SEBUAH JANJI 14
(Tien Kumalasari)
Yanti terus melenggang masuk ke dalam kamarnya.
Maksudnya kamar tamu yang dijadikan kamarnya, tanpa peduli bibik yang
kebingungan mendengar jawabannya.
Bibik masih terpaku di tempatnya berdiri, ingin
mengatakan sesuatu tapi Aryanti sudah menutup pintu kamarnya.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan non Sekar?”
Bibik mencoba menelpon anaknya, tapi Barno tak
mengangkatnya. Apa sebenarnya yang terjadi di sana? Bibik merasa panik. Ia
masuk ke kamar pak Winarno, dan langsung duduk dilantai begitu saja, bersandar
pada pintu.
Tanpa diduga, pak Winarno melihat ulahnya.
“Bik, apa yang kamu lakukan?”
Bibik terkejut. Ia menyesal telah berperilaku kebingungan
dan bahkan masuk ke kamar majikannya.
“Ada apa?”
“Eh, tidak ada apa-apa Pak,”
“Mengapa kamu tiba-tiba duduk di situ, dan terlihat
seperti orang bingung?”
“It … itu Pak, saya kesal pada … pada Barno …”
jawabnya sekenanya.
“Memangnya Barno kenapa?”
“Dia .. dia pulang langsung, tidak mampir kemari Pak,
saya jadi … kesal.”
“Hanya soal kecil, kenapa kesal? Barangkali Barno
terburu-buru karena harus menyelesaikan tugas kuliahnya. Kamu jangan egois
begitu Bik,” kata pak Winarno, walau pelan tapi
jelas didengar oleh bibik. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuat bibik
gelisah kan, hanya alasan yang disampaikannya pada pak Winarno saja, supaya
sang majikan tidak cemas karena ikut memikirkan puteri cantiknya.
“Iya sih Pak,
tapi kan tadi … bapak menyuruh Barno supaya menemui Bapak dulu, bukan
langsung kabur.”
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin ngobrol sebentar.
Entah mengapa, aku suka sama anak kamu itu Bik.”
“Alhamdulillah kalau Bapak suka,tapi ya maaf Pak,
namanya anak kampung, kadang-kadang cara bicaranya terlalu kasar,” kata bibik
mencoba menetralkan suasana.
“Tidak kok. Anakmu sangat santun, bicara dengan baik.”
“Benarkah Pak?”
“Benar sekali. Masa aku bohong?”
“Ya sudah Pak, saya mau ke belakang dulu. Bapak
menginginkan apa?”
“Tidak, aku bisa sendiri. Paling ingin minum.”
“Oh iya, tapi kalau Bapak memerlukan sesuatu, Bapak
panggil saya ya.”
“Iya, iya …Tapi apa Sekar belum kembali?”
“Be … belum Pak.”
“Aku seperti mendengar suara Yanti. Apa telingaku
salah ya? Setengah tidur sih.”
“Oh, saya kok … belum melihatnya.”
“Baiklah, tentu saja. Kalau Yanti datang pasti Sekar
juga ada. Kan Sekar sedang menjemputnya?”
“Iya, benar Pak.”
Lalu bibik bergegas keluar, semakin banyak pak
Winarno bertanya, semakin banyak kebohongan yang harus diucapkannya.
***
Barno memasuki rumah yang pintu bagian depannya
tertutup. Ia mendekati pintu itu, dan urung mengetuknya karena mendengar suara
Sekar.
“Mana ya Ibu, saya harus segera mengajaknya pulang,”
kata Sekar.
“Kamu tidak tahu, ibumu sudah pulang.”
“Sudah pulang?” kata Sekar lagi.
“Hei, kamu mau ke mana?”
Barno masih mendekatkan telinganya ke pintu.
“Tentu saja saya mau pulang.”
“Tunggu dulu.”
“Apa yang akan Bapak lakukan?”
“Apa ibumu tidak mengatakan apapun?”
“Apa maksud Bapak? Dan tolong lepaskan tangan saya.”
“Sekar.”
“Lepaskan!” kata Sekar agak keras. Barno mengepalkan
tangannya. Ia membayangkan apa yang akan dilakukan oleh lelaki yang suaranya
terdengar berat di dalam sana.
“Kamu adalah milikku.”
“Lepaskaaan!”
