Saturday, July 20, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 02

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  02

(Tien Kumalasari)

Hujan baru berhenti ketika jam menunjukkan pukul 7 malam. Itupun masih ada rintik2 gerimis yang lembut menerpa tubuh2 yang beranjak dari tempatnya berteduh. 

Teguh menghentikan sepeda motornya disamping gerbang rumah Putri. Putri segera turun, sambil mengusap air matanya. Ketika ia melangkah untuk membuka gerbang, terdengar Teguh berbisik lirih :" Putri, ma'afkan aku.."

Gerbang telah terbuka menimbulkan derit yang mengiris. Setengah berlari Putri menuju rumah, dan terdengar deru sepeda motor menjauh.

"Putri, apa2an kamu ini!!" keras suara pak Broto yang menunggu diteras rumah bersama isterinya.

"Ma'af bapak, hujannya deras sekali," jawab Putri sambil terus berlalu.

"Ya ampun nduk, bajumu basah kuyup seperti ini..dan kotor begitu.. apa kamu tadi bergulung dilumpur?" tanya ibunya sambil mengukuti langkah Putri yang terus menuju kamar mandi. Ia tak berani menatap wajah ayahnya yang memandanginya dengan sorot mata penuh amarah. Dan tak berani menatap wajah ibunya yang memandanginya penuh khawatir.Ada sesuatu yang hilang dari dirinya, dan membuatnya seperti kehilangan tempat berpijak. Desah2 penuh kepasrahan yang tadi direguknya tiba2 hilang berganti sakit yang mengiris. Putri terus mengguyur tubuhnya dengan air, seakan ingin menghilangkan noda yang mencederai kesuciannya. Dia terus mengguyurkan air, sambil membiarkan air matanya terus bergulir.

"mBok, ambilkan baju kering untuk Putri," teriak bu Broto kepada pembantunya.

Simbok tergopoh menuju kamar majikan kecilnya.

"Sudah, jangan lama2 mandinya, nanti kamu masuk angin," teriak bu Broto dari luar ketika mendengar Putri masih terus berguyur.

"Jeng Putri, ini bajunya," simbok juga berteriak sambil membawa setumpuk pakaian kering.

Pintu terbuka sedikit, tangan Putri keluar dan mengambil baju yang dibawakan simbok.

"Cepat Putri, lalu makan dan minum obat," kata bu Broto yang masih saja berdiri diluar kamar mandi.

"Simbok siapkan dahar sekarang bu?" tanya simbok.

"Ya mbok, supaya Putri bisa segera makan dan minum obatnya.

Simbok bergegas kedapur.

Tapi setelah selesai mandi dan berpakaian itu Putri langsung membaringkan tubuhnya dipembaringan. Tubuhnya terasa ngilu, demikian juga hatinya. Sesal yang berkepanjangan semakin terasa mengiris. Kegelapan itu, getar2 itu, gelora itu, amukan nafsu itu, mengapa ia tak bisa menahannya? Duhai, bagaimana cara menghiloangkan sesal itu? Bagaimanaa cara memutar kembali waktu, sehingga ia tak usah berteduh, sehingga ia minta saja langsung pulang menembus hujan, toh bajunya sudah terlanjur basah? 

"Jeng Putri..." tiba2 simbok masuk kamar dan mengejutkannya.

"Simbok, kalau mau masuk ketok pintunya dulu dong," tegus Putri yang merasa diganggu.

"Lho, bimbok sudah mengetuk berkali kali tuh, jeng Putri nggak dengar rupanya."

"Oh, iya mbok, ada apa?"

"Jeng Putri ditunggu diruang makan, ibu yang menyuruh simbok memanggil jeng Putri."

"Putri nggak ingin makan mbok, kepala pusing."

"Itulah maka ibu menyuruh jeng Putri makan, supaya segera bisa minum obat."

"Aku males bangun mbok."

"Simbok bawakan saja minuman hangat, sama makan dikamar ya?"

Tanpa menunggu jawaban simbok keluar kamar, melapor kepada majikannya bahwa Putri nggak mau keluar, dan simbok akan membawakannya kedalam.

