keluarganya sejak dulu tetangga baik, tapi kamu tidak bisa terlalu tergantung sama dia. Nggak pantas, perempuan mendambakan lelaki, yang tidak pantas pula menjadi pendamping, dan kamu masih selalu memimpikannya.”

Sari hanya diam. Ia tahu ibunya tidak suka pada Damian. Bukan tak suka sama orangnya, tapi tak suka mendengar dirinya menyukainya. Damian dianggapnya tidak pantas, karena hanya seorang tukang kebun, yang kehidupannya tidak jelas. Sebelum berangkat ibunya memberi sejumlah uang untuk membayar taksi dan membayar beaya rumah sakit. Tapi sampai lama Sari belum juga memanggil taksi.

Tiba-tiba Sari terkejut, melihat sebuah mobil memasuki halaman. Ia melongok saja, dan segan berdiri menyambut, karena kakinya masih terasa nyeri. Tapi lebih terkejut lagi, ketika melihat siapa yang turun dari taksi itu. Seorang laki-laki bertubuh sedang, berwajah sedang pula, tapi pakaiannya lebih rapi dari yang biasa dia melihatnya.

“Darmo?”

Laki-laki yang dipanggil Darmo tersenyum mendekat.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Sari tak ada ramah-ramahnya.

“Bu Mijan meminta aku menemani kamu kontrol ke rumah sakit. Ayo, taksinya masih menunggu.”

“Apa? Menemani ke rumah sakit? Nggak mau, aku sendiri saja.”

“Sari, aku sudah susah-susah tidak jualan hari ini, karena kamu. Ayolah, kamu tidak bisa sendirian dengan kondisi kakimu seperti itu,” kata Darmo yang begitu saja menarik tangan Sari.

Sari terpaksa berdiri, mengikuti Darmo yang memapahnya. Sari tahu, bahwa sangat susah berjalan sendiri karena harus menahan rasa sakit di sebelah kakinya.

***

Siang itu pak Timan sedang duduk sendirian di teras rumah. Udara yang panas membuat dirinya harus mencari udara segar di depan rumah, sebelum bisa tidur istirahat siang di kamarnya.

Tiba-tiba pak Timan terkejut, ketika ada tukang pos memasuki halaman rumahnya. Selama ini dia belum pernah bersurat-suratan sama siapapun. Apa tukang pos itu salah alamat? Tapi pak Timan berdiri memnyambutnya.

“Selamat siang, apakah ini rumah pak Timan?”

“Ya, saya Timan.”

“Syukurlah, ada kiriman surat tercatat untuk Bapak, silakan tanda tangan di sini.”

Pak Timan terkejut.

***

Besok lagi ya.

 

 

40 comments:

  1. Replies
    1. 🥦❤️🥦🌷🌾🌹🥝🍎🍌

      Alhamdulillah....
      EsPe_09 sdh ditayangkan......
      Ada surat tercatat untuk pa Timan.....
      Jebule isine pesanan thumbler untuk para penyemangat bu Tien yang tdk ikut hadir di JF_4 Jabodetabek.....

      🥦❤️🥦🌷🌾🌹🥝🍎🍌

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Pesan telah tayang.

    ReplyDelete
  3. Terima ksih bunda Tien SP nya..slmt mlm dan slmt istrhat..salam seroja dan aduhai dri skbmi🙏😘🌹❤️

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah SP 09 sdh tayang..Semoga Bu Tien diparingi sehat...Aamiin YRA.🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  5. Hoooreee..... matur suwun gasik

    ReplyDelete
  6. Puji Tuhan SP 9 sudah tayang...
    Sehat selalu Bu Tien, Salam Aduhai ...
    Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇

    ReplyDelete
  7. 🌹🌿🌹🌿🌹🌿🌹🌿
    Alhamdulillah SP 09
    sudah hadir...
    Matur nuwun Bu Tien.
    Sehat selalu & tetap
    smangats berkarya.
    Salam Aduhai 🦋
    🌹🌿🌹🌿🌹🌿🌹🌿

    ReplyDelete
  8. Mungkin Damian jadi keluar, pindah kerja di bengkel motor ya... Sedangkan Sari dipaksa dekat dengan Darmo, tidak mengapa.
    Bagaimana Raya dapat menjumpai Damian?
    Besok lagi ya...
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Damia terpaksa hrs pindah cari kerja lain utk menghindari rasa berdebar saat bertemu atau melihat non Raya pak?

