Monday, June 24, 2019

SA'AT HATI BICARA 29

SA'AT HATI BICARA  29

(Tien Kumalasari)

"Ada apa?" tanya Laras ketika dilihatnya wajah Panji tampak tegang.

"Maruti barusan ditilphone ibunya, katanya Dita kesakitan."

"Sudah dibawa kerumah sakit?"

"Nggak mau, katanya menunggu aku,"

 "Ya ampuun... ya sudah mas, ayo aku ikut," kata Laras yang kemudian cepat2 berganti pakaian dan ikut bersama Pandu.

***

Diantara rasa kasihan dan khawatir, Maruti juga kesal terhadap sikap adiknya. Sudah kesakitan tapi susah dibawa kedokter dan harus menunggu Panji datang. Sementara Maruti tidak yakin Panji akan mau datang walau dia telah menelponnya.

"Dita, ayo kerumah sakit saja, nggak usah menunggu siapapun."

"Aku sudah menelpon dokter Santi." kata Dita sambil menggosok perutnya dengan minyak kayu putih.

"Lalu bagaimana, dokter Santi mau kemari? Atau kita kesana?"

"Dia mau datang kemari." jawab Dita singkat.

Dan ternyata Dokter Santi datang bersama dengan Panji. Wajah Santi  berseri menyambut kedatangan Panji.

"Hai mas, kok bisa bareng ya, sebenarnya kita itu jodoh lho," candanya yang ternyata tidak membuat seorangpun tertawa..

"Bagaimana dengan Dita?" tanya Panji tanpa memperdulikan gurauan Santi.

"Ya, hanya karena terlambat makan obat. Harusnya kemarin dia kontrol, tapi entah mengapa tidak Dita lakukan. Ya begini ini jadinya. Tapi ini aku sudah bawakan obatnya kok. Cuma aku sekali lagi memperingatkan, sesungguhnya Dita itu sudah parah. Sangat parah."kata Santi sambil melangkah masuk kerumah.

Bu Tarjo dan Maruti menyambutnya, dengan wajah cemas.

"Nggak apa2 bu, salahnya kemarin nggak kontrol lagi. Memang demikian kalau terlambat minum obatnya., dia akan merasa kesakitan. Ini sudah saya bawakan." kata Santi sambil mengulurkan sejumlah kapsul didalam plastik klip.

"Diminumkan sekarang ya dok?" tanya Maruti.

"Ya, sekarang saja, sudah makan kan?

"Sudah dokter, ya setelah makan itu tadi tiba2 dia sesambat perutnya sakit." sela bu Tarjo.

"Baiklah, kalau begitu bisa diminumkan sekarang."

Santi ikut masuk kedalam kamar Santi, sementara Panji dan Laras masih duduk dikursi didepan kamar.

"Nak Panji, terimakasih sudah mau datang kemari."

"Ya bu, tadi Maruti menelpon.Syukurlah kalau tidak apa2."

" Marilah masuk dan ketemu Dita nak.. dia pasti senang."

"Ya bu, nanti saja, masih ada dokter Santi disana."

***

"Dokter, saya mendengar suara mas Panji diluar," bisik Dita setelah Maruti keluar dari kamarnya. Memang tadi masuk kekamar Dita, hanya untuk meminumkan obat. Setelah ada dokter Santi Maruti keluar lagi, menemui Panji yang masih menunggu bersama Laras.

"Iya, dia ada, maka bersenanglah hatimu," jawab Santi sambil berbisik juga. 

Tak seorangpun tau apa yang mereka bicarakan dengan suara lirih, bahkan ketika mereka tertawa gembira. Juga dengan suara yang dipelankan. Tapi tak lama sesudah itu dokter Santipun berpamit.

"Aku pulang dulu, supaya mas Panjimu bisa segera menemui kamu."

Dita mengangguk, ia menata letak tidurnya seakan sedang menahan  rasa sakit, ketika Panji dan Laras memasuki kamarnya.

Dipintu sebelum dia keluar, Santi membisikkan sesuatu ketelinga Panji.

"Penyakitnya sudah parah, mungkin dia tak akan bertahan selama itu." kemudian Santi berlalu, dan Panji bersama Laras memasuki kamar Dita.

"Apa kabar Dita," sapa Laras..

"Baik mbak," jawab Dita sambil membetulkan letak selimutnya.

"Masih sakitkah?"

"Sudah berkurang mbak, kan barusan minum obat dari dokter, aku merasa sehat dan tak memperhatikan kalau obatku habis."

"Lain kali kamu harus memperhatikan kesehatan kamu," lanjut Laras.

"Ya.. mm.. ada mas Panji..," sapa Dita sambil tersenyum. Ia mencoba menyembunyikan rasa senangnya yang menggelora begitu memandangi wajah ganteng yang sejak awal pertemuannya telah menjatuhkan hatinya.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Baik, sudah nggak sakit lagi."

"Besok kalau kamu sudah sembuh, mas Panji akan mengajak kamu jalan2 lho." sela Laras, yang kemudian menahan sakit dikakinya karena Panji menginjaknya dengan sengaja.

"Adduh..." bisiknya lirih.

"Ada apa mbak?"

"Ini.. mm.. tadi .. tadi agak terkilir ketika memasuki rumah, tiba2 nyeri." jawab Laras terbata, dan Panji menahan senyumnya.

