Friday, November 30, 2018

SEPENGGAL KISAH XLIX

Hari sudah malam ketika Pak Prasojo dan Bowo duduk2 diteras. Mereka sedang menunggu bu Prasojo yang tak kunjung pulang sementara hari telah malam.

"Sebenarnya ibu pergi kemana ?" Ini sudah malam..

"Entahlah, sore ketika bapak pulang, ibumu sudah pergi. Kata simbok dia pergi arisan. Tapi nggak biasanya sampai malam begini"

"Mampir2 barangkali,"  Bowo melongok kedepan karena ada mobil yang seperti mau masuk kedalam. Tapi ternyata mobil orang yang mau putar haluan.

"Bapak menelponnya tapi hape tidak aktif. . tak biasanya begitu, mungkin batere mati."

"Mungkin kerumah sahabatnya itu, bu Harlan."

"Barangkali ya, membicarakan so'al pernikahan Dewi sama kamu, pak Prasojo mencoba bercanda.

Bowo tertawa :" Bapak bisa saja..,"

Tiba2 telephone dirumah berdering. Bowo berlari kedalam untuk menerimanya. Pak Prasojo masih duduk diteras sambil berkali kali melongok keluar. Tapi yang ditunggu belum nampak juga.

"Pak.. pak.." tiba2 Bowo mendekat dan tampak panik.

"Ada apa? Telepone dari siapa?"

"Dari rumah sakit,  ibu mengalami kecelakaan."

Pak Prasojo terkejut bukan alang kepalang. Bagaimana keadaannya? Rumah sakit mana?"

"Kita kesana secepatnya. Mereka menghubungi karena diberi tahu nomor telepone kita oleh seseorang."

Keduanya bersiap dan bergegas pergi kerumah sakit.

Dirumah sakit itu seorang suster mendekati gadis yang tadi mengantarkan bu Prasojo kerumah sakit. :"mBak, keluarganya belum datang juga, padahal pasien segera membutuhkan tambahan darah."

"Oh, apakah darah saya bisa diambil?" gadis itu Asri. Ketika habis mengantarkan bunga pesanan pak Jodi, Asri bergegas pulang karena hari sudah mulai gelap, pak Marsam pasti lama menunggu. Tapi ditengah jalan itu ia melihat kecelakaan. Asri ingin tetap berlalu diantara jalan macet oleh kerumunan orang, tapi ia mengenali mobil yang penyok bagian depannya, dan itu mobil yang biasa dikendarai bu Prasojo. Rupanya mobil itu menabrak sebuah pohon besar. Kerumunan orang itu sedang berusaha mengeluarkan korban dari dalam mobil. Asri sangat terkejut karena korban itu adalah bu Prasojo. Ia turun dari kendaraan dan mendekati korban itu.

"Oh, dia.. dia.. saudara..eh.. aku kenal dia.. cepat panggil ambulan." Asri panik. Bu Prasojo tak sadar dan darah terus mengalir dari kepalanya. Rupanya polisi telah memanggil ambulan yang kemudian segera tiba. Asri merasa iba melihat wajah pucat berlumuran darah itu. Walau bu Prasojo membencinya, tapi Asri tak sampai hati ikutan membecinya.Ia bukan pendendam. Sungguh ia merasa iba. Ia bertekat ingin menolongnya.

"Anda mengenalnya?" tanya polisi itu pada Asri.

"Ya, saya mengenalnya,"

"Mari ikut kerumah sakit."

Asri menitipkan sepeda motornya kesebuah warung dan ikut kerumah sakit bersama bu Prasojo yang tampak diam tak bergerak.

"Apa golongan darah embak?" pertanyaan perawat itu mengejutkannya.

"Saya...O.."

"Baguslah. mari ikut saya." Asri mengikuti perawat itu untuk diperiksa kemudian  diambil darahnya. Tapi hatinya berdebar debar bagaimana kalau nanti sampai ia bertemu pak Prasojo, dan terutama Bowo.

Asri selesai mendonorkan darahnya, lalu bergegas pulang. Untunglah pak Prasojo dan Bowo belum datang.Mengapa lama sekali? Aku harus cepat2 pergi dari sini. 

Diluar gerbang rumah sakit Asri  melihat mobil pak Prasojo, namun Asri segera bersembungi dibalik tiang gerbang itu. Ia berdebar debar. Sekilas dilihatnya Bowo didalam mobil itu, menyetir mobilnya. Asri menghela nafas, dan mengatur degub jantungnya. Kemudian memanggil becak agar mengantarkan ketempat dimana ia meninggalkan kendaraannya.

