Thursday, October 24, 2019

DALAM BENING MATAMU 31

DALAM BENING MATAMU  31

(Tien Kumalasari)

 

Raharjo terkejut mendengar teriakan Galang. Ini tidak sewajarnya. Sebuah penolakan keras yang tak akan boleh diganggu gugat. Sesa'at Raharjo tak bisa ber kata-kata. Tapi pembicaraan itu belum terputus.

"Mas, ada apa mas? Kenapa berteriak?" tanya Raharjo bingung.

Galang menyadari keterkejutannya dengan teriak yang pastilah terasa tidak wajar. Ia menghembuskan nafas setelah menariknya dalam-dalam.

"Ma'af Jo.."

"Ada apa mas ?"

"Aku... aku terkejut saja... ma'af ya."

"Apa usulku berlebihan? Dan itu membuat mas Galang agak... mm.. marah kah?" tanya Raharjo hati-hati.

"Tidak, bukan begitu.. aduuh.. kenapa juga aku ini. Baiklah, kita selesaikan satu persatu saja dulu ya Jo, so'al Raka dan Dinda. Oh ya, besok datang pagi bukan?"

Galang mencoba menyembunyikan ke gelisahannya, tapi tak urung hal itu membuat perasaan aneh di hati Raharjo. 

"Aku berusaha datang pagi, nggak tau anak-anak akan datang jam berapa," jawab Raharjo kemudian.

"Baiklah, aku tunggu ya Jo."

Galang menutup pembicaraan itu dengan perasaan tak menentu. Ia terkejut ketika Raharjo mengusulkan perjodohan untuk anak-anak mereka. Raharjo tidak tau apa-apa, Raharjo tak akan pernah menyadari siapa sebenarnya Adhit.

"Ada apa mas?" tanya Putri yang sedari tadi mendengarkan Galang berbicara dengan Raharjo.

"Nggak ada, besok mereka akan datang, mungkin kalau bisa pesawat terpagi."

"Tapi mas Galang kok kelihatan aneh?"

Galang tersenyum, ia tak ingin membebani perasaan isterinya dengan usulan Raharjo yang mengejutkan. 

"Aneh bagaimana? Perasaan aku biasa-biasa saja."

"Tadi mas pakai berteriak .." Putri masih curiga.

"Aaah,, biasa, Raharjo kan suka bercanda, sudah jangan pikirkan. Minta simbok menata kamar buat tamu-tamu kita nanti."

Putri hanya mengangguk, tapi yang didengarnya tadi bukan candaan. Ah, entahlah, kalau suaminya berkata tidak apa-apa, sebaiknya dia juga merasa bahwa tidak ada apa-apa.

***

Pagi itu Adhit sudah bersiap-siap berangkat mengantar Ayud ke airport, tapi ia harus menjemput Raka terlebih dulu. Raka sudah melarangnya dan bersedia datang untuk berangkat bersama tapi Adhit memaksa untuk menjemputnya. Ketika Ayud sudah siap, Dinda ber lari-lari mendekat.

"Aku ikuuut..." teriaknya.

"Hm... kenapa nggak dari tadi? Buruan ganti baju.."

"Nggak usah, ini bagus kan?"

Dinda memutar badannya bak seorang peragawati, dengan hot pant sebatas paha bahan jean berdan kaos berlengan pendek berwarna biru muda, Dinda merasa sudah pantas dan tentu saja cantik/

Adhit tersenyum,  menurutnya dengan pakaian apapun Dinda tampak cantik dan menawan. Senang dong kalau Dinda ikut, nanti pulangnya bisa berduaan, mungkin mengajaknya makan es krim, atau apalah yang bisa membuat mereka senang.

Tapi tiba-tiba bu Broto ikut menimpali.

"Aku juga mau ikut lho..." katanya, sudah dengan baju bagus dan tas kecil ditenteng ditangan kirinya.

Ayud tertawa, dan Adhit kehilangan senyumnya.

"Adduh, jadi rame nih... ayo mas berangkat."

"Aku duduk sama eyang dibelakang," kata Dinda yang sudah lebih dulu melompat naik keatas mobil. Sungguh ia tak punya perasaan apapun, dan sikap bu Broto juga sama sekali tak mempengaruhi sikapnya.

"Nanti pulangnya sekalian mau belanja, kamu harus bantuin eyang ya," pesan bu Broto sambil naik dan duduk disamping Dinda. Adhit merasa, bahwa neneknya menghalangi Dinda berduaan dengannya. Ya Tuhan, ada apa ini? keluhnya dalam hati, sambil menjalankan mobilnya perlahan.