“Kamu milikku. Dengar, aku ini memang sudah setengah
tua. Tapi aku masih gagah dan juga tampan kan? Aku juga banyak uang. Aku akan
memberikan apa saja yang kamu minta. Aku akan membuatkan rumah bagus untuk
kamu. Mobil, dan apapun yang kamu inginkan.”
“Lepaskan! Jangan mengigau. Aku tidak butuh semua itu.”
“Ibumu sudah berjanji. Imbalannya adalah semua hutang
ibu kamu akan aku anggap lunas.”
“Dia bukan ibuku. Lepaskan atau aku akan berteriak!!”
Terdengar tawa laki-laki itu. Begitu nyaring tapi
sangat memuakkan. Barno memutar gerendel pintu. Sialnya pintu itu terkunci.,
Lalu terdengar jeritan Sekar. Barno mendorong pintu, tapi
tidak berhasil.
“Lepaskaaan. Aaaaughhh.”
Lalu terdengar kursi terjatuh, dan suara Sekar
terdengar tertahan. Rupanya laki-laki itu membekap mulutnya, atau apa lah. Tapi
darah di tubuh Barno sudah mulai mendidih. Tak berhasil mendorong, ia
mendobraknya dengan keras. Suara daun pintu terlepas, dan tubuh Barno melompat
ke dalam.
“Laki-laki itu terkjejut, rengkuhannya pada Sekar
terlepas.
“Bedebah! Kamu siapa?”
“Non, pulanglah dulu,” kata Barno kepada Sekar.
“Tapi Barno, kamu_”
“Pulanglah, bapak menunggu, jangan sampai beliau
khawatir karena Non tidak pulang-pulang.”
“Tapi_”
“Cepat Non, manusia berhati binatang ini urusan saya.”
Mendengar kata bahwa ayahnya pasti mengkhawatirkannya,
Sekar segera bangkit. Ia meraih tas tangan yang tadi dibawanya dan bergegas
keluar, setelah mengatakan kata ‘hati-hati’ untuk Barno.
Samadi menggeram marah.
“Kamu siapa? Kamu tidak tahu apa-apa.”
“Tapi aku tahu bahwa dia harus aku jaga dan aku
jadikan wanita terhormat.”
“Kurangajar kamu,” kata Samadi sambil melemparkan
kursi kecil yang sempat diraihnya, ke arah Barno. Tapi Barno sudah siap, dia
menghindar sambil melompat ke arah Samadi, langsung mengayunkan sebuah bogem ke
wajah Samadi.
Laki-laki setengah tua itu terhuyung ke belakang.
“Setan kamu! Aku laporkan kamu pada polisi.”
“Laporkan saja, aku tidak akan lari.”
Samadi melangkah maju sambil mengayunkan tangannya
untuk memukul, tapi Barno segera menangkap lengannya, lalu memelintirnya.
“Aaaaughhh!”
Samadi meraung.
Barno mendorongnya sehingga Samadi terjerembab ke
belakang. Kepalanya tarantuk pinggiran meja. Barno melangkah maju, mengayunkan
lagi tangannya ke arah wajah Samadi, bertubi-tubi. Samadi tak bisa bangkit,
tubuhnya terasa lemas.
Barno merasa cukup menghajarnya, kemudian membalikkan
tubuhnya, keluar dari ruangan sambil membanting sisa daun pintu yang masih
terpasang separonya, menimbulkan suara gaduh yang memekakkan telinga.
***
Sekar memasuki rumah dengan wajah pucat dan rambut
awut-awutan. Ia langsung pergi ke arah belakang, lalu merangkul bibik yang
menyambutnya dengan wajah penuh syukur.
“Ya ampun Non, saya sangat khawatir. Apa yang terjadi?
Dimana Barno?”
Sekar terisak, tak mampu mengucapkan apa-apa, sambil
mempererat pelukannya.
“Barno dimana Non? Baik-baik saja?” bibik bertanya lagi, karena iapun
mengkhawatirkan anaknya.
Sekar mengangguk. Baru mampu mengangguk, ia masih
terisak. Tapi bibik tidak merasa puas.
“Apakah Barno baik-baik saja?”
“Iya Bik. Apakah bapak menanyakan aku?” akhirnya
terbata Sekar mengucapkan kata-kata, karena ia juga mengkhawatirkan ayahnya.
“Iya Non, tadi bertanya. Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Ibu mempertemukan aku dengan laki-laki itu, sudah
setengah tua, menjijikkan. Beruntung ada Barno yang menyelamatkan aku,” kata
Sekar masih dengan terbata-bata.
