Monday, November 26, 2018

SEPENGGAL KISAH XLIV

Bowo benar2 terkejut, seorang gadis, terpincang pincang menyapanya dengan manis yang dibuat buat. Gadis itu Dewi. Bowo ingin lari dari sana namun Dewi mengulurkan sebuah bingkisan didalam sebuah tas plastik.

"Mas Bowo, ini untuk mas Bowo."

"Untuk apa ?"

"Sebagai ucapan terimakasih karena mas Bowo telah menolong aku. Ini, biar aku letakkan dimeja sini ya? Oh ya, mana Asri?" Dewi rupanya belum tau kalau Asri telah resign tapi Bowo tak mau mengatakannya.

"O, dia sedang ada tugas keluar, sebentar lagi dia datang,"

"Owh, baiklah, boleh aku duduk disini? Tiba2 saja Dewi sudah duduk disofa yang ada diruangan itu. 

"Tapi ma'af, aku sedang ditunggu klient.. dan harus segera pergi." 

"Kalau begitu boleh aku numpang mas, aku boleh diturunkan dimana saja yang dekat rumah. Aku tadi ijin untuk tidak masuk kerja  karena kakiku sakit sekali."

"Oh, ma'af sekali karena aku berangkat bersama beberaapa staf. Jadi.. nggak enak juga kalau kamu ikut bersama kami."

Dewi sangat kecewa. Ia menduga duga , mungkin Bowo hanya mencari alasan agar bisa menjauh darinya. Baiklah.. akan ada sa'at lain dimana kau akan tunduk dibawah telapak kakiku. Janji Dewi dalam hati. Dilihatnya Bowo mengangkat telepon : " Kita berangkat sekarang saja, lebih cepat labih baik. Oke.. tungguin aku dilobi ya.."

Bowo meletakkan telepon, dan Dewi berdiri, tertatih dan kelihatan sangat kesakitan, namun Bowo pura2 tidak tau. Ia merasa gadis bernama Dewi ini sangat berlebihan. Dibiarkannya Dewi berjalan keluar sambil berpamit.

"Aku pergi dulu ya mas, nanti rotinya dimakan, aku sendiri lho yang membuatnya."

"Baiklah.." Bowo menjawab sambil pura2 menyibukkan diri dengan membuka buka map yang ada dimejanya.

Ketika Dewi keluar, Bowo memanggil salah seorang staf  dan memberikan bungkusan itu.

"Ini dibagi sama yang lain ya."

Dan Bowo kembali tenggelam dalam kesedihannya. Ia tak mengerjakan apapun hari itu, pikirannya hanya tertuju pada Asri.

 

Pagi itu pak Prasojo masih belum berangkat kerja, pak Marsam sedang mengelap mobil majikannya agar tampak lebih mengkilat. Tiba2 bu Prasojo mendatanginya dengan wajah penuh amarah.

"Bagus ya Marsam, anakmu itu,"

Pak Marsam menghentikan pekerjaannya.

"Ada apa bu?" dia menjawab penuh hormat.

"Anakmu yang bernama Asri itu telah mengadu domba antara aku dan Bowo anakku, apa itu pantas ? Memangnya siapa dia itu maka berani menentangku?"

"Mengadu domba bagaimana bu? Saya tidak mengerti. Kalau memang Asri bersalah biarlah saya yang akan menegurnya." jawab pak Marsam.

"Kamu jangan pura2 tidak tau, kamu pasti tau apa yang aku maksudkan. Dan ingat Marsam, dia itu hanya anaknya kamu, seorang sopir, yang tidak punya derajat. Jangan coba2 merayu anakku. Mana pantas dia berbuat begitu? Suruh dia sadar.. dia itu siapa..dan Bowo itu siapa!"

"Bu, saya..."

"Sudah.. jangan banyak bicara lagi." Dan bu Prasojo pun kemudian masuk kerumah meninggalkan pak Marsam yang terluka hatinya. Didepan pintu bu Prasojo berpapasan dengan suaminya.