 

Asri merasa cemas, melihat pak Marsam berdiri didepan rumah sambil melongok kesana kemari, pasti bapak cemas karena aku tak segera datang.

"Bapak," teriak Asri walau belum dekat benar dengan bapaknya. Agar bapaknya segera tau bahwa ia telah datang.

"Oalah nduk.. akhirnya kamu pulang," gemetar suara pak Marsam. Tadi ia cemas sekali.

"Ayo masuk pak, nanti Asri ceriterakan  mengapa Asri pergi lama sekali. 

Asri memasukkan motornya, kemudian duduk dihadapan pak Marsam yang bersandar dikursi.

"Bapak tidak apa2?" Asri khawatir karena wajah bapaknya pucat. "Ma'afkan Asri ya pak, habis Asri tidak bisa menghubungi bapak untuk mengabari."

"Tidak apa2 nduk, bapak lega karena akhirnya kamu pulang." pak Marsam minum seteguk air yang diberikan Asri.

"Asri tadi dari rumah sakit."

"Haa.. kenapa kerumah sakit?"

Asri menceriterakan semuanya, juga ketika ia harus mendonorkan darahnya karena harus segera ada tambahan darah untuk bu Prasojo. Dan rumah sakit tidak bisa menghubungi pak Prasojo karena bu Prasojo tidak membawa satupun identitas. Ponsel pun tidak ada. Makanya dia kemudian memberikan nomor telepon rumahnya.

"Syukurlah nduk, mudah2an apa yang kamu lakukan bisa menolongnya. "

"Aamin.."

"Jadi kamu tidak bertemu pak Prasojo atau mas Bowo?"

"Tidak pak, ketika mereka datang, Asri pulang, hanya bertemu digerbang rumah sakit, tapi mereka tidak melihat Asri."

Pak Prasojo merasa lega karena suster mengatakan bahwa sudah ada yang mendonorkan darahnya. Ketika itu bu Prasojo belum sadar, tapi dokter mengatakan bahwa bu Prasojo sudah tertolong karena seorang gadis yang menolongnya.

"Siapa pendonornya pak, kita harus mengucapkan terimakasih."

"Kata suster dia langsung pergi, dan belum sempat menuliskan nama serta alamatnya. Pihak rumah sakit juga tidak mengatakan dia bersama siapa, tapi polisi mengatakan bahwa ibumu sendirian, lalu siapa ya le, gadis itu? "

"Sayang sekali ya,kemana kita harus mencari dia..."

Ketika itu tiba2 Bowo melihat Dewi. Bowo merasa bahwa Dewi lah yang telah mendonorkan darah untuk ibunya.

"Bagaimana keadaan ibu?" 

"Baik, terimakasih atas pertolonganmu ya... kata Bowo.

Dewi heran, mengapa Bowo berterimakasih padanya. Tapi dasar Dewi.. ia pura2 sedih dan menitikkan air mata. Sore tadi sepulang dari arisan ia mengantarkan bo Prasojo untuk membeli makanan disebuah restoran. Bu Prasojo hanya bersama Dewi karena bu Harlan sedang tidak enak badan.Tapi karena dompet bu Prasojo ketinggalan ditempat arisan, Dewi menawarkan diri untuk mengambil dompet itu, nanti akan disusulkan di restoran tersebut. Dewi hanya berjalan kaki mengambilnya karena tempatnya tidak jauh. Rupanya ketika hampir sampai di restoran tersebut .. mobil bu Prasojo menabrak pohon karena menghindari sepeda motor. Ketika Dewi datang ia melihat mobil bu Prasojo yang ringsek dan orang2 disekitarnyalah yang mengatakan kejadiannya. 

"Kata suster kalau tidak ada kamu, nyawa ibuku tidak akan tertolong." Dewi mengangguk angguk dan mengulurkan dompet bu Prasojo yang tadi diambilnya.

"Oh, untunglah kau membawa dompet ini.. sehingga tidak hilang."

Lagi2 Dewi mengangguk angguk sambil memperlihatkan wajah sedih , ia mengambil tissue dan mengusap air mata buayanya. Padahal ia sedang berfikir, apa yang terjadi sehingga Bowo berterimakasih padanya.

#adalanjutannya#


1 comment:

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...