Saturday, June 29, 2019

SA'AT HATI BICARA 36

SA'AT HATI BICARA  36

(Tien KUmalasari)

Dita tampak tercengang, bu dokternya yang biasanya penuh perhatian terhadap keluarganya, tak terlihat perduli mendengar Dita menceriterakan musibah yang menimpa ibunya. 

"Dita..," suara Santi dari seberang.

"Ya dok... ya.." 

"Kamu masih disitu? Kamu mendengar aku bicara?"

"Ya.. ya.."

Didekatmu ada siapa? Kalau ada Maruti, atau siapapun yang ada didekatmu, lebih baik kamu menjauh dari mereka, supaya jelas aku bicara, "perintah Santi yang segera dituruti oleh Dita. Ia berdiri dan berjalan agak menjauh dari kakaknya.

"Ya dok, sudah,"

"Sudah jauh? Jangan sampai siapapun mendengar ini. Ini menyangkut keselamatan kamu juga." Kata2 Santi ini sangat mengejutkan Dita.

"Sekelamatan apa dok?" tanyanya heran, tapi juga ketakutan.

"Dengar, tampaknya mas Panji mencurigai kita."

"Apanya dok?"

"Aku dan kamu kan sedang bersandiwara tentang penyakit itu, supaya kamu mendapatkan mas Panji, ya kan? Nah seharian ini dia mencari cari aku. Ia curiga tentang nama dokter yang aku katakan telah memeriksa kamu.Aku tadi pulang dan bersembunyi dirumah, tapi aku sudah mengelabuinya dengan menggembok pintu pagar. Dia sedang mencari cari aku Dit, ini karena aku ingin membantumu mendapatkan mas Panji."

"Oh, kalau begitu nggak jadi saja dok, Dita sedang sedih memikirkan ibu, Dita tak perduli lagi sama mas Panji."

"Enak saja kamu bicara, kamu bilang nggak jadi, tapi aku terlanjur berbohong kepada semua orang. Dan aku takut mas Panji melaporkannya pada polisi."

Dita terkejut, mendadak wajahnya pucat pasi. Polisi? Sungguh menakutkan...

"Ya, polisi, bisa jadi aku ditangkap dan dipenjarakan."

"Tapi bukan aku kan dok?" Dita benar2 ketakutan.

"Ya nggak bisa begitu dong Dit, kamu ikut berbohong, kamu ada didalamnya, jadi kalau aku dipenjara, kamu juga akan dipenjara.."

"Oh.. tidaaak...," Dita berteriak, membuat Maruti menoleh kearahnya.

"Dita, kamu gila ya berteriak keras2 begitu? Dengar, aku serius nih."

"Lal..lu..lallu.. aku harus bagaimana?"

"Kamu harus berusaha supaya mas Panji tidak melapor ke polisi."

"Tta..pi..bagaimana?" 

"Ada apa Dita?" tiba2 Maruti sudah mendekati Dita. Rupanya Santi mendengarnya dan segera menutup pembicaraan itu.

"Hallo," Dita masih ingin bertanya tapi telephone sudah dimatikan.

"Ada apa? Kamu tampak kebingungan begitu.." tanya Maruti yang khawatir melihat sikap adiknya.

"Nggak.. nggak apa2, ini tentang obatku..."

"Belum habis kan?"

"Dia hanya mengingatkan, sudahlah mbak, ayo kembali duduk. Oh ya, aku mau beli minuman dulu ya, haus mbak."

"Biar aku saja yang beli, kamu duduk disini."

"Ya sudah, terserah mbak saja."

Tanpa menunggu jawaban, Maruti bergegas menuju kantin, dan begitu Maruti menjauh, Dita kembali menghubungi Santi, namun telephone itu sudah tidak aktif lagi. Dita mencoba ke nomor yang ada dicatatannya, tapi juga nggak bisa tersambung. Dita kebingungan, apa yang dikatakan Santi sungguh membuatnya takut. Dipenjara? Aduhai, jangan.. jangan sampai.. tempat yang pengap, mungkin bau.. bercampur penjahat2.. makan yang tidak enak, tidur di bawah dengan alas seadanya...dan penjaga yang sangar dan galak... oo.. Tuhan.. ampunilah aku... Dita berlinangan air mata, kali ini bukan karena menangisi ibunya, tapi karena bayangan penjara yang membuatnya sangat ketakutan..

"Salahku... salahku...mengapa aku melakukannya?" dan bayangan pria tampan yang memiliki senyum menarik itu berubah menjadi bayangan hantu yang menakutkan. Hantu itu menyeringai, giginya yang besar2 tampak meneteskan darah, rambutnya berjuntai.. keras dan bau, matanya seperti menyemburkan api.....

"Tidaaaak... ini salahkuu..." Desis Dita, yang kemudian ternyata didengar Maruti yang sudah datang dengan membawa dua botol minuman dingin.

"Dita, jangan selalu menyalahkan diri sendiri. Ini minumnya, minumlah," kata Maruti sambil mengangsurkan botol minuman.

Untunglah Maruti mengira Dita merasa bersalah dalam musibah yang menimpa ibunya. Kalau bayangan penjara dan hantu itu diketahuinya....entah apa yang akan terjadi pada dirinya.  Dita mengusap air matanya, dibukanya botol minuman dan meneguknya hampir setengah dari botol itu.

