Saturday, November 24, 2018

SEPENGGAL KISAH XLI

a Asri mengenalinya. Ada apa ya dia menelpon malam2 begini?

"Iya, b

Asri mengangkat ponselnya, dari siapa? Hanya nomor... ia ingin membiarkannya.. tapi barangkali ada yang penting. Asri mengangkatnya, suara nyaring terdengar dari seberang :"Hallo Asri.."

"Hallo, selamat malam, ma'af ini siapa ya?" Asri belum mengenali suara itu..

"Ya ampun Asri, mas

khirnya Asri mengenalinya. Ada apa ya dia menelpon malam2 begini?

"Iya, betul Asri.. sudah

a kamu tak mengenal suaraku?"

"Mbak Dewi ya?" a tidurkah?"

"Belum mbak, ada apa ya?"

"Cuma ingin cerita2 saja sama kamu. Oh ya, apa mas Bowo sudah memberi tau?"

"So'al apa ya? 

"Ya ampun As, tadi sore itu aku hampir tertabrak mobil mas Bowo, tau..?"

Asri terperanjat. "Apa mbak?

"Ceriteranya aku tuh habis dari rumah temenku, trus aku menyeberang jalan menunggu taksi, ee.. nggak sadar ada mobil mau lewat, untung sopirnya nggak ngebut, sehingga aku luput dari kecelakaan itu. Tapi kakiku terkilir, sekarang agak bengkak."

"Itu mobil mas Bowo?"

"Iya.. aku nggak nyangka kalau itu mas Bowo. Dan tau nggak As..aku digendong masuk kemobilnya, dibelikan obat gosok untuk kakiku, dan digosokkannya sekaliyan." Ada nada genit pada suara itu yang Asri sebenarnya kurang suka. Bukan karena cemburu, bukan.. cuma merasa agak aneh saja.

"Mas Bowo mu itu ternyata baik sekali ya As, setelah itu aku diantar sampai kerumah. Kalau tidak mana bisa aku pulang, orang nggak bisa jalan." lanjut Dewi kemayu..

"Sekarang bagaimana kakimu mbak?" Sesungguhnya Asri ingin segera mengakhiri pembicaraan itu setelah tau bahwa Dewi hanya terkilir.

"Sudah lumayan, cuma agak bengkak sedikit, tapi sudah bisa jalan sendiri kok. Tapi kenapa ya mas Bowo nggak cerita sama kamu?"

"Mungkin capek mbak. Tapi syukurlah kalau mbak Dewi tak apa2. Besok kalau ketemu kita cerita lagi ya?" sebenarnya agak kurang sopan menghentikan pembicaraan lebih dulu sementara yang menelpon tadi Dewi. Tapi Asri benar2 ingin beristirahat, setidaknya tak ingin mendengar suara genit yang seperti dibuat buat itu lebih lama lagi."

"Baiklah Asri, kamu pasti sudah ngantuk ya.. sampai ketemu lagi dan selamat tidur ya?"

Telephone sudah ditutup, tapi Asri lupa bertanya, darimana Dewi mendapatkan nomor ponselnya.

"Bagaimana keadaan Dewi jeng?" tanya bu Prasojo begitu sampai dirumah bu Harlan. Dia melirik kedalam tapi tak mendapaatkan yang dicarinya. "Mana Dewi? Tiduran dikamar?"

"Oalah mbakyu, dia masuk kerja.. saya sudah melarangnya tapi dia nekat pergi."

"Lho, katanya kakinya sakit?"

"Ya, masih agak sakit sih, tapi tadi sudah diperban pakai tensokrep.. jadi bisa jalan kok. Dia itu kalau sudah kerja kan rajin mbakyu, jadi karena baru beberapa hari ya dia takut kalau harus bolos."

"Ya bukan bolos namanya kalau memang sakit. Ya sudah.. syukurlah kalau gak apa2. Aku sudah memarahi Bowo tadi.. kenapa bisa hampir menabraknya."

"Dewi yang salah mbakyu, dia menyeberang tiba2."

"Ya sudahlah, ini au bawakan buah2an untuk Dewi. Aku pikir dia masih sakit. Tapi aku pengin kesana kok sekarang."

"Kemana mbakyu?"

"Kerumah makan tempat Dewi bekerja.

"Kalau begitu saya mau ikut mbakyu.."

Siang itu dikantor Bowo selalu mengamati Asri. Gadis itu tampak bekerja seperti biasanya,  tak tampak perubahan apapun setelah ia menyatakan cinta sore itu. Bowo bertanya tanya, apa sebenarnya yang ada dibenak gadis itu.

"Asri.."

Asri mengangkat kepalanya. 

"Apa kamu marah?"

"Marah? Tidak.." Asri mmenjawab singkat. 

Mengapa pembicaraan ini menjadi kaku? Ada sedikit sesal dihati Bowo karena kejadian sore itu. Harusnya aku menahan perasaanku,.. tapi apakah aku terburu buru? Kata2 itu seperti meluncur begitu saja. Mungkin bukan aku yang menggerakkannya, entah apa. Bowo berdebat dengan batinnya sendiri.

"Ma'af ya," akhirnya Bowo mengatakan itu.

"Untuk apa, bapak kan tidak bersalah."

