Thursday, October 24, 2019

DALAM BENING MATAMU 30

DALAM BENING MATAMU  30

(Tien Kumalasari)

Mirna tercengang, semakin dekat ia melangkah kearah pembaringan Kadir, beberapa ingatan berkelebat.. benar ia merasa pernah mengenal lelaki ini, apalagi ketika mendengar suaranya, lalu menyebut namanya.

"Benarkah kamu Mirna?" serak suara Kadir ketika Mirna sudah berdiri disamping tempatnya berbaring.

"Bapak?" tiba-tiba ingatan itu menjadi jelas dikepalanya. Wajah itu, wajah bapaknya yang pergi setelah peristiwa tragis itu.

"Apa kamu anakku ?"

"Bapak, ini Mirna... bapak?" tiba-tiba saja Mirna menubruk kedada Kadir dan menangis tersedu disana. Sukir yang menyaksikan adegan itu merasa terharu. Jadi benar bahwa Kadir memang merasa bertemu dengan anaknya, dan Tuhan mengabulkan kerinduan yang tersimpan didada ayah dan anak itu. Kerinduan akan memiliki keluarga, kerinduan akan kasih sayang seorang darah daging.

"Lama sekali, baru bisa bertemu denganmu nak, bapak sangat rindu. Kamu sudah dewasa, dan cantik seperti ibumu. Karena wajahmu yang mirip itulah aku kemudian berusaha menemuimu. Dan itu benar, kamu adalah anakku," bisik Kadir pelan ditelinga Mirna.

Mirna bangkit, mengusap air matanya yang bercucuran. Tak disangka laki-laki setengah tua yang ditolongnya, diselamatkannya nyawanya dengan tetesan darahnya, adalah ayah kandungnya. 

"Oh ya, ini anak buahku, namanya Sukir.. " kata Kadir memperkenalkan temannya.

"Kami sudah berkenalan pak." jawab Mirna sambil tersenyum.

"Kadir telah membantuku mencarimu, kealamat yang tertulis setelah kamu mendonorkan darahmu, tapi rumah itu dijaga poliisi, apa kamu berurusan dengan polisi? Dengan siapa selama ini kamu tinggal? " ber tubi-tubi pertanyaan Kadir.

Sukir mengambil sebuah kursi, dan mempersilahkan Mirna duduk.

"Mirna bahkan tak tau, sebenarnya Mirna anak siapa, setelah mengetahui bahwa ibu Widi ternyata tak bisa melahirkan seorang anakpun setelah rahimnya diangkat."

"Ceritakanlah semuanya nak."

Dan Mirna pun menceritakan semuanya, sampai kemudian ibunya berusaha membunuhnya dan sekarang menjadi buron.

***

Adhit melihat wajah Mirna ber seri-seri pagi itu. Ada sedikit rasa heran, karena biasanya Mirna hanya fokus kepada pekarjaannya dengan wajah yang selalu murung. Ia ingin bertanya tapi diurungkannya. Ia tak mau dianggap terlalu perhatian kepada sekretarisnya.

"Saya sudah bertemu bapak saya," tiba-tiba suara itu memberikan jawaban atas pertanyaann yang dipendamnya. Adhit menatap wajah berseri itu dengan rasa ikut bergembira.

"Benarkah? Dimana, dan bagaimana caranya?"

"Beberapa hari yang lalu saya menolong seorang laki-laki setengah tua yang tertabrak mobil didepan rumah kost saya."

"Oh ya, Ayud sudah cerita, lalu kamu juga mendonorkan darah kamu bukan?"

"Ternyata dia bapak saya."

"Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku ikut senang mendengarnya. Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"

"Sudh lebih baik, tapi masih pusing-pusing, dokter belum mengijinkannya pulang."

"Semoga segera membaik ya."

"Terimakasih pak," sahut Mirna.

Ada harapan untuk menemukan kehidupan yang baru, sebuah keluarga walau tanpa ibu, tapi ada tempat untuk bersandar ketika hati sedang gulana. Itu membuat Mirna sangat bersemangat. 

Seperti ketika setiap sore sepulang kantor ia selalu menjenguk ayahnya ke rumah sakit, membawakan apa saja yang bapaknya inginkan, dan memberinya semangat agar segera pulih.

"Apa rencana bapak setelah sembuh nanti?"

"Belum tau nak, masih memikirkan kondisi bapak ini dulu,tapi yang jelas bapak akan tetap bekarja."

"Menurut Mirna, bapak nggak usah bekerja saja,  biar Mirna yang bekerja."

Kadir tertawa, ia terharu karena anak gadisnya memperhatikannya.Tapi Kadis merasa masih kuat, mana mau ia duduk berpangku tangan dan membiarkan anak gadisnya menghidupinya?

"Bapak ini walau sudah setengah tua, tapi kan masih kuat bekerja nak, mana mungkin aku mau menjadi beban anakku? Tidak, nanti setelah sembuh bapak akan tetap bekerja, dan kamu jangan terlalu menghawatirkan bapak."

"Baiklah, kita lihat saja nanti.. yang penting bapak harus sehat dulu kan?" 

