Tuesday, July 23, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 04

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  04

(Tien Kumalasari)

Teguh turun dan menstandart kan motornya. Ia ingin memegangi dadanya, barangkali copot jantungnya ketika melihat pak Broto berjalan menuju kearahnya sambil menampakkan wajah yang sangat menakutkan. Sementara Putri berdiri tegak disampingnya.

"Karena laki2 ini kamu tega berbohong pada bapak, pada ibu, pada Sarno?"

"Ma'af bapak, Putri hanya...."

"Diam dan jangan berbicara apapun." hardik pak Broto .

"Dan kamu. Siapa namamu?" tanyanya sambil memandangi Teguh. Tampak senyuman sinis dan menyakitkan. Tapi Teguh tidak menundukkan kepala. Dipandanginya wajah pak Broto dan menjawab pelan.

"Saya Teguh pak."

"Kamu anak sekolahan?"

"Saya masih kuliah pak."

"Kuliah apa? Oh ya.. pokoknya kuliah, dan itu kemudian membuatmu kamu bangga lalu berani mendekati anakku? Kamu tau dia itu siapa? Aku ini siapa? Kamu tau?"

Sekarang Teguh menundukkan mukanya. Ia tau bahwa dirinya hanyalah orang tanpa pangkat dan derajat. Tapi siapa yang telah menumbuhkan cinta dihatinya? Ini adalah perasaan. Ia datang dengan tiba2 dan menyelimuti hatinya. Haruskah cinta bertanya kepada siapa ia dipanahkan?

"Melihat kendaraan yang kamu pakai ini, aku sudah tau sedang berhadapan dengan orng yang bagaimana."

Teguh ingin berontak. Ia tak harus dihinakan seperti ini. Tapi ditahannya karena ia adalah ayahnya Putri, gadis yang sangat dicintainya.

"Aku tak akan banyak bicara, aku melarang kamu mendekati Putri lagi!"

"Bapak, aku mencintai dia ," tiba2 Putri menyela dengan linangan air mata. Tak tahan ia melihat priya pujaannya disakiti sampai sekejam itu.

"Apa kamu bilang? Tau apa kamu tentang cinta?Tidak, sekarang masuk ke mobil.!"

"Bapak...."

"Masuk ke mobil !!!" kali ini suara pak Broto begitu keras, menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Putri memandangi Teguh dengan tatapan pilu, air mata mengalir disepanjang pipinya. Ingin Teguh berlari kearahnya, mendekapnya dan membasuh semua kesedihannya. Tapi Putri sudah berlari kearah mobil. Dipandanginya Teguh sebelum ia masuk dan menutupkan pintunya.

"Aku tak akan bicara lagi tentang apapun sama kamu. Hanya satu, jangan dekati anakku lagi!!"

Lalu pak Broto pun membalikkan badannya, dan berjalan dengan langkah lebar kearah mobilnya. Deru mobil yang menjauh itu seperti menghempaskannya kejurang tanpa batas. Teguh limbung, kemudian duduk diatas sebuah batu besar yang kebetulan ada diluar gerbang sekolah itu.

***

"Jeng, makan dulu, nanti sakit lagi... mbok ya nurut kalau sama simbok itu ta jeng," kata simbok sambil duduk diatas karpet yang terbentang dilantai kamar Putri, sedangkan Putri duduk bersandar dikursinya, tak bergerak. Matanya menerawang kelangit langit kamar, tak bergeming walau simbok menepuk nepuk lututnya.

"Jeng... ayo jeng.. nurut ya sama simbok, mau disuapin ya? Biar simbok suapin deh," kata simbok sambil mengambil piring, menaruh nasi diatasnya dan menyiramnya dengan semur daging yang seharusnya membangkitkan selera. Tapi Putri menggeleng.

"Emoh mbok.. biar aku mati saja...," rintihnya pilu, sambil bercucuran air matanya.

"Lho..lho..lho.. nggak baik ngomong begitu cah ayu, mati dan hidup itu kan miliknya Gusti Allah. Moh yen jeng Putri bilang begitu.. simbok ikutan nangis lho.."

