Monday, August 29, 2022

SEBUAH JANJI 14

 

SEBUAH JANJI  14

(Tien Kumalasari)

 

Yanti terus melenggang masuk ke dalam kamarnya. Maksudnya kamar tamu yang dijadikan kamarnya, tanpa peduli bibik yang kebingungan mendengar jawabannya.

Bibik masih terpaku di tempatnya berdiri, ingin mengatakan sesuatu tapi Aryanti sudah menutup pintu kamarnya.

“Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan non Sekar?”

Bibik mencoba menelpon anaknya, tapi Barno tak mengangkatnya. Apa sebenarnya yang terjadi di sana? Bibik merasa panik. Ia masuk ke kamar pak Winarno, dan langsung duduk dilantai begitu saja, bersandar pada pintu.

Tanpa diduga, pak Winarno melihat ulahnya.

“Bik, apa yang kamu lakukan?”

Bibik terkejut. Ia menyesal telah berperilaku kebingungan dan bahkan masuk ke kamar majikannya.

“Ada apa?”

“Eh, tidak ada apa-apa Pak,”

“Mengapa kamu tiba-tiba duduk di situ, dan terlihat seperti orang bingung?”

“It … itu Pak, saya kesal pada … pada Barno …” jawabnya sekenanya.

“Memangnya Barno kenapa?”

“Dia .. dia pulang langsung, tidak mampir kemari Pak, saya jadi … kesal.”

“Hanya soal kecil, kenapa kesal? Barangkali Barno terburu-buru karena harus menyelesaikan tugas kuliahnya. Kamu jangan egois begitu Bik,” kata pak Winarno, walau pelan tapi  jelas didengar oleh bibik. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuat bibik gelisah kan, hanya alasan yang disampaikannya pada pak Winarno saja, supaya sang majikan tidak cemas karena ikut memikirkan puteri cantiknya.

“Iya sih Pak,  tapi kan tadi … bapak menyuruh Barno supaya menemui Bapak dulu, bukan langsung kabur.”

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin ngobrol sebentar. Entah mengapa, aku suka sama anak kamu itu Bik.”

“Alhamdulillah kalau Bapak suka,tapi ya maaf Pak, namanya anak kampung, kadang-kadang cara bicaranya terlalu kasar,” kata bibik mencoba menetralkan suasana.

“Tidak kok. Anakmu sangat santun, bicara dengan baik.”

“Benarkah Pak?”

“Benar sekali. Masa aku bohong?”

“Ya sudah Pak, saya mau ke belakang dulu. Bapak menginginkan apa?”

“Tidak, aku bisa sendiri. Paling ingin minum.”

“Oh iya, tapi kalau Bapak memerlukan sesuatu, Bapak panggil saya ya.”

“Iya, iya …Tapi apa Sekar belum kembali?”

“Be … belum Pak.”

“Aku seperti mendengar suara Yanti. Apa telingaku salah ya? Setengah tidur sih.”

“Oh, saya kok … belum melihatnya.”

“Baiklah, tentu saja. Kalau Yanti datang pasti Sekar juga ada. Kan Sekar sedang menjemputnya?”

“Iya, benar Pak.”

Lalu bibik bergegas keluar, semakin banyak pak Winarno bertanya, semakin banyak kebohongan yang harus diucapkannya.

***

Barno memasuki rumah yang pintu bagian depannya tertutup. Ia mendekati pintu itu, dan urung mengetuknya karena mendengar suara Sekar.

“Mana ya Ibu, saya harus segera mengajaknya pulang,” kata Sekar.

“Kamu tidak tahu, ibumu sudah pulang.”

“Sudah pulang?” kata Sekar lagi.

“Hei, kamu mau ke mana?”

Barno masih mendekatkan telinganya ke pintu.

“Tentu saja saya mau pulang.”

“Tunggu dulu.”

“Apa yang akan Bapak lakukan?”

“Apa ibumu tidak mengatakan apapun?”

“Apa maksud Bapak? Dan tolong lepaskan tangan saya.”

“Sekar.”

“Lepaskan!” kata Sekar agak keras. Barno mengepalkan tangannya. Ia membayangkan apa yang akan dilakukan oleh lelaki yang suaranya terdengar berat di dalam sana.

“Kamu adalah milikku.”

“Lepaskaaan!”