***

Pagi hari ketika libur, Mirna pergi ke rumah pondokan ayahnya yang letaknya agak jauh dari rumah sakit tempat dia dirawat. Ia ingin melihat seperti apa, dan membenahi barang-barang yang mungkin tidak pantas dan harus dibersihkan. Kadir hanya menyewa sebuah kamar tidur yang sangat sederhana. Kamar mandi yang dipergunakan untuk ber enam dari orang-orang yang tinggal atau menyewa tempat itu. Tak ada ruangan lain kecuali sepetak kamar dengan alas tidur dari kasur busa tilis yang digelar di lantai. Ada almari usang yang tak berisi banyak barang-barang. Beberapa lembar pakaian yang kebanyakan lusuh, dan ada sebuah dompet berisi 4 lembaran puluhan ribu dan beberapa lembar dua ribuan. Ada juga sebuah meja, termos kecil diatasnya, gelas kosong dan sendok yang tidak terpakai. Rupanya sebelum pergi Kadir telah mencuci semua peralatan makannya. Lalu kaca dan sisir yang dekil... ah.. seorang laki-laki sering tidak perduli pada kerapian dan kebersihan.Tapi Mirna merapikan semuanya, baik almari dan semua yang ada disekitarnya. Ia ingin, kalau pulang nanti ayahnya akan merasa lebih nyaman. Ia juga ingin mengganti seprei kumal yang menutupi kasur tipis itu, tapi ia harus membelikannya lebih dulu karena tak ada persediaan sprei disitu,

"Pak, saya nanti akan bawa kunci kamarnya bapak ya, besok mau saya bawakan seprei nyang bersih," kata Mirna kepada pak Sukir yang menemaninya.

"Ya, silahkan mbak, kalau perlu bantuan saya pasti siap."

"Ya pak, terimakasih banyak," kata Mirna sambil membersihkan kamar itu dari sebu-debu yang sudah menebal. Dan membuka lebar2 pintu kamarnya agar bau pengap dan penguk segera lenyap.

***

Mirna benar-benar merasa memiliki semangat untuk hidup. Ia lupakan semua masa lalunya yang pahit, yang kadang menyiksa dan terakhir benar-benar membuatnya tersiksa. 

Sesa'at ia melupakan rasa kagumnya terhadap pria ganteng yang selalu duduk dihadapannya. Yang selalu tampak gagah dan berwibawa, yang memiliki senyum selangit manisnya. Ah, tidak lagi, ia sedang bersemangat karena menemukan ayah yang mengukir jiwa raganya. Yang baru diketahuinya bahwa ia adalah darah dagingnya, justru dari umpatan ibu Widi nya sebelum menyiksanya. Ini anugerah, ini membuatnya benar-benar hidup..

***

Siang itu Adhit sengaja membiarkan Ayud makan siang hanya bersama Raka, yang nyamperin ketika selesai mengajar. Ia akan makan diluar, dan tiba-tiba timbul niyatnya untuk mengajak Mirna. Apa salahnya sekali-sekali makan bersama sekretarisnya?

"Mirna .."

"Ya pak..?"

"Kamu mau menemani aku makan siang ?"

Mirna berdebar, ia merasa sedang bermimpi, ingin rasanya segera mengangguk se keras-kerasnya agar bos gantengnya tau bahwa ia sungguh mau makan bersamanya. Tapi tiba-tiba diingatnya bahwa ia harus belanja seprei dan semua kebutuhan ayahnya yang harus disiapkannya.

"Mm, ma'af pak... siang ini saya ada keperluan," jawabnya pelan.

"Oh, gitu ya... baiklah, nggak apa-apa, aku mau makan dirumah saja."

"Ma'af pak.."

"Nggak apa-apa, so'alnya bu Ayud sudah keluar duluan dari tadi."

Lalu Adhit berdiri dan melangkah keluar. Tiba-tiba saja ia ingin makan dirumah, supaya bertemu Dinda, dan bisa makan bersamanya. Diam-diam Adhit ber debar-debar. Bagaimana caranya menghilangkan perasaan ini?

***

Dinda berlari kecil kearah depan ketika mendengar mobil memasuki halaman. Wajahnya berseri ketika melihat Adhit turun dari mobil. Ia segera berlari mendekat.

"Mana mbak Ayud?" tanyanya riang.

"Digondol kakakmu..." jawab Adhit sambil tersenyum, lalu berjalan masuk kerumah sambil merangkul bahu Dinda.

"Haa... senangnya. Karena itu lalu mas Adhit pulang? Mau makan dirumah? Eyang baru saja menata meja, kita bisa makan bersama, horeee.."

Celoteh Dinda selalu menggemaskan. Ingin rasanya menggigit bibir yang tak pernah berhenti mengoceh itu. Namun dari dalam bu Broto keluar sambil memandang kurang suka.

"Dinda, tadi katanya mau bantuin eyang menata meja, kok malah lari kedepan." tegurnya.

"Oh, iya eyang, habisnya mendengar mobil mas Adhit datang. Baiklah, biar Dinda melanjutkan menata mejanya," kata Dinda sambil berlari kebelakang. Namung Adhit tau, neneknya kurang suka melihat keakraban itu. Adhit menghela nafas panjang, lalu menuju kebelakang untuk mencuci tangannya.

