Monday, November 26, 2018

SEPENGGAL KISAH XLIII

Dewi tersenyum memandangi ibunya. Dikedipkannya sebelah mata, hatinya girang bukan main ketika mendengar bu Prasojo berkata harus ada yang mengantarnya. Pasti Bowo.. dan Dewi menata rambutnya yang sesungguhnya masih tertata, membenarkan letak balutan dikakinya agar terlihat sempurna. Tapi ketika bu Prasojo muncul ,Dewi sangat kecewa.

"Ma'af jeng, Bowo sudah terlanjur ganti baju dan tidur.. susah nyuruhnya. Biar saya panggilkan taksi saja."

Wajah Dewi sudah gelap seperti mendung. Dia selalu berfikir bahwa Bowo itu sombong dan tidak perduli padanya. Hm.. lihat saja nanti, bisik batinnya.

Ketika kedua tamunya pulang, bu Prasoj.o mengetuk pintu kamar anaknya. "Bowo, buka pintunya, ibu ingin bicara. Bowo.. tolong sebentar saja." ujarnya berkali kali.

Ketika pintu terbuka Bu Prasojo segera menarik anaknya agar duduk dikursi diluar pintu itu.

"Mengapa sikapmu seperti itu?"

"Seharusnya saya yang bertanya pada ibu, mengapa sikap ibu seperti itu," Bowo menjawab dengan kesal. 

"Sikap apa? Sikap tadi siang itu, dirumah makan itu? Ibu sangat marah melihatmu berduaan terus dengan anak si sopir itu."

"Namanya pak Marsam, mengapa ibu menyebutnya begitu?"

"Ya..siapalah dia itu, ibu tidak suka."

"Mengapa ibu membenci Asri? Apa salah dia bu? Kasihan, dia pasti sakit hati."

"Ibu hanya tidak suka kamu berduaan terus sama dia. Kau harus tau bahwa itu tidak pantas!" Kau harus tau dimana kedudukanmu, dan siapa gadis itu."

"Ibu lupa bahwa Asri itu sekretarisku, dan aku pasti selalu berdua sama dia."

"Tapi tidak kalau kau ajak dia makan siang bersama, belanja bersama, itu sudah kelewatan. Tau? Apa kau tidak malu kalau orang2 menggunjingkan kelakuanmu ini?"

"Mengapa harus malu bu,  aku tidak merasa malu sama sekali. Asri gadis yang baik, dan dia sangat membantu dalam aku mengerjakan tugas2ku. Apa salah dia sehingga ibu seperti membencinya? Ibu juga mengembalikan baju yang aku berikan itu pada Asri, hanya karena baju itu pilihannya, padahal tadinya ibu suka sekali warna baju itu. Apa salah dia bu?" Bowo lupa pada janjinya untuk tidak mengatakan perihal baju itu pada ibunya. Bowo benar2 ingin menumpahkan kekesalan hatinya sa'at itu juga.

"O.. jadi gadis itu sudah mengadu padamu? Bagus, jadi dia sengaja ingin mengadu domba antara aku dan anakku. "

"Bukan dia mengadu bu, kebetulan saja aku tahu. Dia tadinya menyembunyikannya, dia tidak ingin aku marah sama ibu. Dia itu gadis yang baik."

"Mengapa kamu selalu memuji muji dia? Apa kamu suka sama dia?"

"Ya bu, aku mencintai Asri." Bowo berterus terang karena capek mengimbangi kemarahan ibunya. Apapun yang terjadi ibunya harus tau.

Bu Prasojo sangat terkejut. Pada sa'at itu pak Marsam masuk kedalam untuk berpamitan. Sebagian kata kebencian dari bu Prasojo dan ungkapan cinta yang diucapkan Bowo terdengar sangat jelas ditelinganya. Bowo melihat kedatangan pak Marsam dan menyambutnya ramah.

"Pak Marsam sudah selesai? Atau mau ketemu bapak?"

"Tidak mas, saya hanya mau pamit, tugas saya sudah selesai."

"Baiklah pak, hati2 dijalan ya pak."

"Permisi mas, bu.. saya permisi.." Pak Marsam juga berpamit pada isteri majikannya. Namun Bu Prasojo memalingkan muka, dan pak Marsam pun berlalu.

Bowo juga berdiri untuk kembali kekamarnya. 

"Bowo, ibu belum selesai bicara."

"Aku capek bu, ma'af" Bowo kembali menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

"Dasar anak tak tau diuntung. Dengar Bowo, ibu nggak rela kamu berdekatan dengan gadis itu, apalagi kamu mencintainya. Ibu nggak rela." suara bu Prasojo hampir berteriak.

Ketika pak Marsam tiba dirumahnya dilihatnya Asri ada dirumah, sedang membuat minuman, yang kemudian diletakkannya dimeja dimana ayahnya biasa duduk sepulang kerja.

"Masih anget pak, Asri juga menggoreng pisang buat bapak." Asri kembali kebelakang untuk mengambil pisang goreng yang dikatakannya. Pak Marsam juga langsung pergi kebelakang untuk mencuci tangan dan kakinya serta mengganti pakaiannya.

Pak Marsam heran melihat Asri sempat menggoreng pisang. Biasanya Asri menyiapkan camilan untuk ayahnya dengan makanan yang dibelinya dijalan.

