Tuesday, June 25, 2019

SA'AT HATI BICARA 30

SA'AT HATI BICARA  30

(Tien Kumalasari)

Agus masih termenung dikantornya. Entah mengapa, kata2 Santi yang diucapkannya selalu dipikirkannya. Panji ternyata tidak suka pada Maruti? Kalau Panji menginginkan Maruti Agus akan mengalah karena Panji adalah sahabatnya. Tapi kalau tidak, bisakah aku mengambil hatinya? Dan Aguspun kemudian keluar ruangan, melihat apakah Maruti sudah kembali ke kantor, ataukah belum. Ternyata tidak ada Maruti disana. Agus kembali memasuki ruangannya dengan kecewa. Ada harapan yang berkembang dihatinya, siapa tau itu adalah mungkin.

***

"mBak, duduklah disini" kata Dita kepada Maruti, ketika sore itu Dita sudah keluar dari kamarnya. Bu Tarjo dan Maruti senang melihatnya tidak kesakitan seperti siang tadi. Dan sikap Dita pada Maruti sudah seperti biasa, apalagi ketika Panji kelihatan memiliki perhatian pada dirinya.

"Ada apa Dit?" Maruti pun duduk disebelah adiknya.

"Benarkah mas Panji menyukai aku?" dikatakannya itu tanpa dosa, sementara Maruti merasa sebuah sembilu tajam mengiris jantungnya. Berdarah darah. Dita tampaknya sengaja menanyakannya, atau sengaja menyakiti hati kakaknya. Entahlah.

"Benarkah?" Dita mengulang pertanyaannya.

"Oh, mas Panji? Tampaknya.. tampaknya ya...," jawab Maruti sambil mengusap luka berdarah yang menggenangi isi hatinya. Ditahannya air mata yang ingin menitik keluar.

"Benarkah?"

"Tampaknya begitu, kamu suka?"

"Kok tampaknya sih mbak.."

"Kan mbak nggak tau kalau belum menanyakannya, tapi kan dari sikapnya.. kamu pasti bisa merasakannya."

"Iya sih..." kemudian Dita diam sejenak.

"Apa mbak suka kalau mas Panji menjadi suami aku?"

"Dita, apapun yang akan membuatmu bahagia, mbak pasti suka," dan meneteslah air mata kemudian membasahi pipinya. Tak tertahankan. Dita memandanginya dan mengusapnya lembut.

"Mengapa mbak menangis?"

"Aku menangis bahagia," kemudian dipeluknya Dita dengan kasih sayang yang setulus tulusnya. Akan diberikannya apapun demi Dita, dan itu adalah janjinya.

"Bolehkah seorang adik menikah lebih dulu dari kakaknya?" lanjut Dita dalam pelukan Maruti. Maruti mengangguk angguk, dan air matanya teruslah mengalir.

"Apa mbak tidak menyesal?"

"Jodoh itu hanya Tuhan yang menentukan. Kalau kamu diberinya jodoh lebih dahulu, itu memang kehendakNya. Tak ada seorangpun yang bisa menghalanginya.

"Apa mbak juga suka sama mas Panji?"

Menjerit batin Maruti, sekeras kerasnya. Ya iyalah bukan cuma suka.. tapi cintaaaa banget. Ya Tuhan, mengapa ini semua harus terjadi..

"mBak.."

"Apa?"

"mBak suka sama mas Panji?"

Maruti melepaskan pelukannya. Dipandanginya Dita dengan linangan air mata. Wajah cantik manja yang sebentar lagi meninggalkannya, mata bening yang sering mengganggunya, bibir tipis yang sering mengolok oloknya, tak lama lagi semuanya hanya akan tinggal kenangan. Maruti menangis lagi.

"Dita, sayangku, kalau aku suka sama mas Panji, itu karena dia baik sama kita, terutama sama kamu."

Dita menghela nafas panjang.

"Mungkin aku hanya berkhayal, mungkinkah mas Panji mau memperisteri aku?mBak, jangan bilang sama mas Panji tentang apa yang aku tanyakan ya."

Maruti tersenyum.

 "Yang jelas mas Panji penuh perhatian sama kamu. Kalau Tuhan mengijinkan akan menjadi jodoh kamu, pasti akan terjadi."

***

"Mas, simbok masak enak hari ini, kesukaan mas Panji. Makan ya.." kata simbok sambil mendekati momongannya, yang sa'at itu sedang melamun ditaman belakang rumahnya.

"Nanti saja mbok.." jawab Panji ogah2an.

"Mas kok nggak nanya simbok masak apa.. gitu sih.." simbok kecewa merasa tidak diperhatikan.

"Aku lagi nggak pengin apa2 mbok," Panji menepuk punggung simbok untuk mengurangi kekecewaannya.

"Mas Panji sakit?"

"Enggak.."

"Wajahnya pucat begitu, kalau sakit bilang sakit, simbok kerokin ya?"

"Aku nggak lagi sakit mbok, cuma lagi aras2en.."

"Pasti ada sebabnya kan?"

"Sini mbok, duduk didekat aku sini, jangan ndeprok dibawah begitu," kata Panji ketika melihat simbok bersimpuh didepannya.

"Biar simbok disini saja, diatas rumput, dingin," jawab simbok ngeyel.

"Duduklah, aku mau ngomong sama simbok, penting nih," kata Panji sambil menarik simbok agar dudu disebelahnya.

