Friday, July 19, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 01

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  01

(Tien Kumalasari)

Udara mendung sejak siang itu, tapi Putri tetap berkemas untuk berangkat latihan menari. Maklumlah, bukan hanya latihan itu yang membuatnya bersemangat, tapi pasangan menarinya yang sudah beberapa bulan ini mengisi hatinya. Teguh bukan sekedar teman beradu dalam tarian. Pemuda tampan yang menurutnya sangat baik hati ini begitu membuatnya tergila gila. Ia hanyalah pemuda kebanyakan yang bukan keturunan seorang hartawan atau seorang yang memiliki derajat dan kedudukan tinggi.Berbeda dengan Putri yang puteri seorang berdarah biru, dan memiliki harta berlimpah. Namun penampilan Teguh yang sederhana dan santun, begitu menarik hati Putri.

"Putri, mendung begitu gelap, mbok ya nggak usah latihan menari," tegur bu Broto,  ibunya yang mengikuti dibelakangnya begitu Putri membuka pintu depan.

"Nggak bu, nanti Putri ketinggalan, trus nggak bisa mengikuti ajaran sore ini, padahal bulan depan sudah harus berani di pentaskan," sanggah Putri sambil melongok kearah jalan, seakan ada yang sedang ditunggunya.

"Kalau begitu jangan berangkat sendiri, suruh pak Sarno mengantar kamu," kata bu Broto lagi.

"Nggak usah bu, sungkan sama teman2 kalau Putri diantar pakai mobil, nanti dikira sombong."

"Ya bukan begitu nduk, memang cuacanya yang lagi nggak bagus, apa salahnya diantar mobil."

"Enggak bu, biar Putri naik ojek saja."

Sementara itu terdengar suara sepeda motor berhenti diluar gerbang. Putri mencium tangan ibunya lalu berjalan kearah gerbang.

"Bocah kok ngeyel," gerutu bu Broto sambil memandangi punggung anak gadisnya.

"Putri jadi berangkat?" tiba2 pak Broto sudah berdiri dibelakang bu Broto.

"Bapak... tadi ibu kira bapak masih tidur, jadi ibu biarkan Putri pergi tanpa pamit sama bapak."

"Memang baru bangun aku, tadi seharusnya aku suruh Putri libur saja latihan menarinya. Orang mau hujan begini."

"Ibu sudah melarangnya, tapi dia nekat. So'alnya bulan depan mau ikut pentas."

"Tapi aku curiga sama anakmu itu bu, akhir2 ini dia sering berboncengan sama temannya yang namanya Teguh itu."

"Cuma berboncengan pak, kan nggak apa2. Tapi sore ini dia naik ojek kok."

"Ada mobil dirumah, mengapa dia selalu menolak diantar sopir? Itu karena dia penginnya berboncengan sama Teguh."

"Katanya malu sama teman2nya kalau diantar mobil, nanti dikira sombong. Tadi ibu juga sudah minta dia supaya diantar Sarno."

Pak Broto masuk kedalam sambil mengomel. Ia menyalahkan isterinya kenapa tak melarang Putri untuk mengurungkan niyatnya sementara hari tampaknya akan hujan.

***

Memang benar, bukan ojek online yang mengantar Putri, tapi Teguh. Teguh selalu menunggunya diujung jalan setiap kali menjemput putri, Putri yang memintanya karena ia tau ayahnya nggak suka dirinya berduaan dengan Teguh.

Tapi sampai ditempat latihan itu tampak sepi. Rupanya baik guru maupun teman2nya enggan datang karena mendung begitu tebal, dan sudah bisa dipastikan hujan akan turun.Hanya ada tiga atau empat siswa tari yang masih duduk disebuah bangku dibawah pohon tanjung yang rindang, 

"Nggak ada latihan hari ini Putri, kami sudah mau pulang,"kata salah seorang dari mereka yang kemudian beranjak dari duduknya, diikuti oleh ketiga temannya.

"Iya, kayaknya hari akan hujan," sahut Putri, sambil duduk dibngku yang tadi mereka duduki. Ia bermaksud istirahat sebentar.

"Ya udah, kita juga pulang saja Putri," kata Teguh yang masih duduk diatas sepeda motornya.

"Apa boleh buat, tapi duduklah sebentar Teguh, aku haus nih," kata Putri sambil membuka tas kecil yang dibawanya, lalu meneguk air mineral dalam botol yang dibawanya.

"Kamu mau?" 

"Kamu bawa berapa?"

"Cuma satu, nggak mau? Aku nggak punya penyakit menular lho," seloroh Putri sambil menyodorkan botol minuman kearah Teguh. Sementara itu keempat teman nya sudah pergi meninggalkan pendapa tempat latihan itu.

Teguh menerima botol itu, dan meneguk airnya sampai habis.

"Hm.. enak, segar.." katanya sambil tersenyum, kemudian duduk disamping Putri dibangku itu.

"Enak donk, kan diberikannya dengan kasih sayang," canda Putri.

"Bukan, karena bekas bibirmu," lalu keduanya tertawa lirih. Ada getar2 merayapi hati mereka yang dimabuk cinta.

"Putri, sesungguhnya aku takut," tiba2 kata Teguh.

"Takut apa ?"

"Aku mencintai gadis yang salah," gumamnya sambil mempermainkan pasir yang terserak dibawah dengan sepatunya.

"Apa maksudmu?"

"Kamu kan sudah tau bahwa ayahmu tidak menyukai aku. Mana mungkin aku bisa memilikimu?" kata Teguh, dengan nada perih.

