Monday, October 28, 2019

DALAM BENING MATAMU 34

DALAM BENING MATAMU  34

(Tien Kumalasari)

Mirna terkejut, ia memeluk tubuh ayahnya erat-erat. Kadir juga terpana, ditengah jalan, tubuh bercadar itu tergolek, tak bergerak. Kadir ingin berlari mendekati tapi Mirna menahannya. Dijalanan orang-orang berkerumun, terjadi kemacetan tiba-tiba.. DEngung mobil polisi yang mendekat membuyarkan kerumunan itu. Beberapa celetukan orang-orang membuat miris hati Mirna. Mati dia.. sudah mati... ... jelas mati.. kasihan...

Tak lama mobil ambulan datang dan membawa tubuh itu ke rumah sakit. Aji mengantarkan Kadir dan Mirna mengikuti ambulan itu, ketika mengetahui mereka ingin pergi kesana.

"Meninggalkan dia?" bisik Mirna lirih. Bagaimanapun Widi pernah merawatnya sampai lebih dari sepuluh tahun, seperti anak kandungnya sendiri, walau sebenarnya ada maksud tertentu dengan apa yang dilakukannya. 

"Tenanglah, kita akan tau ketika sudah tiba dirumah sakit nanti." kata Kadir menghibur.

"Bapak kenal perempuan itu?" kata Aji tiba-tiba.

"Dia... bekas .. isteri saya.." jawab Kadir terbata.

"Oh.. ketika Mirna berteriak, tiba=tiba dia menyeberang jalan tanpa menengok kiri dan kanan lagi. Mudah-mudahan lukanya tidak parah.

"Ibu Widi mendengar teriakanku, pasti dia ketakutan,"

"Dia harus mendapatkan pelajaran atas apa yang telah dilakukannya. Hidupnya diliputi dendam, tak pernah mau menyerah." guman Kadir.pelan. Aji mendengar semuanya, tapi tak hendak menyela, ia hanya men d-ga=duga apa yang terjadi dengan keluarga itu.

"Sebenarnya Mirna menyayangi ibu Widi, karena mengira dia ibu kandung MIrna, tapi ternyata ibu membenci Mirna, ingin membunuh Mirna." 

"Ya sudah, nggak usah dipikirkan terlalu jauh, kita serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa ya."

Aji mengantarkan Kadir dan Mirna masuk kerumah sakit itu, walau Kadir menolaknya. Ia merasa sungkan karena Aji telah terlalu banyak berbuat baik untuk mereka.

"Nggak apa-apa pak, sekalian nanti mengantar bapak dan Mirna pulang. Ini kan sudah malam, lagi pula Aji juga lagi nggak ada pekerjaan.

"Terimakasih banyak nak."

***

Polisi yang memeriksanya segera tau bahwa dialah wanita yang diburu. Itu karena katerangan Mirna, dan surat KTP yang dibawanya. 

"Bagaimana keadaan ibu Widi?" tanya Mirna kepada polisi.

"Kritis, tapi kalau mau melihatnya, silahkan," kata dokter yang merawatnya.

Kadir terkejut melihat wajah Widi. Kecantikan yang dulu digndrunginya telah sirna. Itu karena ulahnya, karena ketidak sabarannya melihat kelakuan buruk Widi. 

"Widi..." Kadir berbisik

Mata yang memang tak bisa terpejam karena kelopaknya nyaris tak bisa menutupnya, tampak ber gerak-gerak.

"Ma'afkan aku ya," lanjutnya

Mata itu sekejap menyala, ada kemarahan yang ditahannya, lalu terdiam.  

Kadir memegang tangan Widi, lemas, tak bergerak.

"Sayang sekali, dia meninggal. Benturan pada kepalanya terlampau keras. " kata dokter lagi.

"Oh, pekik Mirna, tak urung ada rasa sedih yang mengirisnya. Bertahun berkumpul dalam keadaan baik-baik saja, dan sekarang dipisahkan karena kekejamannya dan niyat buruknya, lalu Tuhan telah membalas dengan caraNya.

Mirna mengusap setitik air matanya yang turun.

Kadir juga merasa berdosa ketika melihat wajah Widi sa'at terbuka cadarnya. Wajah cantik itu benar-benar sudah berganti dengan wajah buruk yang mengerikan, dan itu karena ulahnya, karena kemarahan yang tak bisa ditahannya ketika itu.

"Ma'afkan aku, " bisik Kadir lagi, lalu melangkah keluar dengan lunglai, diikuti Mirna. 

Beribu perasaan mengaduk aduk hatinya, antara sedih dan bersyukur. Apakah semuanya sudah selesai?

Namun Kadir dan Mirna mengurus pemakaman Widi dengan baik. Mereka juga mendo'akan agar Tuhan mengampuni segala salah dan dosanya.