"Ada apa ta?"

"mBok,ada seorang gadis.."

"O, yang mas Panji ajak kerumah itu, mbak Maruti?" simbok menyela.

"Dengar dulu mbok, jangan ngomong apa2 dulu sebelum aku selesai bicara."

Simbok mengangguk angguk

"Ada seorang gadis, yang divonis ..mm.. diperkirakan akan meninggal tidak lama lagi."

"Lhah...."

"Ssst... Gadis itu suka sama aku, bolehkah aku menikahi dia? Aduh.. piye ini aku bicaranya. Begini mbok, gadis itu suka sama aku, tapi dia itu sakit, dan diperkirakan sudah mau meninggal beberapa bulan lagi. Menurut simbok,bisakah aku menikahinya untuk memberikan kebahagiaan disa'at terakhirnya?"

"Lho.. apa dia itu mbak Maruti?"

"Bukan, adiknya Maruti."

"Bukankah mas Panji suka sama mbak Maruti?"

"Aku mencintainya mbok, aku ingin menjadikannya isteriku, tapi dia minta aku mau mencintai adiknya untuk memberinya kebahagiaan disa'at terakhirnya."

"Waduh, ya berat ya mas.. "

"Berat sekali mbok, tapi Maruti menangis nangis begitu. Aku nggak tega mbok, dan itu membuat aku sedih. Apa yang harus aku lakukan ?" Panji menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, membuat simbok jadi trenyuh. Dielusnya punggung Panji penuh kasih sayang.

"Sabar ya mas, cah bagus.. simbok tau bagaimana perasaan mas, tapi coba mas timbang baik buruknya, dengan hati tenang."

"Bagaimana menurutmu mbok?"

"Bagaimana simbok? Kalau menurut simbok, ya kasihan sama mbak Maruti, harus berkorban demi adiknya, tapi nggak ada salahnya memberi kebahagiaan bagi orang yang sudah mau meninggal. Maksudnya, nanti kalau adiknya sudah meninggal, mas kan bisa kembali lagi sama mbak Maruti?" lugas sekali kata2 simbok, dan hampir sama dengan yang dikatakan Laras, ia juga harus mau berkorban.

 ***

Sepedih apapun, Maruti haus menjalaninya. Ia lebih tak tega lagi melihat adik semata wayangnya harus pergi dengan membawa luka karena cinta tak tersampai.

"Mudah2an mas Panji mau memenhuhi permintaanku," bisik Maruti dalam hati. Ia kemudian menenggelamkan dirinya dengan pekerjaannya, berharap bisa melupakan semuanya.

Dering telephone itu mengejutkannya. Dari Panji. Maruti menerimanya dengan hati berdebar.

"Hallo mas."

"Maruti, kamu jangan menangis lagi ya, tak tahan aku melihat tangismu," suara serak Panji dari seberang sana.

"Mas, aku sangat sedih.. aku harap mas bisa memahaminya. Bagaimana dengan permohonanku mas, aku bersedia menunggumu, sampai kapanpun."

"Aku akan mencobanya Ruti, aku akan mendekati Dita."

"Menikahlah dengannya."

"Apa aku harus menikahinya?"

"Agar kebahagiannya sempurna mas..." isak Maruti.

"Ya sudahlah, nanti kita bicara lagi, kamu jangan menangis lagi Ruti."

Sampai kemudian telephone ditutup, Maruti masih memegangi ponsel itu dengan linangan air mata. Maruti terkejut dan segera mengusap air matanya ketika mendengar Agus memanggilnya.

"Maruti," dan laki2 itu tiba2 sudah berdiri dihadapannya.

"Ya.."

"Kamu menangis ?"

"Nggak apa2 pak, sedih kalau ingat adik saya sakit."

"Ya, aku bisa mengerti, aku ikut berdo'a ya, demi adik kamu."

"Terimakasih pak."

"Oh ya Maruti, maukah sepulang dari kantor nanti menemani Sasa jalan2?"

"Jalan2? Kenama pak?"

"Kemana saja, yang penting Sasa senang. Beberapa hari yang lalu kan dia pernah minta, agar mengajak kamu jalan2. Dulu belum jadi karena kamu dijemput Panji. Sore ini bisa ya? Dia sudah jalan kemari kok."

Maruti terdiam, Sasa.. gadis lucu nan mungil.. yah, barangkali dengan berjalan bersama Sasa akan sedikit menghibur hatinya, mengapa tidak?

"Bagaimana Ruti?Ini jam kantor sudah selesai, sudah sa'atnya pulang."

"Baiklah pak, saya mau."

Dan begitu Maruti selesai menjawab, Sasa sudah tiba didepan pintu kemudian berlari kearahnya.

"Tante, kita akan jalan2 bukan?"

Maruti tersenyum, dipangkunya gadis kecil yang menggemaskan itu dan diciuminya. 

"Anak manis, baiklah."

"Ayo papa.."

"Maruti, ayo pulang," ajak Agus.

Agus tersenyum senang. Apalagi melihat Sasa menarik narik tangan Maruti dan diajaknya keluar. 

Mereka sudah menaiki mobil Agus ketika tiba2 Panji datang, dan melihatnya meluncur keluar dari kantor. Panji tertegun. Serasa ada yang hilang dari hatinya.

***

besok lagi ya

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...