Thursday, June 27, 2019

SA'AT HATI BICARA 33

SA'AT HATI BICARA  33

(Tien Kumalasari)

Sampai diteras rumah, tak ada seorangpun disana. Maruti pasti sudah sampai di kantor, Dita.. tidurankah karena sedang sakit? Panji hampir memencet tombol bel rumah ketika tiba2 Dita muncul didepan pintu. Wajahnya berbinar begitu melihat Panji dihadapannya.

"Mas Panji..," teriaknya senang.

Tanpa malu2 Dita memeluknya, simbok memalingkan muka. Tak enak rasanya melihat laki2 dan perempuan yang bukan apa2nya berpelukan begitu. Tapi dilihatnya Panji tak membalas pelukannya. Dengan lembut didorongnya Dita.

"Mana ibu?"

"Ada, lagi didapur , masak. Mbak Laras, apa kabar."

"Baik Dita."

"Ini siapa?"

"Ini simbok," jawab Panji 

"Simbok? Maksudnya..?" tanya Dita tak mengerti.

"Simbok itu ibu. Dia ibuku," jawab Panji.

"Lhah, kan ibunya mas Panji...."

"Iya, ini pengganti ibuku."

"Oh, baiklah, silahkan masuk.. silahkan duduk, aku panggil ibu dulu ya," kata Laras mempersilahkan kemudian lari2 kecil memanggil ibunya. 

"Mas, masih ada waktu untuk berfikir," bisik Laras.

"Aku bingung, tapi bukankah ini perbuatan mulia?" jawab Panji sambil memijit mijit keningnya, ternyata kepala pusingnya belum sembuh benar.

"Mas, ini simbok bawa obat gosok.. mangga.. apa simbok gosokkan?" kata simbok sambil merogoh tas kecil yang dibawanya.

"Ini mas, tak gosokke ya mas?" tanpa menunggu jawaban, simbok sudah membuka botol kecil yang kemudian dioles oleskannya ditengkuk Panji.

"Wong sakit kok ya nekat, jane mau apa to ini, kalau memang sakit mbok ya jangan nekat,  besok2 saja," omel simbok sambil menghentikan gosokannya.

"Terimakasih mbok."

Simbok masih ngedumel sambil memasukkan kembali minyak gosoknya. Laras tersenyum memandangi ulahnya.

"Lha memang momonganmu itu kan orangnya keras kepala to mbok, biarin aja apa maunya," kata Laras, yang kemudian membuat mata Panji melotot kesal.

***

Sementara itu didapur Dita mengomel pada ibunya karena belum juga mau berhenti dari kegiatannya memasak. Diatas kompor ada sepanci sayur yang sedang mendidih, dan wajan penuh minyak untuk menggoreng ayam.

"Bu, cepatlah bu... nanti saja menggorengnya, ditungguin tuh.".

"Sebentar to nduk, ini sudah terlanjur masuk penggorengan, kalau dihentikan sebelum matang bisa berminyak, dan nggak enak rasanya.

"Masih lama kah bu?"

"Ya tunggu kalau sudah kering, kamu keluar saja dulu menemani , sementara ibu akan sekalian membuat minuman. Sudah, keluar sana dulu.

"Tapi aku harus berganti pakaian dulu bu, masak pakai daster begini."

"Lha ya sudah ganti pakaian sana, kok malah nungguin ibu disini."

"Baiklah," kata Dita sambil beranjak pergi meninggalkan dapur.

"Eh, tunggu Dita, tamunya cuma nak Panji ya?"

"Bukan cuma mas Panji bu, ada mbak Laras, ada simbok."

"Simbok siapa tuh?"

"Simbok itu, kata mas Panji, sebagai pengganti ibunya."

"Lho, kok pakai pengganti ibunya juga. Mau apa mereka ya nduk?"

"Nggak tau bu, aku ganti pakaian dulu, ibu jangan lama2 ya," kata Dita sambil melangkah meninggalkan ibunya.

Tapi mendengar kata simbok pengganti ibunya itu, kemudian bu Tarjo jadi berfikir, mau apa mereka datang kemari? Ia mengambil empat buah cawan di almari dapur, dan menatanya dimeja, sambil menunggu ayam gorengnya benar2 matang.

Sambil berfikir tentang tamu2nya, bu Tarjo menaruh gula dalam cawan, sebelum menuang tehnya. Tapi ternyata nggak ada air panas didalam termos, bu Tarjo lupa mengisinya. Jadi terpaksa dia menurunkan panci berisi penuh sayur dari atas kompor, untuk merebus sedikit air. Tapi karena gugup, pegangan salah satu panci itu terlepas, dan seluruh isi sayur tumpah mengenai tubuhnya. Terdengar jeritan kesakitan yang membuat semua orang berhamburan kedapur.

Dita yang belum selesai berpakaian bagus, Panji, Laras dan simbok, sangat terkejut melihat bu Tarjo terkapar dilantai dan menggulung gulungkan tubuhnya. 

"Ibu... ibu....ibuuu..." Dita menubruk ibunya, panik tak tau apa yang harus dibuatnya. 

Simbok mencari letak kamar mandi, mengambil pasta gigi, yang dilumatkan pada kulit yang melepuh, tapi air itu sangat banyak, menumpahi tubuhnya dari perut sampai kaki.

"Laras, siapkan mobil, aku akan menggendong bu Tarjo, kita harus kerumah sakit," perintah Panji. Laras berlari keluar, menyambar kunci mobil Panji yang terletak dimeja, dan memutar letak mobilnya kearah sebaliknya, karena rumah sakit letaknya berlawanan dari letak mobil itu.

Panji yang menggendong tubuh bu Tarjo yang terus menerus merintih segera menaikkannya ke mobil, dikuti Dita yang tak henti2nya menangis.

