Monday, October 21, 2019

DALAM BENING MATAMU 28

DALAM BENING MATAMU  28

(Tien Kumalasari)

Raka sedikit berdebar. Senyuman Ayud tak mudah dimengertinya. Mungkin merendahkan dirinya, mungkin karena merasa lebih tua, mungkin diasanya dirinya tak pantas.. Lalu dipesannya lagi segelas lemon tea.

"Haus sekali ya?" tanya Ayud tiba-tiba.

"Udara sangat panas, jadi harus minum banyak," jawab Raka sekenanya. Padahal ia merasa harus minum untuk mendinginkan perasaannya.

"Kalau begitu aku juga," seru Ayud kepada pelayan yang membawakan pesanan makanan mereka.

"Hm... rupanya kehausan juga,"celetuk Raka sambil menatap wajah Ayud, yang sa'at itu juga sedng menatapnya. Sepasang mata bertemu dan menciptakan getar yang tak mereka mengerti sebelumnya. Ayud menoleh kearah depan, pura-pura mencari sesuatu. Ia bingung, mengapa kali ini ada perasaan lain dihatinya, apakah itu cinta? Selalu dibantahnya perasaan aneh itu, dengan keyakinan bahwa ia lebih tua. Tapi ternyata cinta tak memandang usia. Ia heran, betapa mudah sebuah cinta mendobrak keangkuhan yang selama ini disandangnya. Sungguh, ia merasa cantik, pintar, dan berhasil dalam berkarya membantu kakaknya, yang mengandalikan sebuah perusahaan besar warisan kakeknya. Laki-laki mana yang berani melamarnya? Tapi laki-laki dihadapannya, walau dengan sedikit ragu berani mengutarakan cinta, walau secara tidak langsung. Dan itu membuat hatinya berdebar tak menentu.

"Lagi memandangi apa sih?" tanya Raka yang kemudian ikut menatap kearah pintu masuk.

"Dinda lama sekali, cari apa dia?"

"Disebelah kan supermarket, biarin saja, apa maunya," jawab Raka sambil meraih piring yang berisi makanan pesanannya.

"Hm.. baunya menusuk selera, sudah lama aku nggak malan selat Solo. Ayo makan? Biar saja pesanan Dinda menjadi dingin. Minumannya juga sudah mencair."

"Aku susul dia?"

"Nggak usah, lebih baik kamu menjawab pertanyaanku. Sambil makan."

"Apa?"

"Pertanyaanku... eh.. pernyataanku... bagaimana menurutmu? Apakah kamu menganggap aku lancang? Terlalu berani? " tanya Raka sambil menyendok makanannya, mengunyahnya melan, sambil menatap Ayud yang juga sedang memotong daging diatas piringnya.

"Tidak,"

"Apa yang tidak?"

"Kamu tidak lancang.."

"Mmmm.. lalu...?"

"Lalu apa...," Ayud tampak menikmati beefsteak yang dipesannya.. membuat Raka semakin gemes melihatnya..

"Jadi bagaimana? Jangan tanya bagaimana apanya," kata Raka yang sudah tau apa nanti kata Ayud selanjutnya.

Ayud tersenyum, menurut Raka itu adalah senyum paling manis yang pernah dilihatnya. Dilumatnya sepotong daging dari saladnya seperti sedang melumat bibir Ayud, dan itu membuatnya berdebar lebih kencang.

"Raka...jangan banyak bertanya lagi, habiskan makanmu, dan telephone adikmu."

"Baiklah.. berarti kamu menolak aku, tapi susah mengucapkannya, oke, aku sudah siap menerimanya. Ayahku pernah bilang, kalau kamu berani melamar perempuan, harus siap seandainya ditolak, jangan pernah merasa patah hati. entahlah.. mungkin patah hati itu sakit, tapi aku siap kok."

Ayud masih memotong lagi sepotong daging diatas piringnya, tapi ia tersenyum, dan senyum itu memberikan harapan bagi Raka. Kalau dia menolah, pasti wajahnya tidak semanis itu. Tapi bukankah Ayud memang manis? Baik dia sedang tersenyum atau sedang merengut.

"Kamu akan tau jawabanku, dari sikapku. Seorang dosen harus bisa membaca isi hati mahasiswanya, apa dia menyukai behan kuliah yang kamu berikan atau tidak."

"Ya Tuhan, kamu kan bukan mahasiswaku?" keluh Raka lalu meneguk minumanku.

"Sama dalam membaca pikiran."

"Baiklah, akan aku simpulkan sendiri, kamu menerimaku bukan? Kamu juga cinta sama aku bukan? Kalah salah bilang salah, kalau benar tersenyumlah dan pandang mataku." kata Raka kesal merasa dipermainkan.

Tiba-tib dilhatnya senyum itu, tanpa menjawab,  dan mata mereka beradu, dalam sejuta rasa yang tak terucapkan.

"Heiii.. kalian sudah selesai?"

Teriakan itu mengejutkan mereka berdua dan membuyarkan perasaan yang sedang mengharu biru.

"Iih... Dinda, kebiasaan deh, selalu teriak-teriak begitu," gerutu Ayud sambil memelototi Dinda, yang kemudian hanya tersenyum lalu duduk seenaknya diantara mereka.

"Hmh.. esku sudah mencair nih," keluhnya sambil meneguk minumannya.

"Salah sendiri, lama bener perginya.."

"Kan mas Raka yang nyuruh ?" jawab Dinda seenaknya lalu menrik piring yang berisi pesanannya.

"Apa?" Raka mendelik, dan Dinda tertawa senang.

"O.. aku tau.. kalian sekongkol ya?" sela Ayud yang tiba-tiba mengerti sesuatu.

