Tuesday, October 22, 2019

DALAM BENING MATAMU 29

DALAM BENING MATAMU  29

(Tien Kumalasari)

Kadir merasa ia harus mendapatkan informasi tentang gadis itu. Apakah dia yang mirip isterinya, yang dilihatnya memasuki tempat kost itu? Dan Mirna itu, bukankah nama anaknya?

"Kir, maukah menolongku?"

"Ya pasti aku mau bos, bagaimana, aku harus melakukan apa?"

"Tolong tanyakan nama dan alamat gadis yang mendonorkan darah untuk aku itu ya."

"Kalau itu karena ingin mengucapkan terimakasih, bos nggak perlu ter buru-buru, aku sudah mengatakannya, yang penting bos harus sembuh dulu."

"Bukan cuma itu.."

"Ada apa sebenarnya bos?"

"Kir, aku kan pernah menceritakan kisah hidupku sama kamu, sehingga aku jadi pelarian, meninggalkan anak gadisku bersama perempuan murahan itu?"

"Ya.. ya, aku masih ingat.."

"Gadis itu, dan nama yang kamu sebutkan itu, seperti nama anakku."

"Oh, masa bos? Tapi nama kan bisa saja sama?"

"Beberapa hari sebelum terjadinya kecelakaan itu, aku melihat gadis itu, yang mirip sekali dengan isteriku yang pertama."

"Oh, lalu bisa mengira itu anak bos dari isteri bos yang pertama?"

"Bukan hanya itu, wajah bisa saja mirip. Begini Kir, sebelum terjadi kecelakaan itu, ketika keluar dari gedung yang sedang kita kerjakan itu, aku melihat lagi gadis itu, sedang berjalan, aku ingin menanyakan siapa dia, penasaran sekali aku, lalu aku menyeberang, dan kurang ber hati-hati sehingga aku tertabrak mobil."

"O, itu kejadiannya?"

"Aku berfikir tentang gadis itu, apakah dia yang membawaku kerumah sakit? Lalu aku mendengar kamu menyebutkan nama Mirna. Aku benar-benar ingin tau tentang gadis itu Kir, tolonglah cari informasi  tentang nama dan alamatnya ya."

"Oh, baiklah bos, nanti sepulang dari sini aku mau bertanya kesana. Bos juga harus cepat sembuh ya.. pekerjaan menunggu. Pak Hasan hanya mau menyerahkan pekerjaan yang di Gilingan itu sama bos saja. Dia juga titip ini.. buat bos," kata Sukir sambil menyerahkan sebuah amplop berisi uang."

"Untuk apa ini Kir, kan semua biaya rumah sakit ini sudah ada yang mbayarin, aku nggak butuh uang Kir."

"Jangan begitu bos, mungkin bos ingin ini itu.. pokoknya terima saja, ini rasa simpati dari juragan kita, nggak boleh ditolak. Dia belum bisa menjenguk bos karena sa'at ini lagi pergi ke Jakarta."

"Baiklah kalau begitu. Sampaikan  terimakasihku sama pak Hasan ya Kir."

***

Ayud merasa kesal karena sejak berangkat dari rumah sampai ke kantor kakaknya terus menggoda dia yang kabarnya sudah jadian sama Raka.

"Hm, si centhil itu pengin aku cubit bibirnya.. bisa-bisanya ngadu sama mas  tentang masalah itu," sungut Ayud.

Adhitama tertawa.

"Itu bukan masalah, itu bagus, aku suka mendengarnya. Kapan sih seorang kakak merasa bahagia? Yaitu apabila adiknya sudah mendapatkan pendamping yang bisa membuatnya bahagia juga."

"Mas yakin, aku akan bahagia?"

"Aku yakin, dia itu baik, penuh tanggung jawab, dan ... dia ganteng kan?"

"Benarkah aku bisa mendampinginya, mengingat aku lebih tua dari dia?"

"Umur itu bukan masalah, kamu itu lebih tua tapi kadang cara berfikir kamu seperti anak-anak. Dan Raka itu lebih dewasa daripada kamu."

Ayud terdiam, bagaimanapun tak ada yang salah, dan apakah dia mencintainya juga? Sepertinya Ayud tak menolak 

"Bagaimana dengan mas sendiri? Aku ini lebih muda, harusnya mas Adhit duluan yang mendapatkan jodoh.. bisa-bisa aku kualat."