***

Siang itu Maruti ada dikantornya. Agus dengan berbagai alasan selalu mencari cara agar bisa berdekatan dengan Maruti. Katanya, Agus ingin menemui client, dan minta agar Maruti menemaninya untuk mencatat pembicaraan mereka. Lhah aku ini costumer servis atau sekretaris sih? Batin Maruti heran, tapi ia tak berani membantahnya. 

"Mira tidak masuk hari ini, jadi aku minta kamu menggantikannya," kata Agus, nah ini alasan Agus yang tak bisa dibantah benar2. Mira adalah nama sekretarisnya.

Namun karena Agus bilang waktunya mepet, dan Maruti harus membawa map yang diangsurkan Agus padanya, maka ponsel Maruti tertinggal di laci.

Dering yang berkali kali terdengar oleh orang lain, tak sekalipun ada yang berani membukanya.

***

 Agus mengajaknya ke sebuah rumah makan mewah, karena disitu katanya mereka berjanji ketemu. Ketika mereka sampai, client itu belum tampak batang hidungnya. 

"Pesan minuman saja dulu, mungkin karena jalanan macet. Kamu mau minum apa?" tanya Agus.

"Lemon tea saja," jawab Maruti singkat. Hari itu Maruti merasa bahwa pandangan Agus sedikit berbeda. Ada senyuman yang tak disukainya. Ganteng sih, manis juga senyumnya, tapi adakah yang seganteng dan semanis Panji senyumnya? Menurut Maruti, Panji tak tergantikan. Jadi lebih baik ia memandang kearah lain daripada beradu pandang dengan bosnya.

Agus memesan minuman untuk Maruti dan untuk dirinya sendiri.

"Jam berapa mereka katanya mau datang?" tanya Maruti karena sang client itu belum datang juga.

"Jam 11.00 sih, jadi nanti bisa makan siang sekalian."

"Ini sudah setengah 12..," kata Maruti sambil menengok kearah arloji tangannya.

"Mungkin macet," kalau jam 12 belum datang aku akan menelponnya.

Sampai ketika minuman yang dipesan sudah dihidangkan dimeja, Maruti sama sekali tak berani melihat kearah Agus, padahal Agus tak pernah mengalihkan pandangannya pada wajah cantik sederhana yang membuatnya ter gila2.

"Maruti, melihat apa sih kamu?" tegur Agus.

"Oh..eh... mm.. saya belum pernah kemari. Bagus sekali pemandangan disini," jawab Maruti sekenanya, kemudian dihirupnya minuman yang sudah diletakkan didepannya.

"Iya, tapi lebih indah pemandangan didepanku lho," jawab Agus sambil ikut2an menghirup minuman.

Maruti menoleh kearah belakang, tapi dibelakang dia adalah sebuah lukisan macan yang tampak garang. Itukah yang indah? Maruti tak begitu menyukai seni lukis, mungkin macan itu yang dimaksud Agus. 

"Oh, saya nggak begitu memahami lukisan," jawab Maruti.

"Itu Tuhan yang melukisnya," jawab Agus sambil tersenyum. Lagi2 senyum itu membuatnya resah.

"Lukisan Tuhan? Apa maksudnya? " Maruti menoleh lagi kearah lukisan macan itu.

"Bukan macan itu..." Agus tertawa.

"Apa maksud bapak?" tanya Maruti bingung.

"Kamu itu maksudku, Maruti..."jawab Agus tanpa melepaskan pandangannya kearah Maruti.

"Oh, " hanya itu jawab Maruti, kemudian ia menghirup lagi minumannya, lalu melihat kearah arloji ditangannya.

"Belum jam 12. Sebentar lagi saya akan menelponnya," kata Agus seperti mengerti kalau Maruti sedang menunggu nunggu sang client datang.

Tiba2 Maruti ingin mencari kesibukan dengan mengeluarkan ponselnya, tapi kemudian ponsel itu tak ditemukannya.

"Oh, ponsel saya ketinggalan di kantor," keluh Maruti.

"Lhoh, nggak bilang dari tadi, apa aku suruh orang mengantarnya kemari? Dimana kamu meletakkan ponselmu?"

"Nggak usah pak, biar saja, nanti sampai dikantor saja saya menelpon."

"Kalau kamu mau menelpon, bisa pakai punya saya, ingat nomornya nggak? Panji kah?" Agus memancing.

"Bukan, bukan.. kalau saya  ingin menelpon, itu menelpon  rumah," jawab Maruti yang diam2 membuat hati Agus merasa lega.

"Kalau begitu telepon saja pakai ponselku, hafal nggak nomornya..?"

"Nggak pak, nanti saja.." Maruti merasa sungkan, tapi daripada bengong dan menghadapi si bos yang semakin membuatnya resah ini lebih baik ia menelpon Dita. Tentu ia ingat nomornya.

"Tapi, baiklah kalau saya boleh pinjam ponsel bapak," sambung Maruti.

"Silahkan.."

Maruti menerima ponsel Agus, dan memutar nomornya. Nomor Dita.

Tiba2 terdengar sebuah tangisan, mirip jeritan menyayat ketika telpon itu diterima adiknya, dan Maruti hampir pingsan mendengarnya.

"Ya Tuhan...," keluh Maruti yang tiba2 pucat pasi. Gemetar tangannya ketika mengangsurkan kembali ponsel Agus.

"Ada apa?"

"Saya mohon pamit, ibu saya ada dirumah sakit." Maruti berdiri dan berlari kearah luar.

"Maruti, tunggu.." teriak Agus yang kemudian meletakkan selembar uang dimeja, lalu mengejar larinya Maruti.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...