"Aku suka sama dia mbok, aku cinta.. tapi bapak memisahkannya.. aku lebih baik mati..."

"Lha, kok malah diulang lagi, dibilangi nggak boleh bilang begitu kok nekat. Dengar simbok, cinta itu makanan apa ta.. wong karena cinta saja kok bilang pengin mati segala. Nggak mau simbok. "

"mBok... aku mau dia .."

"Jeng, orang tua itu hanya mau yang terbaik untuk anaknya. Kalau bapak melarang, berarti bapak tau kalau apa yang menjadi pilihan jeng Putri itu nggak baik, nggak akan membahagiakan hidup jeng Putri nantinya. Percayalah jeng."

"Bapak itu terlalu sombong. Bapak menghina Teguh mbok, mentang2 bapak itu kaya.. aku nggak suka mbok.."

"Ya, memang orang kalau nggak suka ya pasti bilang hal2 yang menyakitkan, tapi bapak itu kan memilihkan yang terbaik buat jeng Putri."

"Tapi aku cinta dia mbok."

"Jeng Putri itu masih sangat sangat muda, belum bisa memilih yang baik dan yang tidak. Kalau simbok sering lihat sinetron di televisi itu lho jeng, itu namanya cinta monyet, cinta yang suka loncat2 seperti monyet. Itu bukan cinta yang sesungguhnya lho jeng," kata simbok sok tau. 

Biasanya kalau simbok ngomong hal2 yang dianggapnya lucu pasti Putri tertawa terkekeh kekeh, tapi tidak malam itu. Wajahnya tetap saja cemberut, kusut.

"Ayo jeng, sudah diambilkan simbok, aaak... mangap to jeng, ya wis.. kalau jeng Putri nggak mau makan juga besok simbok mau pergi," ancam simbok.

Mendengar simbok mau pergi, Putri menegakkan tubuhnya, memandangi simbok, tampaknya ada rasa khawatir  kalau benar2 kehilangan simbok.

"Mau pergi kemana?" tanya Putri lirih.

"Ya ke dusunnya simbok, disini sudah nggak ada gunanya, jeng Putri nggak mau nurut sama simbok, ya lebih baik simbok pulang ke kampung."

Sejak masih kecil, Putri paling takut pada ancaman simbok yang satu itu. Kalau dia nakal, kalau nggak nurut, simbok masti mengancam mau pergi, dan nurutlah Putri sama pamong yang setia meladeninya sejak dia masih bayi itu. Dan ternyata perasaan takut kehilangan simbok itu masih terbawa sampai sekarang.

Putri membuka mulutnya, petanda mau disuapin. Simbok tersenyum senang, lalu menyuapi momongannya dengan semangat.

***

Tak berdeda dengan Putri, Teguh juga merasa sedih dan tersiksa. Makan sejak siang yang disiapkan bu Marsih sama sekali tak disentuhnya. 

"Ada apa to le, kok nggak mau makan? Kalau nggak mau makan masakan ibu, beli saja, gitu?  Pengin apa, ibu beliin," kata bu Marsih prihatin. Sedangkan Teguh hanya diam duduk didepan televisi, tapi sama sekali pikirannya bukan kearah televisi itu. 

"Nggak bu, biar nanti Teguh makan, tapi bukan sekarang."

"Lha itu makanan dari siang juga masih utuh. Nanti kamu sakit lho le, kemarin baru masuk angin begitu."

"Ya bu, nanti Teguh makan, ibu nggak usah khawatir."

Tiba2 Teguh ingin tahu bagaimana keadaan Putri. Diambilnya ponselnya dan diputarnya nomor tilpun kekasihnya.

"Hallo... kamu? Putri nggak lagi pegang hape, ini sekarang punya saya. Mau apa lagi?" itu suara berat, sepeti suara laki2 yang sore tadi menghardiknya. Teguh buru2 menutup ponselnya. Rupanya Ponsel Putri sudah dirampas ayahnya.

