Sunday, November 25, 2018

SEPENGGAL KISAH XLII

Bu Prasojo langsung masuk kedalam, bu Harlan mengikuti dari belakang. Banyak pelanggan makan ditempat itu karena memang waktunya makan siang. Ia men cari2.. dimana Bowo duduk.. pelayan yang mempersilahkan tidak digubrisnya. Mana ya Bowo, jangan sampai dengan bocah itu. Batin bu Prasojo. Beberapa sa'at mencari akhirnya ditemukan juga anak laki2nya. Kemarahan bu Prasojo memuncak. Bowo sedang duduk berhadapan dengan Asri, dan mereka sedang asyik menikmati sendok demi sendok makanan yang hampir dihabiskannya.

"Bowo !" suara bu Prasojo itu keras benar, hampir berteriak.. dan Bowo serta Asri terkejut bukan kepalang.

"Bu, kok kesini? Ibu mau makan? Jangan berteriak begitu donk bu, semua orang melihat kesini tuh" Bowo menegur ibunya dengan kesal. Memang beberaapa tamu melihat kearah mereka karena ibunya berteriak cukup keras.

"Enak ya.. orang yang biasanya makan seadanya, setiap hari bisa makan di restoran?" tangan bu Prasojo menunjuk kearah Asri yang hatinya menjadi kecut. Ia juga merasa sakit hati di tunjuk2 dihadapan banyak orang yang masih melihat kearah mereka.

Bowo kesal sekali. Ia kemudiaan berdiri dan menuju kearah kasir. Meletakkan selembar uang dan menarik Asri keluar dari sana.

"Bowo ! Ibu ingin bicara sama kamu!" Bu Bowo mengejarnya. Bu Harlan mengikutinya tanpa mengucapkan apa2.

Bowo langsung naik kemobilnya setelah membukakan pintu umtuk Asri, kemudian berlalu dari sana. Bu Prasojo mengomel karena mobilnya terhalang mobil lain yang datang setelahnya.

"Hei.. parkirrrr! Suruh pemilik mobil ini menyingkirkan mobilnya, aku mau jalan nih!"

 Kelakuan bu Bowo ni seperti orang kesetanan. Ia lupa sopan santun dan lupa menghargai dirinya sendiri dihadapan banyak orang, hanya karena amarah yang tak bisa ditahannya.

Dikantor Bowo sibuk menenangkan Asri yang menangis terisak isak. Sungguh tak tertahankan derita batinnya kali itu. Rasanya ia tak bisa menahan lagi. Walau pak Prasojo yang menghalangi sekalipun ia harus tetap keluar dari pekerjaannya. Mana mungkin ia hidup dibawah kebencian orang lain?

"Ma'afkan ibuku ya Asri, ibu memang keterlaluan. Aku juga sangat marah tadi, Sudahlah, tak apa2, nanti aku akan bicara sama ibu dan menanyakan apa maksudnya. Tadi aku diam karena disana banyak orang. Nanti kita akan bertambah malu karena jadi tontonan bukan?"

Tapi Asri menangis bukan karena Bowo mendiamkan ibunya atau membelanya. Ia menangisi dirinya sendiri yang mengalami nasib sepahit itu.

"Atau aku mengantarmu pulang saja ya? Kamu boleh pulang untuk menenangkan diri, nanti kalau sudah tenang aku akan menjemputmu."Bowo mengulurkan tissue dan Asri menerimanya.

"Saya, lebih baik keluar saja pak," serak suara Asri ketika mengucapkannya. Ia menyeka air matanya dan mengemasi barang2nya.

Bowo sangat terkejut. Tampaknya kali ini ia tak bisa lagi membujuk Asri. Kesedihannya memuncak ketika melihat Asri langsung berdiri dan melangkah keluar ruangan. Bowo mengejarnya dan memegangi lengannya.

"Jangan Asri, jangan pergi.." memelas suara itu.

"Apa bapak tidak kasihan sama saya ? Bu Prasojo membenci saya sedangkan itu orang tua bapak, masih pantaskah saya duduk disini?"

"Nanti kita akan bicara, aku juga akan bicara sama bapak, juga ibu."

"Tidak pak, jangan bicara apapun dan jangan marah sama ibu, pasti ada alasannya kalau saya dibenci olehnya." Asri melepaskan lengannya tapi Bowo memegangnya erat sekali.

"Saya mohon, kasihanilah saya pak," 

Bowo tak tahan menatap mata itu. Mata yang bening indah itu sekarang terlihat layu dan sendu. Air mata masih menggenang disana. Bowo memeluknya erat. Betapa sedih membayangkan  setiap hari duduk disana tanpa Asri didepannya. Ia tak perduli apa anggapan Asri atas dirinya, ia terus memeluknya. Sejenak ada rasa nyaman bersandar dibahu Bowo, tapi Asri segera sadar, pelan dilepaskannya pelukan itu.

"Baiklah, aku akan mengantarmu pulang."