Itu memang benar, salahkah aku kalau aku mencintai seseorang? Tapi Bowo merasa menjadi orang bodoh. Tak mampu mengatakan apa2 lagi sampai waktu istirahat tiba. Bowo mengemasi lembar2 kertas yang terserak dimejanya, sama sekali ia belum menyentuh pekerjaannya. 

"Bapak tidak ingin menjenguk mbak Dewi?"

Bowo terkejut, dia lupa belum menceriterakan kejadian sore kemarin.

"Kamu tau dari mana?"

"Mbak Dewi menelpon saya tadi malam."

"Ooh.. jadi dia yang semalam memaksa satpam meminta nomor ponselmu, kalau tidak, darimana dia mendapatkannya."

"Satpam?"

"Dewi bilang saudaramu.. dan ada yang kecelakaan.. jadi dia berikan nomor ponselmu."

"Ohh.."

"Tapi dia tidak apa2.. sudahlah.. jangan memikirkan dia lagi."

Tapi pembicaraan itu terhenti dan suasana menjadi kaku kembali. Bowo tak tahan. Dia kemudian mengajak Asri makan siang diluar. Barangkali suasana kaku ini bisa menjadi cair.

 

Tapi dirumah makan itupun suasana masih terasa kaku. Bowo heran pada dirinya sendiri mengapa ia tampak bodoh kali itu. Dua gelas minuman dingin diteguknya, dan ditatalah hatinya agar dia bisa berkata kata. Setidaknya dia harus tau apa isi hati gadis itu.

"Asri.."

"Ya... Asri mengangkat mukanya. Sesungguhnya ia takut kalau Bowo mengulangi perkataannya seperti yang kemarin sore diucapkannya.

"Berterus teranglah Asri, bagaimana perasaanmu terhadapku." Bowo akhirnya bisa mengucapkannya.

"Perasaan saya? Saya... sangat menghormati bapak.."

"Jangan bapak.. ini kan diluar kantor."

"Baiklah.."

"Baiklah apa?

"Saya sangat menghormati mas Bowo."

"Terus...?

"Ya itu..."

"Yang ada hubungannya dengan pernyataanku sore tadi.." Bowo sangat tak sabar.

Nah, inilah yang ditakutkan Asri. Ia seperti seorang pesakitan yang menunggu keputusan hakim untuk menghukumnya. Aduuh.. mana aku berani? Aku ini apa..siapa.. ini seperti mimpi.. 

"Asri..."

Asri mengangkat mukanya, memberanikan diri untuk menjawabnya. " Sesungguhnya.. saya sangat takut."

"Takut?" 

"Saya ini siapa mas, saya bukan siapa2.. mengapa mas Bowo merasa seperti itu?"

"Rasa itu tidak ada hubungannya dengan siapa2.. aku mencintai kamu sejak kamu masih kanak2." Bowo berterus terang. Ia semakin berani berkata kata.

Asri terkejut, sejak aku masih kanak2? 

"Sejak kau baru masuk SMA dan setiap sore menjemput ayahmu."

Ini benar2 gila. Waktu itu dia belum mengenal cinta. Hubungannya dengan Damar juga masih seperti cinta monyat. Bahwa kemudian mereka saling jatuh cinta beneran, itu adalah kekuasaan alam semesta.. yang menyatukan keduanya dalam sebuah hubungan yang ketika itu mereka sebut sangat indah. Meski kemudian berpisah dengan cara yang menyakitkan.

"Apa kau tidak tertarik pada mas Bowo mu ini?"

"Saya.. harus.. menjawab apa? Saya.. tidak berani.." terbata Asri mengucapkannya. Kemudian ia mencuba menelusuri hari demi hari yang dilaluinya bersama Bowo. Bahwa Bowo sangat perhatian, bahwa Bowo sangat baik, dan.. senyum itu.. apakah Asri masih membandingkannya dengan senyuman Damar yang juga menawan? Aduh.. mengapa Damar lagi. Asri memarahi batinnya sendiri. Bukankah ia harus melupakannya setelah tak lagi mendengar kabar beritanya? Mungkin mereka sudah bahagia. Tidak.. perlahan Asri melupakannya. Tapi perasaannya terhadap Bowo? Asri juga tak tau, karena apapun perasaan itu, selalu tertutupi mengingat bahwa Bowo adalah atasannya, yang dia hormati sekaligus dia kagumi.

"Saya.. adalah bumi.. mas Bowo itu langit.."

"Bagaimana kalau aku katakan... INI PERINTAH ?" Bowo mencoba bercanda, dan Asri tersenyum. Dipandanginya wajah Bowo dan senyum menawan itu kembali menghiasi bibirnya. Asri menunduk, jangan sampai ia tergoda oleh senyum itu. 

"Baiklah, aku menunggu kau mengatakannya, sekarang habiskan makananmu." 

Dijalan besar didepan rumah makan itu, sebuah mobil berhenti. Itu mobil bu Prasojo.

"mBakyu..kok berhenti disini? Bukan ini rumah makannya." Bu Harlan yang duduk disebelah bu Prasojo yang menyetir mobil itu bertanya heran, sebab katanya mau kerumah makan dimana Dewi bekerja.

"Ya jeng, aku tau.. tapi aku mau mampir kesini sebentar saja."

"Mau beli sesuaatu?"

"Tidak jeng, aku melihat mobil Bowo diparkir disitu, nah.. itu mobil Bowo, pasti dia ada disini."

 

#adalanjutannyaya#

 


No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...