Tuesday, November 27, 2018

SEPENGGAL KISAH XLV

Terhenti langkah Bowo mendengar pintu terbuka dan sebuah teriakan dari suara orang yang dikenalnya.

"Mas Bowo..!" Asri berlari mendekati Bowo. Rupanya Asri bersembunyi didalam rumah untuk menghindari pertemuannya dengan Bowo. Namun ketika mendengar Bowo menerima telepon yang menyebut bahwa ayahnya ada dirumah sakit, Asri lupa segalanya. Ia membuka pintu dan menghambur kearah Bowo.

"Asri ?"

"Ma'afkan saya mas... saya hanya ingin mas Bowo melupakan saya."

Bowo memeluk Asri erat2 serasa tak ingin melepaskannya kembali. 

"Ada apa dengan bapak mas? Kenapa?" 

Bowo segera sadar bahwa dia harus menuju rumah sakit karena ayahnya menunggu disana. Dilepaskannya pelukan itu dan ditepuknya bahu Asri untuk menghiburnya.

"Pak Marsam ada dirumah sakit, aku belum tahu kenapa. Bersiaplah, kita segera kesana."

Asri berlari kedalam rumah dan berganti pakaian sekenanya. Hatinya was2 memikirkan ayahnya. Sakit apa bapak sehingga harus masuk rumah sakit ?

 

Asri menangis tersedu sedu melihat keadaan ayahnya. Ada selang2 infus, ada tabung O2 untuk membantu pernafasannya lalu ada selang2 yang lain yang Asri tidak tau untuk apa melingkar lingkar ditubuh ayahnya. . Kelihatannya parah, karena ayahnye belum sadarkan diri. Bowo tak tega melihatnya.

"Asri, jangan sedih, ayahmu sudah ada ditangan ahlinya, percayalah dia akan segera pulih. Ayo duduklah disini, dan tenangkan hatimu"

Malam itu Asri menunggui ayahnya dirumah sakit, dan Bowo menemaninya dengan setia. 

 

"Mengapa Bowo nggak ikut pulang pak?" tanya bu Prasojo ketika melihat suaminya pulang sendirian.

"Nggak, dia menemani Asri dirumah sakit," jawab pak Prasojo sambil masuk kedalam rumah. Bu Prasojo mengikuti dan menampakkan wajah kesal.

"Mengapa Bowo harus menemani?"

"Kasihan Asri bu, dia pasti sedih sekali,"

"Memang orang tua lagi sakit, ya pasti sedihlah, tapi kan Bowo itu bukan apa2nya, susah2 amat pakai harus menemani segala."

"Pak Marsam itu bukan orang lain bagi kita, ibu lupa..sedah berapa puluh tahun dia melayani kita? Masa kita tidak boleh perhatian sedikit saja buat dia. Berperi kemanusiaan lah bu .. "

"Lha kita ini kurangnya apa to, sudah mengantar dia kerumah sakit, sudah memikirkan biayanya, lalu kurang apa lagi?"

"Bu, aku tidak suka cara berpikir ibu, jadi diamlah karena aku capek berdebat. Sekarang aku mau istirahat.Mestinya ibu juga mau menjenguk pak Marsam untuk menunjukkan simpati ibu padanya, bukan malah bicara tidak karuan begitu."  Pak Prasojo langsung masuk kekamar dan tak lagi memperdulikan kata2 bu Prasojo yang tidak sejalan dengan pikirannya.

 

 Pagi subuh Bowo baru kembali kerumah. Ia melaporkan keadaan pak Marsam yang sudah sadar tapi masih lemah.

"Apa kata dokter?" tanya pak Prasojo khawatir.

"Serangan jantung, dan sebelumnya pak Marsam memang sudah punya riwayat darah tinggi. Mudah2an dokter bisa mengatasinya."

"Aamiin.. "

"Bapak nanti kekantor sama Bowo saja, setelah mengantar bapak, baru Bowo kekantor. Ada pekerjaan yang harus Bowo selesaikan, karena kemarin belum sempat. Nanti siang Bowo kerumah sakit lagi."

"Kamu tidak istirahat dulu?"

"Bowo tidur semalaman disana. Pak Marsam sudah dipindahkan ke zal, Asri masih menemani."

"Berikan kamar yang baik untuk pak Marsam, supaya tidak terganggu oleh pasien lain,"pesan pak Prasojo sambil menuju kamar mandi." 

"Sudah pak, bapak jangan khawatir, pak Marsam sudah dilayani dengan baik."