Ketika simbok memasuki kembali kamar Putri, dilihatnya Putri sudah menutup tubuhnya dengan selimut.

"Jeng, ini teh hangat diminum dulu, supaya badan juga jadi hangat. Jangan wangkal, nanti ibu marah lho. Sini, simbok tungguin disini, ini diminum dulu. Habis itu makan. Ada sup hangat masakan simbok, uenak lho jeng.Biar simbok duduk disini menunggu,"

Simbok melayani Putri sejak Putri masih bayi. Ia sudah tau bagaimana cara meluluhkan hati Putri. Ia nggak akan pergi sebelum Putri menuruti permintaannya. 

Putri bangkit, mengibaskan selimutnya dan duduk ditepi pembaringan. Simbok mengulurkan teh hangat itu, dan Putri meneguknya.

"Sekarang makan dulu, simbok ambilkan supnya dulu ya," kata simbok sambil menyendokkan sup kedalam mangkup yang kemudian diangsurkannya pada Putri. Putri menggeleng tapi simbok menyendokkannya lalu disuapkannya kemulut Putri.

"Ayo, sedikit saja, biasanya kan jeng suka sup masakan simbok. "

Tak urung Putri membuka mulutnya menerima suapan yang diangsurkan simbok. 

"Nah, enak kan? Ayuh.. sayurnya... aaaaakk.."

Putri melahap sup itu sampai habis. Kemudian kembali merebahkan tubuhnya.

"Lho.. lho.. nasinya belum, sama ca kangkung.. ayam... ayo to jeng, biar enak badannya, ini obatnya sudah simbok bawakan sekalian, tapi harus makan nasi dulu."

"Sudah mbok, sudah kenyang," kata Putri sambil membalikkan tubuhnya membelakangi simbok.

"Wadhuhh... piye ta jeng, ya sudah, obatnya dulu.""Emoh mbok, aku sudah nggak pusing lagi, aku mau tidur saja."

Kali ini simbok tak berhasil membujuk Putri. Ia keluar lagi sambil membawa segala makanan yang tadi dibawakan untuk Putri.

***

Malam itu Teguh merasakan hal yang sama. Ada sesal yang menggumpal, susah diuraikannya dengan apapun juga. Seandainya ia bisa menahannya.. seandainya Putri tidak menyambutnya.. seandainya tak ada hujan sore itu.. dan berjuta seandainya memenuhi kepalanya. Teguh tak bisa tidur sampai kokok ayam membelah remang sisa2 malam.Ia harus meminta ma'af pada Putri, tapi apakah itu cukup? Apakah ma'af bisa membasuh dosa dan noda yang telah ditorehkannya?

"Mas Teguh.. mas Teguh..." ada suara mengetuk pintu kamarnya. Teguh membuka matanya yang belum lama terpejamkan. 

"Mas, bangun mas, ini sudah siang.. kamu nggak masuk kuliah?"

Suara itu semakin nyaring terdengar. Teguh tau itu suara Naning, tetangga sekampung yang selalu mampir kerumahnya sepulang dari belanja. Naning membantu ibunya berjualan nasi dan lauk pauk setiap pagi. Pagi itu karena belum melihat Teguh mengeluarkan sepeda motornya, Naning langsung masuk kerumah. Ibunya Teguh yang sedang memasak didapur membiarkannya karena keduanya memang berteman sejak masih kecil.

"Maaas.. apa kamu sakit?"

Teguh bangkit, mengucek matanya lalu membuka pintu kamarnya.

"Berisik !!" hardiknya pura2 marah.

"Pemalas ! Ini sudah siang tau..!!"

"Ya,aku tau..." katanya sambil keluar dari kamar.

"Ini, sate lontong kesukaanmu," kata Naning sambil meletakkan bungkusan dimeja makan.

"Ya, taruh aja disitu."

"Kamu nggak kuliah mas?"

"Nggak, badanku lagi nggak enak."

"Kamu masuk angin, mau aku kerokin? Pasti semalam kamu hujan2an. Kata ibu kamu latihan menari sampai hujan reda baru pulang."