"Ada apa kamu bu? Kamu marah2 sama pak Marsam?" Bu Prasojo tidak menjawab, dan langsung masuk kedalam rumah.

Pak Prasojo mengajak pak Marsam berangkat kekantor. Pak Prasojo melihat wajah pak Marsam pucat pasi. Apa lagi yang dilakukan isteriku, pikir pak Marsam.

Ditengah perjalanan itu pak Prasojo bertanya pada pak Marsam :" Ada apa tadi pak? Ibunya Bowo marah2 sama sampeyan?"

"Oh.. tidak pak.. tidak marah." pak Marsam menutupinya. Ia tak ingin masalah itu diperpanjang dengan kemarahan majikannya pada isterinya.

"Benar..? Aku lihat tadi dia marah2.. dan bicara agak keras, tapi aku tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya."

"Oo.. bu Prasojo menegur saya karena tampaknya kurang bersih saya mengelap mobilnya." pak Marsam menjawab sekenanya.

"Ma'af ya.. kalau dia bicara kasar, ibunya Bowo suka begitu."

Pak Marsam mengangguk. Sebenarnya bukan karena kasarnya dia bicara, tapi kata2 yang diucapkannya sungguh menyakiti batinnya. Pak Marsam merasa terhina karena kedudukannya yang memang sopir itu dipakai bu Marsam untuk merendahkannya. Kalau saja ia tidak menyadari bahwa bu Prasojo itu isteri majikannya, pasti pak Marsam sudah melawannya. Apa dayaku, aku hanya orang rendahan..rintih batin pak Marsam.

 

Sore itu begitu selesai mengantarkan pak Prasojo, pak Marsam langsung berpamit untuk pulang. Kepalanya terasa pusing, tak tertahankan. 

"Mobil akan saya cuci besok pagi saja pak, kepala saya pusing sekali." pak Prasojo terkejut.

"Tunggu, aku punya obat pusing, sebentar aku ambilkan. Harus diminum sekarang ya."

Pak Prasojo masuk kedalam rumah. Pak Marsam menunggu sambil duduk ditangga samping rumah sambil memijit mijit kepalanya.

"Ini obatnya, minumlah dulu. "Diangsurkannya obat dan segelas air kepada pak Marsam.

"Terimakasih pak, merepotkan saja," pak Marsam menerimanya dan langsung meminumnya.

"Tunggu sebentar dulu pak, biar obatnya bereaksi. Sampeyan kan menaiki sepeda motor, kalau kepala pusing tidak baik berkendara, dijalan yang ramai pula. 

Tapi pak Marsam ingin segera sampai dirumah dan membaringkan tubuhnya dengan nyaman.

"Tidak pak, biar saya pulang saja, "

"Baiklah, tapi naik motornya pelan2 saja ya.." 

"Baik pak,"

Pak Marsam menuntun sepeda motornya dan menstarternya setelah tiba diluar halaman. Tiba2 pak Marsam merasa limbung, bumi seperti berputar dan kemudian ia  terjatuh diatas sepeda motornya, lalu tak ingat apa2.

Sampai hari gelap Bowo menunggu Asri dirumahnya, tapi gadis itu tak kunjung tiba. Kemana perginya gadis itu, dan mengapa juga pak Marsam juga belum pulang. Bowo ingin bertanya pada pak Marsam, kemana sebenarnya Asri pergi. Pak Marsam pasti tau. Ia bertekat tak ingin pulang sampai Asri datang.

Tiba2 telpon berdering.. dari pak Prasojo, ayahnya.

"Hallo.. ya pak.. saya... mm.. masih dijalan.. ya.. bapak menyuruhku kerumah Asri? Ada apa.. apa pak? Pak Marsam ada dirumah sakit? Kenapa? Pingsan dijalan? Ya pak.. aku segera kesana."

Bowo bergegas kembali kemobilnya, sa'at itulah pintu rumah pak Marsam tiba2 terbuka, dan Asri berteriak dari pintu itu.

#adalanjutannyalho#

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...