Friday, June 28, 2019

SA'AT HATI BICARA 34

SA'AT HATI BICARA  34

(Tien Kumalasari)

"Tunggu Maruti, aku akan mengantarmu," Agus berlari lari mengejar Maruti, dan begitu dekat Agus segera meraih lengannya untuk menahannya terus melangkah.

"Ibuku mas, tersiram air panas.. " isak Maruti

"Ya.. ya, aku antar kamu."

Maruti tak bisa menolak, pikirannya kacau, air matanya bercucuran sepanjang perjalanan.

"Tenangkan hatimu Ruti, kalau sudah dirumah sakit berarti sudah ada penanganan yang bagus. Sudah, jangan menangis lagi," kata Agus sambil mengangsurkan tisu yang selalu tersedia dimobilnya.

"Pasti mereka mengabari saya dan saya tidak tau karena hape saya tertinggal dikantor," sesal Maruti.

"Nanti aku akan suruhan pesuruh kantor mengantarnya kerumah sakit. Sekarang tenangkan hatimu."

Begitu berhenti di area parkir rumah sakit itu Maruti segera berlari  lari kecil masuk kedalam. Katanya ibunya masih di ruang UGD. Agus kembali mengejarnya, dan menggandeng tangannya sampai kemudian tiba didepan  ruang UGD.

Sa'at itu Panji masih disana, duduk bersebelahan dengan Dita yang juga terus menangis. Ketika dilihatnya Maruti datang bergandengan tangan dengan Agus, meluaplah kembali rasa cemburu Panji.Dia mebuang muka, tak tahan melihatnya, sementara Dita begitu melihat Maruti segera berlari menubruknya.

"mBak, aku yang salah mbak, aku yang salah... ma'afkan aku mbak," tangis Dita.

"Mana ibu? Mana ibu, Dita?" tanya Maruti.

"Masih didalam, kita belum bisa masuk. Ibu pingsan dan belum sadar."

"Bagaimana ini bisa terjadi Dita?" tanya Maruti yang juga bercucuran air mata.

"Aku yang salah mbak.."

"Kamu menumpahkan sayur itu dan mengenai ibu?"

"Bukan, aku tergesa gesa menyuruh ibu keluar karena ada mas Panji dan mbak Laras, juga simbok. Mungkin ibu kemudian menjadi gugup, lalu menumpahkan sayur panas itu. Aku yang salah.. aku yang salaah.."

"Ya, sudahlah Dita, jangan disesali, mari kita berdo'a demi kesembuhan ibu ya," Maruti menuntun Dita untuk duduk dikursi tunggu.

Sementara itu Panji pura2 mempermainkan ponselnya, seperti sedang berbicara dengan seseorang. Agus yang datang mendekatinya diacuhkan begitu saja. Justru Laras yang lebih dulu mendekati Agus dan menyalaminya.

"Terimakasih telah mengantar Maruti, mas," sapa Laras.

"Kebetulan kami sedang ada diluar, dan ponsel Maruti tertinggal dikantor, jadi nggak bisa langsung mendengar ada kejadian seperti ini."

"Oh, pantas ditelponin nggak nyambung2."

"Ketika itu tiba2 dia ingin menghubungi Dita, kemudian aku pinjamkan ponsel aku, lalu baru dia mengetahui ada kejadian seperti ini. Bagaimana keadaan bu Tarjo?"

"Sangat parah mas, dari perut sampai ke kaki, melepuh."

"Ya Tuhan.. " desis Agus prihatin.

"Panji, dari tadi asyik saja," tiba2 Agus mendekati Panji yang masik asyik dengan ponselnya.

"Oh, iya Pras, sebentar, lagi menghubungi orang kantor." jawab Panji tanpa melepaskan ponselnya.

"Duduklah mas," Laras mempersilahkan.

"Terimakasih," jawab Agus sambil melirik kearah Panji. Agak aneh melihat sikapnya kali itu.

Beberapa jam kemudian seorang perawat keluar.

Maruti dan Dita berdiri dan mengahampiri dengan hati berdebar.

"Mana yang keluarganya bu Tarjo?"

"Saya anaknya," jawab Maruti dan Dita bersamaan.

"Dokter Baroto ingin bertemu. Silahkan masuk."

Maruti dan Dita masuk kedalam mengikuti perawat itu.

Tiba2 Panji yang mendengar bahwa dokter yang menangani bu Tarjo bernama Baroto, kemudian menghentikan kegiatannya memainkan ponselnya yang entah benar atau tidak..sedang menghubungi orang kantor atau barangkali sedang menghindari berbicara dengan Agus. Dilihatnya perawat itu masuk diikuti Maruti dan Dita. 

Panji segera berdiri dan berjalan menuju kearah perawat jaga. Ada dua orang perawat yang duduk disana.