Adhitama terbahak.

"Nggak ada, apa kualat itu. Kalau memang kamu lebih dulu mendapatkan jodoh, mengapa tidak, silahkan, aku kan laki-laki. Dan laki-laki itu, biar setengah tua masih pantas hidup membujang."

"Huh, dasar mas aja yang susah. Bagaimana dengan Dinda? O, mas mau menunggu Dinda?" ledek Ayud.

"Ah, sudahlah sedih aku kalau teringat itu. Aku kan pernah bilang kalau bapak sama ibu melarang aku menyukai Dinda?"

"Lhah, iya ya mas, jangan-jangan juga aku dilarang deket-deket sama Raka."

"Ya sudah, kamu bilang saja dulu sama bapak atau ibu, nggak tau juga aku alasan yang sebenarnya, padahal keluarganya kan baik sama keluarga kita, sahabatan sejak lama malah."

"Iih, ternyata jatuh cinta itu rumit ya, bukan hanya memikirkan diri kita sendiri, tapi juga harus memikirkan orang-orang dilingkungan kita."

***

Malam itu Galang menerima telephone dari Raharjo. 

"Ada apa nih, tumben-tumbenan menelpone malam-malam," kata Galang menyambut telephone itu.

"Kangen sama mas Galang, tapi begini mas, sebenarnya kami mjau ke Jakarta sendiri untuk ketemu mas Galang berdua, tapi lebih baik aku bicara dulu tentang garis besarnya kedatangan kami nanti. "

"Wouw, serius nih tampaknya, ada apa? Masalah apa Jo?"

"Ini masalah anak-anak kita mas."

Galang tiba-tiba merasa cemas, jangan-jangan Adhit sudah bicara sama Raharjo mengenai perasaannya pada Dinda.

"Mas, anak-anak kita ternyata sudah pada besar ya mas, mau tak mau kita harus memikirkan masa depannya, jodoh yang baik untuk mereka... ya kan?"

Galang belum menjawabnya, debaran jantungnya masih terasa kencang. Kalau ini pembicaraan tentang Adhit dan Dinda, apa yang harus dijawabnya? Raharjo sudah mengatakan tentang joodoh. Lalu Galang memikirkan sebuah jawaban, yang belum juga ditemukannya.

"Mas, kemarin Raka bilang, bahwa dia jatuh cinta sama Ayudya."

Galang tiba-tiba menghempaskan  nafasnya dalam-dalam, lega mendengarnya karena itu tentang Ayud dan Raka, dan itu tentu membuatnya gembira.

"Oh ya? Benar? Serius? Jadi kita mau besanan nih?"

"Kalau mas Galang tidak keberatan."

"Ya enggaklah, sejak ber tahun-tahun lalu kita adalah sahabat, dan aku gembira menyambut berita ini, ayolah, Ayud juga sudah cukup umur."

"Bagaimana dengan Adhitama?"

"Anak itu susah sekali, nggak apa-apa kalau dia harus belakangan Jo, dia kan laki-laki."

"Kalau begitu nanti aku bicara sama Retno, mungkin dalam waktu dekat kami akan melamar secara resmi, tapi ya itu mas, Raka kan baru memulai kariernya, mungkin belum bisa mencukupi seandainya dia buru-buru cari isteri."

"Itu bisa kita pikirkan nanti, semua orang berangkat dari nol. Kami ingat bagaimana aku, juga mungkin kamu Jo, dulu kita juga tak punya apa-apa, janganlah hidup itu mendongak keatas Jo, menunduklah kebawah, agar kita tidak takut melangkah."

"Senang mendengar mas Galang bicara begitu, nanti aku kabari Raka ya mas, kalau mas Galang sudah setuju."

"Aku tunggu kedatangan kamu Jo."

Galang menutup telephone dengan perasaan lega.Entah mengapa, alasan adanya hubungan Raka dan Ayud  sedikit membuatnya terhibur, barangkali bisa dijadikan alasan penolakan perasaan Adhit kepada Dinda.

Namun Putri yang mendengar berita itu justru merasa khawatir.

"Mengapa kamu ragu-ragu, Putri?"

"Bagaimana kalau Galang protes"

"Protes bagaimana maksudmu?"