“Kamu milikku. Dengar, aku ini memang sudah setengah tua. Tapi aku masih gagah dan juga tampan kan? Aku juga banyak uang. Aku akan memberikan apa saja yang kamu minta. Aku akan membuatkan rumah bagus untuk kamu. Mobil, dan apapun yang kamu inginkan.”

“Lepaskan! Jangan mengigau. Aku tidak butuh semua itu.”

“Ibumu sudah berjanji. Imbalannya adalah semua hutang ibu kamu akan aku anggap lunas.”

“Dia bukan ibuku. Lepaskan atau aku akan berteriak!!”

Terdengar tawa laki-laki itu. Begitu nyaring tapi sangat memuakkan. Barno memutar gerendel pintu. Sialnya pintu itu terkunci.,

Lalu terdengar jeritan Sekar. Barno mendorong pintu, tapi tidak berhasil.

“Lepaskaaan. Aaaaughhh.”

Lalu terdengar kursi terjatuh, dan suara Sekar terdengar tertahan. Rupanya laki-laki itu membekap mulutnya, atau apa lah. Tapi darah di tubuh Barno sudah mulai mendidih. Tak berhasil mendorong, ia mendobraknya dengan keras. Suara daun pintu terlepas, dan tubuh Barno melompat ke dalam.

“Laki-laki itu terkjejut, rengkuhannya pada Sekar terlepas.

“Bedebah! Kamu siapa?”

“Non, pulanglah dulu,” kata Barno kepada Sekar.

“Tapi Barno, kamu_”

“Pulanglah, bapak menunggu, jangan sampai beliau khawatir karena Non tidak pulang-pulang.”

“Tapi_”

“Cepat Non, manusia berhati binatang ini urusan saya.”

Mendengar kata bahwa ayahnya pasti mengkhawatirkannya, Sekar segera bangkit. Ia meraih tas tangan yang tadi dibawanya dan bergegas keluar, setelah mengatakan kata ‘hati-hati’ untuk Barno.

Samadi menggeram marah.

“Kamu siapa? Kamu tidak tahu apa-apa.”

“Tapi aku tahu bahwa dia harus aku jaga dan aku jadikan wanita terhormat.”

“Kurangajar kamu,” kata Samadi sambil melemparkan kursi kecil yang sempat diraihnya, ke arah Barno. Tapi Barno sudah siap, dia menghindar sambil melompat ke arah Samadi, langsung mengayunkan sebuah bogem ke wajah Samadi.

Laki-laki setengah tua itu terhuyung ke belakang.

“Setan kamu! Aku laporkan kamu pada polisi.”

“Laporkan saja, aku tidak akan lari.”

Samadi melangkah maju sambil mengayunkan tangannya untuk memukul, tapi Barno segera menangkap lengannya, lalu memelintirnya.

“Aaaaughhh!”

Samadi meraung.

Barno mendorongnya sehingga Samadi terjerembab ke belakang. Kepalanya tarantuk pinggiran meja. Barno melangkah maju, mengayunkan lagi tangannya ke arah wajah Samadi, bertubi-tubi. Samadi tak bisa bangkit, tubuhnya terasa lemas.

Barno merasa cukup menghajarnya, kemudian membalikkan tubuhnya, keluar dari ruangan sambil membanting sisa daun pintu yang masih terpasang separonya, menimbulkan suara gaduh yang memekakkan telinga.

***

Sekar memasuki rumah dengan wajah pucat dan rambut awut-awutan. Ia langsung pergi ke arah belakang, lalu merangkul bibik yang menyambutnya dengan wajah penuh syukur.

“Ya ampun Non, saya sangat khawatir. Apa yang terjadi? Dimana Barno?”

Sekar terisak, tak mampu mengucapkan apa-apa, sambil mempererat pelukannya.

“Barno dimana Non? Baik-baik saja?” bibik bertanya lagi, karena iapun mengkhawatirkan anaknya.

Sekar mengangguk. Baru mampu mengangguk, ia masih terisak. Tapi bibik tidak merasa puas.

“Apakah Barno baik-baik saja?”

“Iya Bik. Apakah bapak menanyakan aku?” akhirnya terbata Sekar mengucapkan kata-kata, karena ia juga mengkhawatirkan ayahnya.

“Iya Non, tadi bertanya. Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Ibu mempertemukan aku dengan laki-laki itu, sudah setengah tua, menjijikkan. Beruntung ada Barno yang menyelamatkan aku,” kata Sekar masih dengan terbata-bata.

