Thursday, November 29, 2018

SEPENGGAL KISAH XLVII

Bu Prasojo marah sekali. Apalagi ketika melihat Bowo kemudian meninggalkan rumah tanpa berpamit padanya. Ia mendekati suaminya dan menangis karena amarah yang tidak tertahan.

"Ada apa lagi to ini?" Pak Prasojo yang sedang menyaksikan siaran berita di televisi menegurnya.

"Sekarang ibu tau, gara2 perempuan itu, anak dan suamiku membenci aku." 

"Apa maksud ibu? Siapa perempuan itu dan siapa yang membenci ibu?"

"Siapa lagi kalau bukan Asri.. anak sopir bapak itu." Bu Prasojo menuding nudingkan jarinya, kemudian duduk didekat suaminya sambil mengusap air matanya.

"Memangnya apa salah Asri?"

"Ya gara2 dia kan, Bowo berani menentang ibu, bapak juga tidak perduli lagi sama ibu."

"Coba ibu katakan, kesalahan Asri yang mana yang bisa membuat semua itu."

"Karena Bowo suka sama Asri dan bapak menyetujuinya bukan?"

"Ibu itu marah2 tapi tidak jelas jluntrungnya. Kalau seseorang disukai, mengapa jadi seseorang itu yang ibu salahkan? "

"Itu karena pintar2nya dia merayu anak kita bukan?"

"Bapak kira tidak, Asri belum tentu menerima cintanya Bowo kok."

"Halaah, itu kan hanya kepura puraannya dia saja. Sebetulnya dia ingin menjadi menantu kita. Bapak menyetujuinya bukan?"

"Bapak rasa kemarahan ibu ini kemarahan yang ngawur, meng ada2 dan hanya untuk melampiaskan rasa tidak suka ibu pada seseorang, dan kalau boleh bapak katakan, sumber dari rasa tidak suka ibu itu adalah karena ibu ingin agar Dewi bisa bekerja ditempat kita, satu, dan duanya.. ibu ingin mengambil Dewi sebagai menantu ibu. Yang pertama tidak kesampaian karena sudah ada Asri, terus yang kedua juga tidak kesampaian karena Bowo lebih suka Asri. Jadi Asri itu adalah sumber dari kebencian ibu. Tapi sumber sesungguhnya ada pada Dewi. Ya kan?"

Bu Prasojo terdiam, mungkin benar kata suaminya, tapi mana mungkin dia mengakuinya?

"Nah, mbok ya sudah bu, masalah jodoh itu bukan kita yang harus menentukannya, karena jodoh itu ada ditangan Tuhan.Bowo itu bukan anak kecil lagi, dia pasti bisa memilih mana yang terbaik untuk dirinya. Tidak usah ibumemikirkan sampai ibu marah2 begitu, sampai menuduh semua orang benci sama ibu. Itu kan ngawur namanya."

"Jadi bapak setuju kalau Asri itu menjadi menantu kita?" 

"Bapak tidak bilang setuju, dan Bowo juga belum bilang so'al menikah kok. "

"Lama2 dia akan mengatakan itu."

"Asri belum tentu mau. Dan sudahlah bu, jangan mengotori hati ibu dengan perasaan2 seperti itu. Lagian ibu yang sering menyakiti mereka bukan?Itu bapak tidak suka.Bapak tegaskan sekalian sekarang, hentikan membenci mereka dan hentikan kelakuan ibu yang selalu menyakiti mereka. Ibu sadar tidak, karena ulah ibu dirumah sakit itu nyawa pak Marsam hampir tidak tertolong?"

Bu Prasojo terdiam, tapi tampak bila anjuran suaminya tidak akan digubrisnya, karena rasa tidak suka masih melekat pada raut mukanya.

"Itu apa Asri?" tanya pak Marsam ketika melihat Asri membawa sesuatu.

"Ini untuk bapak, seorang pegawai kantor pak Prasojo kemari dan memberikan ini untuk bapak."

Dan itu adalah sebuah amplop, berisi uang pula. Pak Marsam meletakkan begitu saja amplop dan isinya diatas meja. 

"Aku kan tidak lagi bekerja, mengapa pak Prasojo masih memberiku uang?" kata pak Marsam lirih. 

"Bapak ingin mengembalikannya?"

"Ya, biar bapak kesana saja."

"Jangan pak, nanti kalau bapak bertemu bu Prasojo, bapak akan disakiti lagi. Asri tidak ingin hal itu terjadi. Biar Asri saja yang melakukannya."