"Kamu haus ya?" Maruti merasa iba.

***

Namun Dita semalaman nggak bisa tidur, hatinya gelisah bukan alang kepalang. Ia sungguh ketakutan mendengar kata2 Santi bahwa Panji akan melaporkannya ke polisi. Maruti yang merasa iba mengira Dita kesakitan.

"Dita, kamu bawa obatmu kemari?"

Dita menggeleng.

"mBak, bagaimana kalau aku pulang saja?" 

"Ya, nggak apa2 Dit, pulanglah saja. Kamu kan sakit, dan tidak boleh terlambat minum obatnya."

Dita tak menjawab. Dia tak merasa sakit apapun, sakit itu hanya dibuat buat, atas saran dokter Santi. Dita juga tak tau, mengapa dokter Santi membantunya merebut Panji dari Maruti. Pasti bukan karena dia menyayangi dirinya, tidak. Sekarang Dita baru merasa bahwa Santi mengajaknya melakukan suatu kejahatan.

"Ya sudah, pulang saja dulu, besok pagi kalau kamu sudah enakan, kemari bawa ganti baju mbak ya."

Kembali  Dita hanya mengangguk. Hatinya sungguh kacau, ia tak tau harus melakukan apa. Barangkali dirumah bisa lebih tenang. Dita melangkah keluar, diikuti pandangan Maruti yang merasa trenyuh melihat adiknya. Pada pikirnya Dita pasti kesakitan, atau mungkin sangat merasa bersalah atas terjadinya musibah itu.

***

"Kamu pulang dari rumah sakit jam berapa Laras?"

"Ya belum lama, aku langsung kemari. Lama sekali mas Perginya, kemana saja? Aku menunggu sampai ngantuk."

"Aku mencari nama dokter Baroto yang kata Santi menangani penyakit Dita."

"Oh iya, sudah ketemu?"

"Nggak ada nama dokter itu."

"Maksudnya? Belum pulang dari luar negeri?"

"Nggak ada yang namanya Baroto onkolog. Itu hanya karangan Santi saja."

"Lhoh, mengapa dia melakukan itu?"

"Nggak tau aku, aku baru mencari cari dia, tapi tampaknya dia kabur."

"Kabur?"

"Aku akan melaporkannya pada polisi, ini tindakan kriminal. Ini membuat kacau semua orang. Bahkan bu Tarjo terkena musibah juga ada hubungannya dengan kebohongan itu."

"Eit, tunggu..tunggu.. aku tidak mengerti. Mengapa dokter Santi berbohong?"

"Nggak tau aku, aku sedang mencarinya, tapi tampaknya dia kabur. Dia curiga ketika aku bertanya tanya tentang dokter Baroto siang tadi, dia pasti sudah merasa kalau aku mencurigainya."

"Apa ya maksudnya?"

"Aku akan kerumah sakit lagi. Aku harus bertemu Dita untuk menanyakannya."

"Mas, bagaimana kalau besok saja? Ini sudah malam dan mereka masih sedih karena ibunya belum sadarkan diri, kalau mas bertanya tanya tentang Santi apa tidak menambah beban bagi mereka?"

"Iya juga sih...

"Mas bersabarlah dulu, sekarang antarkan aku pulang.Kalau aku pulang sendiri malam2 begini nanti ibu marah sama aku, dikiranya aku keluyuran."

"Salah kamu sendiri, mengapa kemari bukannya langsung pulang."

"Mau ngomong so'al usaha mas itu, tapi ya sudahlah, besok2 kalau semuanya sudah tenang kita bicara lagi."

"Ya, aku belum bisa berfikir juga tentang itu, ayo aku antar, pamit simbok dulu."

***

Hari masih pagi, disekitar rumah sakit masih tampak gelap, suasana sangat sepi karena para penunggu yang berjajar diluar ruang ICU juga masih meringkuk dalam tidur yang lelap. Maruti ingin mengabarkan keadaan Dita. Maruti juga ingin mengabarkan pada Dita bahwa ibunya sudah melewati masa kritis. Semalam sudah sadar, dan Maruti sempat berbicara sebentar karena dokter melarangnya bicara banyak. Tapi ponsel Dita tidak aktif.

"Mungkin Dita masih terlelap," bisik Maruti. Namun sampai remang malam itu menghilang, Dita masih belum bisa dihubungi. Maruti mulai disergap oleh rasa khawatir. Jangan2 Dita kesakitan dan tak seorangpun mengetahuinya. Maruti berpesan kepada perawat yang berjaga agar kalau ada apa2 harap  menghubungi saja nomor ponselnya, karena ia ingin pulang sebentar. Ia masuk keruang ICU dan melihat ibunya masih tertidur. 

Namun sebelum Maruti meninggalkan rumah sakit, pinselnya berdering. Itu nomor asing, ragu2 Maruti mengangkatnya. Namun dering itu tak henti2nya. 

"Hallo.." sapa Maruti.

"Hallo, ini Maruti? Saya pak Karsono, tetangga sebelah.

"Ya pak, ada apa?"

"Pagi tadi kami menemukan nak Dita pingsan didepan rumah."

Maruti terkejut bukan alang kepalang.

***

besok lagi ya

 

 

 


No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...