"Tumben kamu pulang siang, nggak makan sama adikmu?" tegur bu Broto sambil mengikuti langkah cucunya.

"Ayud sudah makan bersama Raka," jawab Adhit singkat.

"Oh ya, kemarin ibumu menelpon, katanya Raka mau melamar Ayud, itu benar kan?"

"Mungkin yang.."dan Raka menghilang dibalik kamar mandi. Bu Broto tau bahwa Adhit kurang suka terhadap sikapnya terhadap Dinda, namung ia harus melakukannya. Hal yang salah tak bisa dilanjutkan. Rahasia harus tetap tersimpan rapi, demi menutupi aib, demi sebuah harga diri. Tapi bisakah?Bukankah se pandai-pandai menyimpan bangki pasti akan tercium juga bau busuknya?

***

Makan siang hari itu terasa sangat nikmat. Raka tak bosan-bosannya memandang wajah Ayud yang asyik mengunyah makanannya sambil sesekali melirik kepadanya. Sebentar lagi Ayud akan menjadi isterinya, itu kata ibunya yang telah mendengar kisah cintanya. Ia tentu sangat berbahagia. Dalam waktu dekat Raharjo dan Retno akan ke Jakarta. 

"Apakah kita harus ke Jakarta juga?" tanya Raka.

"Ke Jakarta, ngapain ?"

"Bapak sama ibu akan segera melamar kamu."

"Oh ya? Secepat itu?"

"Memangnya kenapa?"

"Sudah buru-buru pengin kawin ?"

"Bukan..."

"Apa?"

"Menikah lah..." lalu keduanya tertawa lucu.

"Aku mau ke Jakarta, ketika bapak dan ibu kesana nanti."

"Kapan ?"

"Belum tau, nanti pasti mereka mengabari. Kamu mau ikut kan?"

"Kita lihat saja nanti, kalau mas Adhit mengijinkan."

"Ya pasti mengijinkan lah, mas Adhit kan yang selalu mendorong dorong aku juga supaya cepat-cepat melamar kamu."

"O, jadi kalian sekongkol ya? Mas Adhit, kamu, Dinda..."

"Sekongkol untuk hal yang baik kan nggak ada salahnya."

"Hm...gitu ? Oh ya Raka, kamu tau nggak kalau sebenarnya mas Adhit suk sama Dinda?"

"Haa... sama si centil itu? Aneh mas Adhit, susah sekali jatuh cinta, taunya suka sama adikku?"

"Bagaimana menurut pendapat kamu?"

"Terserah saja, kalau yang mau menjalaninya suka, aku bisa apa? Aku senang kita tetap menjadi satu keluarga. Tapi Dinda kan masih sangat muda."

"Benar, dan Dinda itu suka juga sama mas Adhit, aku juga nggak tau. Tapi ketika mas Adhit bilang sama bapak, bapak melarangnya keras.Demikian juga ibu."

"Masa? Karena Dinda masih kecil menurut mereka?"

"Nggak tau. Mas Adhit sedih lho karena itu."

"Kalau mau menikah sekarang ya pasti belum boleh, kan Dinda masih harus kuliah, oh ya, besok kan pengumuman dia diterima atau tidak di universitas pilihannya itu."

"Mas Adhit sudah bilang tidak akan menikahi sekarang. Tapi baru bilang suka saja sudah ditentang."

"Mengapa aku diterima? Ah, diterima kah? Jangan-jangan tidak. Bagaimana kalau om Galang juga menolak aku? Aku tau sih, aku kan cuma..."

"Sst.. sudah jangan dilanjutin, bapaksama ibu nggak bilang menolak kok. Mereka sudah menelpon aku."

"Oh,syukurlah..."

***

"Besok mereka jadi datang kan mas?" tanya Putri di sore itu.

"Katanya begitu, dan katanya lagi Raka sama Ayud juga mau datang. Tapi belum tau, Adhit belum mengabari."

Dering telepone membuat percakapan mereka berheenti.

"Dari Raharjo,... hallo Jo..." sapa Galang ramah.

"Besok kita mau ke Jakarta, " kata Raharjo dari seberang.

"Iya, aku sama ibunya Adhit baru berbicara so'al itu.Kabarnya Raka sama Ayud juga mau datang?"

"Iya, katanya begitu. Biarlah mas, kita kan lama-lama juga memang harus menjadi tua, senang rasanya kita bisa besanan."

"Iya, aku juga berfikiran begitu."

"Dengar mas, kita ini kan sama-sama punya seorang anak gadis dan seorang anak laki-laki. Aku juga, mas Galang juga. Kalau keduanya bisa menjadi pasangan alangkah menyenangkan." kata Raharjo yang membuat Galang terkejut seketika.

"Apa maksudmu Jo?"

"Raka mau menikah dengan Ayud, kalau Adhit mau menunggu dan kelak bisa berdampingan dengan Dinda, bukankah itu sangat membahagiakan?"

"Tidak Jo, tidaaaak!" suara Galang hampir berteriak.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


2 comments:

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...