Tuesday, November 27, 2018

SEPENGGAL KISAH XLVI

Asri berteriak terisk memanggil bapaknya ketika perawat mendorong pak Marsam keruang perawatan kembali.Rupanya ejekan bu Prasojo tadi terdengar oleh pak Marsam sehingga menyebabkan tekanan darahnya kembali tidak stabil. Bowo sibuk menenangkan Asri dan membawanya duduk didepan pintu. Asri memberontak ingin masuk kedalam tapi perawat melarangnya.

"Asri, kalau kamu masuk kedalam, justru akan mengganggo dokter yang menolongnya. Tenanglah Asri, percayakan kesehatan bapak pada dokter ya.."

Asri masih menangis, ia ingin me maki2 bu Prasojo yang membuat ayahnya kaget dan mendadak sesak nafas. Tapi yang akan dimaki maki sudah pergi dari sana. "Mana dia.. mana...manaaa! Dia yang menyebabkan semua inii! Diaa!!"Asri berteriak teriak. Ia lupa segala galanya, lupa pada rasa santun yang selama ini dimilikinya karena ketakutan akan kehilangan ayahnya. Sungguh ia sangat marah pada bu Prasojo.

"Asri, tenanglah Asri, ma'afkan ibuku ya.. dia memang keterlaluan. Aku sedih melihat kelakuan nya. Asri.. tenangkan hatimu. Ayo kita berdo'a saja demi kesembuhan bapak ya.."

Bowo mengajak Asri ke mushola yang ada dirumah sakit itu. Mereka berdua berdo'a dengan khusuk, diiringi isak tangis Asri yang tak henti2nya."

"Ya Allah, jangan ambil nyawa bapakku sekarang, hamba masih membutuhkannya ya Allah, jangan biarkan hamba sendirian. Sembuhkanlah dia, hamba mohon.. hanya kekuatanMu yang bisa menyembuhkannya. Jangan ambil nyawa bapakku ya Allah..jangan biarkan hamba sendirian..." bisik Asri dalam do'anya.

Bukankah kekuatan do'a yang dipersembahkan oleh hambanya kepada Sang Pencipta  itu adalah kekuatan yang maha dahsyat.? Mintalah dan Allah akan memberi. 

Asri berjalan tertatih dipapah oleh Bowo yang ikut larut dalam kesedihan itu.

Ruang perawatan itu masih tertutup. Bowo membawa Asri ketempat duduknya semula..

"Bagaimana bapakku?" rintih Asri.. Bowo mengelus punggungnya. Konon elusan dipunggung bisa menenangkan, dan memang Asri menjadi sedikit tenang, terutama setelah ia melantunkan do'a yang sangat panjang kepada Sesembahannya.

"Apakah Allah akan mendengar do'a saya?"

"Tentu Asri, bukankah Allah itu Maha Pengasih?"

Pintu ruang perawatan itu terbuka dan dokter yang merawatnya keluar. Asri berdiri dan mendekat dengan rasa takut yang tiada tara. "Dokter, bagaimana bapak?"

Dokter itu tersenyum, dan senyuman itu pasti melegakan.

"Pak Marsam telah melewati masa kritisnya," 

"Oh, syukurlah, alhamdulillah, terimakasih dokter, terimakasih banyak.." ingin rasanya Asri menari nari kegirangan. Wajah yang sendu itu sekarang menampakkan rona penuh rasa syukur yang tiada tara.

"Tapi.... "lanjut dokter itu. "Pak Marsam tidak boleh sekali lagi mendengar sesuatu yang mengejutkan, tidak boleh terlalu sedih.. dan juga tidak boleh terlalu gembira. Anda harus merawatnya dengan hati2."

Asri mengangguk angguk: "Baiklah dokter saya akan merawatnya dengan hati2. Tapi bolehkah saya menemuinya sekarang?" 

"Boleh mendekatinya, tapi jangan dulu diajak bicara Ingat, dia juga harus banyak beristirahat. Dan sa'at ini pak Marsam sedang tertidur." lalu dokter itu berlalu.

Asri menghambur masuk kedalam dan memeluk bapaknya.

"Asri, ingat kata dokter. Bukankah bapak perlu istirahat?Labih baik kita menunggu diluar dan membiarkan bapak tertidur." 

Asri tersenyum, dan melangkah keluar sambil sesekali menengok kearah bapaknya yang masih terbaring. Tapi tampaknya pak Marsam sedang tidur nyenyak.

Sore itu Bowo menjemput ayahnya dan pulang bersama. Bowo mengatakan bahwa ibunya siang tadi datang kerumah sakit.

"Oh, baguslah kalau mau menengok pak Marsam, memang bapak yang menyuruh tadi."

"Tapi kedatangan ibu membuat heboh pak."