"Sekongkol apa?" tanya Raka pura-pura tak tau.

"Iya, jujur saja lah mas, kan tadi mas Raka yang nyuruh aku pergi agak lama, supaya mas Raka bisa leluasa menyatakan isi hatinya.." jawab Dinda seenaknya, lalu menyendok makanannya.

"Dindaaaaaa," Raka protes sambil masih mendelikkearah adiknya."

"O, jadi gitu ya ?" Ayud mengangguk angguk.. tapi tak ada raut muka kesal diwajahnya.

"Bagaimana hasilnya ? Pasti oke kan?" tanya Dinda sambil terus mengunyah makanannya.

Raka merasa kesal karena Dinda membuka rahasianya, tapi ia lega karena dilihatnya Ayud melanjutkan makanannya, justru sambil ter senyum-senyum

***

Adhit terkejut karena tiba-tiba Dinda nyelonong masuk kedalam kamarnya, ketika dia sedang melihat sebuah acara di televisi. 

"Mas..."

"Hei, lupa ketuk pintu ya?" tegur Adhit sambil tersenyum. Selalu ada rasa suka setiap berdekatan dengan Dinda, yang selalu ditahannya karena teringat tangis ibunya, tangis yang tak pernah dimengerti apa artinya.

"Iya.. ma'aaaf.."

"Ada apa sih, kok kelihatan gembira begitu?"

"Hari ini.. mas Raka sama mbak Ayud sudah jadian."

"Jadian apaan?"

"Iih, mas Adhit, masa nggak tau maksudnya jadian sih.. gini lho,," jawab Dinda sambil menautkan kedua ujung jari telunjuknya.

"Benar?"

"Benar dong.. masa aku bohong sih? Cocog kan mas keduanya, aku seneng banget lho.. mas Adhit seneng nggak?"

"Seneng lah.."

Tiba-tiba bu Broto nyelonong masuk, ada rasa was-was ketika melihat Dinda masuk kekamar Adhit, tapi pintunya nggak tertutup kok, jadi harusnya bu Broto nggak usah khawatir.. tapi namanya orang tua, sudah punya rasa curiga, jadi semuanya jadi serba membuatnya khawatir.

"Dinda, ternyata kamu ada disini, eyang nyari ke mana-mana," kata bu Broto sambil menarik tangan Dinda.

"Ada aoa eyang?"

"Mau eyang suruh ngicipin masakan eyang, ada kolak pisang tuh," katanya sambil terus menarik tangan Dinda.

"Aduh yang, pasti masakan eyang itu enak... " suara Dinda semakin menjauh. Dan Adhit merasa, bu Broto sedang menghawatirkannya. Pasti ibunya sudah bilang tentang perasaannya ke Dinda, dan seperti ibunya pasti neneknya juga akan menghalanginya.

"Hm.. ada apa ini.." keluh Adhit sambil kenbali menatap acara di televisi, tapi sudah tak lagi dirasakannya. Ia mematikan televisi, lalu berbarin g ditempat tidur, memeluk guling dan memejamkan matanya.

***

Siang itu, sa'at istirahat tiba, Sukir memerlukan menjenguk atasannya, Kadir yang masih terbaring di kamar rumah sakit itu. Kepalanya berbalut perban, dan ada bercak darah masih kelihatan disana..Tapi Supri lega Kadir sudah siuman.

"Bagaimana keadaanmu bos?" selalu Sukir  memanggil bos kepada Kadir karena dia memang mandornya.

"Baik, gara-gara aku ingin menemui gadis itu," keluh Kadir pelan.

"Gadis apa? Bos sedang ter gila-gila sama seorang gadis?" tanya Sukir sambil tertawa.

"Bukan ter gila-gila, tapi aku merasa pernah melihat dia, tapi entah dimana.. mm.. dia mirip isteri pertamaku."

"Oh, gitu... lalu karena ter gesa-gesa jadi nggak tau ada mobil melintas yang kemudian menabrak ya bos?"

"Siapa yang membawaku kemari? Kamu Kir?"

"Aku kan belum keluar dari gudang, ketika keluar terus mendengar kalau bos kecelakaan, nggak tau dibawa kemana, ternyata kemari dan sudah mendapat pertolongan."

"Oh, siapa yang membawaku?"

"Seorang gadis bos, dia juga mendonorkan darahnya untuk bos, yang kebetulan darahnya cocog sama bos. Syukurlah."

"Alhamdulillah, siapa gadis itu Kir?"

"Namanya Mirna.."

Kadir terkejut mendengar nama itu. Mirna bukankah nama anaknya? Mirna yang ditnggalkannya bersama Widi? Atau gadis cantik yang dilihatnya selama beberapa hari ini adalah Mirna? Diakah yang membawaku kemari dan mendonorkan darah untuk aku? Beribu pertanyaan memenuhi Benar Kadir, membuatnya pusing. Sukir memijit mijit kepala Kadir.

"Aduuh.. itu luka ku Kir," keluh Kadir karena Sukir memijit persis ditempat lukanya.

"Oh, ma'af, habisnya bos me mijit-mijit kepala bos sendiri, aku kira pusing."

"Dimana alamat gadis itu?"

"Di bagian administrasi ada, nanti aku tanyakan persisnya."

***

besok lagi ya


3 comments:

  1. Aku senang dng cerita ini
    Dan yg bisa membuatku beransai andai srperti ikut ddlm ceritanya.
    Yz aku srnang cerita ini.

    ReplyDelete
  2. Alhamdullilah setelah 3 hr menunggu akhirnya dpt obatnya dua ayo dilanjut semakin penasaran critanya sangat bgus

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...