“Ya Tuhan, kejam sekali bu Yanti. Lalu Barno
bagaimana?”
“Dia masih di sana, mudah-mudahan dia bisa menghajar
laki-laki itu. Aku ingin menunggu, tapi Barno menyuruhku pulang lebih dulu.”
"Sebaiknya Non rapikan rambut Non, dan keringkan air
mata, lalu temui bapak. Jangan memperlihatkan wajah kusut.”
Sekar mengangguk. Ia mengusap air matanya lalu masuk
ke dalam kamar.
Bibik yang mengkhawatirkan anaknya segera menelponnya,
dan merasa lega karena Barno langsung menjawabnya.
“Tidak apa-apa Mbok, aku sudah mau kembali ke situ.
Non Sekar tidak apa-apa kan?”
“Iya, sudah mau menemui bapak, karena tadi
menanyakannya. Bapak juga menanyakan kamu. Cepatlah kemari dan ceritakan
semuanya. Simbok belum jelas benar karena non Sekar datang langsung menangis.
“Baiklah Mbok, aku segera ke situ.”
***
Sekar sedang berjalan ke arah kamar ayahnya, ketika
ibu tirinya menghadang di depannya.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu bertindak semau kamu.
Tidak mengerti betapa semua itu aku lakukan demi kebaikan kamu,” hardiknya
sambil matanya membulat mengandung amarah.
“Apa juga yang Ibu lakukan? Ibu menjual saya untuk
melunasi hutang ibu?”
“Jangan lancang!” Yanti berteriak.
“Itu benar bukan? Dia mengatakannya, tapi saya tidak
sudi melakukannya.”
“Sekar !!” Kamu berani menentang ibumu? Ibu yang
merawat kamu sejak kamu kecil hingga dewasa? Inikah balasan kamu? Anak tak tahu
diri!”
“Pokoknya saya tidak mau!”
Sekar meneruskan langkahnya, khawatir ayahnya
mendengar teriakan ibu tirinya, lalu memikirkan hal yang membuatnya semakin
sakit.
“Anak tak tahu diri! Bodoh!” umpatnya, yang untunglah
tidak mengikuti masuk ke dalam kamar ayahnya.
Sekar membuka pintunya pelan, ternyata pak Winarno masih
membuka matanya. Hati Sekar berdebar, apakah tadi ayahnya mendengar teriakan
ibu tirinya?”
“Sekar …”
“Ya, mengapa Bapak tidak tidur?”
“Mengapa ibumu berteriak?”
“Oh, tidak apa-apa Pak.”
“Tidak apa-apa bagaimana? Aku mendengar ibumu
berteriak marah.”
Sekar memegangi tangan ayahnya dan menciuminya
berkali-kali.
“Ibu marah karena Sekar terlambat menjemputnya,” kata
Sekar berbohong.
“Sampai begitu kerasnya dia menghardik kamu?”
“Tidak apa-apa Pak, memang Sekar yang salah,” kata
Sekar sambil tersenyum. Tapi pak Winarno terus menatap wajah anaknya.
“Kamu habis menangis?”
“Ah, Bapak ada-ada saja,” kata Sekar yang terkejut,
karena ternyata ayahnya melihat raut wajahnya yang pastinya kusam dan sembab.
“Bapak tahu, kamu selalu menutupi apapun yang kamu
rasakan,” kata pak Winarno sambil meremas tangan anaknya.
Sekar tertawa lirih, atau tepatnya merintih yang
tersembunyi, karena sesungguhnya tawa lirih itu memang menyerupai sebuah
rintihan. Dan pak Winarno selalu bisa menangkapnya.
“Bapak jangan berpikir yang tidak-tidak, Sekar baru
datang, lalu mencuci muka, jadi kelihatan basah.”
Pak Winarno menghela napas.
“Bapak minta maaf ya.”
“Mengapa Bapak meminta maaf? Bapak tidak bersalah
apapun. Sekar yang minta maaf karena tidak bisa sepenuhnya merawat Bapak.”
“Sudah banyak, bahkan terlalu banyak kamu melakukan
banyak hal untuk bapak.”
Sekar merangkul ayahnya. Ia sadar, sang ayah
mengetahui saat hatinya sedang resah. Ia tak pernah menampakkan keresahan itu,
tapi ayahnya selalu bisa menangkapnya.
“Bapak harus bahagia, karena Sekar akan selalu bersama
Bapak.”