Bowo tidak langsung kembali kekantor setelah mengantarkan Asri, ia langsung kekantor ayahnya.Ia melihat pak Marsam diruangan satpam tapi ia hanya mengangguk meninggalkan kesan heran dihati ayah Asri itu.Bowo langsung menuju ruangan ayahnya dan  menceriterakan semuanya. Dari baju pemberiannya yang kemudian dikembalikan pada Asri sampai ketika ibunya marah2 dirumah makan itu. Juga tentang tekat Asri keluar dari pekerjaan itu.

 Pak Prasojo menyandarkan kepalanya ditempat duduknya, hatinya juga dipenuhi rasa kesal pada isterinya.

"Ini karena Dewi. Ibumu sangat menginginkan Dewi untuk bisa bekerja dikantormu."

"Aku tidak mau Dewi, aku tidak suka perempuan itu. Kelihatannya dia bukan perempuan baik2. Bowo teringat sikapnya ketika ia menggosokkan minyak urut dikakinya yang katanya keseleo. 

"Aku sudah mati2an mempertahankan Asri dan menolak keinginan ibumu. Heran aku, ada apa dengan ibumu.Pak Prasojo menghela nafas. "Dia ingin menjodohkanmu sama Dewi" lanjut pak Prasojo.

"Tidak pak, aku mencintai Asri," Kata Bowo tiba2, dan itu mengejutkan ayahnya.

"Bowo... kamu..?"

"Aku mencintai Asri pak, mohon jangan melarangku."

Pak Prasojo menangkap kesedihan dimata anak laki2nya. Ia heran, mengapa Bowo yang selalu dikelilingi wanita2 cantik tak pernah menggubrisnya dan sekarang jatuh cinta pada Asri? Asri anak sopirnya? Benar, Asri gadis cantik, baik, tapi pantaskah dia menjadi menantuku? pikir pak Prasojo. Dibayangkannya kelak anak laki2nya bersanding dengan perempuan cantik, pintar, berpendidikan, dan.. sekarang Asri lah pilihannya? Pak Prasojo bimbang. Separuh hatinya ingin memenuhi permintaan anaknya, tapi separuh hatinya masih mengingat pada derajatnya. Seorang pengusaha kaya, terpandang, berbesan dengan sopirnya sendiri.. ? Tapi pak Prasojo kan juga menyayangi Asri.. benar.. tapi kan tidak pernah membayangkan akan menjadikannya menantu.. Bergolak hati pak Prasojo oleh pertimbangan2 yang mengaduk aduk pikirannya.

"Aku mohon pak, jangan melarangku.." ucapan Bowo terdengar sangat memelas.

"Baiklah, nanti hal itu akan kita pikirkan lagi, sekarang aku ingin bicara dengan ibumu.Ayo kita pulang." Pak Prasojo berdiri dan memanggil pak Marsam dari telponnya.

Bu Prasojo heran melihat mobil suami dan anaknya beriringan masuk kehalaman. Ia menengok jam tangannya... baru jam 3. Dimeja tamu itu duduk bu Harlan dan juga Dewi.

"Sebentar ya jeng, itu mereka sudah pada pulang." bu Prasojo berpamit pada tamu2nya.

Ia melangkah kearah pintu masuk disamping rumah, untuk menyambut suaminya.

"Baru jam 3 pak, tumben sudah pulang."

Tapi pak Prasojo tak menjawab. Ia langsung masuk kerumah diikuti oleh isteri dan anaknya, yang juga diam tak memperdulikan ibunya. 

Pak Prasojo langsung masuk kekamar dan bu Prasojo masih mengikutinya.

"Pak, dengar, kemarin itu Bowo hampir menabrak Dewi, kakinya sampai bengkak, tuh liat sekarang masih diperban perban. Karena kalau tidak ia tak bisa jalan."

"Bapak kenapa sih, pulang2 kok sikapnya begitu,"

"Satu saja yang aku ingin katakan sama ibu. Aku tidak suka kelakuanmu. Dan aku juga tidak perduli tentang anak temanmu yang bernama Dewi itu." Tegas kata2 pak Prasojo.

"Begini lho pak.." bu Prasojo masih ingin bicara, tapi pak Prasojo langsung masuk kekamar mandi yang ada dikamar itu. Wajahnya muram, dan bu Prasojo tau bahwa suaminya sedang marah. Akhirnya ia keluar kamar dan menemui tamu2nya.

"Suamiku sedang tak enak badan jeng. Ma'af ya"

"Nggak apa2 mbakyu, saya sama Dewi mau pulang saja."

"Tunggu, jangan pulang sendiri, harus ada yang mengantar donk." bu Prasojo masuk kedalam menuju kamar Bowo. Kamarnya terkunci. "Bowo, bisakah minta tolong mengantar bu Harlan pulang?" bu Prasojo berteriak sambil mengetuk pintu. 

"Tidak, Bowo capek sekali." Bowo menjawab tanpa membuka pintu.

"Lha apa nggak kasihan, Dewi jalannya terpincang pincang lho.Itu kan karena kamu," bu Prasojo masih mencoba merayu, menyudutkan Bowo dengan kejadian sa'at Dewi terjatuh.

"Bowo capek. Suruh panggil taksi saja ?" 

#adalanjutannya#

 


No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...