Pak Marsam memang sudah sadar, tapi masih lemah. Asri yang selalu menungguinya masih merasa khawatir karena wajah ayahnya masih pucat, dan dokter melarangnya bicara banyak.Asri heran, ayahnya selama ini tak pernah mengeluhkan apa2.. kenapa tiba2 terkena serangan jantung? Darah tinggi? Asri merasa sedih, kalau sampai terjadi apa2 atas ayahnya, apa yang harus dia lakukan? Apakah dia sanggup hidup sendirian tanpa ayahnya? 

"Asri..." suara pak Marsam lemah

"Oh, ya pak," Asri mengusap air mata yang mengambang dipelupuk matanya.

"Jangan menangis nduk, bapak tidak apa2.."

"Ya pak, segera sembuh ya pak, jangan buat Asri sedih,"

Pak Marsam hanya mengangguk, memang tak banyak yang bisa dikatakannya, karena kalau bicara banyak maka dadanya terasa sesak, dan nafasnya jadi ter engah2.

"Bapak harus semangat, supaya segera sembuh, trus bapak boleh pulang. Nanti kalau bapak pulang, bapak nggak usah bekerja lagi, biar Asri yang bekerja. Asri pasti bisa kok, cari uang untuk menghidupi kita berdua."

Pak Marsam mengangguk, berlinang air matanya mendengar anaknya ber kata2. 

"Kok bapak jadi menangis? Asri juga tidak apa2 kok, kita akan hidup  tenang, dan bahagia, hanya berdua, Asri dan bapak. Ya kan pak?  Sekarang bapak istirahat saja dan jangan memikirkan apa2. Ya pak?" Asri mengelus elus tangan bapaknya dimana masih tertancap jarum infus yang terpasang sejak semalam.

Siang itu Asri agak merasa tenang karena bapaknya bisa tertidur nyenyak. Dipandanginya wajah bapaknya yang sudah penuh dengan kerut merut dipipinya. Wajah tua yang pucat, dan tampak letih. Aduhai, ingin rasanya Asri menggantikan bapaknya, menanggung penyakit yang disandangnya agar bapaknya tetap sehat dan penuh semangat seperti hari2 sebelumnya. Tak henti berlinang air matanya memikirkan itu.

"Asri, " Asri menoleh dan dilihatnya Bowo membawa bungkusan2. "Aku membawa makanan untuk kamu, kamu pasti belum makan karena sejak kemarin kamu menolak setiap kali aku ajak makan." 

Bowo menarik tangan Asri dan diajaknya duduk dikursi yang ada diruangan itu.

"Sudah banyak yang keluarga mas Bowo lakukan untuk saya dan bapak saya. Juga kamar yang mewah ini, lalu mas Bowo masih memperhatikan apa aku sudah makan atau belum, saya sungguh tak tau bagaimana harus membalas semua ini."

"Apa bapakku bilang telah menghutangkan ini semua untuk bapak kamu? Tidak kan? Ini semua untuk pak Marsam dan kamu, karena pak Marsam sudah dianggap keluarga oleh keluargaku. Jadi tak ada balas membalas. Sekarang makanlah, kamu tidak boleh jatuh sakit karena kamu harus merawat bapak bukan?"

Bowo lagi2 mengulurkan tissue untuk mengusap air mata Asri yang tak henti2nya mengalir. 

"Apa bapak bisa disembuhkan? " Asri mengusap air matanya.

"Tentu saja, mengapa tidak? Pak Marsam laki2 yang kuat.  Ayolah makan dulu, biar aku temani." Bowo membuka dua bungkusan yang salah satunya kemudian diberikannya pada Asri. Ada sedikit rasa tenang ketika  Bowo berada disampingnya dan berbicara seakan ikut merasakan kesedihannya.

"Bowo, kamu disini ?" tiba2 suara itu mengejutkan mereka berdua. Bu Prasojo masuk dan langsung menegur anaknya. " Kamu rela meninggalkan pekerjaanmu demi dia?" Bu Prasojo menuding Asri yang menunduk diam.

"Mengapa ibu kesini?" tegur Bowo yang tidak suka mendengar ucapan ibunya.

"Ayahmu yang menyuruh ibu datang kesini menjenguk Marsam. Oh.. itu dia.. enak ya, dalam sakitpun masih mendapat perlakuan istimewa. Mahal lho kamar ini... bisa setengah juta lebih seharinya. Wah..wah.. hebat sopirku ini.."

"Ibu.. ibu mengucapkan kata2 tak pantas." Bowo menegur tak senang, suaranya keras dan penuh amarah.

Tiba2 terdengar keluhan dari arah pak Marsam berbaring. Mereka pak Marsam terengah engah dan seperti sulit bernafas. Asri berteriak panik. "Dokteeeerrr."

#adalanjutannyalho#

 

 

 

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...