Pak Prasojo memandangi anaknya. :" Heboh bagaimana?"

Seperti biasa, ibu bicara yang tidak2, menghina dan menyakiti hati, pak Marsam mendengarnya terus anval."

"Apa? Terus bagaimana sekarang?" pak Prasojo sangat khawatir.

"Dokter bisa mengatasinya, untunglah."

"Ibumu itu sekarang keterlaluan sekali. Biasanya tidak begitu. Sikapnya pada pak Marsam juga baik2 saja. Tapi kok akhir2 ini jadi begitu. Itu setelah dia dekat sama temannya arisan yang namanya bu Harlan."

"Benar pak."

"Apa kamu sudah tau, ibumu ingin menjodohkan kamu sama Dewi?"

Bowo hanya tertawa.

"Kamu tidak tertarik?" Bowo menggelengkan kepalanya.

"Bowo kan sudah bilang sama bapak, siapa gadis yang Bowo cintai."

"Kamu serius?"

"Sangat serius. Apa bapak tidak suka?" Bowo menoleh kearah bapaknya sejenak, untuk melihat reaksi pak Prasojo setelah mendengar ucapannya.

Pak Prasojo tidak menampakkan reaksi apapun. Batinnya sedang bicara .. menimbang nimbang.. dan belum tampak perasaan apapun disana.

Bapak tidak suka?" Bowo mengulangi pertanyaannya.

"Bowo, orang jatuh cinta itu boleh2 saja, tapi untuk menjadikan dia jodoh, kita harus berpikir seribu kali. Menimbang baik buruknya, Menimbang untung ruginya."

Bowo tertawa :" Seperti orang berdagang saja..."

"Orang berumah tangga itu memang seperti orang berdagang. Tidak tau apakah akan untung atau rugi. Untungnya kalau pendamping kita ternyata baik, bisa melayani, bisa selalu berdampingan dalam segala hal, bisa menerima suka dan duka yang kita alami.. Tapi ruginya kalau ternyata dia tidak bisa menjadi pendamping yang baik, tidak sejalan dan tidak bisa menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga kita. Ya.. bapak kira ketika masih awal.. masih sama2 dimabuk cinta, ya hanya kebaikanlah yang tampak, tapi entah kalau sudah berumah tangga.. siapa tau.."

"Bagaimana dengan bapak?"

"Hush, kamu itu jangan nanya so'al itu pada bapak..kamu sudah tau semuanya kan? Tapi kembali pada ibumu, dulu dia baik kok.. sungguh.. kenapa sekarang menjadi begitu." pak Prasojo mengeluh.

Sampai ketika mereka masuk kerumah Bowo belum menemukan apa reaaksi bapaknya ketika tau bahwa dia serius mencintai Asri.

Seminggu lamanya pak Marsam dirawat dirumah sakit, dan sekarang sudah kembali kerumah. Seperti kata dokter, dia harus menjaganya dengan hati2. Tidak boleh terlalu sedih tidak boleh terlalu bahagia.. tidak boleh kaget.. tidak boleh capek.. dan masih banyak lagi tidak boleh tidak boleh yang Asri tak berani melanggarnya. Itulah sebabnya kenapa Ari melarang bapaknya bekerja. Tapi kalau dua2nya tidak bekerja, mereka harus makan apa?

"Asri, sesungguhnya bapak ingin bekerja kembali."

"Tidak pak, tidak boleh." tegas kata Asri.

"Kalau bapak tidak bekerja, lalu kita makan apa?"

"Nanti Asri yang akan bekerja.Bapak jangan memikirkan apa2, ingat kata dokter ya.."

"Bekerja apa nduk?"

"Sudahlah, nanti pasti ada."

Namun Asri benar2 baru berfikir, pekerjaan apa yang bisa dia lakukan dengan tanpa meninggalkan bapaknya..

 

"Bowo, ibu sungguh tidak mengerti, apa sih sebenarnya maksudmu? Mengapa  kau memilih bekerja tanpa sekretaris setelah Asri keluar dari sana? Bukankah kau membutuhkan seseorang yang bisa membantumu?"

"Tidak, masih banyak yang bisa membantu Bowo. Sudahlah bu, ibu tak usah memikirkan pekerjaan Bowo.."

"Ibu hanya ingin kau tidak kecapean."

"Sejak kapan ibu berfikir begitu, sebelum Asri ada Bowo juga bekerja sendiri. O, aku tau, ibu ingin supaya Bowo mau menerima Dewi?

"Kalau iya kenapa, Dewi itu pintar."

"Tidak.. dan tidak, jangan sampai ibu memaksa Bowo lagi."

#adalanjutannyalho#

1 comment:

  1. yg pertama no1. sebgai penanda aja bu tien, kalo seblumnya tak ada koment. maaf

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...