***

Hari itu Mirna membezoek ayahnya. Ia merasa lega karena ayahnya sudah tampak lebih sehat. Mungkin satu dua hari lagi sudah boleh pulang. 

"Aku merasa lebih baik, sebenarnya ingin cepat-cepat pulang," kata Kadir pada Mirna.

"Iya pak, kalau bapak sudah baik juga pasti sudah boleh pulang. "

"Aku khawatir kalau terlalu lama disini, maka beaya perawatan akan semakin membengkak."

"Bapak nggak usah khawatir, oang yang menabrak sudah menitipkan sejumlah uang, dan kalau kurang, pihak rumah sakit akan menghubungi dia."

"Tapi kasihan juga, ini bukan sepenuhnya kesalahannya, aku yang menyeberang tanpa melihat jalan. Kapan ya aku bisa bertemu dia, kata Sukir ketika aku belum sadar dia beberapa kali menjenguk. Tapi ini sudah dua minggu dan aku belum pernah bertemu dia. Siapa namanya dia Mirna?"

"Kok Mirna juga lupa pak, dulu KTP juga diserahkan ke Mirna, Mirna membaca sekilas tapi lupa, dan KTP itu sudah Mirna serahkan ke pak Sukir. Nanti kalau ketemu pak Sukir Mirna akan tanyakan."

Tiba-tiba seseorang masuk kedalam ruangan itu. Seorang laki-laki bertubuh sedang, tapi berwajah bersih dan menawan,mengenakan pakaian santai, T shirt agak ketat yang membuat dadanya tampak tegap. Laki-laki itu mendekat, tapi Mirna kemudian ingat, dialah laki-laki yang telah menabrak ayahnya. Laki-laki itu mengulurkan tangannya.

"Hallo, lupa sama saya?" sapanya.

"Oh, nggak mas.. ingat kok, jawab Mirn sambil tersipu, karena laki-laki itu memandangnya sangat lekat.

"Bapak, saya Adji, yang telah membuat bapak dirawat disini."

"Oh, nak.. baru saja bapak bicara sama anak bapak ini, bahwa bapak ingin sekali bertemu dengan nak... siapa... "

"Adji Sasangka pak."

"Nah, nak Adji, saya sudah menyusahkan nak Adji."

"Oh, nggak pak, saya yang menyusahkan bapak, saya minta ma'af ya pak." kata Adji sambil me nepuk-nepuk tangan pak Kadir.

"Nggak apa-apa, bapak yang salah."

"Bagaimana keadaan bapak?"

"Sudah sangat baik, saya justru ingin segera pulang nak."

"Tadi saya sudah bicara sama dokter, besok bapak boleh pulang."

"Ah, syukurlah nak.. "

"Semua beaya perawatan sudah saya selesaikan semua, sampai besok pak, jadi bapak nggak usah memikirkannya." 

"Terimakasih banyak nak. Oh ya, ini anak saya, Mirna." kata Kadir memperkenalkan anaknya.

"Lho, mbak ini anaknya bapak? Tapi ketika kecelakaan itu terjadi, sepertinya nggak kenal sama bapak."

"Inilah keajaiban yang sudah ditunjukkan Tuhan kepada saya nak. Dengan tidak di sangka-sangka, dalam kecelakaan itu aku ditolong oleh seorang gadis yang ternyata anak saya sendiri, yang sudah limabelas atau enam belasan tahun tidak ketemu."

"Oh, Sungguh Tuhan Maha Besar... "

"Kalau nanti ada kesempatan, bapak akan ceritakan semuanya."

Adji mengangguk angguk, dengan sesekali melirik kearah Mirna. Ada perasaan suka tiba-tiba, entah mengapa.

Mereka berbincang sangat akrab, karena Adji memang ramah dan sangat perhatian kepada orang yang pernah ditabraknya. Ia bersyukur pak Kadir dan anaknya tidak menuntut dan membawa peristiwa kecelakaan itu ke pengadilan.Sebelum pergi Adji juga meninggalkan sebuah amplop berisi uang ditangan pak Kadir, yang ditolaknya keras-keras, tapi dipaksakannya juga.