Pak Winarno mengelus kepala Sekar, tak terasa
berlinanglah air matanya.
***
Barno baru saja menstandartkan kendaraannya dibawah
pohon jambu yang ada di depan rumah, ketika tiba-tiba Yanti keluar sambil
berbicara dengan seseorang. Pembicaraan itu terhenti ketika ia menegur Barno.
“Kamu? Mau apa datang kemari?” kata Yanti kasar.
“Saya mau ketemu simbok saya,” jawabnya.
“Masuk dari pintu samping, jangan dari sini,” katanya tanpa
senyuman.
Barno mengangguk. Dia memang selalu masuk dari
samping, tapi ia tak menjawab sepatah katapun.
Ia terus melangkah, dan masuk dari pintu dapur. Bibik
senang melihat anaknya.
“Apa yang terjadi sebenarnya?”
“Non Sekar sudah pulang kan?” tanyanya, walau tadi bibik sudah mengatakannya.
“Sudah. Begitu datang langsung menangis. Aku bingung.”
“Mana dia?”
“Di kamar bapak. Simbok menyuruhnya, karena sudah dari tadi bapak bertanya-tanya.
“Ya sudah, syukurlah.”
“Ada apa sebenarnya?”
Dengan suara berbisik, Barno menceritakan semuanya. Bibik
sangat terkejut. Ia mendengarkan sambil menutup mulutnya dengan tangan, agar
tak berteriak karena marah mendengar penuturan anaknya.
“Sungguh keterlaluan,” geram bibik.
“Untunglah aku mengantarnya tadi, kalau tidak, entah
apa yang terjadi,” gumam Barno sambil meraih segelas air putih dingin yang diberikan
simboknya.
“Pasti bu Yanti marah kalau laki-laki itu
mengatakannya.”
“Tampaknya iya. Tadi di depan dia sedang berbicara di
telpon.”
“Apa sebaiknya non Sekar pergi saja dari rumah ya?”
“Mana mungkin non Sekar mau meninggalkan ayahnya,”
kata Barno.
“Tapi kalau tetap di sini pasti akan ribut dengan ibu
tirinya. Biarlah nanti aku bicara sama non. Sekarang kamu ke kamar Bapak dulu,
tadi kamu ditanyakan, dan aku berbohong berkali-kali,” kata simboknya sambil
menarik tangan anaknya.
Begitu masuk kamar, pak Winarno langsung memanggilnya.
“Barno, kata simbokmu, kamu langsung pulang, sampai
simbokmu marah-marah tadi.”
Barno tidak membantah perkataan pak Winarno, ia
mengira pasti itulah tadi yang dikatakan simboknya.
“Iya Pak, saya tadi sebenarnya sedang membeli buku.”
“O, begitu, simbokmu mungkin mengira kamu sudah
pulang. Apa sekarang kamu mau pulang?”
“Iya Pak, sudah hampir malam.”
“Baiklah, ini, terimalah, ada sedikit buat kamu jajan,”
kata pak Winarno sambil membuka dompetnya yang diletakkan di bawah bantal.”
“Tidak Pak, terima kasih, saya masih punya uang.
Pemberian simbok masih sisa lumayan dan cukup.”
“Kamu selalu begitu. Terima saja, ini hanya sedikit.”
Barno menoleh ke arah simboknya, yang kemudian menganggukkan
kepalanya, menyuruh Barno menerimanya agar pak Winarno tidak kecewa.
Barno menerima uang itu dan mengucapkan terima kasih.
“Jangan melupakan pesanku ya.”
“Iya Pak, saya akan selalu mengingatnya.”
“Hm, bagus. Sekarang pulanglah.”
Barno mencium tangan pak Winarno, kemudian melangkah
pergi. Simbok dan Sekar mengikutinya.
“Barno, bagaimana tadi?” tanya Sekar sambil berbisik.
“Saya hajar dia. Non tidak usah khawatir,” kata Barno
sambil menetap penuh iba kepada non cantiknya.
“Terima kasih Barno, kalau tidak ada kamu, entah
bagaimana nasibku.”
“Saya sudah berjanji akan selalu menjaga Non. Sekarang
saya permisi dulu. Saya mohon nanti Non mendengarkan saran dari simbok.”
“Saran apa?”
“Nanti simbok pasti mengatakannya,” kata Barno sambil
mencium tangan simboknya, kemudian berlalu, kembali melalui pintu samping.
Saat melewati teras, Barno sempat mendengar Yanti
berteriak.