“Ya Tuhan, kejam sekali bu Yanti. Lalu Barno bagaimana?”

“Dia masih di sana, mudah-mudahan dia bisa menghajar laki-laki itu. Aku ingin menunggu, tapi Barno menyuruhku pulang lebih dulu.”

"Sebaiknya Non rapikan rambut Non, dan keringkan air mata, lalu temui bapak. Jangan memperlihatkan wajah kusut.”

Sekar mengangguk. Ia mengusap air matanya lalu masuk ke dalam kamar.

Bibik yang mengkhawatirkan anaknya segera menelponnya, dan merasa lega karena Barno langsung menjawabnya.

“Tidak apa-apa Mbok, aku sudah mau kembali ke situ. Non Sekar tidak apa-apa kan?”

“Iya, sudah mau menemui bapak, karena tadi menanyakannya. Bapak juga menanyakan kamu. Cepatlah kemari dan ceritakan semuanya. Simbok belum jelas benar karena non Sekar datang langsung menangis.

“Baiklah Mbok, aku segera ke situ.”

***

Sekar sedang berjalan ke arah kamar ayahnya, ketika ibu tirinya menghadang di depannya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu bertindak semau kamu. Tidak mengerti betapa semua itu aku lakukan demi kebaikan kamu,” hardiknya sambil matanya membulat mengandung amarah.

“Apa juga yang Ibu lakukan? Ibu menjual saya untuk melunasi hutang ibu?”

“Jangan lancang!” Yanti berteriak.

“Itu benar bukan? Dia mengatakannya, tapi saya tidak sudi melakukannya.”

“Sekar !!” Kamu berani menentang ibumu? Ibu yang merawat kamu sejak kamu kecil hingga dewasa? Inikah balasan kamu? Anak tak tahu diri!”

“Pokoknya saya tidak mau!”

Sekar meneruskan langkahnya, khawatir ayahnya mendengar teriakan ibu tirinya, lalu memikirkan hal yang membuatnya semakin sakit.

“Anak tak tahu diri! Bodoh!” umpatnya, yang untunglah tidak mengikuti masuk ke dalam kamar ayahnya.

Sekar membuka pintunya pelan, ternyata pak Winarno masih membuka matanya. Hati Sekar berdebar, apakah tadi ayahnya mendengar teriakan ibu tirinya?”

“Sekar …”

“Ya, mengapa Bapak tidak tidur?”

“Mengapa ibumu berteriak?”

“Oh, tidak apa-apa Pak.”

“Tidak apa-apa bagaimana? Aku mendengar ibumu berteriak marah.”

Sekar memegangi tangan ayahnya dan menciuminya berkali-kali.

“Ibu marah karena Sekar terlambat menjemputnya,” kata Sekar berbohong.

“Sampai begitu kerasnya dia menghardik kamu?”

“Tidak apa-apa Pak, memang Sekar yang salah,” kata Sekar sambil tersenyum. Tapi pak Winarno terus menatap wajah anaknya.

“Kamu habis menangis?”

“Ah, Bapak ada-ada saja,” kata Sekar yang terkejut, karena ternyata ayahnya melihat raut wajahnya yang pastinya kusam dan sembab.

“Bapak tahu, kamu selalu menutupi apapun yang kamu rasakan,” kata pak Winarno sambil meremas tangan anaknya.

Sekar tertawa lirih, atau tepatnya merintih yang tersembunyi, karena sesungguhnya tawa lirih itu memang menyerupai sebuah rintihan. Dan pak Winarno selalu bisa menangkapnya.

“Bapak jangan berpikir yang tidak-tidak, Sekar baru datang, lalu mencuci muka, jadi kelihatan basah.”

Pak Winarno menghela napas.

“Bapak minta maaf ya.”

“Mengapa Bapak meminta maaf? Bapak tidak bersalah apapun. Sekar yang minta maaf karena tidak bisa sepenuhnya merawat Bapak.”

“Sudah banyak, bahkan terlalu banyak kamu melakukan banyak hal untuk bapak.”

Sekar merangkul ayahnya. Ia sadar, sang ayah mengetahui saat hatinya sedang resah. Ia tak pernah menampakkan keresahan itu, tapi ayahnya selalu bisa menangkapnya.