***

Pak Kadir terharu, ketika memasuki kamar di tempat pondokannya, ia melihat semua tampak rapi, bersih dan wangi. Mirna juga membuang semua baju butut pak Kadir dan membelikannya yang baru dan pantas. Ada bahan-bahan makanan kering yang ditumpuk diatas meja, untuk keperluan makan dan minum pak Kadir ketika sedang dirumah. Ada kompor gas, alat-alat masak sederhana yang diletakkannya disudut kamar. Hanya ada satu ruangan, jadi semuanya tertata disana.

"Lain kali bapak harus cari tempat pondokan yang lebih baik, bukan yang hanya sepetak seperti ini," kata Mirna sambil membuatkan minuman untuk bapaknya.

"Ya, itu gampang, tidak harus dipikirkan sekarang. Bapak senang kamu membuat semuanya menjadi bersih dan rapi. Bapak tak pernah serapi ini. Semuanya berantakan.

"Setelah ini bapak harus lebih rapi. Ini obat-obat untuk bapak, saya letakkan dimeja, harus diminum sampai habis. Nanti sa'at harus kontrol, Mirna akan menjemput bapak dan mengantarkannya kerumah sakit."

 "Tapi tempat ini sama rumah kost kamu kan jauh nduk, biar saja bapak berangkat sendiri."

"Nggak apa-apa pak, ijinkan Mirna merawat bapak dihari tua bapak ini, supaya Mirna merasa bahwa Mirna punya keluarga. Nanti kalau uang Mirna cukup, Mirna akan mengontrak rumah untuk kita berdua."

Kadir memeluk anaknya dengan air mata ber-linang2. Alangkah bahagianya seseorang ketika mendekati hari tuanya ada anak yang merawatnya dengan sangat baik. Tadinya Kadir berfikir, akan sendirian seumur hidup, sampai akhir hayatnya, entah bagaimana nantinya. Tapi sekarang semuanya menjadi lain. Bahagia ini bukan hanya milik Kadir, tapi juga milik Mirna, anaknya.

***

Raharjo dan Retno sudah sampai di Jakarta, juga Raka dan Ayud. Bahagianya bisa bertemu orang tua masing-masing, tak terkirakan. Ayud menggelendot dibahu ibunya sejak kedatangannya, setelah menciumi simbok yang sudah semakin tua tapi masih tampak bersemangat.

Berlinang air mata simbok, ketika mendengar Ayud akan menikah. Dalam pengabdiannya kepada keluarga Subroto, hampir dua kali ia menikmati pernikahan momongannya. Dulu antara Putri dan Galangm sebentar lagi Ayud dan Raka. Mereka adalah bayi-bayi yang dulunya menjadi momongan simbok.

"Simbok sudah semakin tua," isak simbok.

"Nggak mbok, simbok masih kelihatan muda, sehat, semangat," peluk Ayud erat-erat.

"Semoga besok simbok masih bisa menggendong anaknya jeng Ayud, mas Adhit... mungkinkah ya jeng?"

"Ya mungkin saja mbok, do'akan agar cucumu ini segera punya momongan," kata Putri menimpali.

"Iih... ibu.. menikah saja belum, sudah didoakan punya momongan," sahut Putri sambil mencubit lengan ibunya.

"Mengapa Adhit tidak ikut serta kemari?" tanya Putri.

"Mas Adhit tidak bisa meninggalkan Dinda," celetuk Ayud sekenanya, maksudnya hanya bergurau, tapi kata-kata itu membuat pucat wajah Putri, dan juga Galang. Lebih-lebih ketika Raharjo dan Retno juga menimpali.

"Ya, betul tidak kataku mas, kita akan menjadi sebuah keluarga besar," kata Raharjo tanpa merasa bersalah.

"Bagus sekali, benarkah kita akan menjadi keluarga besar?" timpal Retno.

Aduhai, kedua tamunya tak mengerti, bahkan Ayud dan Raka juga tak mengerti, alangkah sulit menghindari suasana pelik seperti ini. Galang melihat Putri sudah berlinangan air mata.

"Lihat, Putri sampai terharu," teriak Retno tanpa dosa.

":Tidak.. tidak... begini.. Jangan berfikiran yang aneh-aneh dulu. Kita selesaikan satu per satu. Sekarang, bicara saja tentang Raka dan Ayud. Setuju?" kata Galang serius.

Raharjo dan Retno merasa aneh, melihat Galang tampak serius. Ia seperti tak menghendaki puterinya Dinda menjadi menantu keluarga ini. 

"Bagiklah mas, mungkin puteriku kurang pantas menjadi bagian dari keluarga ini," kata Raharjo, ada nada tersinggung disana,

***

besok lagi ya

 




















2 comments:

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...