"Kemana Panji?"

"Sebentar, mau menemui perawat itu." Jawab Panji tanpa menghentikan langkahnya. Agus yang penasaran mengikutinya dari belakang.

"Selamat siang suster," sapa Panji.

"Siang mas, ada yang bisa kami bantu?" Perawat itu menjawab.

"Mau tanya mbak, dokter Baroto itu ahli ongkologi?"

"Bukan mas, dia dokter bedah."

"Ada lagi Baroto, dokter anak, tapi dia nggak prakter disini," sahut perawat yang satunya.

Panji termangu ditempatnya berdiri.

"Ada apa ya mas?"

"Adakah nama dokter Baroto ongkolog?"

"Kayaknya nggak ada tuh kalau dirumah sakit ini, nggak tau kalau ditempat lain. Tapi selama saya bekerja kok belum pernah dengar nama Baroto ongkologi. Biasanya dokter2 ahli kan dikenal oleh hampir semua rumah sakit."

"Oh, gitu ya," Panji masih termangu.

"Dimana mas mengenal nama itu?"

"Mm.. seorang teman," jawab Panji sekenanya.

"Ooh, coba aja tanya  teman mas itu, beliaunya praktek dimana..gitu," saran perawat.

"Baiklah, terimakasih."

Ketika Panji membalikkan badan, hampir saja dia bertabrakan dengan Agus yang ternyata mengikutinya dan kemudian berdiri dibelakangnya.

"Oh, ma'af Pras."

"Ada apa dengan dokter Baroto? Aku kenal nama itu." kata Agus tiba2.

"Kamu tau? Dia ongkolog?"

"Bukan, dia dokter kulit,, dokternya Sasa anakku.Dia tuh sering gatel2 gitu, alergi "

Panji menghela nafas kecewa.

"Ada apa sebenarnya?"

"Yang menangani penyakit Dita namanya Baroto, katanya dokter onkologi. dan katanya lagi sedang ada diluar negeri."

"Kalau dia dokter ahli pasti semua rumah sakit mengenalinya. Tapi nggak tau juga, siapa yang kasih tau nama itu.?"

"Santi."

"Santi? Coba kamu tanya sekali lagi sama dia, mungkin dia salah ucap, atau kamu yang salah dengar, ma'af, sebaiknya kamu tanya dia sekali lagi."

"Aku akan telepone saja sekarang. Kalau jawaban kurang memuaskan akan aku temui dia."

"Ya, lebih baik begitu."

Tapi Panji nggak pernah lagi menyimpan nomor ponsel Santi. Waktu Dita memintanya untuk menelpon, Dita yang kasih nomornya dan Panji tidak menyimpannya.

"Aku punya nomornya Santi, sebentar," kata Agus yang kemudian mengangsurkan ponselnya setelah menemukan nomor bekas isterinya.

"Aku langsung menelpon dari sini ya?"

"Silahkan, nggak apa2."

"Hallo, ada apa siang2 begini telpon aku, kangen ya?" suara Santi dari seberang sana.

"Aku Panji,"

"Oh, ya ampuun .. mas, ada apa? Nyatanya suatu hari kamu juga kangen sama aku kan?" jawab Santi renyah seperti kerupuk baru digoreng.

"Aku mau nanya, dokter Baroto sudah kembali?"

"Oalah mas, masih mau nemuin dokter Baroto ya, tapi sayangnya belum kembali, dan aku juga belum menemukan kontaknya. Dia itu disana mengikuti seminar apa.. gitu lho, undangannya ditunjukin ke aku kok."

"Dia itu praktek dimana?"

"Lha ya nggak praktek mas, kan keluar negeri."

"Maksudku kalau nggak pergi, prakteknya dimana? "

"Ya di banyak rumah sakit mas, tapi sekarang lagi nggak ada."

"Alamat rumahnya?"

"Lha mas mau apa pake nanyain alamatnya segala. Kesanapun juga nggak akan ketemu, dan aku nggak tau persis, coba nanti aku tanyakan barangkali ada yang tau."

Pembicaraan ditutup oleh Panji tiba2. Jawaban Santi cukup membuatnya curiga. Di banyak rumah sakit, kenapa rumah sakit dimana bu Tarjo dirawat nggak tau. Ditanya alamatnya juga nggak tau. Panji mengangsurkan ponselnya kepada Agus.

"Terimakasih Pras."

"Apa katanya?"

"Lagi keluar negeri katanya, tapi katanya dia praktek dibanyak rumah sakit, kenapa disini yang rumah sakit besar nggak tau?"

"Alamat rumahnya?"

"Dia juga bilang nggak tau, mau ditanyakan dulu katanya."

"Aneh,"

"Memang aneh. "

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


2 comments:

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...