"Baiklah, tapi pergilah kekantornya saja, kalau dirumah nanti ketemu dia," pak Marsam juga tau kalau bu Prasojo suka menyakiti hati Asri, juga dirinya.

 "Asri akan kesana sekarang, bapak jangan pergi kemana mana ya,"

Pak Marsam mengangguk. Dirapikannya bungkusan uang itu kembali.

 

"Asri, mengapa kamu melakukan ini? " Pak Prasojo menatap Asri tajam, gadis itu menunduk. Ia yakin pak Prasojo akan menegurnya seperti kata2 yang didengarnya itu.

"Bapak saya sudah tidak bekerja, mengapa masih juga bapak kasih uang ini? Jangan pak.. sudah banyak dan tak terhitung pemberian bapak untuk keluarga saya, kami tidak bisa menerimanya lagi. Terlalu berat beban kami untuk semua kebaikan bapak, dengan apa kami membalasnya pak?" berilang air mata Asri.

"Kamu itu bagaimana, biarpun bapak mau sudah tidak bekerja, tapi bapak kamu berhak menerima ini. Anggaplah ini uang pensiun untuk pak Marsam, dan akan aku berikan ini setiap bulan.

Asri terkejut. Pak Prasojo akan memberikannya setiap bulan? Itu akan meringankan beban hidupnya dan bapaknya.. tapi Asri menolaknya.

"Jangan pak, sungguh kami tidak bisa menerima ini."

"Asri, aku tidak menghutangkan apapun untuk keluarga kamu, ini iklas aku berikan karena jasa bapak kamu kepada keluargaku yang sudah bertahun tahun. Tolong jangan mengecewakan aku, terimalah Asri, aku akan kecewa kalau kamu menolaknya.Ayo diterima.. tolong Asri.." Pak Prasojo menyodorkan kembali amplop itu, dan Asri tak kuasa menolaknya.

"Aku akan memberikannya setiap bulan sebagai uang pensiun ayahmu."

Hampir setiap hari Bowo datang kerumah Asri sepulang dari kantor. Sepi rasanya tak melihat wajahnya sehari saja. Ingin Asri menolaknya. Tapi tak sampai hati. Asri tau bahwa Bowo mencintainya. Laki2 baik, ganteng, pengusaha kaya, siapa yang mampu menolaknya? Tapi Asri menutup hatinya untuk jatuh cinta. Kadang2 ada rasa tergoda, kadang2 dia juga rindu apa bila sehari saja Bowo tak datang menemuinya, tapi rasa itu ditepisnya jauh2. Tak mungkin aku duduk berdampingan dengan dia. Tak mungkin, aku dan dia bagaikan bumi dan langit.Kalau aku mengimbanginya pasti hanya derita yang akan aku rasakan. Batin Asri setiaap kali ingatannya melayang pada Bowo. Tapi Asri kadang2 terkejut, ada apa aku ini? Mengapa ada rindu? Ya Tuhan, tidak.. Asri segera menyibukkan dirnya didapur.

Sore itu Bowo datang kerumah Asri. Bowo membawa sebuah laptop yang akan diberikannya pada Asri. Ia tau Asri tak akan mau menerima pemberiannya tanpa melakukan apa2, sementara Asri pasti butuh uang untuk membiayai hidupnya. Bowo akan pura2 minta pertolongan Asri agar membantunya mengerjakan sesuatu, dirumah saja, dan itu ada upahnya. Pasti Asri mau.  Uang yang akan diberikan tidak diberikannya dengan cuma2. Bowo tersenyum, ia ingat ayahnya pernah mengatakan bahwa Asri dan pak Marsam menolak menerima uang pemberian ayahnya dengan alasan sudah tidak bekerja. Dan uang itu diterimanya dengaan terpaksa setelah ayahnya memohon mohon.

Diketuknya pintu rumah Asri. Hatinya berdebar, begitu rasanya setiap kali ia hendak bertemu kekasihnya. Pintu rumah itu terbuka, seorang laki2 keluar, tapi laki2 itu bukan pak Marsam.

#adalanjutannyalho#

2 comments:

  1. Hai mas Danar salam kenal,juga untuk mb Tien, saya panggil mbak Krn usia saya juga diatas 70, hanya lebih sedikit dari mbak Tien, dan saya biasa manggil yg lbh muda dg sebutan mas/mbak.
    Saya baru kenal cerbung mbak Tien, dan ternyata terkagum-kagum,. Salam kenal pengagum mb Tien, aduhai.🙏

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...