"Oh, ada obat gosok di kamar ibu," kata Dita

"Nggak apa2, cuma sedikit.. Oh ya, mas Panji membawa buah2an tadi, masih diletakkan dimeja sana. Mau saya ambilkan?" ujar Laras sambil menjauh dari tempat Panji berdiri, takut kakinya kena pijak lagi.

"Biar disana mbak, nanti kalau sudah berkurang sakitnya aku akan keluar. Terimakasih mas Panji telah memperhatikan aku."

"Lha mas Panji kan memang penuh perhatian sama kamu," Laras masih ingin membuat Panji kesal. Kakinya sudah jauh dari kaki Panji, yang pasti tak akan sampai seandainya Panji ingin menginjaknya lagi.

Kata2 Laras ini membuat Dita tersipu, dan diucapkannya rasa terimakasih dengan lirih.

"Terimakasih mas.."

Panji hanya mengangguk dengan tersenyum. Sejak Maruti mengungkapkan keinginannya agar dia mencintai Dita, sikapnya pada Dita jadi berubah sedikit kaku. Ia ingin menuruti kata2 Laras agar bersikap baik seperti biasanya, tapi tetap susah dilakukannya. 

Mereka tak lama disana, dan dengan alasan harus segera kembali kekantor, maka Panji dan Laras segera berpamit.

Maruti mengantarkan mereka, dengan linangan air mata.

Panji memandangnya trenyuh.

"Sudah, jangan menangis lagi," ucapnya lirih sebelum memasuki mobilnya. Maruti tak mengerti, apa maksud kata2nya tadi, tapi ia melihat senyuman manis yang selalu dirindukannya. Apakah Panji akan memenuhi keinginnnya? 

***

"Kamu tadi menginjak kakiku mas, sakit tau?!"

"Kamu sih, bicara nggak karuan, itu memberi harapan kosong, apa tidak kasihan nantinya?"

"Memberi harapan kosong bagaimana, bukankah mas sudah berjanji akan menyenangkannya? Berusaha menyayanginya?"

"Bohong, aku nggak bicara seperti itu."

"Lho, mas kok ingkar.."

"Kamu yang minta supaya aku bersikap baik, pura2 menyayangi, tapi aku kan tidak bilang mau?"

"Mas itu  bagaimana, namanya menolong orang jangan setengah hati donk."

"Menolong dengan memberikan cinta padahal sebenarnya tidak, apakah itu mudah?" Mintalah apa saja, asal jangan cintaku."

"Wah, mas Panji bener2 kejam deh."

"Kejam bagaimana ?"

"Maruti meminta tolong, dia sudah berkorban, kan aku sudah bilang begitu.Kalau Maruti mau berkorban kenapa mas tidak ?"

Panji tak menjawab sepatah katapun.

"Iya kan mas?"

"Aku harus bertemu dokter Baroto dulu."

"Mas nggak percaya sama Santi?"

"Nggak jelas.."

"Nggak jelas bagaimana?"

Tiba2 Panji teringat kata2 Santi sebelum berpisah tadi, bahwa mungkin Dita tak akan tahan selama itu. Maksudnya bisa meninggal sebelum 6 bulan yang dikatakannya? Diam2 ada rasa ngilu dihati Panji. 

***

Agus tak menduga kalau siang itu Santi tiba2 masuk keruang kerjanya.Wajahnya langsung muram begitu melihatnya tiba2 duduk dihadapannya.

"Mau apa lagi kamu kemari?" tegurnya kesal.

"Mas, Maruti mana?" tanya Santi pura2 tak tau bahwa Maruti sedang berada dirumah karena mendengar Dita kesakitan.

"Mau apa kamu nanya2? Dia sedang ijin, dan itu bukan urusan kamu."

"Mas, sekarang aku merasa bahwa memang aku bukan isteri yang baik, sehingga mas kecewa kemudian menceraikan aku."

"Kamu ini bicara apa?Itu masalah yang sudah usang dan kamu tidak perlu mengungkitnya lagi."

"Tunggu dulu mas, jangan marah dulu.. aku mengatakan itu karena aku merasa bahwa mas pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari aku, aku senang kalau mas bahagia, sungguh."

"Apa maksudmu? 

"Aku tau Maruti gadis yang baik.mBak Endang (perawat Sasa) bilang kalau Sasa suka juga sama Maruti."

Agus ingin mendampratnya lagi, tapi Santi menutup mulutnya dengan jari telunjuknya, memberi isyarat agar Agus tidak ngomong dulu.

"Dengar dulu mas, dulu itu sepertinya mas Panji suka sama Maruti, dan mas kecewa kan?"

"Santi !!" meninggi suara Agus karena menahan kesal yang amat sangat. Ia merasa Santi masih ingin mengurusi kehidupannya.

"Mas, sekarang ini mas boleh berharap banyak pada dia, sungguh, ini pilihan yang bagus."

"Apa maksudmu, selesaikan kata2mu dan segera pergi dari sini !"

"Mas harus tau, mas Panji tidak memilih Maruti tapi adiknya. Jadi mas masih banyak peluang untuk mendekatinya." kata Santi sambil berdiri kemudian keluar dari ruang kerja bekas suaminya sambil tersenyum.

Agus terpaku ditempat duduknya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...