Wednesday, November 21, 2018

SEPENGGAL KISAH XXXVI

SEPENGGAL KISAH  36


"Kita nggak jadi ke kantor dulu,  pak Marsam. Kekantornya Bowo saja." perintah pak Prasojo kepada pak Marsam.

Pak Marsam bertanya dalam hati. Kemarin pak Prasojo bilang akan ada meeting pagi, kenapa sekarang harus kekantor puteranya dulu. Tiba2 pak Marsam berdebar debar. Jangan2 karena kemarin Asri mengajukan surat pengunduran diri.

"Pak Marsam tahu nggak .. bahwa kemarin Asri mengajukan surat pengunduraan diri?" Pak Prasojo bertanya tiba2.

" Oh.. iya.. tampaknya begitu.. tapi..."

"Apa pak Marsam tau mengapa tiba2 Asri ingin berhenti bekerja?"

Bingung pak Marsam menjawabnya. Apa ia harus mengatakan tentang baju itu? Tidak.. bukan hanya itu penyebabnya, dan pak Marsam yakin bahwa tak mungkin Asri mengatakan tentang baju itu kepada atasannya.

"Pasti bapaknya tau..."

"Tidak pak..mm.. maksud saya.. Asri hanya ingin bekerja dirumah saja. "

"Masa itu alasannya?"

"Ma'af pak.. kadang2 orang tua tidak harus mengetahui terlalu banyak tentang anaknya yang sudah dewasa." Jawab pak Marsam sekenanya.

"Apa itu tentang pacar? Asri dilarang oleh pacarnya?"

"Oh.. tidak mungkin pak.. Asri belum punya pacar.. kalau ada pasti saya mengetahuinya. "

Pak Prasojo tau pasti bahwa pak Marsam tak akan bisa memberikan jawaban yang pasti. Tapi ada sesuatu. Dan itulah yang pasti. Tapi apa..

 

Diruangan pak Prasojo Asri kemudian dipanggil. Pak Prasojo menanyakan perihal keinginannya untuk keluar dengan pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada pak Marsam. Jawabannya juga tak memuaskan.

"Saya hanya merasa tidak pantas pak.. saya kan hanya lulusan SLTA,, dan tidak pantas duduk dikursi sekretaris. "

"Kau sudah menjalaninya lama. Baru merasa begitu sekarang?"

"Saya sudah lama memikirkannya. Baru sekarang bisa melakukannya."

"Kamu bohong bukan? Kamu menyembunyikan sesuatu?Ada yang mendorongmu untuk melakukan itu"

Pertanyaan pak Prasojo itu dirasakan seperti sebuah tembakan beruntun yang sulit dihindarinya. Hampir saja Asri mengangguk dan mengatakan yang sebenarnya. Ia tak tahan melihat tatapan mata pak Prasojo dan ia harus menghindarinya. Asri menundukkan kepalanya, dan menahan agar air matanya tak jatuh.

"Benar? Tatap mataku Asri dan katakan yang sebenarnya."

Asri menggelengkan kepalanya. "Tidak ada pak.. sungguh.."

"Kalau begitu aku sependapat dengan Bowo. Aku menahanmu untuk tetap bekerja disini."

"Mengapa pak?" Lirih Asri mengatakannya. Hampir berbisik.

"Kalau kau bekerja dengan buruk maka aku tidak akan menahannya. Aku memandang bapakmu yang semakin tua. Kau harus menjadi anak kebanggaannya."

"Mengapa pak?" Kali ini Asri terisak. Tak tahan ia menyembunyikan keharuannya atas perhatian majikan ayahnya ini kepada keluarganya.

"Bapakmu sudah bekerja selama berpuluh tahun bersamaku. Sejak ibumu masih ada, sejak kau masih berumur belum lima tahun. Dan dia sudah seperti keluarga bagi kami. Kalau bapakmu tidak bisa menjadikanmu orang.. maka akulah yang akan melakukannya."