***

Berita kematian Widi segera tersebar.  Galang dan Putri bersyukur, bukan mensyukuri kematian Widi, tapi mensyukuri keselamatan anak-anak mereka atas dendam Widi yang tak pernah henti.

Retno sedih, karena bagaimanapun Widi adalah sepupunya. Ia tak menyangka sang kakak sepupu yang dulu sangat pintar dan lincah bisa mengalami nasib se tragis itu. Ia menyesal karena Tuhan tak memberinya waktu untuk bertobat.

"Kasihan ya Ka, semoga Tuhan mengampuni semua dosanya," bisik Retno sedih.

"Aamiin..."

"Seandainya sebuah kejadian buruk yang menimpanya dulu itu bisa menjadi pelajaran agar berbuat lebih baik, pasti tidak akan begini jadinya."

"Benar, aku juga tak mengira mbak Widi menjadi seperti itu. Dan semua berawal dari cinta yang tak terbalas."

"Ternyata cinta bisa membuat orang menjadi kejam."

"Itu karena batinnya lemah, pikirannya jadi terlalu sempit. Hatinya dibakar dendam.. sampai akhir hidupnya."

"Benar Ka."

"Ya sudahlah, sekarang yang harus kita lakukan hanya mendo'akannya."

***

"Ya sudah Mirna, sekarang kamu nggak usah khawatir lagi, karena yang mengancammu sudah nggak ada lagi.. jadi kamu bisa hidup lebih tenang," kata Ayud katika siang itu ada diruang kerja Adhit.

"Benar bu, tapi bagaimanapun dia pernah merawat Mirna sampai 10 tahunan lebih. Dan Mirna masih merasa sayang sama ibu Widi sampai sebelum dia nyaris membunuh Mirna."

"Aku bisa mengerti, karena kamu selalu mengnggap dia ibu kandung kamu bukan?"

"Baru tau kalau dia bukan ibu kandung Mirna ketika ibu sendiri yang mengatakannya."

"Semua akan terkuak pada waktunya. Ya sudahlah.. kamu sudah melakukan yang terbaik sampai dia meninggal, mengurus pemakaman dan mendo'akannya. Itu perbuatan mulia."

Mirn mengangguk. Banyak kesedihan sudah dilewatinya, dan sekarang sikap Ayud juga sangat baik padanya. Mirna berjanji akan membuat hidupnya lebih nyaman, bersama bapaknya, orang yang mengukir jiwa raganya dan baru saja ditemukannya.Mirna berjanji, akan mencari rumah kontrakan yang bisa ditinggali bersama ayahnya. Tapi dia kan harus menabung dulu. 

"Rumah yang kalian tinggali itu sebenarnya rumah siapa?" tiba2 Adhit menyela.

"Kami hanya menyewa.. dibayar ibu tiap bulan."

"Oh, kirain milik ibu kamu."

"Bukan pak, mana ibu punya uang untuk membeli rumah?"

"Ya sudah, siapa tau nanti kamu bisa beli rumah sendiri?"

"Banyak rumah dijual dengan cicilan, barangkali kamu ingin tinggal bersama bapak kamu," sela Ayud.

"Nanti Mirna pikirkan bu."

"Katakan saja barangkali kami bisa membantu," sambung Adhit.

Mirna mengangkat kepalanya, memandangi wajah tampak yang dikaguminya itu, yang menatapnya dengan pandangan tulus.

Ah, alangkah baik hatinya, pikir Mirna yang kemudian menundukkan muka, untuk meredam gejolak hatinya yang me luap-luap. Tapi kemudian Mirna berusaha meredamnya. Wajak si cantik Dinda melintas, mereka begitu dekat dan mesra. Aduuh.. mengingat gadis itu cemburunya masih saja mengganggu.

"Terimakasih pak, akhirnya hanya itu yang biesa terucap dari bibirnya.

***

"Mas, tolong carikan rumah kost yang dekat kampus dong," kata Dinda [ada suatu malam dirumah bu Marsih.

"Kamu mau kost dekat kampus?" tanya Raka heran.

"Aku selalu lupa bilang, eyang Broto itu selalu menyarankan Dinda untuk kost saja didekat kampus."

"Tuh kan, simbah bilang apa, mereka itu keluarga terpandang, mana mau repot-repot mengurus orang seperti kita."

"Lho, simbah jangan begitu, eyang itu bilang begitu karena kasihan pada Dinda, kalau kuliah kejauhan.. pasti capek."

"Bukan karena hal lain?" tanya Raka.

"Hal lain apa, mereka baik semua sama Dinda, apalagi mas Adhit.

Tiba-tiba Raka teringat sebuah percakapan ketika di Jakarta, diantara ayah ibunya dan keluarga Galang, ketika membicarakan kemungkinan menjodohkan Adhit dan Dinda, tapi kemudian Galang menolaknya keras. Memang sih, alasannya tepat, karena sedang memikirkan bakal pernikahan dirinya dan Ayud, tapi Raka juga menangkap ke tidak senangan Galang pada pembicaraan yang setengah bercanda itu. Apakah ada hubungannya dengan permintaan bu Broto? Mereka tidak suka punya menantu Dinda? Lalu ingin menjauhkan Dinda dari Adhit?