“Apa? Saya harus menggantikannya? Tapi ….”
Yanti menghentikan ucapannya karena melihat Barno
melintas.
***
Besok lagi ya.
Horeee Sebuah Janji 14 sdh tayang
ReplyDeleteTrimakasih bunda...
Horreee....mbk Wiwik Juara 1
DeleteYess…...…jeng Wiwik juara 1
DeleteMatur nuwun bunda.
Sugeng dalu.... Salam sehat.
Mau lihat keseruan tim BROMO??
https://drive.google.com/drive/folders/1uqFG4s9OcO85KctkO9drbnZUsmyI90N8
Asyik bener. Kapan yaa, aku bisa kesana?
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Sebuah Janji telah tayang.
ReplyDeleteBakalan berkepanjangan ni masalah, mengapa Sekar tidak berterus terang saja kepada bapaknya.
DeleteSalam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerimakasih bu tien .... semoga bu tien sehat2 selalu
Matur nuwun, pak ARIF
DeleteGeregetan
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI 14 telah tayang, terima kasih bu Tien salam sehat n bahagia selalu bersama keluarga. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah ... maturnuwun nu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteYsng ditunggu tunggu telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Sehat selalu
Tetap semangat
Barno...iyeess. sikat saja lelaki setengah tua itu..ngakunya setengah tua 😁😁
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...🙏🙏
Makasih bundaku
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih Mbak Tien, semoga selalu sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah..sdh tayang yg di tunggu2.. Terima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu..
ReplyDeleteAlhamdulillah Sebuah Janji Eps 14 sudah tayang. Matur nuwun mbak Tien Kumalasari.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangar.
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien.legaaa
ReplyDeleteTrims bu tien. pak samadi sudah kena bogem barno. Piye mas nanang, mau ditambahin 😀
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteYg ditunggu2... Matur nuwun bu tien 🥰🥰🥰
ReplyDeleteTerima lasih bunda Tien, SJ14 yang ditunggu sudah hadir kembali
ReplyDeletealhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah SEBUAH JANJI~14 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteBênêr bênêr darah muda dengan terayun gelombang sayang, piyé tå lha diparingi purbå waséså; rawé rawé rantas malang malang putung,
ReplyDeletebukanya kemaren sampai Batu, hé hé hé,
yang penting persoalan sudah tahu, ibu tirinya menjual Sekar ke Samad buat nutup utang, kini pintu rumah kontrakan nya rusak, minta ganti rugi ke Yanti.
Waduh juragan apa itu, mau lapor polisi nanti malah panjang kali lebar, judulnya beraninya sama yang lemah.
Ya nggak berani tå, bubar semua, kelihatan belangnya tå.
Selagi asyik memarahi Barno; Ari datang dan mendengar Barno marah kalau Yanti mau jual Sekar ke Samad.
Dengan gitu utangnya lunas.
Weis, bikin Ari bengong; lha ini berteman antemanteman tenanan.
Ternyata segitu konyolnya perlakuan si Yanti pada keluarga nya.
Kok blandang.. ya di rem.
Remnya cakram donk.
Lha Yanti pinter ngumpetin masalahnya, biasa berpelik ria dengan segala variasinya, kelihatan biasa biasa saja, tapi bagus tå punya cita cita; cita cita åpå.. gênah mau mêblusukan Sekar dengan perhitungan utangnya lunas gitu lho.
Kan mau ikutan jadi juragan.
Samad bingung bathuké mrêmpul arêp bali omah ora wani pamité nginép, mau ke klinik pintu rumah nggak bisa ditutup.
Kan pintu selalu terbuka.
Menerima konsultasi.
Terimakasih Bu Tien,
Sebuah janji yang ke empat belas sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillah, akhirnya yg ditunggu muncul juga....suwun Bu Tien...😊🙏
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Makasih mba Tien .
ReplyDeleteSemakin seruu..
Ceritanya seru...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, sdh sgt sy tunggu
ReplyDeleteAlhamdulillah,, matur nuwun bu Tienku
ReplyDeleteMasya Allah Luar biasa bu Tienku ini,,tentu msh lelah tetap hadir cerbung SJ memenuhi pengemar
Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien dan bapak 🤗🥰
Alhamdulillah, salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih Bunda Tien, SJ 14 dah tayang...
ReplyDeletesemakin seru...semakin penasaran...
salam sehat2 selalu...
salam aduhaiii.....🙏🥰🌹