Asri terisak. Ia tak menyangka begitu besarnya karunia ini. Karunia yang berupa kasih sayang dari seseorang yang dalam derajat dan kedudukan bagaikan bumi dan langit dengan keluarganya. Sungguh Asri tak mengira. Jadi ketika bapaknya bilang bahwa pak Prasojo ingin menyekolahkannya, itu adalah benar adanya. Sekarang baru Asri merasakannya.

"Jadi.... sekarang hapus air matamu." Pak Prasojo mengangsurkan tisue yang kemudian dipakai Asri untuk mengusap air matanya. "Lalu kembalilah bekerja. Anak baik.. kau pasti menurut apa kataku bukan? Buat ayahmu bangga bahwa kau bisa melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Bukan alasan yang tepat kalau kau ingin berhenti karena merasa pendidikanmu hanya SLTA. Kau bisa belajar banyak hal, dan kau menangkap semuanya dengan kecerdasanmu,"

Pak Prasojo menepuk nepuk bahu Asri dan meninggalkannya.

Asri masih termangu. Kata2 pak Prasojo itu memang bisa menghentikan langkahnya untuk pergi, tapi kalau diingat sikap bu Prasojo .. Asri kembali bingung.

"Tidak bu.. aku nggak mau meminta minta seperti pengemis." kata Dewi kepada ibunya.

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah melihat sikap mas Bowo, dan aku tidak lagi tertarik untuk bekerja disana. Biar aku mencari pekerjaan lain saja."

"Jangan bandel, susah2 ibumu ini minta agar bu Prasojo membantumu, tapi kau malah bilang nggak mau kerja disana. Apa sih maksudmu?" Bu Harlan tampak marah.

"Ya sikap meminta tolong itu yang tampak seperti pengemis bu, dulu juga kita sudah tau bahwa mas Bowo sudah punya sekretaris.. dan dia itu baik lho.. mengapa ibu masih memaksakan kehendak untuk tetap berharap."

"Bukan ibu yang memaksa, bu Prasojo sendiri yang meminta agar kau bisa bekerja disana. Dia itu ingin mengambilmu sebagai menantu. Tau?"

"Dulu aku mau .. karena belum tau .. sekarang tampaknya mereka itu saling suka.. masa aku harus merusaknya?"

"Sok tau kamu.. bu Prasojo sendiri bilang bahwa mereka tidak pacaran, dan bu Prasojo juga bilang bahwa Asri mau resign dari pekerjaannya."

"Masa ?" Dewi tak percaya.

"Bu Prasojo sendiri yang bilang"

"Tapi aku sudah janji sama temanku.. untuk ikut bekerja dirumah makan.. milik dia.."

"Apa? Bekerja dirmah makan? Kamu itu sarjana Dewi.. masa jadi pelayan rumah makan?" Bu Harlan sampai berdiri dan menuding anaknya dengan sengit.

"Tidak apa2 kalau jadi pelayan juga. Yang penting halal."

Pembicaraan yang semakin memanas itu berhenti karena Dewi segera pergi meninggalkan ibunya yang semakin marah melihat sikapnya dan juga marah mendengar keinginannya.

Sore itu sepulang kantor Asri menurut saja ketika Bowo nekat mengantarnya pulang. Tak banyak yang mereka bicarakan, karena keduanya sedang tenggelam dalam pikirannya masing2. Asri bingung atas apa yang harus dilakukannya,sedangkan  Bowo khawatir Asri akan meninggalkannya karena dilihatnya Asri masih ragu untuk melanjutkan pekerjaannya atau tidak.Tiba2 Bowo merasa batinnya seperti diiris. Tiba2 ada rasa takut yang membelit perasaannya. Takut kehilangan benda berharga yang disayanginya. Ya Tuhan.. aku mencintainya.. desis batin Bowo dengan sedih. Jangan biarkan dia pergi.. aku mencintainya.. dan desis yang terakhir itu sampai keluar dari mulutnya. Asri mendengarnya..

#adalanjutannyalho#

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...