"Gimana mas, bisa nggak?"

"Ya bisa lah, nanti mas akan tanyakan."

"Kalau sudah dapat Dinda akan segera pindah saja, karena di awal sebelum kuliah kan banyak kegiatan. Memang benar sih, pasti nanti Dinda akan capek."

 "Nggak berat pindah dari keluarga yang menyayangi kamu?"

"Berat sih, tapi kalau liburan kan aku bisa main kesana.."

"Bagaimana sikap mas Adhit sama kamu?"

"Mas Adhit? Aduuh... dia itu kadang-kadang aneh."

"Aneh bagaimana?"

"Sukanya manjain Dinda gitu, trus bicara yang aneh-aneh, tapi dia baik... besok ya mas, kalau Dinda punya pacar, Dinda harus dapat yang seperti mas Adhit. Ganteng, baik hati.."

"Idiiih... sekolah dulu ajaah...jangan mikir pacaraan..." celetuk bu Marsih yang mendengar pembicaraan cucu-cucunya.

 Raka tertawa tapi diam-diam dia ingat celetukan Ayud, bahwa Adhit suka sama Dinda. Ah, entahlah, Raka percaya bahwa jodoh itu sudah ditentukan dasi sananya.

"Jangan dengarkan Dinda mbah, dia itu kan sukanya ngomong yang enggak-enggak.anggap saja burung yang lagi ngoceh."

"Iih.. jahat deh."

"Ya sudah sana tidur, besok katanya mau ke kampus pagi-pagi."

"Ayuk mbah, kan aku tidurnya sama simbah, nanti sambil didongengin ya mbah," rengek Dinda manja.

"Kalau anak kecil dongengnya gampang, kalau anak segede kamu, didongengin juga pasti nggak akan tertark."

"Pokoknya ndongeng aja mbah, Dinda suka dengerinnya kok."

"Ya sudah sana, ini bukan waktunya ngoceh."

***

"Mirna, bulan depan bu Ayud mau menikah," kata Adhit pada siang itu di kantornya.

"Oh, ya pak.. Mirna sudah mendengarnya," kata Mirna sambil menunduk. Selalu begitu kalau Adhit mengajaknya bicara. Takut ada getaran-getaran yang mengganggunya. Habis matanya itu, seperti mata elang yang galak tapi menghanyutkan. Aduh.. 

"Kamu mau kan bantuin diacara itu nanti?"

"Pasti pak, kalau Mirna disuruh pasti Mirna akan mau. Apa menikahnya di Solo?"

"Eyang ingin cucunya menikah di Solo, kan kami semua ini asalnya dari Solo. Eh bukan, bapakku dari Semarang," kata Adhit sambil tersenyum.

Lagi-lagi Mirna harus membuang muka, karena senyumnya itu.

"Oh ya, siang ini mau menemani aku makan? Dulu itu belum jadi karena kamu ada perlu."

"Bu Ayud..?" tanya Mirna menahan perasaan gembiranya mendengar ajakan itu.

"Biasa lah, akhir-akhir ini kan Ayud lebih suka kencam makan siang sama calon suaminya."

Mirna harus segera meng iyakannya, khawatir nanti bos gantengnya keburu pulang untuk makan bersama Dinda.

Tiba-tiba ponsel Mirna berdering.

Nomor itu tak dikenalnya, ia ingin mengacuhkannya, tapi khawatir barangkali ada yang penting, entah dari siapa.

"Selamat siang," sapanya ragu-ragu.

"Mirna, ini aku Aji, sedang menunggu didepan kantor kamu," kata suara dari seberang yang sangat mengejutkannya.

"Ada apa ya?"

"Aku akan mengajakmu makan siang,"

Hati Mirna berdebar. Kan bos gantengnya sudah akan mengajaknya makan bersama? Ia harus menolaknya, lalu dicarinya sebuah alasan.

"Hallo Mirna, " suara Aji mendesak.

"Ya.. tapi..."

"Ini aku bersama pak Kadir, aku nyamperin tadi kerumahnya."

"Aduuhhh..." keluh Mirna dalam hati. 

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5 comments:

  1. Yg kutunggu akhir nya datang juga...maturnuwun 🙏🙏

    ReplyDelete
  2. Mati dia.. sudah mati... tak bergerohongan, dan diliputi denya penuh kebak... jelas mati.. kasihan...

    Bagian teks di atas kok jelas ya ... Mohon penulis bisa menjelaskannya.

    Terima kasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ma'af.. ada kalimat loncat.. nanti saya revisi. Trim's perhatiannya

      Delete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...