"Mas, tak beliin mie rebus mas..." tiba2 suara lantang kemayu itu terdengar, dan Naning muncul serta langssung duduk disamping Teguh.

"Apa ta Ning, bikin aku kaget saja," tegus Teguh yang akhir2 ini merasa kesal setiap kedatangan Naning.

"Halaah, cuma gitu aja kaget ta mas, ini.. mie rebus masih panas, dimakan ya, tak ambilin piring..." tanpa menunggu jawaban Naning sudah beranjak kebelakang, datang lagi membawa piring dan sendok.

"Ini mas, enak, ini mie nya pak Karso langgananmu itu lho."

"Nggak..nggak.. aku lagi nggak ingin makan," sergah Teguh sambil beralih ketempat duduk lainnya.

"Gimana ta mas.."

"Teguh, itu sudah Naning bawain, susah2.. jangan  buat dia kecewa. Lagian itu kan mie kesukaanmu. Ayo le, dimakan, anget2 gini kan enak."

Teguh mengambil piring berisi mie itu, lalu menyuapkannya sekitar tiga sendok, lalu diletakkannya sisanya diatas meja.

"Kok cuma sedikit ta mas," tegur Naning sambil mengambil piringnya.

 "Sudah kenyang."

"Tak suapin ya mas," kata Naning sambil menyendok sesendok mie, siap disuapkan kemulut Teguh. Tapi Teguh segera berdiri lalu berjalan kekamarnya.

"Aku mau tidur."

"Tuh, bu.. mas Teguh gitu kalau sama saya," keluh Naning, yang kemudian memasukkan mie yang tadi mau dimasukkan kemulut Teguh, lalu kemudian dimasukkan kemulutnya sendiri.

"Ya sudah, Naning habiskan saja ya bu," katanya sambil melahap mie itu sampai habis. Bu Marsih memandanginya sambil tersenyum.

"Bu, apa benar bu Marsih suka punya menantu Naning?

"Sukalah, kan Naning gadis yang baik," jawab bu Marsih sambil tersenyum. 

"Tapi mas Teguh nggak suka sama Naning."

"Lama2 dia pasti suka,biar saja dulu, dia masih sekolah, belum sa'atnya memikirkan cinta2an."

"O, iya ya.. kalau begitu Naning akan menunggu sampai mas Teguh selesai kuliah ya bu."

Bu Marsih hanya tersenyum.

***

Sejak hari itu Putri berangkat sekolah selalu diantar dan dijemput pak Broto. Jangan sampai ada kesempatan bagi Teguh untuk menemui anak gadisnya. Putri sangat sedih karena tertutup kemungkinan untuk bertemu kekasihnya. Pulang pergi dijemput, ponsel juga nggak punya, bagaimana bisa menghubungi Teguh? 

Siang itu seperti biasa pak Broto dengan diantar Sarno sudah menunggu didepan sekolah Putri. Sa'at bubaran tiba, diamatinya satu demi satu murid2 yang keluar. Putri belum kelihatan, bahkan sampai semua murid keluar, Putri tetap tak tampak. Pak Broto merasa tak enak. Ia turun dari mubil, menuju kedalam sekolahan, dan menemui ruang guru.

"Selamat siang bu," sapa pak Broto ketika seorang guru menemuinya.

"Siang bapak, ini pak Broto ayahnya Putri bukan?"

"Ya benar bu, saya mau menjemput Putri, tapi kok nggak ada ya?"

"Lho, tadi Putri pamit  pulang sebelum jam pelajaran usai, karena kepalanya pusing, katanya."

"Oh, begitu ya, baiklah bu, terimakasih banyak, saya dari kantor jadi tidak tau."

Tapi dalam perjalanan menuju mobil itu timbul perasaan tak enak dihati pak Broto. Ditilpunnya isterinya.

"Bu, apa Putri sudah pulang?"

"Lho, belum tuh pak," jawaban dari seberang sana.

***

besok lagi ya

1 comment:

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...