      Delete
    2. Puji Tuhan ibu Tien selalu sehat, semangat dan produktip sehingga SP 09 hadir bagi kami para penggandrungnya ..

      Pesannya yg mana ya?
      Apakah harus sabar menunggu setahun?
      Setia menunggu lanjutnya.
      Matur nuwun ibu Tien...

      Delete
    3. Damian yang tau diri, masakan tukang kebun senang dengan majikan.

      Delete
  9. Alhamdulillah
    Sudah datang
    Maturnuwun Buu
    Semoga sehat selalu dan terus semangat

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillaah tayang
    Kira" apa ya? Sebuah pesan ....

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah SEBUAH PESAN~09 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga tetap sehat ..🙏

    ReplyDelete
  12. Waktu adalah uang, hebat pebisnis pebisnis ini.
    Abi minta setahun, kan kebablasan jadi satu tahun nemenin dulu; setelah lewat masa idah mulai dengan mbêsêngut dan kasar cepat cepat segera putus, bukan mauku kan ini terjadi, terus dibuat kaya peternakan begitu? Nggak tanggung jawab nich, ini jin buang anak; kalau jadi sama Mila kan tambah modal, anak orang kaya.
    Rupanya Mak Mijan sudah mengeksekusi; tindakan nyata bukan issue, itungan lagi lah.
    Nggak peduli; Mak Mijan mau beli satu dapat dua, get one buy one, apa tuh.
    Nggak tahu lah ikutan iklan aja.
    Bibik bengong dapat jawaban Raya; prediksi capaian ektabilitasnya melebihi lima puluh persen, apa tuh, tebakan aja, kan dengan perhitungan matang pasti bener tebakan bibik Sarti.
    Waduh bakal hancur donk dinasti Rahman, kan tergantung pangeran pangeran yang datang, putri semua, mustinya nunggu; jabatan jabatan sang pangeran yang bakal datang, setara apa nggak kastanya.
    Baru berani bilang sama kak Mila, didesak terus seeh, diminta jawabannya.
    Malah kebalikan kecerdasan Raya mengusik Mila; dimana Raya nyeritain alibi, alasan Abi minta mundur setahun itu.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Sebuah pesan yang ke sembilan sudah tayang
    Sehat sehat selalu ya Bu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  13. Salam sehat penuh semangat dari Rewwin🌿

    ReplyDelete
  14. Semoga surat tercatat untuk pak Kirman itu pengirimnya majikan lama yg pulang ke negaranya, menanyakan Damian, ingin membantu pendidikan Damian.
    Damian kuliah sambil kerja di bengkel...
    Nantinya bisa nikah bersama Raya...

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah DP-09 sdh hadir
    Terima kasih Bunda, semoga bunda sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  16. Sebaiknya memang Damian berusaha mandiri di luar rumah tuannya, semoga kelak dia sukses dan kembali untuk melamar Raya ya...Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat selalu.🙏🙏🙏😀😘😘

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien, Sebuah Pesan Eps. 09 sudah tayang.
    Salam sehat dan salam hangat.

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah.
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  19. Ini kah sebuah pesan dari pos..??😍😍

    Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏
    Sehat selalu kagem bunda.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah... Semoga Damian mendapatkan pekerjaan yang kereen... sehingga pantas beristrikan Raya. Terimakasih bunda Tien....

    ReplyDelete
  21. Matur nuwun Mbak Tien ...
    Mbacanya ngrapel aaah .. Salam aduhai sehat wal afiat penuh syukur dan bahagia

    ReplyDelete
  22. Surat apa ya...
    Makasih mba Tien.
    Sehat selalu dan tetap semangat.
    Aduhai.

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    sehat wal'afiat selalu 🤗🥰

    Kira2 apa ya isi surat nya ,,, penasaran 🤭

    ReplyDelete
  24. Menanti SP 10
    Semoga bunda Tien sehat selalu 🙏🤲

    ReplyDelete
  25. Terimakasih...Bu Tien....Pesan utk pak Timan dari ayah kandung Damian benarkah?

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 08

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  08 (Tien Kumalasari)   Sinah keluar masuk kamar dan mengitari keputren, tapi dia tak menemukan junjunganny...