“Bapak harus bahagia, karena Sekar akan selalu bersama Bapak.”

Pak Winarno mengelus kepala Sekar, tak terasa berlinanglah air matanya.

***

Barno baru saja menstandartkan kendaraannya dibawah pohon jambu yang ada di depan rumah, ketika tiba-tiba Yanti keluar sambil berbicara dengan seseorang. Pembicaraan itu terhenti ketika ia menegur Barno.

“Kamu? Mau apa datang kemari?” kata Yanti kasar.

“Saya mau ketemu simbok saya,” jawabnya.

“Masuk dari pintu samping, jangan dari sini,” katanya tanpa senyuman.

Barno mengangguk. Dia memang selalu masuk dari samping, tapi ia tak menjawab sepatah katapun.

Ia terus melangkah, dan masuk dari pintu dapur. Bibik senang melihat anaknya.

“Apa yang terjadi sebenarnya?”

“Non Sekar sudah pulang kan?” tanyanya, walau tadi bibik sudah mengatakannya.

“Sudah. Begitu datang langsung menangis. Aku bingung.”

“Mana dia?”

“Di kamar bapak. Simbok menyuruhnya, karena sudah dari tadi bapak bertanya-tanya.

“Ya sudah, syukurlah.”

“Ada apa sebenarnya?”

Dengan suara berbisik, Barno menceritakan semuanya. Bibik sangat terkejut. Ia mendengarkan sambil menutup mulutnya dengan tangan, agar tak berteriak karena marah mendengar penuturan anaknya.

“Sungguh keterlaluan,” geram bibik.

“Untunglah aku mengantarnya tadi, kalau tidak, entah apa yang terjadi,” gumam Barno sambil meraih segelas air putih dingin yang diberikan simboknya.

“Pasti bu Yanti marah kalau laki-laki itu mengatakannya.”

“Tampaknya iya. Tadi di depan dia sedang berbicara di telpon.”

“Apa sebaiknya non Sekar pergi saja dari rumah ya?”

“Mana mungkin non Sekar mau meninggalkan ayahnya,” kata Barno.

“Tapi kalau tetap di sini pasti akan ribut dengan ibu tirinya. Biarlah nanti aku bicara sama non. Sekarang kamu ke kamar Bapak dulu, tadi kamu ditanyakan, dan aku berbohong berkali-kali,” kata simboknya sambil menarik tangan anaknya.

Begitu masuk kamar, pak Winarno langsung memanggilnya.

“Barno, kata simbokmu, kamu langsung pulang, sampai simbokmu marah-marah tadi.”

Barno tidak membantah perkataan pak Winarno, ia mengira pasti itulah tadi yang dikatakan simboknya.

“Iya Pak, saya tadi sebenarnya sedang membeli buku.”

“O, begitu, simbokmu mungkin mengira kamu sudah pulang. Apa sekarang kamu mau pulang?”

“Iya Pak, sudah hampir malam.”

“Baiklah, ini, terimalah, ada sedikit buat kamu jajan,” kata pak Winarno sambil membuka dompetnya yang diletakkan di bawah bantal.”

“Tidak Pak, terima kasih, saya masih punya uang. Pemberian simbok masih sisa lumayan dan cukup.”

“Kamu selalu begitu. Terima saja, ini hanya sedikit.”

Barno menoleh ke arah simboknya, yang kemudian menganggukkan kepalanya, menyuruh Barno menerimanya agar pak Winarno tidak kecewa.

Barno menerima uang itu dan mengucapkan terima kasih.

“Jangan melupakan pesanku ya.”

“Iya Pak, saya akan selalu mengingatnya.”

“Hm, bagus. Sekarang pulanglah.”

Barno mencium tangan pak Winarno, kemudian melangkah pergi. Simbok dan Sekar mengikutinya.

“Barno, bagaimana tadi?” tanya Sekar sambil berbisik.

“Saya hajar dia. Non tidak usah khawatir,” kata Barno sambil menetap penuh iba kepada non cantiknya.

“Terima kasih Barno, kalau tidak ada kamu, entah bagaimana nasibku.”

“Saya sudah berjanji akan selalu menjaga Non. Sekarang saya permisi dulu. Saya mohon nanti Non mendengarkan saran dari simbok.”

“Saran apa?”