"Apa dia nggak akan marah, kalau Adhit suka sama Dinda ditolak, mengapa Raka dan Ayud diijinkan?"

"Itu kan alasan usia, pasti Adhit bisa menerimanya."

"Belum tentu mas, ah.. mas nggak tau aja, waktu di Solo itu sikap Adhit sama ibu dingin sekali lho, sepertinya dia nggak suka dia menolak hubungan dia sama Dinda, padahal menurut aku, Dinda itu benar-benar masih seperti kanak-kanak. Tapi Adhit kayaknya susah melepaskannya."

"Coba saja kita lihat nanti. Kita harus memikirkan satu demi satu dulu. Biarlah sekarang Ayud, setelah itu baru Adit. "

"Ibu bilang, nanti kalau Dinda sudah mulai kuliah, ibu akan menyarankan agar Dinda kost saja didekat kampus, supaya nggak capek, gitu saran ibu, dan kayaknya sudah disampaikan ke Dinda."

"Apa benar itu bisa menghalangi tidak akan terjadi ap-apa kalau Dinda sudah pindah rumah?"

"Namanya juga usaha mas, nggak tau nanti, aku mulai pusing kalau memikirkan itu. Teringat kembali kesalahanku.." kata Putri sedih.

"Sudahlah.. nggak mau aku kalau kamu jadi sedih begitu," kata Galang sambil memeluk isterinya. Dan sesungguhnya sikap Galang yang selalu melindungi inilah yang membuatnya semakin jatuh cinta.

***

Sore hari sepulang kerja, Sukir kembali mampir kerumah sakit. Ia sudah mendapatkan keterangan dari rumah sakit mengenai pendonor darah itu, dan bahkan sudah mencari ke alamat yang tercatat disana.

"Bos, aku sudah mendapatkan alamat gadis itu."

"Tunggu Kir, siapa nama gadis itu ? Benarkah Mirna?"

"Mirna Aryati.. ini alamatnya, aku catat lengkap, berikut Rt Rw dan nomor rumahnya."

"Kamu ketemu dia?Dia tngal dirumah kost didepan gedung yang kita bangun itu kan?"

"Bukan, ini kampung Nusukan, jauh dari sini, dan bukan di tempat kost itu."

"Bukan? Tapi itu nama anakku. Bukan gadis itu rupanya?"

"Nggak tau aku bos, tapi dengar dulu. Rumah gadis itu, dijaga polisi."

"Apa?"

"Katanya pemilik rumah buron, dan sudah ber hari-hari jadi incaran polisi, jadi rumah itu kosong."

"Kosong ?Incaran polisi? "

"Eh.. bos mau ngapain, jangan begitu, tiduran saja dulu, biar cepat pulih."

Kata Sukir begitu melihat Kadir berusaha bangkit.

"Apa yang dilakukan gadis itu Kir?"

"Nggak jelas bos, katanya kasus penganiayaan dan pembunuhan."

"Ya Tuhan, apa yang dilakukannya? Dan itu sebabnya maka ia tinggal dirumah kost itu?"

"Entahlah bos, rumah kost yang mana .. gadisnya seperti apa, aku tidak tau kalau yang dirumah kost itu."

"Kir, aku ingin pulang saja."

"Lho bos, bagaimana ini, kepala masih di perban-perban kayak begitu kok ingin pulang, sabar lah bos, jangan terburu buru begitu."

"Kalau begitu aku mau minta tolong kamu lagi."

"Baiklah, aku harus melakukan apa lagi."

"Datanglah ke rumah kost itu, dan  tanyakan, apakah ada yang bernama Mirna disana, terus nyatakan apa benar dia pendonor darah itu."

"Oh, begitu ya, baiklah bos, aku akan mencari tau tentang gadis bernama Mirna itu disana."

Namun sebelum Sukir pamit untuk kembali, tiba-tiba muncullah Mirna diruangan itu. Ia ingin melihat keadaan orang yang telah ditolongnya. Dan serta merta pandangan Kadir menjadi kabur, oleh air mata yang mengambang di pelupuknya. Ia berada dekat sekali dengan seseorang, yang wajahnya mirip sekali dengan isteri pertamanya. 

"Apakah namamu Mirna ?" bisik Kadir lirih..

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


5 comments:

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...