"Jangan begitu, nanti aku akan meluluhkan hati bapak," kata Putri sok yakin.

"Aku kan harus tau diri, aku bukan siapa2, aku tak punya apa2,kecuali cinta."

"Itu sudah cukup Teguh, aku juga mencintai kamu, dan aku tak ingin berpisah darimu," kata Putri sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Teguh yang bidang.

Teguh menghela nafas, ia tak yakin bisa menggapai bintang gemerlap yang menggantung dilangit sana.

Angin bertiup perlahan, menerbangkan bunga2 tanjung yang kemudian tersebar disekeliling pohon itu, lalu menebarkan wangi yang memikat. Pelataran yang berpasir itu seakan tertutup oleh bunga putih kecil2 yang berhamburan semakin banyak karena angin semakin kencang. Putri sedikit menggigil. Ia lupa membawa jacket walau tau hujan kelihatan mengancam sejak keberangkatannya dari rumah.

Tiba2 terdengar gelegar petir yang keras. Putri terkejut dan merangkul Teguh erat2.

"Ayo kita pulang saja, sebelum hujan benar2 turun," kata Teguh sambil mengendapkan debar jantungnya karena pelukan perempuan cantik disampingnya bisa saja membuatnya terlena. Dia sangat mencintai Putri, dan dia ingin menjaga cinta itu seputih bunga tanjung yang tersebar dipelataran itu.

Putri pun bangkit. Teguh menstarter sepeda motor tuanya, lalu mempersilahkan kekasihnya duduk di boncengan.

Deru motor tua itupun kemudian membelah sore yang dinaungi mendung, kemudian menerabas jalanan yang penuh lalu lalang kendaraan, yang semuanya tergesa gesa karena berpacu dengan datangnya hujan. Keadaan itu membuat jalanan macet. Teguh masuk ke jalan kecil untuk menghindari kemacetan agar bisa cepat sampai dirumah sebelum hujan benar2 turun.

Tiba2 sekali lagi terdengar guntur menggelegar, dibarengi gerimis yang semakin deras. Hujanpun bagai dicurahkan dari langit. Teguh menepikan kendaraan disebuah gubug, tampaknya kalau siang dipergunakan untuk berjualan, entah makanan atau apa.

Putri turun lalu berlari kedalam gubug. Bajunya terlanjur basah. Teguh menyusul setelah menyandandarkan sepeda motornya didepan gubug itu. Hari semakin gelap, dan hujan belum hendak berhenti. Langit hitam kelam, dan itu pertanda bahwa hujan akan lama. Putri menggigil kedinginan. 

***

"Bu, Sarno sudah berangkat menyusul Putri?" tanya pak Broto.

"Sudah pak, tapi kok lama ya," jawab bu Broto sambil melongok kearah depan. Belum ada tanda2 mobil yang dibawa Sarno memasuki halaman.

"Masa bawa mobil ikutan berteduh juga," omel pak Broto tak sabar. Diluar hujan masih deras.

"Coba ibu telephone dia."

Bu Broto memutar nomor telepehone Sarno dengan telephone rumahnya. Terdengar suara kemerosak ketika Sarno mengangkat telephone, pertanda hujan disanapun belum juga berhenti.

"Hallo..." jawab Sarno dari seberang.

"Sarno, kamu dimana? Sudah bersama Putri?"

"Belum bu, saya belum ketemu jeng Putri, tempat latihan itu sudah kosong bu."

"Berarti Putri sudah pulang, coba kamu telusuri sepanjang jalan menuju rumah, barangkali dia berteduh disuatu tempat."

"Saya sudah menelusuri bu, bahkan sudah hampir sampai rumah ini, tapi nggak melihat jeng Putri berteduh dimanapun. Bahkan warung atau rumah makan juga sudah saya lihat bu, barangkali berteduh sambil makan2 bersama teman2nya."

"Lha kemana anak itu? Coba kamu telusuri sekali lagi No, lebih cermat, jangan tergesa gesa."

"Baik bu/"

Bu Broto menutup telephonnya. Wajahnya tampak cemas.

"Sarno belum ketemu Putri. Tempat latihan sudah kosong."

"Keras kepala anak itu. Suruh Sarno mencari dan jangan boleh pulang sebelum ketemu!!"

***

Hujan masih deras, dan hari semakin gelap. Sepi dijalan kampung itu, tak seorangpun lewat karena pasti semuanya lebih suka meringkuk dirumah diudara yang dingin dan hujan lebat seperti ini.

Putri menggigil. Teguh yang merasa kasihan kemudian memeluknya erat. Keduanya basah kuyup. Ia juga tidak membawa jacket. Barangkali dengan berpelukan gigil itu akan mereda. Putri lebih merasa tenang. Ia merangkul Teguh erat2. Tapi gigil yang lain kemudian datang. Gigil itu bukan lagi gigil kedinginan, tapi gigil karena darah yang menggelegak oleh nafsu yang tak tertahankan. Teguh yang santun dan baik hati tak bisa mengalahkan setan yang bertepuk tangan menyulut gelora agar api  semakin berkobar. Dan api pun memang sedang berkobar. Biarkan hujan berderai. Biarkan guruh menggelegar karena ada gemuruh yang luruh dalam kelamnya malam, tanpa bintang, apalagi rembulan.

***

maukah dilanjutkan?

 


3 comments:

  1. Joos luanjut pingin tahu endingnya wkwkwk ( edisi penadsran)

    ReplyDelete
  2. Ini karya Ibu Tien yg ke 7 yg saya baca...semua tulisannya sy suka...👍

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...