Ketika Asri kembali dan meletakkan piring berisi pisang itu, dilihatnya mata Asri, sembab dan layu. Bekas menangis. Pak Marsam menghubungkan hal itu dengan pembicaraan yang didengarnya sore tadi dirumah pak Prasojo. Tapi pak Marsam menahan pertanyaan yang sudah sampai keujung bibirnya untuk menjaga perasaan Asri. Ia tau pasti Asri sedang sangat sedih. Ia harus menampakkan rasa senang karena Asri telah bersusah payah menggoreng pisang untuknya. Setidaknya untuk mengurangi kesedihannya.

"Hm.. masih hangat pula." Pak Marsam mengambil sebuah pisang goreng yang langsung dimakannya. Ini pisang raja yang sangat lezat. Bapak sangat suka." 

"Benar pak, pisang raja yang Asri beli dari pedagang pisang yang tadi lewat depan rumah."

"Tumben kamu pulang sangat awal, dan sempat menggoreng pisang pula." Pak Marsam mengambil lagi sebuah pisang goreng bukan karena lapar tapi karena ingin menyenangkan hati Asri . Sementara sebetulnya pak Marsam sendiri juga sedang menyandang perasaan yang tak enak setelah kejadian dirumah majikannya sore tadi.

"Mulai hari ini, Asri akan lebih banyak melayani bapak. Memasak, membuatkan camilan kesukaan bapak, pokoknya banyak waktu buat bapak."

"Maksudnya..?"

"Asri benar2 keluar dari pekerjaan Asri. " Mata Asri menerawang keatas sementara tubuhnya direbahkannya disandaran kursi yang didudukinya.

"Oh, begitu, baguslah.. bapak senang mendengarnya." dan pak Marsam benar2 senang.. dengan berhenti bekerja Asri tak akan lagi ada hubungannya dengan keluarga bu Prasojo yang tampaknya tak suka pada anaknya. Tapi kemudian pak Marsam juga teringat pada kata2 Bowo yang didengarnya tadi. AKU MENCINTAI ASRI. Benarkah? Dan bagaimana dengan Asri? Apakah Asri juga suka pada atasannya? Ini pasti yang menjadi sebab mengapa bu Prasojo membenci Asri. 

"Asri, kau benar2 tega meninggalkan pekerjaanmu?"

"Ya tega lah pak... aku lebih suka melayani bapak begini..." tapi kesedihan itu masih tampak pada raut muka anaknya.

"Bagaimana dengan mas Bowo?" pak Marsam mencoba memancing.

"Kenapa dengan mas Bowo? Banyak orang membutuhkan pekerjaan pak, pasti nanti akan ada gantinya." Itu bukan jawaban yang ditunggu pak Marsam.

"Kamu tega meninggalkannya?"

"Bapak kok bertanya begitu, kalau nggak tega ya aku pasti masih disana bukan?" Itu juga bukan jawaban yang diinginkannya. Pak Marsam mencoba mencari kata2 tepat untuk memancingnya lagi.

"Maksud bapak.. apa tidak kasihan mas Bowo kamu tinggalkan. Bagaimana kalau penggantinya nggak ada yang cocog, dan cocognya cuma sama kamu?" 

"Masa nggak ada yang cocog..."

Aduh.. susah sekali cara memancingnya. "Apa kamu suka sama mas Bowo?" akhirnya kata2 itu yang meluncur.

Asri terkejut. Mengapa bapaknya bertanya seperti itu, dan karena terlanjur maka dijelaskannya sekalian apa yang ada didalam hatinya. "Bapak mendengar mas Bowo berterus terang sama ibunya, bahwa dia cinta sama kamu." Asri lebih terkejut lagi. Berterus terang pada ibunya? Pasti ibunya mengamuk mendengar keterus terangan anaknya.

"Apa itu benar? Kamu sudah dewasa sekarang, dan sa'atnya kamu juga memikirkan pendamping hidup. Cuma.. kalau itu mas Bowo, bapak takut.. kita tidak sepadan dengan mereka nak, bagai bumi dan langit." Kata2 pak Marsam itu seperti mengingatkan Asri agar tak membalas cinta Bowo karena kedudukan mereka berbeda.

"Ya pak, pasti Asri tau itu. Asri juga takut. Kita bukan golongan orang2 kaya, kita tidak sepadan. Asri benar2 tau kok."

"Syukurlah, anak bapak yang baik," dan pak Marsam memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang.

Namun Bowo benar2 bersedih ketika pagi hari itu ia menjemput Asri dan melihat pintu rumah Asri tertutup rapat. Bowo yakin Asri sedang menghindarinya. Ketika ia menelpon pak Marsam yang sudah ada dirumah menjemput ayahnya, pak Marsam juga bilang bahwa dia tidak tau. Lalu Bowo berangkat sendiri kekantor, dan merasa betapa sepi dan lengang ruangan kerjanya ketika tak ada lagi seorang gadis manis yang duduk dihadapannya. Kursi itu kosong, mejanya bersih tak ada selembarpun kertas pekerjaan yang biasanya terserak disana. "Asri..." bisiknya sedih...

"Mas Bowo, " tiba2 suara itu datang dari arah pintu. Dan Bowo benar2 terkejut.

 

#adalanjutannyaya#

 

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...