“Nanti simbok pasti mengatakannya,” kata Barno sambil mencium tangan simboknya, kemudian berlalu, kembali melalui pintu samping.

Saat melewati teras, Barno sempat mendengar Yanti berteriak.

“Apa? Saya harus menggantikannya? Tapi ….”

Yanti menghentikan ucapannya karena melihat Barno melintas.

***

Besok lagi ya.

36 comments:

  1. Horeee Sebuah Janji 14 sdh tayang
    Trimakasih bunda...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yess…...…jeng Wiwik juara 1

      Matur nuwun bunda.
      Sugeng dalu.... Salam sehat.

      Mau lihat keseruan tim BROMO??
      https://drive.google.com/drive/folders/1uqFG4s9OcO85KctkO9drbnZUsmyI90N8

      Delete
    2. Asyik bener. Kapan yaa, aku bisa kesana?

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bakalan berkepanjangan ni masalah, mengapa Sekar tidak berterus terang saja kepada bapaknya.
      Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

      Delete
  3. Alhamdulillahi rabbil'alamiin
    Terimakasih bu tien .... semoga bu tien sehat2 selalu

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah SEBUAH JANJI 14 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ... maturnuwun nu Tien

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah
    Ysng ditunggu tunggu telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Sehat selalu
    Tetap semangat

    ReplyDelete
  7. Barno...iyeess. sikat saja lelaki setengah tua itu..ngakunya setengah tua 😁😁

    Matur nuwun bunda Tien...🙏🙏

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah terima kasih Mbak Tien, semoga selalu sehat

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah..sdh tayang yg di tunggu2.. Terima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah Sebuah Janji Eps 14 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien Kumalasari.
    Salam sehat dan salam hangar.

    ReplyDelete
  11. Trims bu tien. pak samadi sudah kena bogem barno. Piye mas nanang, mau ditambahin 😀

    ReplyDelete
  12. Yg ditunggu2... Matur nuwun bu tien 🥰🥰🥰

    ReplyDelete
  13. Terima lasih bunda Tien, SJ14 yang ditunggu sudah hadir kembali

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah SEBUAH JANJI~14 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  15. Bênêr bênêr darah muda dengan terayun gelombang sayang, piyé tå lha diparingi purbå waséså; rawé rawé rantas malang malang putung,
    bukanya kemaren sampai Batu, hé hé hé,
    yang penting persoalan sudah tahu, ibu tirinya menjual Sekar ke Samad buat nutup utang, kini pintu rumah kontrakan nya rusak, minta ganti rugi ke Yanti.

    Waduh juragan apa itu, mau lapor polisi nanti malah panjang kali lebar, judulnya beraninya sama yang lemah.
    Ya nggak berani tå, bubar semua, kelihatan belangnya tå.

    Selagi asyik memarahi Barno; Ari datang dan mendengar Barno marah kalau Yanti mau jual Sekar ke Samad.
    Dengan gitu utangnya lunas.
    Weis, bikin Ari bengong; lha ini berteman antemanteman tenanan.
    Ternyata segitu konyolnya perlakuan si Yanti pada keluarga nya.
    Kok blandang.. ya di rem.
    Remnya cakram donk.
    Lha Yanti pinter ngumpetin masalahnya, biasa berpelik ria dengan segala variasinya, kelihatan biasa biasa saja, tapi bagus tå punya cita cita; cita cita åpå.. gênah mau mêblusukan Sekar dengan perhitungan utangnya lunas gitu lho.
    Kan mau ikutan jadi juragan.
    Samad bingung bathuké mrêmpul arêp bali omah ora wani pamité nginép, mau ke klinik pintu rumah nggak bisa ditutup.
    Kan pintu selalu terbuka.
    Menerima konsultasi.



    Terimakasih Bu Tien,

    Sebuah janji yang ke empat belas sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, akhirnya yg ditunggu muncul juga....suwun Bu Tien...😊🙏
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Ceritanya seru...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah,, matur nuwun bu Tienku
    Masya Allah Luar biasa bu Tienku ini,,tentu msh lelah tetap hadir cerbung SJ memenuhi pengemar
    Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien dan bapak 🤗🥰

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete
  20. Terimakasih Bunda Tien, SJ 14 dah tayang...
    semakin seru...semakin penasaran...
    salam sehat2 selalu...
    salam aduhaiii.....🙏🥰🌹

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...