"Nggak usah, aku mau dikerokin ibu saja. Kamu ngerokinnya sakit."

"Eee.. masa sih? Kan sama2 pakai uang benggol yang punya ibu itu.."

"Iya, tapi tanganmu itu kalau ngerokin sakit."

"Huh, ya sudah, " Naning cemberut kemudian berlalu. Teguh tersenyum senyum sendiri melihat Naning pergi sambil mengomel.

"Kamu masuk angin to le.?" tiba2 bu Marsih ibunya Teguh keluar dari dapur sambil meletakkan masakan yang baru dimasaknya.

"Ya bu, Teguh mau tidur dulu."

"Lha ini Naning sudah bawakan kamu lontong sate kesukaanmu, dimakan dulu lalu minum obat. Kamu sih, hujan2 nekat pergi, sampai bajumu basah dan kotor seperti itu."

"Ya bu, Teguh kekamar mandi dulu, nanti tolong ibu kerokin ya?"

Ya, cepatlah, ibu mau kepasar, dan nggak usah mandi. Kalau mau mandi pakai air hangat, ditermos masih ada. Nanti kamu bertambah sakit kalau mandi pake air dingin."

***

Hari itu Putri juga enggan masuk sekolah. Badannya terasa sakit semua. Simbok sudah menggosoknya dengan minyak gosok yang hangat, lalu Putri kembali tidur.

"Ibu kan sudah bilang kemarin, nggak usah pergi, kamu nekat sih. Sampai bapak marah2 nggak karuan," gerutu bu Broto ketika melihat Putri masih tergolek diranjang dan berselimut tebal.

"Ma'af bu.." sahut Putri lemah. 

"Sebelum berangkat tadi bapakmu melihat kamu masih tidur, marah2 lagi karena kemarin kamu pergi disa'at hujan mau turun, trus nggak bawa ponsel, kamu nggak boleh mengulangnya lagi lho nduk."

Putri diam, tak tau harus menjawab apa. Dia memang salah, dan kesalahan itu sangat berat terasa ditanggungnya. 

"Ya sudah, tiduran dulu, biar simbok membawa sarapanmu kekamar."

Bu Broto keluar dari kamar setelah membenarkan letak selimut anaknya.

Putri memejamkan matanya dan mencoba tidur, tapi tak bisa. Bayangan Teguh selalu mengambang dipelupuk matanya. Apakah Teguh juga merasakan hal yang sama? Putri mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Teguh. Tapi ponsel  Teguh tampaknya dimatikan. Apakah Teguh sakit?

***

Bu  Marsih sudah selesai ngerokin Teguh. Lalu membalurkan minyak gosok yang hangat keseluruh punggungnya.

"Merah gosong tuh, kamu masuk angin le," kata bu Marsih sambil keluar dari kamar anaknya.

"Bu, mas Teguh sudah dikerokin?" tiba2 suara itu terdengar lagi.

"Sudah Ning, coba kamu lihat dikamar, dan suruh dia makan, aku mau kepasar dulu." kata bu Marsih sambil berkemas.

"Ya bu, biar Naning paksa dia makan."

Ketika Naning masuk kekamar Teguh, dilihatnya Teguh sedang berbicara di telpone.

"Ma'afkan aku, sungguh aku menyesal... ya... baiklah, istirahat saja dulu, ya pastilah,. baik, besok kita ketemu lagi kan.. ya..."

Teguh menutup ponselnya ketika melihat Naning memasuki kamarnya.

"Telpon sama siapa?" tanya Naning sambil memandangi penuh selidik.

"Mau tau aja..." jawab Teguh sambil kembali berbaring dan membalikkan tubuh membelakangi Naning.

"Eh, jahat banget ya sama aku, cuma ditanya aja.. awas ya .. kalau kamu telponan sama perempuan.."

"Lho.. memangnya apa urusannya kamu melarang aku?"

"Ya  nggak boleh, kan kamu itu jodohnya aku."

***

besok lagi ya


No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...